❤ *CINTA*
*di Batas Cakrawala*
🌅 nomor - 11 (Kilasan Masalalu)
Setelah kemarin Hanna menerima lamarannya yang jauh dari kata romantis dan beda dari pada umumnya, Dimas segera mengurus segala sesuatu yang dibutuhkan sebagai syarat pernikahan yang sah. Walaupun harus menahan diri dari emosi saat dicecar pertanyaan oleh perangkat desa perihal pernikahannya yang mendadak serta lebam di wajahnya. Akhirnya, selepas dzuhur hari itu, mobil yang dikendarainya telah melaju meninggalkan desa.
Dimas duduk di balik kemudi, sementara Hanna duduk di sampingnya. Kedua orang tuanya duduk di belakang tampak tenang, tetapi entah dengan perasaan mereka. Perjalanan darat dilalui selama tiga jam, tidak ada satupun dari empat orang di dalam sana yang membuka pembicaraan. Semua bungkam, tampak sibuk dengan pikiran masing-masing.
Jam empat sore, mobilnya tiba di pelabuhan. Antrian tidak terlalu padat sehingga langsung mengantri untuk keberangkatan selanjutnya. Mata hitam Dimas tidak lepas memandangi Hanna yang memilih untuk berdiri di pinggir dek atas dari pada duduk di kursi penumpang saat kapal mulai meninggalkan pelabuhan menuju pulau seberang. Terpaan angin yang cukup kencang membuatnya tetap bergeming menatap hamparan birunya lautan.
"Dimas, sana hampiri Nak Hanna. Jangan biarkan dia berdiri saja di sana, nanti masuk angin dan kelelahan," ujar Bik Minah memutus tatapan Dimas yang entah berapa lama menatap wanita berbalut sweeter biru.
"Ya?" sahut Dimas kaget. Lalu arah tatapan mata sang ibu, membuatnya paham. "Bu ...."
Bik Minah menggeleng. "Dia calon istrimu. Sikapmu akan menentukan sikapnya, jadi bersikap baiklah."
Dimas mengembuskan napas pelan dengan mata kembali memandangi Hanna yang masih bergeming di sana. Ia pasrah menuruti apa kata ibunya, lalu berdiri walau masih ragu. Sekali lagi menatap Hanna, ia kemudian mendekat.
"Masih lama baru sampai. Sebaiknya kamu duduklah di sana," ujar Dimas datar.
Hanna menoleh, raut wajahnya tampak heran, tetapi tidak ada satupun kata yang terucap darinya. Seakan tidak peduli Dimas yang menunggu responnya, Hanna membuang pandangan kembali pada apa yang ada di hadapannya.
Dimas menghela napas jengah. "Duduklah, angin sore tidak baik untuk kesehatan!"
"Kenapa sepeduli itu?" sahut Hanna sinis.
"Bisakah kamu bersikap lebih lembut?" Dimas menahan suaranya agar tetap datar.
"Lembut seperti ini?" Hanna menampilkan senyum manis yang dibuat-buat.
"Turuti saja kataku, dan duduklah di sana bersama Ibu dan Ayahku!" tegas Dimas.
Senyuman Hanna berubah melihat ketegasan Dimas. Dia mendekat membuat lelaki itu mundur satu langkah.
"Jangan coba-coba mengaturku!"
"Aku calon suamimu!"
"Calon suami terpaksa?"
"Ya, apapun itu. Jadi belajarlah dari sekarang! Aku tidak suka wanita yang keras kepala!" Tatapannya beradu dengan mata cokelat Hanna yang terang hingga akhirnya wanita itu sendiri yang mengalihkan tatapannya. Lalu tanpa kata, meninggalkan Dimas dan memilih duduk bersama kedua orang tua lelaki itu.
*****
Adzan magrib telah berkumandang beberapa menit ketika kapal berlabuh. Para penumpang yang telah bersiap-siap, langsung turun dan keluar serta menuju kendaraan masing-masing di dek bawah. Hal itu pula dilakukan Dimas bersama kedua orang tuanya dan Hanna.
"Aku turun di depan saja. Biar aku pulang sendiri ke rumah naik taksi," ujar Hanna ketika Dimas mulai menjalankan mobilnya keluar kapal.
