❤ *CINTA*
*di Batas Cakrawala*
🌅 nomor - 12
(Kilasan Masalalu)
Setelah meninggalkan kediaman keluarga Wirawan, mobil yang dikendarai Dimas melaju perlahan membelah keramaian kota petang hari itu. Hanya tiga puluh menit, mobil berhenti di depan sebuah bangunan sederhana berlantai empat.
"Bapak mau salat di masjid?" tanya Dimas pada Pak Budi.
Lelaki paruh baya yang duduk di kursi belakang bersama istrinya tersebut melirik arloji di pergelangan tangan. "Sudah lewat, Nak. Salat di kamar saja jamaah sama Ibu."
"Kamu juga, salat di kamar saja!" ujar Hanna tiba-tiba.
Dimas mengernyit heran, tetapi tidak menjawab. Ia menurut, lalu segera memarkir mobilnya dengan baik setelah kedua orang tuanya turun.
"Astaga! Baju gantiku tertinggal di rumah!"
Dimas menghela napas berat, lalu menoleh pada Hanna yang menepuk jidatnya. "Bukankah aku sudah bilang? Tidak perlu ikut denganku, kalau kita kembali lagi itu artinya sama saja!"
"Ck, tidak usah berlebihan! Nanti di lobby aku akan telepon ke rumah lalu meminta diantarkan semua baju-baju milikku sehingga aku tidak perlu kembali ke sana lagi." Hanna langsung melepaskan sabuk pengaman yang melindungi tubuhnya, lalu keluar meninggalkan Dimas yang hanya bisa menggeleng mencoba untuk bersabar.
Di lobby penginapan tersebut, beberapa pasang mata tamu yang lewat menatap aneh ke arahnya dan Hanna yang sedang sibuk berbicara di telepon. Bagaimana tidak? Ia dan istrinya masih memakai baju pengantin lengkap beserta riasannya.
"Nanti supir Papi yang datang mengantarkan bajuku. Kamar kita nomor berapa?" tanya Hanna santai tanpa beban, justru beban tersebut ada pada Dimas.
"No-nomor sepuluh." Suara Dimas mendadak gugup. Beruntung Hanna kembali melanjutkan pembicaraan di telepon dan tidak menangkap kegugupannya.
"Nomor sepuluh itu di lantai berapa?" tanya Hanna usai mengakhiri panggilan teleponnya. Wanita itu berjalan tanpa perduli tatapan orang yang lewat.
"Lantai tiga," jawab Dimas yang berjalan di belakang.
Tepat di depan tangga, Hanna berbalik kaget. "Lantai tiga?"
Dimas mengernyit heran. "Kenapa?"
Hanna melepaskan sepatunya yang bertumit setinggi tujuh centi, menentengnya dengan sebelah tangan menarik rok kebaya yang ia kenakan, kemudian melangkah menaiki tangga dengan bersungut kesal. "Ini namanya penyiksaan!"
Sejujurnya Dimas malas menanggapi, tetapi Hanna terlalu pintar untuk menyulut emosinya sehingga ia kembali berkata, "Ini yang harus kamu alami karena memilih ikut ke sini. Lagi pula rumah mewah orang tuamu membuatmu terbiasa dengan naik tangga seperti ini, kan?"
Hanna menghentikan langkahnya. "Rumah orang tuaku berbeda. Lagian kenapa kalau aku ikut denganmu? Adakah orang yang meninggalkan pengantinnya setelah menikah?" Mata cokelatnya mendelik kesal.
"Siapa yang meninggalkanmu? Kamu itu belum sehari jadi istri tapi sudah banyak tingkah!" Dimas kesal lalu melangkah lebih dulu tanpa tahu raut wajah sang istri telah berubah.
*****
"Aku istri yang banyak tingkah?" Hanna tersenyum miris menatap punggung Dimas yang telah naik tangga mendahuluinya hingga tidak terlihat. Dengan langkah gontai, ia menaikin satu persatu anak tangga.
Hanna mengatur napas yang memburu saat tiba di lantai tiga tempat di mana kamar yang ditempati Dimas. Ia membuka pintu kamar yang tertera nomor sepuluh. Terdengar gemericik air dari arah kamar mandi.
Kamar dengan dekorasi sederhana, satu ranjang besar di tengahnya, dilengkapi pendingin ruangan serta televisi. Hanna meletakkan sepatunya di lantai sisi nakas, lalu duduk di atas ranjang sambil memijat kakinya yang pegal.
