❤ *CINTA*
*di Batas Cakrawala*
🌅 nomor - 14
(Kilasan Masalalu)
Setelah makan malam, Hanna kembali ke kamar. Merapikan barang-barangnya yang berserakan di tempat tidur dan sebuah meja kecil serta kursi di samping tempat tidur. Kamar Dimas memang sedikit lebih luas dari kamar yang ia tempati sebelumnya di sebelah, tetapi tidak banyak barang yang ada di sana. Hanya ada tempat tidur, sebuah lemari serta sepasang meja dan kursi. Tempat tidur pun tidak terlalu besar, namun tetap cukup untuk ukuran dua orang. Itulah sebabnya ia tidak meminta untuk menggantinya.
Setelah rapi, Hanna mengambil sebuah buku yang selalu ia bawa ke manapun saat berpergian jauh serta memakai sebuah kaca mata yang hanya ia gunakan saat membaca. Buku tentang jurnalistik milik Malik tersebut ia ambil setelah lelaki itu tiada. Hanna duduk di pinggir tempat tidur bersandar di kepala ranjang, membuka lembar demi lembar dari buku yang selalu ada tulisan tangan Malik di sana. Bukan keterangan tentang isi buku tersebut, melainkan nama Hanna serta nasehat dan dukungan untuk wanita malang itu saat Malik tiada.
Gerakan tangan Hanna terhenti saat menemukan satu lembar foto sebagai pembatas. Satu bulan yang lalu setelah kejadian malam itu yang membuatnya terpuruk, buku itu yang mengingatkannya. Ia menandai halaman yang terdapat tulisan tangan Malik yang paling menyentuhnya dengan foto tersebut.
"Semua yang terjadi padamu juga padaku, tidak pernah lepas dari kehendak-Nya. Ketika Allah mengambilku dari sisimu, percayalah. Kelak Dia akan menggantikan dengan yang lebih baik, entah siapa dan bagaimana caranya."
Mata Hanna beralih pada satu lembar foto di tangan. Foto terbaik yang ia miliki bersama Malik saat ia wisuda, lelaki itulah yang mendampinginya. Di saat kakaknya didampingi kedua orang tuanya saat wisuda sarjana dan pasca sarjana, Hanna hanya didampingi Malik.
"Kalau kamu masih ada, aku pasti masih lajang sekarang." Hanna tersenyum miris, membiarkan satu bulir bening lolos dari sudut matanya. "Menurutmu Dimas itu bagaimana? Kamu setuju aku bersamanya? Apa aku bisa mencintainya? Lalu apa dia juga bisa mencintaiku?"
Hening ... Hanna larut dalam kenangan suka duka bersama Malik.
Derit pintu yang terbuka dari luar mengagetkan Hanna, membuatnya menghentikan kegiatan termasuk memikirkan Malik saat melihat sosok Dimas menutup pintu.
"Belum tidur?" tanya Dimas, terdengar basa basi.
"Hm," gumam Hanna singkat, mengingat aturan suaminya tadi bahwa ia tidak boleh banyak bicara di dalam kamarnya. Entah kenapa, ia tanpa protes menerima aturan itu begitu saja. Menutup buku, ia melepaskan kaca mata dan menyimpan benda tersebut di tempatnya.
Hanna beranjak ke sudut kamar, menyimpan buku di koper dan kaca mata di tas. Ekor matanya menangkap kegiatan Dimas yang sedang ganti baju. Aneh, ia tadi sedang sedih karena mengingat Malik lalu tiba-tiba berganti dengan rasa aneh saat melihat Dimas ganti baju.
Sebuah ide muncul di otaknya. Entah ke mana perginya kesedihannya tadi, berganti dengan kegelian membayangkan bagaimana reaksi Dimas nanti. Ia ingin menguji lelaki itu sekaligus membalas ulahnya saat di penginapan semalam. Ia mengambil tas khusus make-up, serta sebuah kaos tipis warna merah muda, salah satu yang sering digunakannya untuk tidur.
"Besok pergilah dengan Ibu untuk membeli meja rias dan lemari untukmu di desa sebelah. Tapi aku tidak bisa mengantar karena banyak pekerjaan. Jadi Bapak yang mengantar," ujar Dimas yang sudah berbaring di tempat tidur.
"Hm," gumaman Hanna sama seperti tadi. Lalu ia memulai aksinya. Ada malu yang sempat menyelinap, tetapi segera ia tepis. Untuk apa malu? Toh mereka sudah sah, dan Dimas sudah pernah melihat seluruh tubuhnya malam itu, bukankah dia bilang malam itu dia masih sadar? Jadi tidak masalah.
