CINTA DI BATAS CAKRAWALA 2

❤ *CINTA*
*di Batas Cakrawala*
🌅 nomor 2


"Suatu saat nanti, kamu harus menikah dengannya yang bisa membuatmu jatuh cinta." Suara lelaki itu terdengar melemah. Punggung lebarnya bersandar di kepala ranjang, menatap sendu ke arah Hanna yang duduk tidak jauh di sisinya.

Wanita muda berambut cokelat sebahu itu mengembuskan napas kasar seraya menjawab, "Aku tidak yakin, dan ... aku tidak akan menikah dengan siapapun!"

"Termasuk aku?"

"Berhentilah bicara tentang pernikahan, Malik!"

"Kenapa? Bagaimana kalau aku ingin menikah? Aku harus mencari wanita lain? Begitu?"

Hanna menatap tajam lelaki itu. "Aku mengenalmu, kamu ngga akan tinggalin aku. Apalagi hanya untuk menikah dengan wanita lain! Lagipula untuk apa menikah, kalau peluang untuk ditinggalkan tetap saja ada."

Lelaki itu mengangguk pelan, merengkuh Hanna dalam pelukan. "Ya, menikah saja bisa berpisah. Apalagi hidup tanpa ikatan?" Napasnya yang berat menyapu gendang telinga Hanna yang masih bertahan dalam pelukan.

"Aku memang tidak akan meninggalkanmu untuk wanita lain. Tapi aku tidak bisa berjanji untuk tetap bersamamu jika sudah waktunya untuk pergi."

"Aku akan membencimu kalau kamu ngga bertahan!" Suara Hanna melemah dalam isak tangis yang tidak sanggup ditahan.

"Berjanjilah. Kalau aku pergi, kembalilah pada orang tuamu."

Hanna menggeleng tanpa menghentikan tangis.

"Aku akan bahagia kalau kamu berbaikan dengan mereka ...."

"Ngga!"

"Dan menikahlah dengan orang yang kamu cintai ...."

"Ngga Malik! Ngga ada yang mencintaiku! Kamu tahu itu!"

"Hanna ...."

"Please ... biarkan seperti ini saja ...."

*****

Dimas melangkah masuk dalam rumah usai salat isya' di masjid. Mengusap rambut tebalnya yang setengah basah, menghela napas pelan seraya terus melangkah menuju kamarnya. Tiba-tiba langkagnya terhenti saat samar terdengar olehnya, suara gadis kecil yang tadi memanggilnya Abi dari kamar tamu samping kamarnya. Pintu kamar yang tidak tertutup rapat membuatnya bisa mendengar lebih jelas lagi.

"Nanti Abi tidul di cini juga?"

Dimas memejamkan mata, merapatkan punggung lebarnya di dinding. Menghela napas berat, terus mendengarkan.

"Mommy! Abi tidul di cinikan?" Gadis kecil itu kembali mengulangi pertanyaannya.

"Ngga sayang. Abi punya kamar sendiri."

"Tapi Abang Hafiz cama Adek Ila bobok cama mama papanya. Kenapa Naula ngga boleh bobok cama Abi cama Mommy?"

Matanya mengerjap pelan, tanpa terasa setetes bulir bening mengaliri pipinya. Seperti ada beban berat menghantam di dadanya saat mengetahui telah memiliki anak dari seorang wanita yang ... masih bisakah di sebut istri? Sementara wanita itu pergi tanpa alasan dan kabar lima tahun lamanya?

"Naura boboknya sama Mommy aja, ya? Kan biasanya juga gitu." Dimas tertegun mendengar suara Hanna. Suara yang membawanya pada masalalu ....

"Abi ngga cayang Naula ya, Mi?" Lagi, suara kecil anaknya itu membuyarkan lamunan Dimas. Lamunan sebelum kehadiran si kecil itu beberapa bulan kemudian yang tidak pernah ia tahu sejak lima tahun lalu hingga tadi sore saat mereka datang.

