❤ *CINTA*
*di Batas Cakrawala*
🌅 nomor - 13
(Kilasan Masalalu)
Dimas mengeluarkan dua koper besar milik Hanna dari dalam mobil, lalu berjalan ke dalam rumah tanpa peduli wanita yang baru ia nikahi tersebut masih bercengkrama dengan ibunya. Melangkah menuju sebuah kamar yang bukan ke kamarnya melainkan ke kamar Hanna, sesuai dengan apa yang ia pikirkan sepanjang jalan tadi.
"Jadi ... kita akan tidur di sini?" Hanna tiba-tiba sudah ada di belakangnya yang baru saja meletakkan dua koper di sudut kamar.
Dimas mendadak gusar kembali memikirkan apa yang telah ia putuskan memang tepat, pisah kamar untuk sementara entah sampai kapan. "Nanti malam kamu yang tidur di sini," ujarnya.
"Aku? Lalu kamu?"
"Aku di kamarku sam—" Ucapannya terpotong Hanna yang sudah tampak emosi.
"Kenapa begitu? Aku, kan istrimu! Oh ya, aku lupa. Istri yang dinikahi karena terpaksa."
Dimas menghela napas frustrasi. "Bisa dengarkan dulu sampai aku selesai bicara?"
"Apalagi yang mau dijelaskan? Aku sudah paham, tadi malam saja kamu memilih tidur di kursi dari pada satu ranjang denganku. Apa sebaiknya kita buat perjanjian saja, sampai kapan mengakhiri pernikahan ini?" Hanna juga mulai terlihat frustrasi.
Dimas mengeram menahan marah. "Hanna! Jangan konyol, pernikahan itu bukan untuk dipermainkan!" Walaupun pernikahan mereka terpaksa, tetapi ia hanya ingin memulainya dengan baik dan tentu saja hal tersebut butuh waktu.
Hanna melipat kedua tangan di dada, menatap Dimas tajam seakan menantang. "Siapa yang mempermainkan pernikahan? Aku? Yang memilih tidur pisah kamar siapa? Jadi aku hanya memberikan solusi kalau memang kamu sulit menerima pernikahan ini!"
Dimas menghela napas pelan, raut wajah menahan emosi tadi perlahan meredup. Pikirannya berkecamuk. "Kita baru saling mengenal, Hanna. Bagaimana bisa kamu langsung merasa nyaman?"
"Kamu pikir aku merasa nyaman denganmu? Tidak sama sekali. Sekarang terserah kamu mau tidur di mana, dan jelaskan sendiri pada orang tuamu apa maumu dari pernikahan ini kalau mereka tanya!" Hanna mendudukkan diri terlihat sangat kesal.
Dimas mengusap wajah kasar seraya menghela napas berat, berusaha menahan emosi yang kembali tersulut. Perjalanan panjang membuatnya kelelahan dan harus meladeni sikap Hanna yang keras kepala dan tidak mau mendengarkannya. Jika ia tetap meladeni, maka tidak akan ada titik temu. Ia memilih untuk diam lalu keluar, sampai akhirnya dikagetkan dengan keberadaan ibunya yang entah sejak kapan ada di depan pintu. Ah, sudah pasti ibunya mendengarkan pertengkarannya dengan Hanna tadi.
"Bu ...." Dimas berusaha mengontrol diri, lalu menutup pintu kamar Hanna.
"Semalam kamu biarkan istrimu tidur sendiri?" lirih Bik Minah, raut wajahnya terlihat sendu.
"Bu ...."
"Sekarang kamu mau pisah kamar sama istrimu? Aturan dari mana itu? Kamu bilang sama Hanna kalau pernikahan bukan permainan, tapi kamu sendiri yang mempermainkannya seperti ini."
Dimas mendekat, merangkul ibunya menuju sebuah sofa usang yang ada di ruangan tengah rumah. Melihat sang ibu melontarkan kalimat bernada kecewa, membuatnya menyesal.
