❤ *CINTA*
*di Batas Cakrawala*
By : Alia Citra
🌅 nomor - 30
Hargailah penulis, jika tidak bisa memberikan krisan jangan menitipkan jejak dikolom komentar. Cerita bisa dishare atau menyimpan postingan ini. Bisa juga mengaktifkan notifikasinya. Terima kasih.
.......
Pukulan keras yang dilayangkan Haris begitu tiba-tiba sehingga Dimas tidak siap untuk menjaga keseimbangan tubuhnya. Ia terhuyung dua langkah ke belakang sebelum akhirnya tersungkur di tanah. Matanya mengerjap pelan dengan bibir berdesis karena nyeri yang menjalar dari rahang terasa sampai ke seluruh bagian kanan wajahnya.
Derap langkah kakak iparnya terdengar mendekat, tetapi Dimas bergeming. Tidak berniat untuk melawan atau pun membalas, ia duduk mengatur napas sambil memegangi rahangnya. Hanya bisa pasrah jika Haris kembali menghajarnya. Namun, sesuatu kembali terjadi diu luar dugaan. Ia mengerjap kaget, menatap tidak percaya uluran tangan Haris di hadapannya.
"Seandainya lima tahun lalu kamu datang ke sini, aku tidak akan berhenti menghajarmu sampai aku puas."
Dimas diam, menatap Haris dan uluran tangannya bergantian.
"Berdirilah! Jangan sampai aku menghajarmu lagi sehingga membuat Naura sedih melihat keadaan Abinya yang pengecut ini!"
Dimas mengembuskan napas pelan, lalu menerima uluran tangan Haris kemudian berdiri. Aura dingin masih terpancar jelas dari sorot mata Haris yang mulai berbalik meninggalkannya menuju samping rumah. Untuk sesaat ia terdiam, lalu segera menyusul.
"Walaupun aku sudah tahu dari Hanna, tapi aku ingin dengar sendiri darimu. Apa tujuanmu datang kemari?" tanya Haris datar tanpa menghentikan langkah. Menyusuri halaman samping rumah orang tuanya yang luas.
Dimas melangkah di belakang, sesekali memperhatikan tempat yang baru pertama kali ia lihat. Halaman yang indah, ditumbuhi rumput jepang serta berbagai macam tanaman—pohon dan bunga. Ia terus mengikuti Haris sambil mengusap rahangnya sendiri yang berdenyut semakin nyeri.
"Aku ingin bertemu dengan kedua orang tuamu dan Hanna, membicarakan baik-baik niatan kami untuk kembali bersama."
Akhirnya mereka tiba di belakang rumah yang tidak kalah indahnya. Selain tanaman hias, terdapat pula sebuah kolam renang berukuran empat kali enam meter dengan kedalaman dua setengah meter. Di pinggirnya ada empat kursi dan sebuah meja kecil yang menjadi tempat Pak Heru dan Ibu Rossa biasa menghabiskan waktu senggang. Haris duduk di salah satu kursi, diikuti Dimas di kursi lain dengan canggung.
"Apa yang membuatmu ingin kembali pada Hanna?" tanya Haris kemudian.
"Aku mencintainya."
Haris menoleh sinis, lalu mendengus kasar. "Cinta? Benarkah? Sejak kapan kamu mencintainya? Sejak untuk kesekian kalinya Hanna merendahkan diri karena memilih kembali padamu setelah lima tahun pergi?"
"Aku perlu meluruskan sesuatu. Bahwa aku mencintai Hanna dari dulu—"
"Kamu mencintai Hanna dari dulu? Lalu kenapa dia pergi dan berkata bahwa kamu masih mencintai Vania?" sela Haris dengan suara meninggi.
"Itu hanya salah paham ...."
Haris mendelik, tampak tidak terima. "Salah paham bagaimana? Apa kamu dulu pernah mengungkapkan perasaanmu?"
Bibirnya terkatup rapat, Dimas memilih menunduk karena apa yang ditanyakan Haris sudah jelas jawabannya.
"Tidak kan? Kamu tidak pernah mengungkapkan perasaanmu, sehingga apa yang didengar Hanna waktu itu membuatnya yakin bahwa kamu memang tidak mencintainya karena masih menyimpan rasa untuk istriku. Terlebih katanya, kamu tidak siap untuk punya anak!" Haris mengembuskan napas pelan untuk menenangkan diri. "Siang itu, pihak rumah sakit meneleponku dengan menyebut nama Hanna. Apakah dia sudah cerita, tentang apa yang terjadi padanya saat meninggalkan desamu?"