Dimas menoleh kaget, ingin menolak tetapi ibunya telah lebih dulu menyatakan penolakannya.
"Jangan Nak Hanna. Kamu tanggung jawabnya Dimas. Lagipula kami belum tahu rumahmu. Jadi nanti setelah mengantar Bapak dan Ibu di penginapan, Dimas akan mengantarkanmu sampai rumah."
"Tidak perlu—"
"Kita salat magrib dulu!" potong Dimas yang telah menghentikan mobil di depan sebuah masjid.
Bik Minah dan Pak Budi telah keluar lebih dahulu untuk segera melaksakan kewajiban mereka sebagai seorang muslim. Meninggalkan Hanna dan Dimas yang belum juga beranjak dari dalam mobil.
"Kamu tidak salat?" Dimas menyimpan ponselnya di saku celana.
"Harus aku jelaskan kalau aku tidak hamil karena halangan?" Ucapan Hanna membuat Dimas bungkam. Kata-katanya sungguh sulit untuk dilawan. Butuh ketegasan dan kesabaran ekstra untuk menjinakkan seorang Hanna yang keras kepala.
"Baiklah. Tapi setidaknya keluarlah dan tunggu Ibu di teras bagian akhwat." Dimas membuka pintu mobilnya.
"Aku ingin di sini."
"Aku tidak akan membiarkanmu kabur!" Dimas keluar, memutari mobilnya lalu membuka pintu untuk Hanna dan menarik tangannya. "Ayo keluar!"
"Kenapa memaksaku!" Hanna berusaha melepaskan tangannya, tetapi Dimas bergeming. Hingga akhirnya pasrah ketika ditarik menuju teras masjid. "Apa kamu tidak malu menarikku sekasar ini?"
"Aku tidak mengasarimu. Jadi tidak usah berlebihan. Duduklah di sini sampai Ibu keluar." Dengan sedikit paksaan, Dimas memegang kedua bahu Hanna dan mendudukkannya.
"Dasar tukang paksa!"
Tidak mempedulikan umpatan Hanna, Dimas berbalik lalu melangkah ke tempat wudhu khusus ikhwan.
*****
Beberapa kali Hanna menguap lebar. Hal tersebut tidak luput dari perhatian Dimas yang kembali melajukan mobilnya meninggalkan sebuah penginapan menuju kediaman orang tua Hanna.
"Seharusnya aku sudah sampai rumah dari tadi! Buang-buang waktu saja menunggu salatmu yang kelamaan!" gerutu Hanna.
"Salat itu kewajiban sebagai seorang muslim!" sahut Dimas datar, seolah tidak peduli dengan gerutuan Hanna yang hanya memancing emosinya.
"Ck, rajin salat tapi nongkrong di bar dan mabuk?" cibir Hanna.
Dimas mencengkram kuat stir mobil, meredam emosinya. "Apapun kesalahan yang telah kita lakukan, tetap saja tidak boleh meninggalkan kewajiban kita sebagai seorang muslim yaitu salat. Malam itu aku khilaf, jadi berhentilah mengungkitnya!" ujarnya dingin.
Hanna mendengus kasar, membuang pandangan keluar. Hening, ucapan tegas Dimas cukup jitu membungkamnya.
"Sekarang ke arah mana?" Dimas buka suara setelah mobilnya berhenti di persimpangan.
"Aku turun di sini saja!" Tangan Hanna telah menyentuh sabuk pengaman, tetapi ditepis Dimas cepat.
"Bukankah kamu mengantuk? Dan kamu ingin pulang sendiri sementara aku tidak tahu rumah orang tuamu. Lalu bagaimana aku membawa orang tuaku besok? Sebenarnya apa rencanamu?!"
Hanna mengembuskan napas kasar. "Aku tidak ingin menikah!"
"Apa!" Dimas menoleh kaget.
"Masih ada waktu untuk membatalkan semuanya. Biarkan aku turun di sini dan kamu tidak perlu mengantarku. Jangan pedulikan ancaman Kakakku, aku akan membereskannya. Dan kita tidak perlu bertemu lagi!"
Mata hitamnya membulat tajam, emosi menatap Hanna. "Berhentilah mempermainkanku! Aku sudah mengurus semuanya, dan tidak akan mundur lagi!"