Dimas berlutut di hadapan ibunya. "Maaf, Bu. Bukan seperti itu maksudku."
"Lalu? Kenapa kalian harus pisah kamar? Kalian itu sudah halal, sudah suami istri. Tapi kalau memang dari awal kamu tidak setuju dengan pernikahan ini, seharusnya kamu bertahan dan pertanggungjawabkan pendapatmu. Ibu tidak mau kamu bikin dosa lagi dengan menelantarkan istrimu karena pernikahan ini terpaksa kamu terima hanya demi Ibu."
Ucapan ibunya membuat Dimas semakin merasa bersalah. Apa caranya terlalu berlebihan dalam menghadapi Hanna dengan memilih menghindarinya? Memang tidak ada yang bisa memahami kegelisahannya saat berdua dengan Hanna karena malam itu, tetapi ucapan ibunya sedikit menurunkan egonya.
"Maafkan aku, Bu." Dimas mencium punggung tangan ibunya. Ia sungguh tidak bisa melihat wanita yang melahirkannya tersebut terpuruk karenanya. Sejak kecil ia diasuh oleh neneknya dengan keras dan disiplin serta memahami pengorbanan orang tuanya yang bekerja untuk keluarga Vania di kota demi masa depannya. Rasa sayangnya kepada merekalah yang membuatnya hampir tidak pernah memikirkan wanita, hanya fokus dengan pendidikan serta keinginannya untuk membangun desanya. Kecuali wanita itu, wanita yang mencuri kasih sayang ibunya sejak kecil yang berhasil mencuri hatinya saat melihat pertama kali. Vania.
"Semua memang tidak mudah bagimu, tapi cobalah berpikir dari sisi Hanna sebagai seorang wanita, apa yang sudah kamu lakukan sama saja dengan menghancurkan masa depannya walaupun yang terjadi diluar kendali." Dimas menatap sendu sang Ibu yang menghela napasnya, terlihat berat karena menahan air mata. Ia bergeming untuk terus mendengarkan sang ibu yang kembali melanjutkan, "Pernikahan ini sudah terjadi dan bukan untuk main-main atau tawar menawar. Kamu laki-laki, sejak kamu mengucapkan namanya di depan walinya, Hanna menjadi tanggung jawab kamu di hadapan Allah. Ridho dan dosanya beralih padamu. Tugasmu membimbingnya dimulai dengan pelan-pelan mengenalnya, bukan dengan menjauhinya. Karena yang Ibu pelajari dari istrimu, sifatnya itu tergantung bagaimana orang terdekat memperlakukannya. Jadi, walaupun cara kalian salah di awal, tapi tidak pernah ada kata terlambat untuk bertaubat."
Dimas menggenggam erat kedua tangan sang ibu yang dibawa menuju bibirnya denga napas berat. Nasehat tersebut bagaikan tamparan keras tidak kasat mata menyadarkannya.
Sebelah tangan Bik Minah terlepas, mengusap lembut kepala Dimas. "Kamu sudah dewasa, kamu paham maksud Ibu. Jadi Ibu percaya sama kamu."
Dimas mengangguk kelu. Rasanya ia memang harus menyerah untuk tidak menuruti egonya. Tidak akan berhasil melawan Hanna yang keras kepala, tetapi ... benarkah istrinya itu bisa bersikap baik jika ia memperlakukannya dengan baik?
*****
Setelah tidak lagi mendengar suara Dimas maupun Bik Minah, Hanna menutup kembali pintu kamarnya perlahan. Nasehat yang diberikan mertuanya itu membuatnya terenyuh. Jika ia boleh memilih, ingin rasanya terlahir di posisi Dimas. Punya kedua orang tua yang baik dan penyayang, tidak seperti kedua orang tuanya yang pilih kasih lebih peduli pada kakaknya. Ia tersenyum miris menyadari semua hanyalah angan.
