❤ *Cinta*
*di Batas Cakrawala*
🌅 nomor 3
"Berjanjilah untuk kembali ke orang tuamu kalau aku sudah tiada."
Untuk kesekian kalinya, Hanna mengusap air mata yang tiada henti mengaliri pipi selama perjalanan dari bandara. Menangis tanpa suara saat mengingat kejadian satu bulan yang lalu hingga membuatnya memutuskan kembali. Kembali pada orang tua yang seakan membuangnya.
Taksi yang membawanya, perlahan memasuki kompleks perumahan elite tempat tujuannya. Banyak bagian yang berubah setelah bertahun-tahun meninggalkan tempat itu saat ia beranjak remaja. Hingga mata sembabnya menangkap bangunan mewah dan kokoh yang sudah berdiri hampir tiga puluh tahun lamanya.
Jantungnya berdegup keras saat taksi semakin mendekat, lalu masuk melewati pintu pagar yang dibuka satpam. Diusapnya sekali lagi pipi yang basah, kaca mata hitam yang sejak tadi diremas tangkainya dalam genggaman akhirnya ia gunakan. Tidak ada yang boleh melihat sisi lemahnya. Hannastasya Wirawan adalah wanita yang kuat!
"Terima kasih," ujarnya pada supir taksi seraya mengulurkan tangan, menyerahkan beberapa lembar uang pecahan ratusan ribu.
Jemarinya menyisir rambut cokelat sebahu, kaki jenjangnya melangkah masuk rumah saat dua orang asisten rumah tangga keluar guna membawakan barang-barangnya.
"Hanna?"
Hanna berbalik, mata cokelatnya bertemu tatap dengan mata tua wanita yang membawanya terlahir ke dunia. Wanita yang mewarisi segala bentuk fisik untuknya. Wanita paruh baya itu menatap Hanna tidak berkedip, antara kaget dan ... takjub? Itulah maminya, Ibu Rossaline.
"Iya, ini aku. Tidak lupakan, kalau masih punya anak perempuan?"
"Kamu ini! Tidak per—"
"Mami!"
Hanna tersenyum sinis melihat lelaki paruh baya yang beberapa kali memintanya pulang, menuruni tangga.
"Sudah, Mi. Hanna baru pulang. Biarkan dia istirahat dulu," ujar lelaki itu pada istrinya, lalu beralih pada Hanna. "Pergilah ke kamarmu dan istirahat, nanti siang kita bicara."
Hanna memutar bola matanya malas, melangkah dengan anggun ke arah tangga. "Aku hampir lupa, kamarku di sebelah mana?"
"Kamu tidak mungkin lupa Hanna. Tentu saja kamarmu di samping kamar Haris."
Hanna memejamkan mata sesaat tanpa menghentikan langkah, mendengar nama kakak laki-lakinya disebut. Kakak yang selalu mendapat perhatian lebih dari kedua orang tuanya. "Jadi anak kesayangan itu masih tinggal di sini?" lirihnya acuh, entah bisa didengar kedua orang tuanya di bawah sana atau tidak.
"Anak itu!"
"Sudah cukup!"
Hanna membanting pintu kamar hingga berdebum keras mendengar pertengkaran kedua orang tuanya. Punggungnya bersandar di balik pintu, tangannya melepas kaca mata hitam saat air mata kembali mengalir.
"Aku percaya kamu gadis yang kuat Hanna. Itu sebabnya kamu bisa bertahan selama ini."
Matanya mengerjapkan saat ucapan terakhir yang selalu menguatkannya terngiang di telinga. Malik, satu-satunya orang yang selalu ada untuknya.
*****
Dimas melangkah keluar rumah dengan perasaan tidak menentu. Ada Hanna dan Naura yang berputar mengisi hati dan pikirannya setelah pembicaraan singkat dengan ibunya tadi, tetapi ... egonya sebagai laki-laki dan suami yang ditinggalkan membuatnya mengesampingkan rasa penasarannya terhadap Hanna. Ia tidak ingin tahu dan peduli, biarlah kalau memang Hanna ingin kembali ke kota. Bukankah itu lebih baik?
"Abi ...!" Naura berlari dari arah pantai meninggalkan kakeknya yang menyusul dengan langkah perlahan. "Abi, lihat deh. Naula dapat kelang banyak ...."
Dimas mengerjap kaget, tanpa sadar turut memperhatikan apa yang ditunjukkan Naura padanya.
"Abi, kok di pantai ngga ada spongebob? Kakek ngga kenal spongebob tapi dapatnya patlik. Mungkin spongebob ada di dalam laut?" cerocos Naura polos, jemari mungil gadis kecil itu meletakkan kerang yang di dapatnya di lantai teras. Lalu menarik tangan Dimas agar ikut duduk.
Dimas menurut, tetapi tidak tahu apa yang harus dilakukan dan dikatakan untuk merespon Naura. Akhirnya, ia hanya diam mendengarkan celotehan si kecil itu.