Dimas menggeleng tanpa menjawab, karena memang tidak pernah sekali pun Hanna membahas tentang apa yang terjadi padanya selama lima tahun. Bahkan tentang kenyataan statusnya yang sebenarnya dalam keluarga saja dia sembunyikan.
"Lalu apa saja yang kamu lakukan? Tidak ada sedikit pun niatmu bertanya tentangnya? Apa yang dilewatinya selama kalian berpisah? Bukan hanya pengecut, kamu juga sangat egois!"
Dimas mengangguk sambil tersenyum miris. "Ya, kamu benar. Aku memang pengecut."
"Hanna ditemukan pingsan di kapal saat penyeberangan. Dia hamil delapan minggu saat itu dan mengalami perdarahan." Suara Haris mendadak rendah.
Seakan sesuatu telah mencabik-cabik hatinya, Dimas meringis menahan nyeri yang lebih sakit dari pukulan di rahangnya.
"Bahkan dia tidak tahu akan ke mana. Yang terpenting baginya adalah, pergi membawa Naura yang saat itu masih berbentuk janin dalam kandungannya menjauh darimu."
"Aku mencarinya saat itu," gumam Dimas akhirnya, susah payah menahan gemuruh dalam dada merutuki kebodohannya.
"Aku tahu. Kamu sering datang kemari," ujar Haris kini lebih tenang.
"Kamu tahu?" Dimas berusaha mengingat kapan terakhir ia mendatangi rumah ini dan hanya bertemu satpam di pos depan.
"Sebenarnya, aku menunggu kapan kamu berani masuk rumah ini untuk menemui Papi. Walaupun jelas saat itu Mami dan Papi tidak ada yang tahu keberadaan Hanna di rumahku. Tapi ternyata, itu adalah pertama dan terakhir kalinya aku melihatmu datang ke sini. Pengecut!" cibir Haris.
Dimas kembali diam, karena apapun pembelaannya, ia memang bersalah. Bahkan ia bisa dikatakan lelaki brengsek!
"Selama lima bulan Hanna tinggal di rumahku ditemani perawat dan ART, sementara aku dan Vania serta anak kami tinggal di sini." Haris menyandarkan punggungnya, menatap air kolam yang tenang dan tampak menyala tertimpa cahaya matahari sore.
Dimas berkali-kali mengatur napasnya, berusaha menenangkan detak jantung yang memacu cepat karena penasaran dengan setiap kata yang diucapkan Haris tentang Hanna yang tidak ia ketahui.
"Apa ... Hanna sudah cerita tentang kelahiran Naura?" pancing Haris, matanya memicing dengan senyum miring karena Dimas tetap bergeming tanpa kata. "Sudah kuduga. Hanna itu begitu tertutup dan jika kamu bersikap pasif, hanya berharap dia akan bicara tanpa diminta. Maka selamanya kesalah pahaman yang akan menghancurkan kalian!" tegas Haris.
Dalam diamnya, Dimas membenarkan ucapan kakak iparnya itu. Sama seperti beberapa hari lalu, jika ia tidak bertindak cepat dengan memaksa Hanna untuk bicara, bisa saja ia kembali kehilangan Hanna serta Naura hanya karena kesalah pahaman.
"Tepat tiga puluh minggu usia Naura dalam kandungan, Hanna mengalami perdarahan yang mengharuskannya melahirkan. Naura lahir prematur, sementara Hanna harus menjalani perawatan intensif selama dua hari di ICU."
Tubuhnya seakan membeku, keringat dingin mulai membahasi tubuhnya. Dimas memejamkan mata dengan kedua tangan mengepal kuat. Menyadari bahwa ia telah melewati saat-saat penting Hanna menjalani kehamilannya. Seharusnya ia yang menjaganya, mendampinginya bersama-sama menanti kelahiran Naura. Rasa bersalah membuatnya frustrasi, ingin segera menemui Hanna dan memeluknya. Namun, sepertinya Haris belum selesai menceritakan apa yang tidak ia ketahui.