"Kamu masih takut ancaman Kakakku?" sinis Hanna meremehkan.
"Jika bukan karena Ibuku, aku tidak masalah kalau harus menghadapi tuntutan dari Kakakmu!" Dimas masih bergeming dengan tatapan tajamnya.
"Brengsek!" umpat Hanna.
Tatapan Dimas berubah dingin seolah tidak perduli umpatan kasar Hanna. "Sekarang katakan saja ke arah mana?"
"Lurus saja, perumahannya sudah terlihat!" jawab Hanna yang telah lelah berdebat.
Tanpa menyahut, Dimas kembali melajukan mobilnya sesuai arahan. Tampak kompleks perumahan mewah yang asing baginya. Jantungnya berdegup kencang saat memacu kendaraannya setelah melewati gerbang utama dengan penjagaan ketat. Lalu kembali mengikuti arahan Hanna berbelok ke salah satu blok, hingga berhenti sejenak di depan sebuah rumah mewah bergaya mediterania yang dikelilingi pagar beton setinggi kurang lebih tiga meter.
"Aku turun di sini saja—"
"Tidak! Aku antar sampai dalam." Tolak Dimas, kembali menjalankan mobil melewati pintu pagar yang dijaga satpam, lalu berhenti di depan teras rumah.
Hanna keluar dari mobil, lalu menyuruh satpam yang berjaga untuk membawakan kopernya di jok belakang. Dia kembali pada Dimas dan berkata, "Pulanglah, dan kembalilah besok bersama Bapak dan Ibumu."
Dimas diam sejenak, ada keraguan dalam hatinya untuk segera meninggalkan kediaman tersebut, tetapi melihat Hanna yang bersedekap dengan dagu terangkat menatapnya, ia memutuskan menghidupkan kembali mesin mobil kemudian melaju perlahan tanpa kata.
Sebelum keluar dari pintu pagar, mobilnya berhenti sejenak. Terlihat jelas dari kaca spion, Hanna dihampiri seorang lelaki paruh baya. Dimas memperhatikan dengan seksama, dan selanjutnya yang terlihat membuatnya tersentak saat lelaki itu menampar Hanna.
Tangannya mencengkram kuat stir mobil, perasaannya campur aduk. Hati kecilnya menginginkan untuk keluar dan menghentikan kekerasan itu, tetapi egonya menolak.
"Silakan, Mas." Suara satpam yang telah kembali membukakan pintu pagar mengagetkan Dimas. Ia bergeming sejenak, hingga sosok Hanna masuk dalam rumah diikuti lelaki paruh baya yang tampak murka dan tidak terlihat.
"Apa mereka memang keluarga yang suka kekerasan?" gumam Dimas menggeleng, lalu memacu kendaraannya dengan perasaan cemas yang tidak terjelaskan.
*****
Tatapan angkuh Hanna berubah datar saat mobil Dimas berbalik untuk keluar. Ia juga berbalik, tetapi belum sempat melangkahkan kaki masuk rumah karena kaget akan sosok papinya yang berdiri tegak di depan pintu. Mata hitam lelaki paruh baya itu mendelik tajam. Ia berusaha untuk tidak peduli, melangkah tapi langsung dihentikan.
"Laki-laki brengsek itu yang mengantarmu?" ujar Pak Heru dingin.
"Ya," sahut Hanna malas.
"Anak bodoh!" Satu tamparan keras mengiringi umpatan yang diucapkan Pak Heru.
Hanna terhuyung dari posisinya karena kaget. Tamparan tangan besar papinya dengan kekuatan yang masih stabil terasa perih di pipi mulusnya yang putih hingga berubah memerah.
"Ini alasan Aryan memutuskanmu?!"
Hanna membalas tatapan papinya tajam, tidak terima terus disalahkan. "Kenapa terus menyalahkanku? Semua ini terjadi juga karena Aryan! Aku tidak akan mabuk kalau dia tidak masuk ke dalam hidupku dengan kedok perjodohan itu!"
"Apa alasanmu itu bisa membenarkan kelakuanmu? Mabuk-mabukan lalu tidur dengan laki-laki sembarang? Padahal Papi akan mengenalkanmu dengan seorang rekan Kakakmu."