Pintu kamar mandi terbuka, Dimas keluar sudah ganti baju. Wajah dan beberapa bagian tubuhnya basah. Tanpa kata, lelaki itu menggelar sajadah di lantai yang kosong. Mengerjakan salat magrib di ujung waktu.
Mata cokelatnya memperhatikan setiap pergerakan Dimas yang tampak khusu' mengerjakan salat. Ada rasa yang tidak bisa dijelaskan melihat aktivitas tersebut. Hanna lupa, kapan pernah melakukan ibadah salat. Mungkin saat Malik masih baik-baik saja, karena ia sendiri selalu menolak saat Malik mengajaknya untuk salat bahkan di saat lelaki itu kritis.
Tanpa terasa, satu tetes bulir bening membasahi pipinya. Ternyata ia belum bisa melupakan Malik. Terlebih perlakukan Dimas yang jauh berbeda dengan lelaki di masalalunya itu.
"Ada apa?" Suara Dimas menyadarkan Hanna. Lelaki itu telah selesai mengerjakan salat.
"A-apa?" tanya Hanna bingung.
"Kenapa menangis?" tanya Dimas, tangannya melipat sajadah tanpa melepaskan pandangan dari Hanna.
"Aku? Menangis? Oh, ini karena kakiku sakit." Hanna mengelak sambil mengusap air matanya.
Sebelah alis Dimas terangkat heran, seakan tidak percaya. "Kamu menangis hanya karena kakimu sakit?"
"Ck, memangnya kenapa? Dikira aku robot tidak bisa kesakitan?" sinisnya kesal.
"Bukan itu, tapi seorang wanita yang keras sepertimu tiba-tiba menangis hanya karena kaki yang sakit itu terdengar ... aneh," jelas Dimas.
Hanna mendengus kesal. "Jadi menurutmu aku ini keras?" ia tersenyum miris lalu melanjutkan, "Ya, aku lupa kalau aku sudah biasa dengan rasa sakit. Seharusnya aku tidak perlu menangis hanya untuk sebuah rasa sakit di fisik."
Hanna melangkah ke kamar mandi tanpa memperdulikan tatapan kebingungan Dimas. Di dalam sana, ia menatap pantulan dirinya di cermin. Membasuh wajahnya dengan air hingga melunturkan sedikit make up tipis yang membuatnya tampak berbeda. Ia melepaskan rambutnya yang disanggul sederhana, merapikannya walau tidak sempurna lalu kembali membasuh wajahnya. Setelahnya ia keluar dan mendapati Dimas yang sudah rapi.
"Mau ke mana?"
"Makan malam. Mau ikut?" Dimas menawarkan, tetapi dari raut wajahnya menunjukkan hal yang sebaliknya.
"Dengan pakaian seperti ini?" Hanna menatap dirinya sendiri. "Lagipula aku capek naik turun tangga. Belikan saja untukku, aku tunggu."
"Bagaimana kalau kamu tidur saja dengan Ibu di kamarnya di lantai satu? Biar Bapak denganku," tawar Dimas tiba-tiba.
Hanna memicingkan mata, menatap suaminya curiga. "Kamu menyuruh istrimu tidur bersama Ibumu di malam pengantin kita?"
Dimas mendesah kesal. "Ayolah! Jangan mulai lagi!"
"Oh, aku hampir lupa. Kamu menikahiku karena terpaksa, istilah kasarnya ya, istri yang tidak diharapkan. Aku paham kalau kamu tidak ingin sekamar denganku." Hanna mengontrol suaranya agar tetap terdengar biasa.
"Kamu tidak mengerti!" ujar Dimas malas, lalu berbalik membuka pintu dan menutupnya dari luar.
Hanna mengangguk kelu menatap pintu kamar yang tertutup. Bibirnya bergetar karena tangis yang sudah tidak mampu ditahan. Ia kira terbebas dari kekangan orang tuanya yang egois akan membuatnya bahagia, tetapi ternyata ia salah. Memilih menikah dengan Dimas tampaknya bukan jalan keluar yang baik.
*****
Malam semakin pekat, tetapi Dimas belum juga kembali ke penginapan. Ia masih betah duduk sendiri di warung makan sederhana yang terletak di samping masjid tempatnya menunaikan salat isya'. Hampir dua jam lamanya ia tidak kunjung mengisi perut, hanya segelas kopi hitam yang disesapnya sejak tadi kini tinggal setengah.