"Ada satu hal lagi, dan aku yakin Hanna tidak menceritakannya padamu," gumam Haris membuat Dimas semakin berdebar penasaran. "Hanna bukan anak kandung Papi, dia anak Mami dengan lelaki lain yang sampai saat ini aku tidak ingin tahu siapa dia ...."
"La-lu?" lirih Dimas terbata, merasa ucapan Haris masih menggantung.
Haris mengembuskan napasnya tanpa mengalihkan pandangan dari air kolam. "Tepat setelah satu bulan kelahiran Naura, aku membawa mereka pulang ke rumahku. Dan saat itulah Hanna tahu semuanya. Menurutmu, apa yang terjadi pada Hanna setelah itu?"
Dimas tidak tahu harus menjawab apa. Pikirannya buntu mengetahui kehidupan yang dijalani Hanna begitu rumit.
"Kondisi mentalnya yang tidak stabil pasca melahirkan, ditambah patah hatinya karenamu. Serta mengetahui alasan mengapa dia diabaikan sejak kecil membuat Hanna depresi ...."
Seakan jantungnya direnggut paksa dari tempatnya, Dimas shock mendengar akhir kata yang dilontarkan Haris. Ia sungguh tidak menyangka, Hanna pernah mengalami masa sesulit itu dan itu terjadi tanpa dirinya.
"De-presi?"
"Ya, Hanna depresi, bahkan dia tidak mau menyentuh Naura sampai enam bulan lamanya. Dia merasa tidak pantas jadi seorang Ibu dan memaksaberkali-kali memberikan Naura padaku. Aku dan Vania mencoba segala cara agar Hanna bisa sembuh. Berkonsultasi ke dokter dan psikiater. Sampai usia Naura dua tahun, Hanna baru dinyatakan sembuh total."
Dimas menghela napas kuat, meraup udara sebanyak-banyaknya untuk mengisi rongga dada yang terasa sesak. Depresi, ia tidak pernah membayangkan Hanna akan mengalami hal berat itu dan Naura ... bahkan sebanyak apapun pukulan yang diberikan Haris padanya tidak akan sebanding dengan apa yang dialami Hanna dan Naura tanpanya.
"Sekarang kamu sudah tahu semua yang dilalui Hanna lima tahun ini. Dan aku tidak punya hak untuk melarangmu kembali padanya jika memang kamu adalah sumber kebahagiaannya dan Naura." Haris pun berdiri, menoleh pada Dimas yang memijat pelipisnya. "Renungkanlah, dan pikirkan kata-kata yang tepat untuk dikatakan pada Papi."
Dimas mengacak rambutnya, lalu mengusap kasar wajahnya setelah Haris masuk dalam rumah. Ia tidak bisa memikirkan hal lain selain Hanna dan Naura. Tidak tahu apa yang harus diucapkan saat menatap wajah wanita yang selalu menyimpan lukanya sendiri selain kata maaf.
*****
Hanna tampak ragu melangkah masuk rumah orang tuanya. Rumah yang dua minggu lalu sempat ia tinggali bersama Naura setelah berusaha berdamai dengan masalalu sebelum kembali ke desa. Ia tidak tahu seperti apa perasaannya sekarang, karena kembali lagi ke rumah ini tidak pernah terpikirkan olehnya. Apalagi ia kembali bersama Dimas, lelaki yang menikahinya lima tahun lalu dengan restu yang terpaksa dari orang tuanya.
Langkahnya memelan dan akhirnya berhenti ketika netranya tertumbuk pada sosok orang tuanya yang duduk di ruang tamu. Pasangan paruh baya itu tampak tersenyum fokus mendengarkan celotehan riang Naura. Hanna mengernyit heran, mengedarkan pandangan dan tidak menemukan kedua mertuanya di sana.
"Mommy. Abi mana?" Suara Naura menyadarkan Hanna. Gadis kecilnya duduk di pangkuan lelaki paruh baya yang tidak lain adalah Pak Heru.
"Abi masih di luar sama Papa, Nak," jawab Hanna, dengan berat menyeret langkahnya mendekat.
"Kakak mau sama Abi ...," gumam Naura, menatap Hanna seakan meminta izin.
Hanna menggeleng pelan. "Nanti, ya? Tunggu Abi sama Papa masuk dulu?" bujuknya seraya mendudukan diri berseberangan dengan kedua orang tuanya.