Hanna mulai melepaskan dress biru sepanjang lutut yang membungkus tubuh tingginya yang sedikit kurus untuk ukuran wanita. Satu bulan stress memang membuat berat badannya menurun. Ia mengantinya dengan kaos merah muda yang longgar panjangnya setengah paha melapisi hotpants hitam. Lalu berbalik, duduk di pinggir tempat tidur. Walau hanya melirik, ia bisa melihat bagaimana yang Dimas memperhatikannya.
Hanna menahan senyumnya. Ia senang sekali. Tanpa mempedulikan Dimas, ia menyisir rambut cokelat gelapnya. Kemudian mengoles krim untuk perawatan wajah. Walaupun terlahir dengan paras cantik khas timur tengah warisan maminya, Hanna tetap merawat keindahan itu dengan baik. Di usianya yang matang, wajahnya seakan tidak memiliki cela. Itulah daya tarik utama dirinya, hanya saja sifatnya yang tertutup membuat banyak lelaki segan untuk mendekat.
Setelah itu, Hanna menyemprotkan parfum dibagian leher dan baju. Wangi yang sempurna. Ia merapikan alat make-upnya di atas meja, lalu berbaring dalam selimut, memunggungi Dimas.
Bagaimana reaksi lelakinya itu? Beberapa menit, tidak ada yang terjadi. Hanya embusan napas hangat menerpa tengkuknya. Hanna mulai memejamkan mata, tetapi pergerakan di balik punggung membawanya kembali sadar. Tanpa diduga, tangan kokoh Dimas melingkari perutnya.
"Eh." Hanna terlonjak kaget hingga bergumam keras.
"Jangan banyak bergerak, tidurlah!" bisik Dimas tepat di telinga Hanna.
Sekujur tubuhnya merinding mendapat reaksi Dimas yang di luar dugaan. Ah, tidak juga. Hanna sudah mengira seperti ini reaksi Dimas jika tergoda, tetapi ia sendiri yang tidak siap. Rasanya ia menyesal telah menuruti ide jahil yang terlintas di otaknya.
"Dimas ...." Hanna merasa aneh dipeluk Dimas seperti itu, apalagi menyadari ada yang berbeda dari diri suaminya.
"Tidurlah. Kepalaku sakit Hanna, kalau kamu terlalu banyak bergerak, kepalaku makin sakit. Dan ...." Suara parau Dimas menyapu gendang telinga. Hanna semakin paham.
"Dan?" Bodoh! Hanna ingin memaki dirinya yang terus memancing pembicaraan padahal tubuhnya terasa kaku dalam dekapan Dimas.
"Jangan sampai aku membuatmu menyesal saat membalik tubuhmu menghadapku, Hanna! Tidurlah!" ujar Dimas, terdengar frustrasi.
Bibir Hanna terkatup rapat. Ini gila! Kenapa jadi bomerang untuknya? Ah, sial! Ingin sekali dirinya menantang Dimas seandainya ia dalam keadaan bersih. Ia ingin melihat sejauh mana lelaki egois dan gengsian itu membuktikan ucapannya.
Hanna mendengus, mencoba memejamkan mata. Debaran jantungnya bertalu cepat saat terasa degupan jantung Dimas di balik punggungnya. Embusan napas hangat Dimas terasa memburu tepat di tengkuknya.
Ya, malam itu Hanna dan Dimas tidak bisa tidur dengan mudah. Sisi egois menghalangi diri mereka yang saling mendamba.
*****
Hanna merapatkan selimut sampai sebatas leher. Matanya enggan terbuka saat terasa sinar cahaya menerpa wajahnya. Mencoba mencari posisi nyaman, tetapi sulit. Akhirnya ia mengerjap malas, menatap sisi tempat tidur di sampingnya yang sudah kosong. Senyum langsung terbit di wajahnya, mengingat bagaimana sulitnya ia tidur karena Dimas tidak melepaskan pelukan sampai kesadarannya menghilang.
Jendela kamar terbuka lebar, gorden biru melambai tertiup angin pagi. Hanna mendudukan diri, seketika terkesiap kaget saat melihat jam digital di ponsel. Jam delapan lewat? Astaga!
Lelah karena perjalanan serta Dimas yang membuatnya begadang tadi malam, akhirnya ia bangun kelewat siang. Rasanya ia malu untuk keluar kamar dan bertemu mertuanya.
"Huh!" Hanna mengusap wajahnya, mengganti baju dengan dress yang semalam. Keluar kamar, dan disambut aroma bumbu yang ditumis menyeruak indera penciumannya.
