CINTA DI BATAS CAKRAWALA 4

❤ *CINTA*
*di Batas Cakrawala*
🌅 nomor 4

Bola mata hitam Naura berbinar saat melihat riuh ramai anak-anak seusianya bernyanyi dari dalam sebuah ruangan yang terdapat di gedung kantor PKBM yang dipimpin Dimas. Kedua tangan mungilnya memeluk leher Abinya saat mereka semakin mendekat ke arah kantor.

"Abi, meleka cekolah, ya?"

Dimas memeluk erat Naura dalam gendongan, pandangan matanya mengikuti arah yang ditunjuk jemari mungil sang anak. "Iya. Hm ... Naura sudah sekolah?"

Naura mengangguk, tetapi sedetik kemudian gadis kecil itu menggeleng. Raut wajahnya cemberut, dengan malas kepalanya bersandar di bahu Dimas.

"Kenapa Naura tidak sekolah?" Entah dorongan dari mana, Dimas mengusap pelan punggung kecil Naura yang semakin manja padanya.

"Naula ngga mau cekolah lagi cama Abang Hafiz."

Dimas mengernyit heran mendengar nama Hafiz yang tidak lain anak Vania dan Haris. "Kenapa?"

"Abang Hafiz ke cekolah diantal Papa, maca Naula cendili? Naula mau cekolah tapi cama Abi!"

Ada sesak yang terasa dalam dada mendengar ucapan Naura. Entah apa yang telah dilalui gadis kecil itu sejak lahir, tetapi yang Dimas yakini, Naura membutuhkannya.

"Naura mau sekolah sama ...." Dimas menghentikan ucapannya. Menegakkan tubuh Naura agar menatapnya. Wajah polosnya sungguh membuat Dimas tidak tega sehingga bibirnya yang tadinya kelu kembali melanjutkan, "Naura mau sekolah sama Abi?"

Naura mengangguk polos tanpa menjawab.

"Tapi ... Naura sekolahnya di sini, sama Abi?"

Naura kembali mengangguk, kali ini diiiringi senyuman ceria. "Mau. Naula mau cekolah di cini aja!" pekiknya riang.

Dimas ikut tersenyum. Rasa bahagia yang tidak bisa diungkapkannya menyeruak dalam dada melihat keceriaan Naura. Begitukah nikmatnya jadi orang tua? Hanya melihat senyum dan rona bahagia sang anak, bahagiapun tidak terkira rasanya.

"Naura!" 

Tubuh Dimas menegang mendengar suara itu. Suara Hanna. Ah, ia hampir saja melupakan kenyataan bahwa Hanna yang membawa Naura padanya. Sekarang bagaimana?

"Mommy! Naula mau cekolah di cini cama Abi!"

Naura berseru senang dalam gendongannya, tetapi tidak mampu membuat Dimas menjadi tenang. Mengingat ucapannya tadi dan juga semalam, tentu Hanna akan bersikeras dan memaksa Naura untuk ikut kembali ke kota. Seketika rasa sesal menyergapnya. Bisakah ia meralat ucapannya tadi?

Lama Dimas masih berdiri di sana dengan Naura, Hanna tidak kunjung menghampiri. Dimas berdiri memunggungi arah rumahnya sehingga tidak bisa melihat apa yang dilakukan Hanna. Akhirnya ia berbalik, dan yang terlihat adalah Hanna berdiri di sana dengan tatapan kosong ke arahnya. Ah! Apalagi ini?

*****

Seharian Hanna hanya mengurung diri di kamar sembari menulis beberapa artikel yang dikirimnya ke sebuah media online ternama. Selama beberapa tahun tinggal di luar negeri, Hanna hanya bekerja sebagai freelance jurnalis bersama kekasihnya, Malik. 

Ah, Malik ... mengingat nama itu kembali membuat Hanna tidak mampu menahan derai bulir bening yang mendesak keluar dari dua sudut matanya. Lelaki yang selalu ada untuknya, ketika tidak ada seorangpun yang peduli padanya. Terkadang Hanna berpikir, kenapa nasibnya begitu buruk saat Tuhan mengambil satu-satunya orang yang ia percaya untuk menghabiskan hidup bersama?

Waktu makan malam telah tiba. Hanna merapikan dress biru yang melekat di tubuhnya yang tinggi semapai. Mengusap mata hingga pipi guna menghilangkan jejak air mata, lalu melangkah keluar hingga berpapasan dengan Haris. Masih dengan gayanya yang tampak cuek seperti biasa, Hanna melewati kakaknya itu tanpa menyapa.