"Iya, Kakak di sini saja sama Opa dan Oma dulu, ya?" Pak Heru ikut membujuk.
Hanna menatap datar sekilas, lalu mengerling pada Ibu Rossa yang entah sejak kapan menatapnya ... sendu. Rasanya tidak berubah, ia masih canggung seperti sebelumnya saat berada bersama kedua orang tuanya tanpa ada orang lain.
"Apa kabarmu?" Suara Ibu Rossa mengagetkan Hanna. Ia menoleh pada maminya yang sudah berpindah duduk di samping. Entah sejak kapan wanita paruh baya bergamis cokelat itu tidak lagi memakai kursi roda dan kini beralih menggunakan sebuah tongkat yang disandarkan di sofa.
"Baik," jawab Hanna datar, lalu kembali menatap Naura.
"Mami senang kamu masih mau kembali ke sini, walaupun jelas tujuan kedatanganmu bukan untuk Mami." Suara Ibu Rossa mendadak parau.
"Abinya Naura yang memaksa datang ke sini, ingin ketemu Mami sama Papi. Dia juga sudah tahu seperti apa statusku sebenarnya di keluarga ini."
"Benarkah?" Wajah pucat Ibu Rossa berubah pias. "La-lu?"
"Tunggu saja nanti dia yang bicara ...."
"Apa kamu masih belum benar-benar bisa memaafkan Mami?"
Bibirnya terkatup rapat, menunduk menatap kosong kedua tangannya saling meremas di atas lutut. Maaf? Entahlah. Hanna tetap diam hingga terasa sentuhan kulit maminya yang mengeriput di tangannya. Matanya memperhatikan tangan yang mulai menggenggam tangannya, lalu beralih pada garis wajah wanita yang sebagian besar ia warisi.
Tidak ada kata yang terucap di antara mereka. Namun, lewat sorot mata tua itu, Hanna tidak bisa menampik bahwa ia merasakan ketulusan dan penyesalan di sana. Serta sentuhan lembut yang menyalurkan rasa damai akan kasih sayang seorang ibu. Seharusnya, ia merasakannya kasih sayang itu dari dulu. Seandainya saja, jika takdir hidupnya berbeda ....
"Papa! Abi mana?" Hanna langsung mengalihkan pandangan ke arah tujuan Naura berlari. Tampak Haris berjalan dari belakang bukan dari pintu depan.
"Ups, mentang-mentang sudah ada Abinya, Kakak Naura lupa sama Papa ...." Haris langsung membawa tubuh mungil Naura dalam gendongan.
"Kakak ngga lupa sama Papa, kok. Kakak takut kalau Abi nanti pulang cendili ngga ajak Kakak lagi...," ujar Naura dengan bibir mengerucut. Haris tampak mengernyit, lalu menatap Hanna yang menunjukkan tatapan penuh tanya.
"Kakak sama Mommy ada di sini, ada Kakek sama Nenek juga. Masa Abinya mau pulang sendiri? Abi ada di luar—"
Tanpa menunggu Haris menyelesaikam ucapannya, Hanna beranjak keluar. Namun, tidak menemukan Dimas di sana.
"Abang!" panggil Hanna cemas, lalu berbalik masuk bermaksud untuk bertanya pada Haris. Namun, baru satu langkah, lengannya sudah dicekal seseorang. Ia menoleh, kaget sekaligus lega karena mendapati Dimas yang kini memegang tangannya. "Abang kem—"
Matanya terbelalak, jantungnya berdegup kencang, tidak percaya melihat penampakan wajah Dimas dengan lebam di pipi dan sudut bibirnya sedikit robek. Tidak dihiraukannya tatapan sendu lelaki itu, Hanna meringis menyentuh lebamnya.
"Kenapa begini? Ka-kakku yang melakukan ini?" Suara Hanna bergetar disertai tetesan air mata yang mengaliri pipi.
Dimas menggeleng, tiba-tiba menarik Hanna dalam pelukan.
"Bang ...."
"Sssttt ... jangan khawatirkan aku. Luka ini tidak sebanding dengan luka di hatimu," lirih Dimas sambil mencium pipi Hanna.
Tangisnya pecah tidak tertahankan. Kedua tangan yang tadinya melemas di sisi tubuh, perlahan membalas pelukan lelakinya. Hanna paham apa yang baru saja terjadi, termasuk sesuatu yang baru diketahui Dimas.