"Hei, kata siapa?"

"Abi malah kalena Naula pelgi cama Mommy lama tinggalin Abi?"

"Naura lanjut makan lagi, ya? Ingat kata Mama Nia, kan?"

"Mama bilang, Naula halus makan yang banyak. Nanti Naula kalau cudah besar mau kayak Mama jadi doktel."

Dimas mengusap wajahnya kasar, meninggalkan tempatnya berdiri tadi. Masuk dalam kamar dengan perasaan tidak menentu. Merebahkan badan di tempat tidur yang menjadi saksi hidupnya. Tempat di mana ia pernah merasakan cinta yang tulus sebelum akhirnya tinggalkan tanpa alasan.

Antara percaya dan tidak. Ada rasa senang dan sedih yang sulit untuk diungkapkan. Mengingat apa yang telah dikatakannya pada Hanna tadi, Dimas sudah tidak bisa mundur lagi. Walaupun memang Naura adalah anak kandungnya, tetapi lebih baik Naura tidak tinggal bersamanya. Karena Naura adalah Hanna, Hanna adalah Naura. Mereka adalah Ibu dan anak yang tentu tidak bisa dipisahkan.

*****

"Ngga mau, Mi ... Naula mau cama Abi!"

Hanna menghela napas lelah. Sepanjang malam tidurnya tidak nyenyak. Kebiasaan Naura yang mengigau saat tidur, apalagi yang digumamkan tanpa sadar adalah tentang Abi. Hal itu membuat Hanna selalu memikirkannya. Memikirkan lelaki yang tidak pernah mengharapkannya, apalagi Naura.

Saat Dimas pergi ke masjid untuk salat subuh, Hanna membawa Naura yang masih enggan membuka mata ke kamar mandi. Hanya untuk cuci muka dan gosok gigi, mengingat betapa dinginnya udara pagi di desa sehingga tidak mungkin anaknya itu untuk mandi.

"Naura ganti baju dulu, ya?" bujuk Hanna lagi. Naura yang masih malas terus meminta bertemu Abinya membuat Hanna ingin sekali menangis.

Kenapa ia begitu bodoh? Kenapa tidak belajar dari masalalu? Kenapa ia begitu percaya diri, berpikir bahwa Dimas akan berubah saat melihat Naura? Dan sekarang, ia sendiri yang menanggung akibatnya. Naura telah terikat secara batin dengan orang yang telah membuatnya hadir di dunia, saat digendong di pertemuan pertama. Akan sulit untuk membawa anaknya itu pergi.

"Abi mana? Naula mau cama Abi!" Naura akhirnya menangis karena terus dipaksa untuk memakai baju. Keinginan gadis kecil itu hanya sederhana, bertemu Abinya. Anak sekecil itu tidak tahu kalau permintaannya cukup berat bagi kedua orang tuanya yang tengah bermasalah.

"Naura ...." 

Naura langsung turun dari tempat tidur. Hanya memakai pakaian dalam, bocah berusia empat tahun lebih itu berlari keluar kamar yang tidak terkunci pintunya.

"Abi ...! Huaaaa!" Teriakan Naura di luar sana membuat Hanna tidak kuasa menahan tangis. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangan, bahunya bergetar tanpa ada suara.

Hingga beberapa saat, tidak terdengar teriakan dan tangisan Naura lagi. Begitupun dengan Hanna. Wanita itu mengusap cepat wajahnya, cemas dan penasaran siapa yang sudah menenangkan anaknya itu. Tidak mungkin Dimas, pikirnya.

Hanna memakai kerudung yang kemarin ia kenakan, berjalan cepat keluar kamar. Langkahnya memelan saat tiba di pintu penghubung menuju ruang tamu. Melihat Naura duduk di pangkuan seorang wanita paruh baya yang tentu saja adalah nenek dari anaknya itu. Naura terlihat sibuk bercerita pada lelaki paruh baya yang turut ada di sana. 