Hanna kembali ke tempat tidur, berbaring telentang menatap langit-langit kamar dengan pikiran berkecamuk. Perlahan matanya terpejam diikuti rentetan kejadian tidak terduga sejak kepulangannya tahun lalu berputar di kepala. Bahkan sesuatu yang tidak terpikirkan olehnya saat bersama Malik, malah terjadi dengan orang lain yaitu pernikahan.
Derit pintu yang dibuka dari luar tidak lantas membuat Hanna membuka mata. Ia masih bertahan di posisinya, menunggu apa yang akan dikatakan orang yang masuk itu.
"Ayo pindah ke kamarku. Di sana lebih luas." Suara Dimas mengiringi derap langkah dan bunyi koper yang diseret.
Hanna tersenyum tanpa sadar, mengerjap perlahan. Melihat punggung lebar Dimas melewati pintu dan keluar. Ia bangun, lalu menyusul ke kamar yang terletak di samping kamarnya.
"Kenapa menyuruhku pindah di kamarmu?" pancing Hanna dengan wajah yang ia buat sedatar mungkin.
"Seperti katamu, kita suami istri. Wajarkan?" sahut Dimas santai meletakkan koper Hanna di sudut kamar.
"Kataku, atau kata Ibumu?"
Dimas menghela napas, tampak jelas menahan emosinya. "Terserah kata siapa, karena kenyataannya memang demikian. Jadi sebagai suami, aku berhak mengaturmu. Terutama saat kita berada di kamar ini!"
Matanya memicing merasa curiga dengan ucapan Dimas. "Tapi aku tidak terima kalau kamu memaksaku! Aku masih halangan, belum bersih. Itu dosa!" Suara Hanna terdengar gugup.
"Astagfirullah!" lirih Dimas sarat akan frustrasi.
Hanna mengernyit heran.
"Dengarkan aku bicara dan jangan memotong sampai selesai!" Dimas berkata cepat sebelum Hanna menyuarakan pendapatnya yang hanya akan menyulut emosinya. Menatap tajam penuh peringatan dan entah mengapa tatapan itu membuat Hanna tidak bisa berkutik.
"Itu yang pertama, jangan pernah menyela ucapanku sebelum aku selesai. Lalu yang kedua, kontrol dirimu serta ucapanmu saat kita di kamar dan di sana." Dimas menunjuk arah tempat tidur dengan matanya. Hanna mengernyit semakin tidak paham, tetapi bibirnya terkatup rapat seakan telah dihipnotis ucapan sang suami.
"Itu saja. Kalau di luar kamar terserah apa maumu. Dan satu lagi ...." Dimas menatap Hanna, tampak berpikir sejenak lalu melanjutkan, "Aku belum pernah menikah tapi aku tahu caranya memperlakukan wanita, kecuali malam itu. Jadi aku tidak mungkin memintamu yang aneh-aneh."
Hanna terpaku dengan bibir yang tetap terkatup rapat. Dimas benar-benar menghipnotisnya.
"Sudah hampir magrib, aku mau mandi lalu ke masjid."
Hanna masih diam di tempat bahkan setelah Dimas meninggalkannya. Pikirannya mendadak kosong karena ucapan Dimas terdengar berbeda dengan sebelumnya yang terkesan memaksa. Ucapan lelaki itu tadi sarat akan ketegasan tetapi lembut. Ah, Hanna menghalau rasa aneh yang mulai menyusup di hatinya. Mungkinkah itu hanya sekedar rasa nyaman?
*****
Malam itu setelah isya' adalah makan malam pertama Hanna sebagai anggota keluarga Pak Budi dan Bik Minah dengan status menantu. Siapa yang sangka? Tidak ada yang menyangka, bahkan seluruh seluruh anggota keluarga barunya tersebut.