"Maaf, aku harus membuatmu menjalani semuanya sendiri. Maafkan aku, se-harusnya ...." Dimas tidak sanggup melanjutkan ucapannya. Suaranya terdengar parau dan terisak. Hanna bergeming, hanya membalas pelukannya erat.
"Abi!" Suara keras Naura dari dalam rumah membuat Dimas tampak berat hati melepas pelukannya lalu mencium pucuk kepala Hanna cepat.
"Abi! Kakak mau gendong!" Naura berlari keluar seraya mengulurkan tangannya. Dimas mengusap cepat wajahnya, melirik Hanna yang juga melakukan hal yang sama.
"Sini. Kakak kenapa?" tanya Dimas, gemas membawa Naura dalam gendongannya.
"Kakak mau dicium juga kayak Mommy." Naura mengangguk-angukan kepalanya. Dimas tersenyum mengecup pucuk kepala sang anak.
"Abi, pipinya kenapa walnanya bilu? Ini juga ada luka." Tangan mungil Naura terulur menyetuh wajah abinya yang lebam, lalu menoleh pada mommynya seakan melapor.
Hanna mengusap air mata yang tiada henti mengaliri pipi. Ia tidak tahan melihat keadaan Dimas serta mendengar pertanyaan polos Naura.
"Abi ngga apa-apa, kok. Ini tadi cuma jatuh," jawab Dimas seraya mencium jemari mungil Naura.
"Abang Hafiz juga sering jatuh, tapi kata Papa anak laki-laki itu halus kuat ngga boleh nangis. Abi anak laki-laki juga?" Pertanyaan Naura membuat Dimas tergelak, tetapi sedetik kemudian berganti meringis. Hanna semakin khawatir melihatnya. Namun, tatapan lembut yang diberikan Dimas di sela ringisannya meyakinkan seakan dia baik-baik saja.
"Kita masuk dulu, ya? Kasihan Abi capek bawa mobil dari pagi dan belum istitahat," ajak Hanna mengalihkan perhatian. Naura mengangguk antusias, sementara Dimas kembali memberikan senyumnya.
*****
Matahari telah kembali ke peraduan, sinar terangnya tergantikan oleh gelapnya malam. Rumah mewah yang biasanya sepi kini terasa hidup karena celotehan anak-anak yang kembali berkumpul, mengalahkan denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring saat makan malam itu.
"Kakak ikut Mama sama Papa, yuk? Kita temani Abang Hafiz belajar di kamarnya?" Vania buka suara ketika makan malam berakhir.
Naura beralih pada Hanna seakan meminta izin. Dengan senyum lembutnya, Hanna mengusap rambut panjang sang anak seraya mengangguk. Dengan antusias, Naura turun dari kursi lalu berjalan mengikuti Hafiz disusul Vania dan Haris serta anak mereka, Humairah.
"Maaf," guman Dimas setelah memastikan anak-anak telah meninggalkan ruang makan. Sejak tadi lelaki itu berserta kedua orang tuanya tampak canggung duduk bersama menyantap makan malan di ruangan mewah tersebut.
"Bagaimana kalau kita bicara di ruang keluarga saja? Kurang tepat jika berbicara serius di meja makan," sahut Pak Heru.
Hanna menyentuh tangan Dimas, tersenyum ketika lelaki itu menatapnya. Lalu beralih pada kedua mertuanya yang sejak tadi diam saja.
"Tentu saja, Pak." Dimas berdeham pelan karena suaranya mendadak parau. Hanna menggamit lengannya, serta mengajak Pak Budi dan Bik Minah menyusul Pak Heru dan Ibu Rossa yang sudah berjalan lebih dulu.
Kecanggungan semakin terasa ketika hanya hening yang mengisi di antara mereka setelah beberapa menit duduk terdiam di ruangan berfasilitas elektronik lengkap. Hanna yang tadinya menunduk, menoleh pada Dimas yang memainkan jemari dalam genggamannya. Jelas sekali untuk menghalau kegugupannya.
"Maaf sebelumnya, Pak Heru." Pak Budi buka suara, mungkin karena sejak tadi Dimas justru diam saja.
"Ya, silakan," jawab Pak Heru tenang.