"Lihat, ini ayam bakar kesukaan Haris. Kalau kamu sayang? Suka apa? Yang Mami tahu seorang dokter pasti lebih suka makanan sehat, kan?" ucapan Ibu Rossa pada menantunya menjadi sambutan untuk Hanna di ruang makan. "Kamu harus beri tahu Mami, nanti Bibik akan menyiapkannya untukmu." Ibu Rossa mengelus kepala Vania.

Hanna diam tampak acuh, tetapi dalam hati sekuat tenaga menahan kesal yang luar biasa. Ia sebagai anak tidak pernah diperlakukan sedemikian rupa, lalu mengapa Vania yang notabene hanya menantu, mendapat perhatian seperti itu?

"Mi, bisa kita aku bicara sebentar?" Haris meminta izin dan perhatian orang tuanya.

Ibu Rossa menghentikan aktivitasnya. "Bicara apa?"

Hanna tetap acuh menggigit sebutir apel, menyembunyikan rasa penasarannya dan ikut mendengarkan.

"Maaf kalau selama di desa, aku dan Vania tidak memberi kabar. Dan alhamdulillah ada kabar baik. Ternyata Vania sudah hamil," ujar Haris lancar.

Keheningan sejenak mengisi suasana ruang makan. Sementara Hanna menghentikan kegiatannya dan berpikir. Vania hamil, akan bertambah lagi anggota keluarga Wirawan. Dan hal itu tentu saja semakin membuat Hanna tersisihkan.

"Hamil?" gumam Ibu Rossa masih tidak percaya. Vania dan Haris serempak mengangguk menahan senyum. "Benarkah? Itu artinya Mami akan punya cucu? Jadi Oma gitu?" 

"Iya, Mi," jawab Haris.

"Ya Allah! Akhirnya ...." Ibu Rossa langsung berdiri menghampiri Vania. Memeluk dan mencium kedua pipi menantunya itu. "Alhamdulillah. Terima kasih kamu tidak memisahkan Mami dari cucu Mami, sayang."

Hanna memutar bola matanya malas melihat kehangatan keluarga di hadapannya. Sebuah kebahagiaan yang seharusnya turut ia rasakan, tetapi ia selalu terasingkan, tidak pernah dianggap dalam keluarganya sendiri.

"Pi, akhirnya kita punya cucu dari Haris. Semua nasehat Papi memang benar, alhamdulillah," ujar Ibu Rossa pada sang suami.

Pak Heru hanya tersenyum mengangguk menanggapi.

"Berapa usianya, Nak?" tanya Ibu Rossa tidak sabar.

"Kami baru tahu beberapa hari lalu, kata Bidan yang periksa sudah enam minggu. Tapi lebih meyakinkan lagi ada baiknya kita periksa langsung ke dokter." Haris mengambil alih jawaban.

"Jadi cuma diperiksa Bidan? Ah, kalau begitu besok harus periksa ke Dokter dan Mami ikut! Kamu pasti tahu dokter kandungan terbaik di sini, kan, sayang?" Ibu Rossa mengelus pipi Vania lembut.

"Iya, Mi. Nanti besok aku hubungi asisten dokter yang pernah menjadi pembimbingku dulu."

Hanna meremas sisa apel yang tidak habis dalam genggaman guna meluapkan emosi yang menyesakkan dadanya. Sungguh, ingin sekali ia pergi dari ruangan itu. Serta pergi dari kehidupan penuh kebahagian keluarga yang tidak pernah ia rasakan, tetapi ke mana? Haruskah ia menyusul Malik?

"Oh ya. Karena Vania hamil, itu artinya tidak lama lagi akan ada anggota baru dalam keluarga kita," Pak Heru membuka pembicaraan, meneguk segelas air putih hingga setengah, "Ada kabar baik lainnya untuk kita."

Hanna mencoba untuk menjaga sikap agar tetap acuh, seakan tidak peduli dengan sekitar. Yah, begitulah caranya memakai topeng guna menutupi apa yang sesungguhnya ia rasakan.

"Berita baik apalagi, Pi?" tanya Haris.

"Papi menyuruh Hanna pulang, karena dia akan segera menikah," jawab Pak Heru mantap.

Hanna tetap bergeming ketika Haris menatapnya.

"Oh, ya? Dengan siapa?"