Ada rasa malu yang menyentil hati Hanna. Malu kepada sepasang orang tua Dimas yang dulu memperlakukannya sangat baik, walaupun perlakuan kedua orang tuanya sendiri sangat buruk. Hanna memilih mundur lalu berbalik, tetapi langkahnya langsung terhenti saat bertemu Dimas yang berdiri kaku di depan kamarnya.

*****

Lewat dari jam enam pagi, Dimas baru kembali ke rumah. Ia sengaja lebih lama di masjid, berharap tidak akan bertemu Hanna dan Naura lagi. Tidak ingin hatinya goyah karena mimpi tentang keluarga bahagia yang sepanjang malam mengusik tidurnya. 

Sayang, apa yang diharapkannya tidak terjadi. Mobil Hanna masih terparkir di depan rumah. Lalu suara kecil itu terus menggumamkan Abi membuat Dimas ingin menyerah. Menyerah pada egonya untuk memeluk Naura. Sekuat tenaga ia bertahan masuk kamar. Mengunci diri di sana, hingga terdengar teriakan dan tangisan Naura membuat Dimas hanya bisa menjambak rambutnya frustrasi.

Lama bergelut dengan batinnya, Dimas memilih keluar kamar saat tidak terdengar suara tangisan kecil itu lagi. Dan sosok Hanna yang pertama tertanggap sepasang mata hitamnya, membuat Dimas hanya bisa mematung di depan kamar.

"Hanna ...."

Dimas terdiam, begitupun Hanna saat suara ibunya muncul dari ruang tamu bersama Naura dalam gendongan.

Raut wajah Hanna terlihat pias, tidak luput dari pandangan mata Dimas. Lalu beralih pada ibunya yang kembali melanjutkan.

"Bawa Naura untuk ganti baju. Setelah itu Ibu kita sarapan, lalu Ibu mau bicara!"

"I-iya, Bu," gumam Hanna, mengambil Naura dan secepatnya masuk ke dalam kamar.

"Dimas?"

Dimas mengerjap kaget, memutus tatapannya dari Hanna dan Naura yang sudah menghilang di balik pintu kamar.

"Iya, Bu."

Ibunya-yang akrab disapa Bik Minah oleh orang yang mengenalnya-tampak menghela napas pelan. Mendekati Dimas, mengusap bahu kokohnya. "Hanna sudah kembali. Kamu harus bicara. Kasihan Naura ...."

*****

Sarapan pagi di rumah itu tampak ramai tidak seperti biasa karena diisi dengan celotehan Naura. Gadis kecil itu menjadi pusat perhatian orang dewasa di sekitarnya. Tidak ada raut sedih seperti sebelumnya. Makan bersama di tengah kedua orang tuanya untuk pertama kali, serta bertemu kakek dan neneknya membuat Naura jadi ceria dan semangat. Bahkan ia mau makan sendiri, walaupun butir nasi yang disuapkan ke mulutnya cukup berantakan. Tanpa tahu akan kecanggungan orang tua yang menatapnya.

"Naura mau ikut Kakek? Kita cari kerang di pantai." Pak Budi buka suara, mengajak cucunya tersebut. Agar istrinya bisa bicara dengan anak serta menantunya.

"Kelang itu apa?"

"Kerang itu binatang lucu yang ada di pantai ...."

"Di pantai ada spongebob juga?" Pertanyaan polos Naura mampu mengukirkan senyum orang-orang di sekitarnya.

"Iya. Nanti kita cari."

"Yeii, ikut!" Naura merentangkan kedua tangannya, meminta digendong.

"Naura jalan sendiri saja, kasihan Kakek," ujar Hanna.

Naura patuh pada ucapan mommynya, turun dari kursi lalu meraih tangan sang kakek. Keluar dari rumah menuju pantai.

"Sekarang kalian harus bicara," ujar Bik Minah setelah cucunya sudah tidak terlihat.

Hening .... Hanna dan Dimas sama-sama terdiam. Tidak ada yang berniat buka suara.