"Tidak pesan, Mas?" Untuk kesekian kali, seorang laki-laki paruh baya pemilik warung makan menawarkan masakannya pada pelanggan aneh yang hanya duduk minum kopi.
Dimas menghabiskan kopinya hingga menyisakan ampas, lalu menjawab, "Pesan nasi goreng seafood, dibungkus. Dua, Pak." Ia berpikir sejenak lalu melanjutkan, "Jangan terlalu pedas."
Pemilik warung tersebut mengangguk. "Baik, Mas. Tunggu sebentar." Lalu beranjak meninggalkan Dimas sendirian.
Dimas menyandarkan punggung di sandaran kursi, menatap kosong ke arah jalanan yang masih ramai akan kendaraan yang berlalu lalang. Memikirkan bagaimana hubungannya dengan Hanna dalam ikatan pernikahan aneh menurutnya. Tidak ada acara lamaran yang sewajarnya, pernikahan yang terjadi tadi sore pun terlalu mendadak. Bahkan bertemu tatap langsung dengan kedua orang tua Hanna terjadi saat akad nikah. Lalu kini, di malam yang normalnya dinantikan oleh setiap pasangan pengantin, malah dilewatinya sendirian di luar. Ia jadi ragu, apakah pernikahannya dengan Hanna bisa berjalan normal ke depannya?
"Ini Mas, pesanannya." Dimas tersentak kaget saat dua kantong plastik berukuran sedang diserahkan padanya.
"Oh, terima kasih, Pak." Dimas menyerahkan satu lembar uang pecahan lima puluh ribuan lalu mengambil pesanannya. Ia berjalan keluar menuju mobilnya yang terparkir di depan masjid dengan perasaan kalut.
Rasanya janggal setelah meninggalkan Hanna selama dua jam lalu kembali menawarkan makan malam bersama. Berharap malamnya bisa tenang dengan melihat Hanna yang menyambutnya tanpa protes, lalu makan dan tidur tanpa ada aksi lainnya. Karena pikiran dan fisiknya terasa lelah jika harus meladeni sikap ajaib sang istri.
Setibanya di penginapan, sosok bapak dan ibunya yang duduk di lobby membuat Dimas menyadari satu hal. Tadi ia pergi sendiri tanpa mengajak kedua orang tuanya, dan apa yang ia pikirkan ada kaitannya dengan Hanna memang benar saat langkahnya semakin mendekat. Kedua orang tuanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam." Suara kedua orang tuanya terdengar dingin.
Dimas tersenyum canggung. "Bapak sama Ibu sudah makan?"
Bik Minah berdiri. "Tidak usah tanya tentang Bapak dan Ibu. Kamu sendiri dari mana?"
Dimas tersentak kaget karena nada suara ibunya tidak seperti biasa. Ia menunjukkan kantong plastik di tangan lalu menjawab, "Beli makan, Bu."
"Beli makan dari jam berapa? Tidak bawa hp, istri ditinggal pula! Kamu ingat statusmu sekarang seorang suami. Bukan lajang lagi yang bebas ke mana-mana sendiri!"
Dimas mengusap wajahnya kasar, sadar kalau memang meninggalkan ponselnya di kamar, tetapi bukan sepenuhnya ia bersalah karena meninggalkan Hanna. "Bu, aku tadi sudah mengajak Hanna. Tapi dia capek, terus baju gantinya belum diantar," kilahnya.
Bik Minah menggeleng menatap sang anak dengan mata sendu. "Lalu kenapa Hanna ditinggal selama dua jam? Kamu sengaja?"
Ucapan ibunya bagaikan tamparan tidak kasat mata yang membuatnya sadar. Dimas hanya bisa merutuki diri sendiri yang menuruti egonya karena membalas sifat keras kepala Hanna. Ia hanya tidak tahu bagaimana cara bersikap pada wanitanya itu. Ah, mungkin saat ini ia yang salah, terlalu lama meninggalkan istrinya. Wajar saja kalau orang tuanya marah.
"Bapak tadi sudah belikan makan malam sekalian buat Hanna. Itu makanan yang kamu beli, habiskan sendiri. Jangan dibuang-buang!" ujar Bik Minah dingin, lalu berbalik melangkah menuju kamar diikuti suaminya.