Hanna tersenyum, melangkah ke dapur. Bik Minah terlihat sibuk di depan kompor, terdapat kangkung yang sudah di bersihkan serta ikan yang siap masak di meja dapur.
"Maaf, Bu. Aku kesiangan." Hanna mendekati Bik Minah dengan penuh sesal. Menantu macam apa yang bangun kesiangan dan membiarkan ibu mertuanya yang mengurus rumah? Rutuhnya dalam hati.
Wanita paruh baya itu menoleh, tersenyum ramah. "Oh, tidak apa-apa. Ibu tahu kamu kecapekan karena perjalanan kemarin. Sana mandi dulu terus sarapan, tapi minumnya buat sendiri, ya?" Beliau kembali fokus ke wajan, memasukkan kangkung ke dalam tumisan bumbunya.
"Kenapa Ibu tidak marah?" tanya Hanna heran.
Bik Minah menoleh, senyumnya tetap mengembang. Tangannya dengan cekatan mengadung tumisannya. "Marah kenapa? Kamu tidak jahatin Ibu, kenapa Ibu harus marah?"
Hanna menggaruk tengguknya bingung. "Mungkin aku bukan menantu yang baik—"
"Hus! Ngomong apa, sih? Kamu, kan baru jadi istrinya Dimas. Ya, bisa belajar. Tidak masalah, asalkan kamu dengar kalau Ibu ajari."
Hanna mengembuskan napas lega. "Ibu mematahkan pemikiran burukku tentang Ibu mertua galak," ujarnya sembari terkekeh.
Bik Minah juga tertawa menanggapi, lalu berkata, "Ibu tidak biasa jadi galak. Ya, kecuali sama Dimas kalau dia sudah kelewatan. Ah, sudahlah. Sana mandi cepat. Tadi Dimas sudah pesan sama Ibu buat temani kamu beli lemari sama meja rias. Jadi setelah Ibu masak, kita bisa pergi."
Hanna mengangguk antusias, ternyata Dimas tidak bohong dengan ucapannnya semalam. Ia beranjak ke kamar mandi, meninggalkan mertuanya yang sungguh baik hati.
*****
Setelah ganti baju dan sarapan, Hanna menghampiri Dimas di kantornya. Di gedung sederhana tersebut, Hanna disambut suara riuh anak PAUD yang begitu antusias bernyanyi. Tanpa sadar ia tersenyum mengingat Hafiz. Bayi laki-laki itu sebenarnya telah mencuri hatinya, hanya saja ia canggung saat harus berhadapan dengan kakaknya. Padahal ia sudah tidak canggung lagi dengan Vania.
Membayangkan jika keponakannya tersebut sudah masuk usia sekolah, pasti menyenangkan. Tiba-tiba saja pikirannya terhenti saat melihat seorang ibu yang sedang menunggui anaknya. Ibu muda dengan perut membuncit di balik gamis merah. Ah, akan lebih menyenangkan kalau ia punya anak sendiri.
Anak?
Hanna menggeleng dengan senyum bodoh seraya melangkah mencari ruangan Dimas. Pikirannya sudah terlalu jauh. Memang bisa ia punya anak dengan Dimas? Tetapi mengingat bagaimana reaksi lelaki itu semalam, rasanya tidak ada yang tidak mungkin. Hanya saja ... apakah suaminya itu mau punya anak darinya?
Langkahnya terhenti di depan sebuah ruangan yang terdapat keterangan dengan tulisan KETUA. Pintu terbuka lebar, Hanna melongokan kepalanya. Benar saja itu ruangan Dimas, dan ia bisa melihat lelaki itu berdiri di depan mejanya, tetapi dia tidak sendiri. Hanna menegakkan tubuhnya saat melihat seorang wanita muda bergamis biru tua dengan kerudung warna senada yang lebih cerah. Ada rasa tidak suka yang menyelinap karena ia menangkap tatapan tidak biasa dari wanita itu pada Dimas yang sedang fokus pada laptopnya sambil menjelaskan.
"Dimas!" Hanna melangkah masuk dengan percaya diri, mengagetkan dua orang di dalam sana.
Dimas tampak kaget melihat Hanna mendekat. Ekspresi wanita di sampingnya pun sama kagetnya.
"Sibuk, ya?" tanya Hanna dengan senyum percaya diri, tanpa canggung menggamit lengan kokoh Dimas.
Lelaki itu mengernyit heran, sedetik kemudian dia beralih pada wanita berkerudung yang masih kaget dan bingung menatapnya dan Hanna. "Oh, ya, Lani. Kamu terusin itu proposalnya, kirimnya lewat email saja biar tidak ribet saya periksa nanti."