Bik Minah menghela napas pelan, lalu kembali bicara, "Kenapa Naura sampai menangis seperti tadi?" Pertanyaan itu ditujukan untuk Hanna, guna memancing pembicaraan.

"Dia-Naura, hanya ingin ketemu Abinya," lirih Hanna sambil menunduk.

"Lalu kenapa tidak dipertemukan? Bukannya karena itu kamu sendiri yang membawanya ke sini?"

Hanna mengangkat wajahnya, kaget menatap wanita paruh baya yang dikenalnya lembut dan penuh perhatian. Penasaran, hal itu juga terlihat jelas dari raut wajah Dimas.

"Dari mana Ibu tahu tentang itu?"

"Vania."

Jawaban itu membuat Hanna dan Dimas bersamaan menghela napas pelan, tetapi untuk alasan yang berbeda.

"Sejak kapan Ibu tahu? Dan ... apa itu sudah tahu tentang Naura juga dari 'Vania'?" Hanna menekankan pertanyaannya saat mengucapkan nama Vania, bukan pada ibu mertua lebih tepatnya pada Dimas yang memasang tampang datar.

"Baru satu tahun terakhir ini."

Jawaban Ibunya membuat Dimas kaget. "Kenapa Ibu tidak pernah cerita?"

"Kalau Ibu bilang? Apa yang akan kamu lakukan?" Pertanyaan tersebut membungkam Dimas. Bik Minah kembali melanjutkan. "Bapak dan Ibu sungguh malu dengan Pak Haris setelah mengetahui adanya Naura. Karena selama ini, Pak Haris yang bertanggungjawab terhadap Naura."

Dimas tertunduk lesu, mendengar penjelasan Ibunya. Sedangkah Hanna mengusap kasar air mata yang sudah mengalir di pipinya, lalu berdiri.

"Aku rasa tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Aku akan kembali ke kota dengan Naura, pagi ini juga!" ujar Hanna mantap.

"Hanna, kenapa begitu? Kamu tidak lihat bagaimana keadaan Naura tadi?" Bik Minah mendekati Hanna, berusaha membujuk.

"Aku tahu, tapi aku sadar. Kesalahan terbesar dalam hidupku adalah datang ke desa ini. Dan aku kembali melakukan kesalahan itu dengan datang ke sini lagi, kali membawa Naura. Karena sesungguhnya, tempat kami bukan di sini!" Ucapan Hanna tentu saja menyindir apa yang telah dikatakan Dimas semalam.

"Hanna ...."

Hanna menulikan pendengarannya atas panggilan Bik Minah, ia berjalan begitu saja ke kamar yang ditempati semalam.

"Dimas! Kenapa diam saja?!"

Dimas menghela napas pelan, seakan pasrah pada keadaannya. "Apa yang harus aku lakukan, Bu? Itu pilihannya. Dia yang datang, dan dia juga yang pergi. Sekarang dia mengulanginya lagi, biarkan saja ...."

"Apa? Lalu Naura?" Dimas tetap bergeming hingga Ibunya kembali melanjutkan, "Pokoknya Ibu tidak akan membiarkan Hanna pergi dari sini apalagi membawa Naura!"

"Ibu tahu apa yang terjadi padaku sejak dia pergi, kan? Naura bukan alasan yang tepat untuk menahannya tetap di sini!"

"Kamu tidak pernah tahu apa yang terjadi pada Hanna selama ini, jangan egois hanya memikirkan diri sendiri! Ibu tidak mau Naura jadi korban keegoisan kamu."

Dimas hanya mengembuskan napas lelah, menatap sendu ibunya yang tidak kuasa menahan tangis. Memangnya apa yang terjadi pada Hanna? Lima tahun wanita itu memilih pergi meninggalkannya, tentu saja dia kembali pada keluarganya. Dan tentu, dia pasti baik-baik saja seperti yang terlihat. Tapi bagaimana dengan Naura?

0 comments:

Posting Komentar