Dimas menatap tidak percaya sosok ibu dan bapaknya yang sudah masuk kamar. Lalu beralih pada kantong plastik berisi makanan yang ia bawa. Menghabiskan dua porsi nasi goreng sendirian? Apa ini hukuman untuknya? Menghela napas kasar, ia menyeret langkah naik ke lantai tiga menuju kamarnya.
Mendapati pintu kamar yang tidak dikunci, Dimas meradang. Apalagi saat melihat Hanna sudah tidur meringkuk di atas ranjang berbalut selimut. Bagaimana kalau ada orang tidak dikenal masuk dan berniat jahat?
"Ceroboh!" Dimas menutup pintu sedikit kasar, lalu menguncinya. Ia berbalik mendekati ranjang menatap Hanna lekat, tetapi emosinya menguap saat melihat jejak air mata di pipi Hanna yang sudah polos tanpa make up.
Entah dorongan dari mana, Dimas berjongkok di depan Hanna yang berbaring. Tangannya terulur menyentuh pipi putih yang tampak kemerah merahan. Mengusap jejak air mata di sana, mengingatkannya pada tamparan yang diterima Hanna dari papinya. Wanita itu tampak tidak terganggu, matanya masih terpejam rapat seakan larut dalam mimpinya.
Mengikuti nalurinya, mata Dimad bergerak menelisik setiap inci wajah Hanna dan berhenti di bibir ranum tanpa polesan lipstik. Seketika bayangan kejadian malam itu berputar di depan mata. Saat ia mencumbunya dan melewati malam itu, Hanna menggumamkan nama seseorang yang tidak ia ketahui siapa.
Dimas mengusap wajahnya gusar. Mencoba menenangkan diri, tangannya beralih memperbaiki selimut untuk menutupi tubuh Hanna dengan baik, lalu menegakkan tubuh perlahan tanpa memutus tatapan matanya.
"Maafkan aku," lirihnya dengan napas berat, lalu berbalik duduk di satu kursi yang ada di depan televisi.
Menyalakan benda berlayar datar tiga puluh dua inci dengan volume rendah menayangkan berita malam. Dimas mulai duduk menyantap dua bungkus nasi goreng yang sudah dingin, berusaha mengalihkan perhatiannya dari Hanna agar tidak lagi mengingat kejadian malam itu di saat ia hilang kendali. Entah sampai kapan ia harus menahan diri.
*****
Tanpa membuka matanya, Hanna bergerak mencari posisi nyaman untuk tidur. Ia menarik selimut, lalu meraba sisi ruang di sampingnya. Hawa dingin yang menyapa kulitnya, membuatnya memaksakan mata untuk mengerjap. Sisi tempat tidur di sampingnya kosong, mata cokelatnya terasa berat menelisik ke segala arah hingga terhenti pada sosok Dimas yang terlelap di kursi dengan posisi duduk.
Hanna mendengus kesal, melirik jam yang menempel di dinding, hampir setengah enam. Walau malas Hanna tetap bangun, menatap kecewa Dimas yang masih tidur. Semalam ia ditinggal entah sampai jam berapa hingga ketiduran menunggunya, lalu Dimas kembali dan memilih untuk tidur di kursi.
"Dim—" Gerakan tangan Hanna terhenti saat matanya melihat bungkusan kotak makanan di tempat sampah. Pikirannya menerka-nerka, apakah semalam Dimas membelikan makanan untuknya atau tidak? Jika memang tidak, lelaki itu sungguh keterlaluan!
"Dimas, bangun! Kenapa tidur di sini?" Hanna mengguncangkan bahu Dimas kuat.
Dimas melenguh, meregangkan kedua tangan dengan mata mengerjap berat. Lalu kaget melihat Hanna yang berada di dekatnya.
"Kenapa?" Hanna memperhatikan dirinya sendiri karena Dimas menatapnya tanpa berkedip. Hot pants hitam kontras dengan kaki jenjangnya yang putih melengkapi kaos biru berlengan panjang, tidak ada yang aneh. Tetapi tidak dengan tatapan Dimas. "Ck, apa yang kamu perhatikan!"
Dimas tersentak tampak salah tingkah. "Jam berapa ini?" tanyanya seakan mengalihkan perhatian.
"Setengah enam!"
"Astagfirullah!" Dimas terlonjak kaget lalu berlari ke kamar mandi disusul dengan suara gemericik air.