Wanita muda itu mengangguk dan tersenyum, mengambil map tebal di atas meja. "Baik, Bang. Permisi, assalamu'alaikum."
"Walaikumsalam."
"Abang?" celetuk Hanna ketika wanita yang bernama Lani tadi sudah keluar, melepaskan tangan Dimas dengan raut datar.
"Ngapain ke sini?" Dimas beranjak duduk di kursinya, sibuk menatap laptop.
"Ngga mau kenalin aku sama Lani itu?" Hanna menatap seisi ruangan Dimas. "Kayaknya dia suka sama kamu, Abang Dimas!"
"Apa, sih, kamu? Ngapain ke sini?" Dimas menatap kesal.
Hanna tersenyum, mengurungkan niat untuk langsung mengatakan maksud kedatangannya. Ia masih penasaran dengan hubungan Dimas dan wanita tadi. "Jutek amat! Apa kamu juga suka sama dia?"
"Kalau aku suka sama dia, yang aku nikahi dia bukan kamu!"
"Kamu nikahi aku juga karena terpaksa, bukan karena cinta. Jadi bisa saja kamu suka sama dia," lirih Hanna, memalingkan wajah dan tersenyum miris. Mengembuskan napas pelan, ia mengalihkan pembicaraan dengan niat awalnya datang. "Aku mau pergi dengan Ibu seperti katamu semalam. Ada uang? Tidak mungkin aku pakai uangku sendiri."
Tanpa kata, Dimas membuka laci mejanya mengambil amplop cokelat dan meletakkannya di meja. "Pakai itu. Beli yang mana yang cocok untukmu. Sisanya simpanlah."
Hanna mengambil amplop tersebut, matanya memicing melihat nominal uang kertas yang masih tampak baru dengan segel bank. "Kamu ngga korupsikan?"
"Astagfirullah! Begitu cara berpikirmu tentang suamimu?"
"Ups! Suami?" lirih Hanna miris.
"Itu tabunganku. Bicaramu makin ngawur saja!" Dimas menyerahkan kunci mobilnya. "Serahkan itu sama Bapak, aku tadi lupa bilang, cuma bilang sama Ibu saja."
Hanna mengambil kunci mobil tersebut, menatap Dimas ragu. "Aku cuma mengingatkan saja, pekerjaanmu rawan terkait dana LSM. Tapi ya sudahlah, kamu lebih berpengalaman." Ia berbalik melangkah ke pintu lalu berhenti dan menoleh. "Aku bebas berbicara saat kita di luar kamar, kan? Jadi aku cuma mau bilang, kalau ada wanita lain yang kamu cintai, kamu boleh nikahi dia. Tapi kita cerai dulu, karena aku ngga mau dipoligami!"
Tanpa menunggu respon Dimas, Hanna melangkah cepat pergi dari sana.
*****
Untuk kesekian kalinya Dimas menguap lebar, mata sayunya menatap tanpa minat layar laptop yang masih menampilkan file laporan bulanan yang tidak kunjung selesai ia kerjakan. Sudah lebih dari dua jam ia duduk di sana sejak Hanna pergi. Pikirannya berkelana tidak tentu arah, dari kejadian semalam hingga ucapan Hanna tadi.
Kejadian di mana Hanna sungguh menggoda imannya. Aroma parfum dan tubuhnya yang menguar lembut, membuatnya tidak bisa menahan diri walaupun hanya sekedar memeluk istrinya itu semalaman sehingga ia susah tidur. Lalu ucapan konyol Hanna tadi menuduhnya yang akan poligami hanya karena melihat ia bersama Lani. Yang benar saja. Satu istri saja ia belum mampu mendidiknya, bagaimana bisa ingin menambah istri?
Dimas menggeleng seraya mengusap wajah, terdengar suara azan berkumandang di masjid. Ia menggeser kursor di layar laptop, menutup file dokumen yang tidak ada perubahan isi sejak tadi malam. Mematikan benda elektronik tersebut, lalu merapikan meja. Ia berjalan keluar meninggalkan kantor menuju masjid yang tidak jauh dari sana.
"Bapak sudah pulang?" Dimas menyapa Pak Budi yang baru tiba di masjid.
"Pulang dari mana? Bapak tidak ke mana-mana."
Dimas mengernyit heran lalu berkata, "Antar Hanna sama Ibu beli lemari dan meja di desa sebelah."
"Oh, Bapak tidak ikut. Hanna bisa nyetir mobil sendiri, wajarkan orang kota sama kayak Vania. Beda dengan di sini, jangankan wanita menyetir mobil, motor saja masih bisa dihitung jari yang bisa."