"Papi egois! Selalu melakukan semuanya tanpa memikirkan perasaanku, dan kini menyalahkanku!" pekik Hanna kesal, berusaha menahan tangis lalu melangkah masuk dalam rumah.
"Kamu yang keras kepala! Anak sepertimu seharusnya tidak perlu dilahirkan! Bisanya cuma bikin malu!"
Langkah Hanna terhenti sebelum menapaki anak tangga. Ucapan papinya berdengung di telinga. Tubuhnya gemetar mendengar sebuah kenyataan yang baru ia ketahui hampir tiga puluh tahun hidupnya.
"Ap-pa?" lirih Hanna dengan bibir bergetar, matanya tertumbuk pada sosok maminya yang baru keluar dari kamarnya di lantai bawah. Mata cokelat wanita paruh baya itu meredup, tidak sama seperti sebelumnya saat ia baru tiba.
"Jadi begitu? Aku ini anak yang tidak kalian harapkan?" Hanna menatap kosong ke segala arah, senyum sinis tersungging di bibirnya, "Karena aku sebenarnya tidak diharapkan, Papi tidak perlu mencarikan laki-laki yang baik untukku. Cukup nikahkan aku dengan Dimas saja, setelah itu tanggung jawab Papi selesai!"
Hanna langsung berbalik, tidak ingin mendengar kata menyakitkan dari papinya ataupun kenyataan pahit lainnya lagi. Dirinya yang sempat labil tadi dan berpikir untuk membatalkan pernikahan dengan Dimas, kini memantapkan niatnya. Masa bodoh dengan tidak ada cinta di antara mereka!
*****
Tepat jam sembilan pagi, Dimas beserta kedua orang tuanya telah berada di kediaman orang tua Hanna. Lelaki itu tampak cemas karena tidak ada satupun anggota keluarga Wirawan yang keluar menemuinya setelah setengah jam berlalu. Hingga muncul Vania bersama bayinya dari lantai atas.
"Assalamu'alaikum. Bik, Pak," sapa Vania yang langsung menghampiri Bik Minah dan Pak Budi serta mencium punggung tangan mereka. "Maaf lama, nanti Mas Haris akan turun," ujarnya dengan raut wajah tampak menyesal.
Dimas mengernyit heran, tetapi tidak mengatakan apapun. Batinnya hanya bertanya-tanya tentang keluarga Wirawan yang aneh. Lalu pikirannya teralihkan saat Haris terlihat turun dari lantai atas, kemudian menghampirinya.
"Orang tuaku memutuskan pernikahan kalian nanti sore. Sekarang serahkan semua berkasmu, aku yang akan mengurus dan menikahkan kalian nanti!"
Dimas terbelalak kaget mendengar penjelasan Haris. "Kenapa begitu? Aku bersama kedua orang tuaku datang baik-baik, kenapa begini responnya?" ujarnya tidak terima.
"Ikuti saja kemauan keluargaku. Di sini pihak kami yang dirugikan yaitu adikku. Jadi kami tidak terima segala bentuk protes!"
Dimas mengembuskan napas kesal. Terasa usapan tangan yang mengeriput ibunya di bahunya sedikit meredakan emosinya.
"Sudah, Nak. Turuti saja," lirih Bik Minah terdengar pasrah.
"Baiklah," sahut Dimas, dengan tidak ikhlas menyerahkan semua berkasnya.
Tanpa mengatakan apapun, Haris beranjak keluar diikuti Vania. Hanya sebentar hingga terdengar deru mobil yang menjauh, lalu wanita itu kembali bersama bayinya.
"Apa tidak ada orang di sini? Di mana Hanna?" tanya Dimas menatap Vania jengah.
"Hanna ada di kamarnya dan ... Mami Papi sedang ada acara. Tapi nanti sore mereka tetap ada di sini." Vania mendekati Bik Minah yang menatapnya sendu. "Maaf, Bik."
"Tidak apa. Tenang saja, bukan salahmu," ujar Bik Minah berusaha tegar.