"Mungkin Bapak dan Ibu sudah tahu niatan kami datang ke sini. Niatan Dimas lebih tepatnya," lanjut Pak Budi. Pak Heru mengangguk tanpa menyela. "Sebagai orang tua Dimas, saya minta maaf atas nama anak saya. Maaf jika apa yang terjadi lima tahun ini terkesan menelantarkan Hanna dan cucu kita, Naura."
Pak Heru mengangguk. "Sama-sama. Saya paham posisi mereka saat itu. Keadaan yang serba sulit dan tidak diinginkan," ujarnya.
"Baiklah. Mungkin ada yang ingin dikatakan Dimas?" Pak Budi beralih pada sang anak yang duduk bersama Hanna di sofa yang terpisah.
Dimas kembali berdeham, meremas lembut tangan Hanna dalam genggaman seakan meminta kekuatan. Hanna memasang senyum menenangkan agar Dimas segera mengatakan niat yang membawanya datang.
"Maaf untuk Bapak dan—"
"Kenapa panggil Bapak? Papi dan Mami, orang tua Hanna orang tua kamu juga. Paham?" Pak Heru menekankan.
Dimas mengangguk lalu berkata, "Iya, Papi ...."
"Jadi?"
"Begini. Papi dan ... Mami pasti sudah tahu kenapa saya datang membawa Hanna serta kedua orang tua saya," Dimas menjeda ucapannya sejenak, "Saya menyadari kalau telah melakukan kesalahan dengan membiarkan Hanna pergi tanpa berusaha maksimal untuk mencari. Saya juga sama sekali tidak memikirkan kemungkinan Hanna sedang hamil saat itu, sampai membuat Naura tumbuh tanpa kasih sayang saya."
Jemarinya terasa dingin dalam genggaman. Hanna berusaha menguatkan diri agar tidak meneteskan air mata untuk mendengar apa yang akan dikatakan Dimas selanjutnya.
"Sebagai laki-laki yang menikahi Hanna, kesalahan saya adalah dari awal karena menjadikannya istri dengan terpaksa tanpa niatan yang tulus. Sebuah awal yang salah, hingga mengakibatkan kesalahan lain yang berujung kesalah pahaman yang fatal. Kami berdua terluka, begitu pun Naura yang ada di antara kami. Dan Hanna telah melalui berbagai macam penderitaan sendiri tanpa ada saya di sampingnya." Dimas menatap serius Pak Heru dan Ibu Rossa bergantian.
"Lima tahun kami berpisah, saya selalu meyakinkan diri kalau Hanna akan kembali. Itulah mengapa saya tetap bertahan dengan kesendirian. Namun, lima tahun itu bukan waktu yang sebentar bagi kami berpisah. Sebagai suami istri, ada hak dan kewajiban yang tidak bisa kami penuhi dalam rentang waktu itu. Serta hati kami sebagai manusia biasa tidaklah selalu bersih dan jujur. Ada kalanya bisikan setan yang menggoyahkan iman sempat membuat khilaf, berpikir negatif dan lain sebagainya. Dan saya sebagai suami yang ditinggalkan punya peranan penting terhadap hubungan kami, sehingga dengan niat tulus kali ini, saya ingin meminta Papi dan Mami secara baik-baik untuk mengizinkan Hanna dan Naura kembali pada saya," ujar Dimas lancar dalam satu tarikan napas.
Akhirnya bulir bening itu tidak kuasa tertahan. Hanna mengusapnya pelan, lalu menunduk untuk terus mendengarkan.
"Lalu?" tanya Pak Heru kemudian.
"Saya ingin menikahi Hanna kembali. Dalam ajaran agama kita, memang tidak ada aturan yang membahas khusus tentang mengulang pernikahan. Namun, ada hal-hal tertentu yang membuat pernikahan perlu diulangi. Bukan untuk membatalkan pernikahan sebelumnya, tapi untuk memperbaiki hubungan kami dan semata ingin mendapat ridho Allah SWT. Terutama setelah tahu bahwa ...."
"Papi dan Mami menerima maksud baikmu. Dan kamu tidak perlu khawatir soal status Hanna. Apapun yang terjadi, sejak Hanna masih dalam kandungan, dia adalah anak Papi dan Mami sama seperti Haris. Lagipula kamu tahu kan bagaimana status Hanna jika dilihat dari ajaran agama kita," ujar Pak Heru menimpali.