Hanna mengernyit heran, lalu mendudukan diri di tempat tidur menunggu Dimas yang sudah keluar. Lagi-lagi sebuah rasa aneh saat memperhatikan setiap pergerakan Dimas dalam salatnya. Pikirannya mulai tidak menentu. Apakah layak ia berdiri di belakang Dimas sebagai makmum dalam salatnya? Hanna tersenyum miris, rasa tidak pantas menyergapnya mengingat semalam saja Dimas tidak mau tidur seranjang dengannya. Lalu apakah lelaki itu mau mengimaminya untuk salat?
"Kenapa semalam pintu tidak dikunci?" Suara rendah Dimas menyeret Hanna kembali ke alam sadarnya.
"Hah? Apa?" Hanna mengerjap bingung melihat Dimas telah siap-siap dengan alat mandinya. Entah berapa lama ia melamun hingga tidak sadar laki-laki itu telah selesai salat dan sedang memperhatikannya.
"Kenapa semalam langsung tidur tanpa mengunci pintu?" Nada suaranya berubah kesal.
"Aku ketiduran menunggumu. Lagipula kalau dikunci, bagaimana caramu masuk?"
"Aku bisa masuk dengan meminta kunci cadangan di lobby. Tapi bagaimana kalau ada orang jahat yang masuk di sini. Kalau barang berharga yang diambil, masih bisa kita cari. Tapi bagaimana kalau mereka menyakitimu?"
Hanna mengerjap bingung mendengar rentetan kata-kata Dimas yang terdengar khawatir. Tunggu, khawatir? Rasanya ia masih melamun sehingga berpikir Dimas khawatir padanya.
"Tidak usah khawatir, aku baik-baik saja." Hanna menghalau pikiran anehnya.
"Kamu itu istriku, tentu saja aku—"
Hanna menatap Dimas lekat, menanti kelanjutan ucapnnya. Sampai beberapa detik berlalu tidak ada sepatah katapun yang diucapkan Dimas untuk melanjutkan.
"Aku mandi dulu. Setelah itu gantian. Lalu pagi ini juga kita kembali ke desa. Pekerjaanku masih banyak." Dimas beranjak ke kamar mandi.
Hanna menghela napas pelan. Apa yang ia harapkan dari ucapan Dimas tadi? Bodoh!
*****
Setelah sarapan, Dimas benar-benar membawa kedua orang tuanya serta Hanna untuk segera kembali ke desa. Mengendarai mobil pulang pergi dari desa ke kota sudah bisa ia lakukan, sehingga lelah di tubuhnya tidak terlalu terasa. Mobil melaju dengan kecepatan sedang hingga membutuhkan waktu lebih dari satu jam tiba di pelabuhan.
"Nanti biar Bapak yang nyetir sampai rumah," ujar Pak Budi, berjalan beriringan dengan Dimas naik ke dek atas setelah memarkir mobil dalam kapal.
"Tidak usah, Pak. Aku baik-baik saja," tolak Dimas, lalu mendudukan diri di samping Hanna yang sudah duduk lebih dulu bersama Bik Minah. Dua wanita beda usia itu tampak akrab, bahkan Hanna tidak terlihat canggung menggamit lengan sang ibu mertua.
"Dimas baik, kan sama kamu?" Suara Bik Minah lirih, tetapi bisa didengar Dimas. Ia mengeluarkan ponsel dari saku, membukanya asal tetapi telinganya tetap fokus pada pembicaraan ibu dan istrinya.
"Baik, kok, Bu. Tidak ada masalah, hanya saja semalam aku ketiduran menunggunya kelamaan ...."
Dimas tahu Hanna meliriknya, tetapi ia pura-pura fokus pada ponsel di tangan. Ingin tahu, apakah Hanna akan mengadukan sikapnya yang lain seperti ... memilih tidur di kursi tadi malam?
"Oh, tidak apa. Ibu sudah menasehatinya semalam." Tangan Bik Minah mengusap punggung tangan Hanna dalam genggaman.
Dimas memperhatikan interkasi itu. Ibunya memang mudah dekat dengan orang, terlebih jika sama-sama wanita. Sedangkan Hanna? Bagaimana bisa langsung seakrab itu? Lagi-lagi ada rasa penasaran pada diri Hanna yang mengusiknya.
"Kalau dia memperlakukanmu tidak baik, bilang saja sama Ibu."