Dimas menghela napas dan mengembuskannya berulang kali, meredakan emosinya karena merasa dipermainkan. Sungguh keluarga kaya yang tidak bisa menghargai orang lain. Jika saja tidak ada kedua orang tua bersamanya, mungkin lelaki itu akan memberontak, tetapi yang bisa ia lakukan hanya bersabar, sabar sampai hari itu usai tanpa masalah.
*****
Hari itu setelah ashar, tepatnya jam empat sore, akad nikah dadakan tersebut dilangsungkan dikediaman keluarga Wirawan. Tidak ada gaun mewah, tidak ada tamu undangan. Yang ada hanya keluarga inti yaitu kedua orang tua Hanna, kedua orang tua Dimas serta Haris dan Vania serta penghulu dari KUA serta para saksi.
"Saya terima nikah dan kawinnya Hannastasia Wirawan Binti Heru Wirawan dengan mas kawin tersebut tunai!"
Dari kamarnya, Hanna bisa mendengarkan suara Haris dan dibalas dengan lantang oleh Dimas yang menggumamkan namanya dalam satu tarikan napas menandakan dirinya sah menjadi istri lelaki itu. Duduk di ranjangnya sendirian dalam balutan kebaya putih sederhana, Hanna menunduk saat bulir bening mengaliri pipinya tanpa bisa ditahan.
Pikirannya berkelana kembali saat beberapa bulan lalu, di saat Malik masih bersamanya. Lelaki itu selalu membahas pernikahan dengannya, tetapi ia selalu menolak. Dan kini, takdir menyatukannya dengan lelaki yang baru ia kenal akibat kesalahan satu malam. Ya, kesalahan satu malam yang akan mengikatnya seumur hidup.
Seumur hidup? Entahlah, Hanna tidak tahu bagaimana takdirnya nanti di masa depan, karena seperti apapun rencana dan harapannya yang telah dipupuknya selalu dimentahkan oleh takdir yang tidak terduga.
"Hanna ...." Pintu kamar terbuka, Vania masuk mengampirinya. "Ayo keluar."
Hanna terdiam menatap Vania sendu. Sejak pagi, iparnya tersebut yang menyiapkan segala hal terkait pernikahannya tanpa ada campur tangan orang tuanya.
"Terima kasih," ujar Hanna tulus.
Vania tersenyum. Tangannya terulur menyentuh pipi Hanna, dengan penuh kehati-hatian menyeka air mata di pipi teman masa kecilnya itu. "Sama-sama. Aku senang kalau kamu senang. Semoga kamu bahagia, jadikan pernikahan ini ibadah dan ladang pahala seumur hidup. Walaupun diawali dengan cara terpaksa, tapi niatkan dan jalanilah dengan ikhlas."
Hanna mengerjap agar bulir bening tidak lagi mengaliri pipinya, tetapi sama saja. Sekuat dan sekeras apapun, ia hanyalah wanita biasa. Sisi lemahnya terlihat hari itu.
"Jangan menangis lagi."
Hanna mengangguk lalu berdiri, mengikuti langkah Vania yang menggamit lengannya keluar kamar.
*****
Sesuatu dalam dadanya bergemuruh hebat saat menjabat tangan Haris lalu mengucapkan nama lengkap seorang wanita yang telah dihalalkan menjadi istrinya. Hannastasia Wirawan, siapa yang menyangka dirinya akan berakhir dengan wanita asing yang baru satu kali ia temui karena kesalahan malam itu? Sungguh, takdir hidup setiap manusia tidak ada yang tahu, begitupun yang terjadi padanya.
Ada rasa yang tidak bisa ia jelaskan mengingat siapa wanita yang baru saja dinikahinya. Adik ipar dari wanita yang entah, apakah sampai saat ini masih menghuni hatinya atau tidak. Dimas hanya bisa beristigfar dalam hati, menyadari pernikahan adalah ikatan suci yang tidak boleh dinodai. Apa yang harus ia lakukan? Mampukan ia berkomitmen dengan sang istri yang keras kepala itu?
Sentuhan tangan lembut Hanna di tangannya, menyentak Dimas dari lamunan. Entah sejak kapan Hanna sudah duduk di sampingnya, karena wanita dengan penampilan yang tampak berbeda sore itu telah mencium punggung tangannya tanpa kata, tanpa menunggu responnya.