"Bapak harap, kalian menjalani pernikahan ini dengan ikhlas karena menikah itu ibadah. Jangan pernah mengungkit masalalu atau apapun yang menjadi alasan pernikahan kalian terjadi. Kita tidak bisa mengubah masalalu, tapi masa depan itu ada di tangan kita jika kita berusaha memperbaiki diri," ujar Pak Budi di sela makan malam.
Rupanya lelaki paruh baya tersebut tahu masalah yang terjadi sore tadi. Sebagai kepala keluarga, sudah sepatutnya untuk menengahi masalah dalam keluarga dan memberi nasehat tetapi tidak perlu ikut campur lebih jauh jika sudah menyangkut masalah rumah tangga anaknya.
Hanna melirik Dimas di sampingnya yang bergeming, mengunyah makanan dan tampak tenang. Entah apa yang dipikirkan dan ia tidak ingin ambil pusing. Ia juga melanjutkan makan tanpa canggung.
"Hanna ...."
Hanna mengangkat wajah, tersenyum menatap ibu mertua di hadapannya yang juga tersenyum menatapnya. "Iya, Bu?"
"Jangan pernah ragu atau sungkan untuk cerita sama Ibu, apapun itu, ya?"
Hanna mengangguk mantap, entah apa maksud ucapan mertuanya itu untuk kesekian kalinya sejak mereka kembali. Mungkin saja bermaksud memperingatkan Dimas? Entahlah.
"Jadi bagaimana? Kamu suka kamarnya Dimas? Atau ada sesuatu yang kamu inginkan agar lebih nyaman? Mungkin tempat tidurnya kurang besar dan kasurnya sudah lusuh?"
Hanna meletakkan sendok di piring, raut wajahnya berubah serius saat berpikir dan hal tersebut tidak luput dari perhatian Dimas walau hanya berupa lirikan.
"Hm, aku belum tahu kalau soal itu, Bu. Tempat tidurnya sih, baik-baik saja walaupun tidak terlalu besar. Nanti saja kalau sudah punya anak, baru dipikirkan."
Uhuk!
Semua mata memandang ke arah Dimas yang tersedak dengan wajah memerah.
"Ck, yang bicara aku dan Ibu, kenapa kamu yang tersedak?" tanya Hanna heran, tidak menangkap raut aneh yang terpancar dari wajah Dimas.
Bik Minah tersenyum, begitupun Pak Budi.
Dimas tampak buru-buru menegak satu gelas air putih hingga tandas. Menghela napas sejenak lalu berkata datar, "Saat makan jangan terlalu banyak bicara."
"Aneh." Hanna menanggapi dengan malas, kembali beralih pada ibu mertuanya. "Sepertinya aku butuh meja rias, Bu. Itupun kalau Dimas tidak keberatan, aku memenuhi kamarnya dengan alat make upku."
Bik Minah menatap Dimas. "Untuk menyenangkan istri, ya, kamu wajib memenuhinya, Dimas. Lagipula seorang istri yang merias diri untuk suami itu hal yang baik."
"Ya." Dimas tampak menahan diri untuk berkata.
"Ada lagi?"
Hanna menggeleng lalu menjawab, "Untuk saat ini tidak ada, Bu. Kalaupun nanti ada, aku akan bicara dengan Dimas."
"Ya sudah kalau begitu, lanjut dulu makannya."
Hanna mengangguk tanpa peduli raut datar sang suami di sampingnya.
*****
Dimas menghela napas kasar untuk kesekian kalinya. Duduk di balik meja kerja di kantor, mencoba fokus untuk membuat laporan bulanan yang akan ia laporkan ke Dinas Perikanan dan Kelautan yang mendanai LSM-nya, tidak juga bisa membuatnya fokus. Pikirannya masih saja full karena Hanna dan ucapan wanitanya itu tadi saat makan malam.
'Nanti saja kalau sudah punya anak baru dipikirkan?'