"Aryan Ramadhan, seorang pengacara muda dari Ibu Kota. Kamu harus mengenalnya, Haris. Dia adalah kuasa hukum baru mantan Gubernur yang berkasus di pusat."

"Aku kenal dia, Pi," jawab Haris.

"Oh ya? Bagus itu. Kalian pasti akan menjadi saudara ipar yang kompak. Tidak salah Papi memilihnya," ujar Pak Heru semangat.

Tidak ada jawaban dari Hanna. Wanita itu hanya diam, sibuk dengan makanan yang ada di piringnya. Lalu yang terdengar kembali perhatian-perhatian yang terasa membosankan saat mendengar perhatian maminya yang sungguh berlebihan kepada menantu kesayangan.

Hanna mengakhiri makan malamnya secepat mungkin, lalu kembali ke kamar tanpa ingin berlama-lama berada di tengah keluarganya. Duduk termenung di dalam kamar hingga suara gadgetnya membuyarkan lamunan.

[Selamat malam. Aku Aryan Ramadan.]

*****

Hanna menatap pantulan dirinya di cermin. Rok cokelat yang ketat beberapa centi di atas lutut memperlihatkan kaki jenjangnya, serta kemeja pas badan warna maroon membuatnya tampak sempurna. Rambut sebahu cokelat gelap yang lurus mempertegas kecantikan khas turunan timur tengah. Tersenyum datar, lalu mengambil tablet serta handbag kemudian melangkah keluar kamar.

"Hanna!" Vania keluar dari kamar sebelah.

Hanna menoleh sekilas, tetapi kembali fokus pada gadgetnya. Berjalan meninggalkan iparnya yang keheranan walaupun dalam hatinya sendiri menahan kesal.

"Hanna, apa kabar? Kamu ingat aku, kan? Vania, Si Dokter kecil." Vania mengikuti langkah Hanna menuruni tangga hingga sampai di lantai bawah. "Berapa lama ya, kita ngga ketemu? Apa sekarang kamu sudah jadi wartawan? Aku masih ingat waktu kecil dulu kamu ingin jadi wartawan karena ingin ketemu dan mewawancarai Shane-"

"Berisik! Aku hanya adik iparmu, bukan temanmu. Tidak usah sok akrab!" bentak Hanna kasar dengan mata mendelik tajam, menggentakan kaki yang beralaskan sepatu bertumit setinggi sepuluh centi hingga menimbulkan bunyi nyaring beradu dengan lantai. Berlalu begitu saja, keluar dari rumah.

Hanna membanting pintu mobil dengan kasar, memerintahkan supir pribadi papinya agar segera membawanya pergi dari rumah. Mengingat keakraban Vania dan Haris semalam bersama mami dan papinya membuat Hanna benar-benar iri dan membenci iparnya itu.

[Maaf. Aku sudah sampai.]

Hanna menatap layar gadgetnya yang menampilkan chatt dari Aryan, lelaki yang dijodohkan dengannya. Lelaki datar yang tidak banyak bicara, setidaknya itu yang Hanna tahu sejak pembicaraan mereka via telepon semalam.

"Baiklah, Malik. Aku akan menuruti maumu. Aku akan melupakanmu agar bisa mencintai lelaki lain."

*****

Hanna mendekat ke arah kantor dengan langkah yang berat. Sekarang apa yang harus ia lakukan, bagaimana caranya membawa Naura pergi tanpa membuat si kecil itu menangis?

"Mommy, Naula cekolah di cini, ya? Cama Abi." Suara Naura melembut menyambut Hanna di teras kantor.

Hanna melirik Dimas yang tampak acuh dan enggan untuk balas menatapnya. Menghela napas sejenak, Hanna tersenyum lalu berkata, "Kalau Naura sekolah di sini, terus yang ke sekolah sama Abang Hafiz siapa?"

Naura diam, tampak berpikir dengan raut wajah yang polos tapi menggemaskan. "Abang Hafiz ke cekolah cama Papa, kok, ngga cendili."

Hanna diam, sekali lagi menatap Dimas yang masih bergeming. Sungguh, ia penasaran dengan apa yang ada di hati dan pikiran lelaki pantai yang sangat acuh itu. Hanna kembali memutar otak, mencari alasan agar Naura mau kembali ke kota.