Dimas mengangguk lalu bergumam, "Alhamdulillah."
"Biar Haris yang mengurus semuanya. Dan Papi sendiri yang akan menyerahkan Hanna padamu," lanjut Pak Heru.
Perlahan Hanna mengangkat wajahnya, bertemu tatap dengan mata teduh Dimas yang menenangkan. Ia menghela napas lega, karena semua ketakutannya tidak terbukti.
*****
Dimas diam memperhatikan wajah Hanna yang tampak serius mengolesi gel untuk mengurangi lebam. Jemari lentiknya terus bergerak di rahang dan pipi Dimas. Hanya mereka berdua di sana, dalam kamar tempat Hanna menghabiskan masa kecilnya yang suram. Sementara Naura sengaja dimonopoli oleh Vania dan Haris.
"Sudah dua kali kamu mengobatinya. Jangan terlalu berlebihan." Dimas menghentikan gerakan tangan Hanna, dan membawa ke bibirnya. Mengecup lembut tanpa mengalihkan pandangannya.
"Aku khawatir," gumam Hanna tampak kesal.
"Aku senang kamu khawatir. Aku jadi membayangkan, bagaimana reaksimu saat aku sedang sakit. Kamu pasti lebih khawatir dari ini."
"Kamu sakit? Kapan?"
"Saat kamu tinggalin aku. Hampir seminggu aku sakit, Sayang ...," ujar Dimas kembali mengecup jemari Hanna.
"Benarkah?" Wajah Hanna langsung panik.
"Dan itu sudah lama. Jangan khawatir. Sesakit apapun aku dulu, tidak sebanding dengan kesakitanmu bertubi-tubi yang kamu alami lima tahun sendirian." Dimas sudah berbaring di ranjang kamar yang dua kali lebih luas dari kamarnya, menarik Hanna dalam pelukan. "Berjanjilah untuk selalu menemaniku, Hanna. Bersama-sama memperbaiki diri hingga Allah tetap menjodohkan kita di surga-Nya kelak."
Tidak ada jawaban, hanya anggukan dan isakan pelan yang terdengar dari Hanna dalam pelukannya. Dimas mengecup pucuk kepala Hanna berkali-kali seraya memejamkan mata.
"Aku lega sekali hari ini. Dan kamu jangan bergerak ya, Sayang. Memelukmu benar-benar menenangkan," gumam Dimas sebelum mimpi indah menyambutnya.
*****
Gamis putih menjuntai sampai menutupi kaki. Pashminah syar'i warna senada membingkai wajahnya yang dipoles make up minimalis serta menutupi rambut cokelatnya yang indah. Dalam balutan busana muslimah itu, Hanna duduk sendirian di salah satu kursi pinggir kolam renang. Ia gugup karena sebentar lagi, acara sederhananya akan segera dimulai.
"Mommy!" Naura berlari dari dalam rumah. Gadis kecil itu tampak menggemaskan dengan busana yang sama dengan Hanna, menghampirinya sambil menyerahkan buket bunga mawar putih yang dia bawa. "Ini dali Abi."
Hanna tersenyum menerimanya. "Abi mana?"
"Itu." Naura menunjuk ke arah pintu. Hanna tersenyum tidak mampu menyembunyikan rona di pipi, takjub menatap Dimas yang berjalan mendekat. Lalu tanpa disuruh, Naura berlari masuk kembali dalam rumah ketika Dimas telah mengambil tempat duduk.
"Maaf tidak berani memberikanmu bunga secara langsung," Dimas meraih satu tangan Hanna yang bebas dan menciumnya, "Tapi aku berani memberikan seluruh hatiku dan cinta yang aku miliki hanya untuk kamu."
Hanna hanya bisa tersenyum dan mengangguk tanpa kata.
"Izinkan aku memintamu sekali lagi. Hannastasia Wirawan, kamu mau kan kembali bersamaku melanjutkan rumah tangga kita? Membesarkan Naura serta adiknya kelak bersamaku?" Sekali lagi Hanna hanya mengangguk.
"Terima kasih, Sayang. Ayo kita masuk. Semua sudah menunggu di dalam." Dimas berdiri seraya mengulurkan tangannya langsung disambut Hanna dengan senang hati.
*T A M A T*
0 comments:
Posting Komentar