"Catu, dua, tiga, empat, lima, enam ... belapa lagi, ya?" Dimas tetap diam dengan mata tidak lepas menatap wajah polos Naura yang ternyata begitu mirip dengan Hanna, hingga anak itu kembali melanjutkan, "Delapan, cembilan. Abi, abis cembilan belapa?"
"Sepuluh," jawab Dimas langsung.
Naura menyunggingkan senyum manis yang membuat Dimas terenyuh. Tangannya terulur begitu saja mengusap kepala Naura serta rambut panjang yang lembut.
Bagaimana bisa ia meragukan kebenaran Naura adalah anaknya? Wajah Naura memang sangat kental mewarisi wajah Hanna, tetapi rambut dan bola mata gadis kecil itu hitam pekat berbeda dengan Hanna yang cokelat. Dan itu lebih mirip dengannya.
"Abi, kelangnya ada icinya ini. Namanya apa?" Tidak tampak raut ketakutan Naura pada hewan kecil yang keluar dari cangkangnya tersebut. Dia mengambil hewan itu, menunjukkannya pada Dimas.
Dimas hanya tersenyum, lidahnya terasa kelu untuk menjawab. Diraihnya Naura dalam pelukan, tanpa bisa dicegah bibirnya mengecup pucuk kepala sang anak berkali-kali.
"Abi kenal spongebob, kan? Nanti kita cali, ya? Kakek ngga tau, ngga selu." Bibir kecil Naura mengerucut lucu. Tangannya mulai mengumpulkan hewan-hewan kecil yang keluar dari dalam kerang, memasukkannya ke dalam botol plastik sebagai wadahnya.
Dimas melirik ayahnya yang semakin mendekat dan tersenyum menatap Naura.
"Temani anakmu. Jangan sampai menangis lagi," lirih Pak Budi agar tidak kedengaran Naura.
"Kakek, Naula mau cali spongebob cama Abi ...."
"Iya, tapi nanti sore saja. Sekarang pantai sudah panas, nanti cucunya Kakek yang cantik ini kulitnya gosong," canda Pak Budi.
"Memang bica, Abi?"
Dimas mengangguk pelan, lalu berdiri tanpa melepaskan Naura dalam gendongannya. Pamit pada ayahnya, lalu membawa Naura ikut ke kantornya.
Sisi egoisnya tidak menginginkan Hanna kembali, tetapi hati kecilnya sebagai seorang ayah menginginkan Naura bersamanya. Entahlah ... Dimas tidak ingin memikirkan apapun untuk saat ini termasuk Hanna, walaupun jelas Hanna dan Naura tidak bisa dipisahkan.
*****
Makan siang di ruangan itu berlangsung hening, tidak ada seorangpun yang bersuara dari tiga manusia dewasa yang duduk di sana. Hanya denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring menandakan aktivitas mereka yang fokus hingga selesai.
"Ayo ikut Papi, kita bicara dulu." Pak Heru beranjak dari duduknya.
Hanna mengangkat wajah setelah menghabiskan makannya. Tanpa kata, wanita muda itu menuruti permintaan papinya. Mengikuti langkah lelaki paruh baya itu menuju bagian belakang rumah. Terdapat sebuah kolam renang yang di sisinya ada beberapa buah kursi, tempat favorit kedua orang tuanya bersantai. Hal itu masih diingat Hanna ketika papinya mendudukkan diri di salah satu kursi.
"Duduklah di sini."
Walau malas, Hanna menurut. Duduk di kursi samping papinya yang terpisahkan sebuah meja kecil.
"Apa yang membuatmu memutuskan untuk pulang?"
Hanna mengembuskan napas jengah mendengar pertanyaan itu. "Papi tidak suka aku pulang? Lalu apa maksudnya, berkali-kali meneleponku. Memintaku pulang?" sinisnya.
"Papi hanya tanya. Bulan lalu kamu bilang tidak ingin pul—"
"Intinya saja, Pi. Jangan basa basi, aku sangat lelah karena perjalanan. Bicaralah yang jelas!" sela Hanna kesal.
"Baiklah. Tahun depan usiamu sudah tiga puluh tahun. Papi memintamu kembali untuk—"
"Menjodohkanku?" Hanna kembali menyela ucapan papinya.
"Hanna ...."
"Katakan saja. Iya?" cecar Hanna tegas. Dan anggukan yang ditunjukkan papinya adalah jawaban. "Sudah kuduga ...."
"Papi sudah punya calon untukmu. Papi yakin, kamu pasti menyukainya."
Hanna mengangguk sinis. "Mungkin aku bisa menyukainya, tapi apakah dia bisa menyukaiku? Sedangkan orang tuaku saja tidak pernah menyukaiku ...."
"Hanna ...."
"Ya baiklah. Aku turuti kemauan Papi. Tapi hanya dengan satu syarat, aku dan dia saling suka. Kalau salah satu di antara kami tidak, berarti batal!" tegas Hanna.