Dimas menghentikan gerakan jemarinya di atas keyboard. Membayangkan ucapan Hanna tadi jadi nyata, rasanya ia belum siap jika memiliki anak dari Hanna walaupun mereka sudah menikah. Masih saja ada ragu dalam hati yang tidak terjelaskan.
Setelah mematikan laptop, Dimas merapikan berkas yang berserak di mejanya, memutuskan untuk menghentikan aktivitasnya. Menenteng benda berlayar datar empat belas inci keluar dari ruangan tersebut. Berjalan keluar kantor yang masih ramai akan anak-anak PSP3 yang menyapanya satu persatu.
Jam sembilan malam, angin laut berembus kencang. Dingin yang menerpa kulit serasa membekukan, tetapi hal tersebut telah biasa bagi Dimas. Ia melangkah menuju rumah tanpa tergesa-gesa, karena rasa panas pasti akan menyapa saat ia berada di kamar.
Benar saja, saat ia menutup pintu rumah, dingin yang tadi terasa lenyap seketika. Dimas melanjutkan langkah ke kamarnya setelah mengunci pintu rumah. Membuka pintu kamarnya perlahan, mengagetkan Hanna yang duduk bersandar di kepala ranjang. Sebuah buku di tebal di pangkuan, serta ada yang berbeda dengan penampilan istrinya. Baru pertama kali Dimas melihat Hanna menggunakan sebuah alat bantu penglihatan yang bertengger di pangkal hidungnya yang mancung.
"Belum tidur?" tanya Dimas, menutup pintu lalu beralih meletakkan laptop di meja yang dulu biasa ia gunakan untuk belajar.
"Hm." Hanna melepas kaca matanya, menyimpan di dalam wadahnya. Meletakkan barang tersebut di dalam salah satu kopernya beserta buku tebal yang dia baca.
Dimas melirik heran karena jawaban singkat Hanna bahkan tanpa ekspresi. Ia beralih membuka lemari, mengambil sebuah kaos hitam mengganti kemeja biru polos yang melekat di tubuh tegapnya. Setelah mengganti baju, ia langsung berbaring di tempat tidur. Memperhatikan Hanna yang masih tampak sibuk mengacak kopernya.
"Besok pergilah dengan Ibu untuk mencari lemari dan meja rias untukmu di desa sebelah. Tapi aku tidak bisa mengantar karena masih banyak kerjaan. Jadi biar Bapak yang mengantar," kata Dimas memecah hening dan rasa penasaran akan apa yang dilakukan Hanna.
"Hm." Lagi-lagi jawaban Hanna singkat.
Dimas mendesah malas, mencoba untuk tidak peduli. Ia berbaring gelisah mencari posisi nyaman berbalik memeluk guling, menatap punggung Hanna yang sudah berdiri. Matanya membulat kaget saat melihat Hanna melepaskan dress biru selutut, menggantinya dengan kaos merah muda yang menjuntai setengah paha. Gerakannya tenang seakan hanya dia sendiri di sana.
"Sial!" umpat Dimas pelan.
Entah umpatan itu bermaksud apa, yang jelas nalurinya sebagai lelaki menuntutnya untuk terus memperhatikan setiap pergerakan Hanna yang terlihat menggoda. Menyisir rambut, mengoleskan sesuatu di wajah lalu menyemprotkan sesuatu yang membuat Dimas terbuai. Gila, tidur saja harus sewangi itu?
Dimas tersentak saat Hanna berbaring di sisinya, masuk dalam selimut yang sama. Lalu ia hanya bisa menelan kecewa melihat punggung sang istri yang menghadapnya. "Tahan, Dimas! Tahan dirimu!" Bibirnya bergerak tanpa suara. Ia merasa, Hanna seakan sedang membalas kelakuannya di penginapan kemarin malam dengan melakukan hal sederhana yang justru sangat menggodanya.
0 comments:
Posting Komentar