Dimas melotot kaget, melirik ibunya yang tenang tetapi tidak dengan Hanna. Wanita itu meliriknya dengan senyum sinis. Apalagi ini?
"Iya," jawab Hanna, senyumnya berganti lembut dan tulus pada Bik Minah.
Dimas mengusap wajah malas, ponsel di tangan tidak lagi menarik dan akhirnya ia simpan kembali.
*****
Mobil melaju dengan kecepatan sedang setelah meninggalkan sebuah masjid yang disinggahi untuk melaksanakan salat ashar. Hanna tetap duduk di samping Dimas yang fokus mengemudi. Sesekali ia menguap dan tertidur.
Tepat jam lima sore, perjalanan panjang mereka selesai. Hanna menghela napas lega setelah melihat pantai yang tidak jauh dari depan rumah. Angin sore yang berembus menerpa wajahnya, menerbitkan senyum berbeda yang tidak pernah ia tunjukkan.
Tidak ada seorang pun yang tahu masa depannya, dan Hanna pun demikian. Hidupnya sudah terlalu rumit dan penuh misteri hingga menyeretnya kembali tiba di desa yang awalnya ia kira hanya akan menggoreskan luka karena bertemu dengan Dimas. Dan saat ini, ia tidak ingin berharap pada siapapun. Mendapat perlakukan baik layaknya anak sendiri dari kedua mertuanya sudah cukup membahagiakan, menggantikan kasih sayang tulus dari orang tua yang tidak pernah ia dapatkan.
"Capek?" tanya Bik Minah menyambut Hanna. Raut lelah menahan kantuk tampak jelas di wajah sang menantu.
"Lumayan. Perutku sedikit tidak nyaman karena kelamaan duduk. Rasanya lebih lama dari sebelumnya," jawab Hanna. Tanpa ragu seperti sebelumnya, ia menggamit lengan ibu mertuanya yang baik hati.
"Ya sudah. Istirahat di kamar, tapi jangan tidur, ya? Sudah mau magrib. Ibu akan beli lauk untuk makan malam dulu." Hanna mengangguk pada Bik Minah yang berbalik pergi. Ia beralih mengikuti Dimas yang membawa dua buah koper besarnya ke arah kamar, tetapi bukan ke kamar Dimas, melainkan kamar yang pernah ia tempati sebelumnya.
"Jadi ... kita akan tidur di sini?" tanya Hanna setelah Dimas meletakkan dua kopernya di sudut kamar.
Dimas tampak berpikir, raut wajahnya terlihat gusar. "Nanti malam kamu yang tidur di sini."
"Aku? Lalu kamu?"
"Aku di kamarku sam—"
"Kenapa begitu? Aku, kan istrimu! Oh ya, aku lupa. Istri yang dinikahi karena terpaksa."
"Bisa dengarkan dulu sampai aku selesai bicara?" Dimas tampak frustrasi.
"Apalagi yang mau dijelaskan? Aku sudah paham, tadi malam saja kamu memilih tidur di kursi dari pada satu ranjang denganku. Apa sebaiknya kita buat perjanjian saja, sampai kapan mengakhiri pernikahan ini?" Hanna juga mulai frustrasi.
"Hanna! Jangan konyol, pernikahan itu bukan untuk dipermainkan!"
Hanna melipat kedua tangan di dada, menatap Dimas tajam. "Siapa yang mempermainkan pernikahan? Aku? Yang memilih tidur pisah kamar siapa? Aku hanya memberikan solusi kalau memang kamu sulit menerima pernikahan ini!"
Dimas menghela napas pelan, raut wajah menahan emosi tadi perlahan meredup. "Kita baru saling mengenal, Hanna. Bagaimana bisa kamu langsung merasa nyaman?"
"Kamu pikir aku merasa nyaman denganmu? Tidak sama sekali. Sekarang terserah kamu mau tidur di mana, dan jelaskan sendiri pada orang tuamu apa maumu dari pernikahan ini kalau mereka tanya!" Hanna mendudukkan diri di ranjang, menahan kecewa terlebih saat Dimas tidak acuh padanya dan memilih keluar.
"Bu ...." Dimas terdengar kaget saat membuka pintu.
Raut kecewa Hanna berubah, senyum puas tersungging di wajahnya saat melihat Dimas tertangkap basah ibunya sendiri tanpa harus ia yang mengadukannya.
0 comments:
Posting Komentar