"Terus, Adek Maira bagaimana? Ngga ada teman mainnya di rumah kalau Naura di sini," bujuk Hanna menyebut nama anak kedua Vania dan Haris. Kalau bukan karena ingin bertemu Abinya, Naura tidak akan mau pergi meninggalkan balita berusia dua tahun itu.

Kedua tangan Naura mengerat memeluk leher Dimas, menyandarkan kepalanya manja. Hal itu menandakan bahwa bujukan Hanna tidak akan berhasil.

"Adek Ila main cama Mama, cama Papa, cama Abang Hafiz juga," lirih Naura yang masih bisa didengar.

Hanna menghela napas pelan, menguatkan hatinya kali ini walaupun nantinya Naura akan menangis. Terserah, karena baginya Dimas juga tidak akan peduli. Ia mendekat seraya mengulurkan tangan. "Kalau gitu Naura sama Mommy sekarang, yuk?"

Naura mengeleng, memalingkan wajahnya. Hanna menatap nanar tingkah anaknya itu, tetapi tidak menyerah. Ia mencoba meraih tubuh Naura dalam gendongan Dimas, dan langsung ditahan oleh lelaki itu.

"Sebaiknya jangan memaksa," ujar Dimas datar.

Hanna menatap tajam Dimas yang menepis tangannya dari pinggang Naura. "Apa pedulimu, hah? Aku akan membawa anakku pergi dari sini seperti perintahmu semalam!"

Rahang Dimas tampak mengetat karena bentakan Hanna. Kedua tangannya memeluk erat Naura seakan enggan dipisahkan. Dan hal itu tampaknya membuat Naura merasa semakin nyaman hingga tetap bergeming. 

"Aku? Bukannya kamu sendiri yang mengatakan bahwa, Naura anakku?" Dimas berusaha mengontrol suaranya agar tidak membuat Naura ketakutan dan membuat keributan di sana.

Hanna mendengus kesal.

"Biarkan Naura sekolah di sini seperti keinginannya!" Dimas berlalu menuju ruangannya.

Bola mata cokelat Hanna membulat kaget, menyusul langkah Dimas. "Tidak bisa! Aku harus kembali ke kota, bersama Naura!"

Dimas menghentikan langkahnya dan tiba-tiba berbalik hingga Hanna yang kaget tidak sempat menghindar membuat mereka bertubrukan. Naura yang masih nyaman dalam posisinya tentu tidak mengetahui apa yang sedang terjadi pada kedua orang tuanya tersebut.

Untuk sesaat Hanna terpaku di tempatnya ketika matanya beradu pandang dengan mata hitam Dimas yang tidak seteduh biasanya. Debaran dalam dada tiba-tiba berpacu tidak menentu saat lelaki itu malah mendekatinya.

"Lalu untuk apa kamu datang dengan membawa Naura padaku kalau akhirnya kamu akan membawanya pergi lagi?" Dimas menjauhkan wajahnya, kembali bertatapan dengan Hanna yang tampak tegang. "Sekarang aku tidak akan membiarkanmu membawa Naura pergi!" lanjutnya kemudian berbalik dan melangkah pergi.

Hanna mengernyit dalam setelah tersadar dari keterpakuannya. Sejenak mencerna maksud ucapan Dimas membuatnya paham lalu kembali menyusul langkah laki-laki itu yang sudah masuk ke ruangannya.

Di dalam sana, Naura duduk di kursi tempat Dimas bekerja. Senyumnya mengembang ceria mendengar ucapan Abinya yang entah apa, tetapi hal itu tidak membuat Hanna mengurungkan niatnya. Ia mendekat, menarik tangan Dimas menjauhi Naura yang menatap bingung.

"Aku tidak akan pergi tanpa Naura!" ujar Hanna dengan suara rendah.

Dimas menatap Hanna datar, lalu beralih pada tangannya yang masih dipegang. Hal itu membuat Hanna salah tingkah, langsung melepaskan tangannya.

"Kalau begitu, kamu dan Naura tidak perlu pergi ke mana-mana," sahut Dimas acuh, berlalu kembali menghampiri Naura.

Sekali lagi, Hanna hanya bisa mematung karena ucapan Dimas. Semalam lelaki itu berkata seakan mengusirnya dan Naura agar segera pergi. Lalu sekarang, dia sendiri yang meminta mereka jangan pergi. Sungguh, Hanna tidak paham dengan apa yang ada dalam otak satu-satunya lelaki yang mampu menguasai hatinya menggantikan nama Malik.

0 comments:

Posting Komentar