Pak Heru mengangguk seraya mengembuskan napas pelan. "Baiklah."
"Dan satu hal lagi ...."
"Apa itu?"
"Jika batal, biarkan aku cari calon suami sendiri. Aku tidak ingin terlibat perjodohan konyol bertahun-tahun seperti anak kesayangan itu."
Hanna langsung berdiri tanpa peduli respon papinya, melangkah kembali dalam rumah. Melewati maminya yang baru saja menghampiri. Lalu langkah kakinya terhenti sebelum berpijak di tangga, sebuah suara menghentikan langkahnya.
"Hanna?"
Hanna menatap laki-laki itu, kakaknya yang muncul bersama seorang wanita berkerudung. Hanya sejenak, karena ia langsung melengos melanjutkan langkahnya.
"Dia Hanna, Mas?"
"Iya. Ah, sudah lupakan, ayo kita ketemu Mami ...."
Langkah kaki Hanna memelan saat tiba di kamar dan masih bisa mendengar percakapan pasangan tersebut. Ia tahu suara itu, wanita yang bersama kakaknya. Tidak salah lagi, dia Vania. Teman kecilnya, tapi ... dadanya bergemuruh kesal saat menyadari hubungan kakaknya dengan Vania. Kakak yang sejak kecil tidak pernah akur dengannya, terlebih karena perbedaan kasih sayang orang tua mereka.
*****
Bulir bening tidak berhenti membasahi pipinya. Hanna menundudukan diri di tempat tidur dalam kamar, menangis mengingat perkataan Dimas tadi pada ibunya. Sungguh, lelaki itu dari dulu tidak pernah mengharapkannya. Kalau saja tidak ada Naura, Hanna tidak akan sudi bertemu Dimas lagi.
Pintu kamar diketuk dari luar tidak menghentikan tangisan Hanna. Berganti dengan derit pintu yang dibuka, muncul Bik Minah yang masuk dan menutup pintu. Tanpa ragu, wanita paruh baya itu duduk di samping Hanna, mengusap bahunya lembut.
"Maafkan Dimas. Jangan dengarkan kata-katanya tadi ...."
"Apa kali ini aku salah lagi, Bu?"
Bik Minah memeluk bahu Hanna, menenangkannya yang kembali menangis. "Tidak, kamu ke sini demi Naura dan itu tidak salah."
"Apa saja yang Vania ceritakan tentang aku dan Naura?" tanya Hanna datar.
Bik Minah menghela napas pelan. "Setahun yang lalu tiba-tiba Vania menghubungi Ibu tanpa sepengetahuan Pak Haris. Dia bilang kalau Bapak dan Ibu sudah punya cucu perempuan, namanya Naura yang terpaut satu tahun sama Hafiz."
"Vania tidak cerita tentang keadaanku dulu?" Hanna menatap Bik Minah dengan air mata yang terus mengaliri pipinya.
Bik Minah menggeleng pelan. "Tidak ada. Vania hanya bilang, apa yang kamu lalui sejak meninggalkan Dimas sangat berat. Kemarin Ibu dan Bapak sengaja pergi dan membiarkan Dimas sendirian di rumah karena tahu kamu akan datang bersama Naura. Kami pikir semuanya berjalan lancar tapi ternyata ...," Bik Minah kembali menghela napas pelan, "Kamu mau, kan cerita sama Ibu?"
"Apa itu ide yang bagus? Cerita sama Ibu?"
"Tentu. Biar nanti Ibu yang bicara sama Dimas ...."
Hanna menggeleng. "Ngga, Bu. Percuma. Dulu Dimas menikahiku karena terpaksa. Dan sekarang ngga ada gunanya dia tahu apa yang aku lalui."
"Hanna ...."
Hanna berdiri lalu melangkah keluar kamar tanpa peduli suara Bik Minah yang menyusulnya.
"Naura!" Hanna mencari Naura di teras rumah, menatap ke arah pantai yang sudah kosong. Lalu pandangannya beralih ke arah kantor Dimas.
Di sana terdapat sebuah ruangan untuk PAUD yang sudah cukup banyak siswanya. Hanna bisa melihat Naura berada dalam gendongan Dimas yang berdiri di teras kantor. Gadis kecil itu tampak senang melihat anak-anak seusianya yang sedang bernyanyi di dalam kelas.
Hanna mengernyit heran, tidak yakin dengan apa yang tertangkap indera penglihatannya. Rasanya tidak mungkin Dimas menerima Naura secepat itu, tetapi bagaimana kalau iya? Hanna menggeleng keras, lalu melangkah cepat menghampiri Dimas dan Naura. Secepat itu pula langkah kakinya terhenti saat terdengar Naura berseru senang.
"Mommy! Naula mau cekolah di cini cama Abi!"
Hanna mematung di tempatnya. Tidak tahu harus memberikan merespon apa atas ucapan Naura tersebut. Apa yang sudah dilakukan Dimas sampai Naura berkata seperti itu?
0 comments:
Posting Komentar