Suasana hening di ruang tamu rumah mewah tersebut seakan tidak berpenghuni, padahal orang-orang di sana tengah menyaksikan acara sakral yang seharusnya digelar sebaik mungkin. Hanya saja pihak keluarga Wirawan enggan mengadakan perayaan untuk pernikahan Hanna, tentu karena pernikahan tersebut di luar rencana mereka dan mungkin ... karena menantu yang tidak sesuai harapan.
Hanna menyalami kedua orang tuanya yang duduk diam sejak tadi, menatapnya dengan pandangan yang menyorotkan sejuta rasa. Entah apa, Hanna tidak ingin peduli, baginya hari di mana ia resmi menikah itulah hari kebebasannya.
"Terima kasih telah melepaskanku. Maaf kalau keberadaanku selama ini yang tidak diharapkan, jadi sangat merepotkan. Maaf juga karena tidak bisa menikah dengan pilihan kalian. Semoga Mami dan Papi selalu sehat," ujar Hanna tulus, tidak terdengar nada ketus nan sinis seperti biasanya. Hal tersebut samar terdengar oleh Dimas membuatnya tertegun.
Kedua orang tua Hanna tampak bergeming, tetapi dari sorot mata tua mereka tampak berkaca-kaca. Entah karena apa, hal tersebut masih menyisakan rasa penasaran bagi Dimas. Ia pun menyusul melakukan hal yang sama dan diperlakukan datar oleh pasangan mertuanya tersebut. Tidak tampak sesuatu yang menampakan ekspresi mereka bahkan sejak bertatap muka dengan Dimas untuk pertama kali.
"Buang jauh-jauh perasaanmu pada Vania, istriku! Sekarang Adikku adalah istrimu, itu artinya aku dan Vania adalah Kakakmu!" lirih Haris dingin saat Dimas menghampirinya.
Dimas hanya diam, tetapi matanya sempat melirik Hanna yang sedang memeluk ibunya. Berharap istrinya itu tidak mendengar apa yang diucapkan Haris.
*****
Acara pernikahan singkat dan sederhana itu telah selesai. Menjelang magrib, Dimas bersiap mengantar kedua orang tuanya untuk kembali ke penginapan karena respon dingin dari kedua orang tua Hanna. Ya, hanya Vania yang bersikap baik serta Haris yang tampak sedikit terpaksa untuk bersikap baik.
"Aku ikut." Hanna menarik tangan Dimas yang sudah berdiri.
"Tunggulah di sini," ujar Dimas datar melepaskan tangan Hanna, tetapi dengan keras kepala Hanna kembali menarik tangannya.
"Aku tunggu di sini dan kamu akan tidur di penginapan?" Alis Dimas bertautan heran mendengar ucapan Hanna. "Aku ikut denganmu. Malam ini kita tidur di penginapan yang kamu tempati semalam!" lanjut Hanna memaksa.
"Tapi—" Dimas tidak sempat melanjutkan ucapannya karena Hanna telah menariknya keluar rumah menuju mobil di mana kedua orang tuanya menunggu.
"Tunggulah di sini, aku akan kembali setelah mengantar Bapak dan Ibu." Dimas menahan tangan Hanna yang akan membuka pintu mobil.
"Aku sudah tidak betah di sini. Bawa aku pergi sekarang!" Hanna menepis tangan Dimas, lalu masuk dalam mobil.
Dimas mengacak rambutnya frustrasi. Jujur, ia belum sanggup jika harus sekamar dengan Hanna terlebih dengan status baru mereka yang telah sah sebagai suami istri. Ya, karena bayangan malam itu masih terus menghantuinya.
"Dimas! Ayo cepat, ini sudah magrib, Nak!" tegur Pak Budi.
Berkacak pinggang dengan sebelah tangan, Dimas memutari mobil sambil terus mengacak rambutnya. Masuk lalu duduk di balik kemudi, melirik Hanna yang bergeming tampak menatap keluar. Perlahan memacu kendaraannya meninggalkan kediaman keluarga Wirawan. Dalam hati berharap malam nanti bisa dilaluinya tenang tenang tanpa godaan dan ucapan provokasi dari istrinya.
0 comments:
Posting Komentar