"Bapak suruh Hanna nyetir sendiri?" Suara Dimas terdengar kesal.
"Sebenarnya tidak. Tapi Hanna yang meminta, ya, sudah Bapak izinkan."
Rahang Dimas mengetat, ia sungguh kesal karena Hanna tidak mengindahkan ucapannya. Ia tidak peduli istrinya itu bisa menyetir mobil atau tidak, yang ia pedulikan adalah Hanna patuh dengan kata-katanya bukan membangkang.
"Sudah iqomah itu. Ayo, masuk. Kamu sudah wudhu, kan?"
Dimas mengusap kasar wajahnya. "Astagfirullah, belum, Pak."
"Ya sudah sana cepat!"
Dimas mengangguk segera ke tempat wudhu. Meredakan emosi yang menguasai hati dan pikiran lalu bergegas untuk ikut salat berjamaah.
Jamaah salat siang itu satu persatu meninggalkan masjid, tidak terkecuali Dimas. Ia melangkah cepat berharap Hanna dan ibunya sudah di rumah, tetapi kosong. Rumahnya masih terkunci tidak berpenghuni.
"Mereka belum pulang juga, Pak?" tanya Dimas khawatir.
"Sabar, Nak. Pasti singgah salat dulu di jalan."
Dimas tidak menjawab, ia mendudukkan diri di kursi teras membiarkan bapaknya yang masuk lebih dahulu. Lima menit menunggu, mobilnya terparkir rapi di depan rumah. Hanna dan Bik Minah keluar dengan wajah sumringah.
"Dari mana saja! Aku sudah bilang pergi diantar Bapak, kenapa keras kepala menyetir sendiri?" hardik Dimas bahkan sebelum dua wanita beda generasi tersebut mengucap salam.
Hanna dan Bik Minah bertatapan bingung, raut mereka berubah pias mendapat sambutan murka dari Dimas.
"Kenapa marah-marah? Ibu sama istri kamu pulang bukannya salam dulu."
"Istri macam apa yang keluar rumah tanpa mendengarkan ucapan suami?" Tatapan Dimas menghujam, membungkam Hanna sejenak.
"Dimas ...."
"Bu, aku bicara dengan istriku!" Dimas masih menatap Hanna tegas.
"Aku bisa menyetir sendiri, makanya tidak mau merepotkan Bapak. Tadi kami singgah dulu di masjid sebelah, Ibu salat di sana. Jangan terlalu khawatir padaku. Aku punya SIM kok, bahkan bisa menyetir sendiri sampai ke kota," ujar Hanna setenang mungkin.
"Aku tidak khawatir pada wanita keras kepala sepertimu! Yang aku khawatirkan itu Ibuku yang kamu bawa!" ujar Dimas penuh emosi karena Hanna begitu lancar membela diri, bukannya diam atau mengakui kesalahannya.
Mata bening Hanna berkaca-kaca, hal itu tertangkap pandangan mata Dimas. Sayangnya lelaki itu terlalu emosi dan ego yang tinggi, membuatnya tidak peduli.
"Oh, maaf kalau begitu. Maaf membawa Ibumu tanpa izinmu. Lain kali tidak akan terjadi lagi." Hanna mengusap air mata yang sudah mengalir cepat. Sudah pasti wanita itu tersinggung atas ucapan Dimas. Dia merogoh tas yang tergantung di punggung, mengambil amplop cokelat dan langsung meraih tangan Dimas, menyerahkan benda tersebut. "Itu uangmu. Simpan sendiri!"
Dimas bergeming, meremas amplop di tangan saat Hanna meninggalkannya ke dalam rumah.
"Sebenarnya kamu ini kenapa, Dimas? Ibu ini baik-baik saja, dan Hanna mengemudikan mobil dengan baik. Jangan terlalu berlebihan apalagi memarahinya sampai demikian!"
"Apa aku salah memarahinya kalau tidak menuruti kataku? Aku suaminya, Bu. Aku berhak marah," lirih Dimas.
"Kamu berhak marah, tapi bukan seperti tadi caranya. Tingkahmu seperti suami yang murka karena cemburu istrimu selingkuh dengan laki-laki lain. Sangat tidak pantas, apalagi memarahinya di depan Ibu bahkan masih di luar rumah begini!"
Dimas tertunduk saat ibunya meninggalkannya masuk rumah. Ada apa dengannya? Emosi tidak terkendali hanya karena ucapannya tidak dituruti Hanna? Ia seperti haus akan pengakuan Hanna sebagai suami. Apa ia berlebihan?
0 comments:
Posting Komentar