❤ *CINTA*
*di Batas Cakrawala*
🌅 nomor - 15
(Kilasan Masalalu)
Part sebelumnya, silakan cek wall, atau Wattpad @Sah_Three.
Hanna menggamit lengan Bik Minah setelah keluar dari mobil, mereka berjalan menyusuri kios-kios di pasar tradisional terbesar di antara tiga desa di ujung pulau. Setelah memesan lemari dan meja rias sesuai keinginan Hanna, Bik Minah mengajak menantunya itu untuk sekedar melihat-lihat ke pasar.
"Ibu mau belanja?" tanya Hanna penasaran, melihat sekeliling. Itu adalah pertama kalinya ia menginjakkan kaki di pasar tradisional. Kebiasaannya adalah masuk mall-mall besar di kota, dan hanya tahu pasar seperti ini lewat media cetak maupun elektronik.
"Tidak, kalau untuk bahan makanan, di desa kita juga ada. Tapi di sini pasarnya lebih besar, dan barang-barangnya lengkap."
Hanna mengangguk, tangannya tetap mengerat di lengan sang mertua. Bukan karena takut nyasar, tetapi ia suka saat seperti itu. Bisa berjalan dengan akrab bersama seorang wanita yang ia panggil 'ibu', walaupun hanya ke pasar.
"Bu ...." Hanna menarik lengan Bik Minah, melangkah perlahan ke arah sebuah toko baju muslim.
Bik Minah menatap heran menantunya. "Kamu mau beli baju?"
Hanna mengangguk. "Iya, tapi buat Ibu," bisiknya tanpa canggung, seakan pada ibu sendiri.
"Kenapa buat Ibu, Nak?"
"Ya ngga apa-apa. Aku pengen aja." Hanna menarik lengan Bik Minah agar semakin mendekati pedagang tersebut di tokonya.
"Dimas ngasih uang itu buat kamu. Lebih baik kamu beli kebutuhan kamu, jangan buat Ibu."
Hanna menggeleng cepat seraya tersenyum. "Bukan pake uangnya Dimas. Tapi pake uang aku sendiri, Bu. Ya? Mau, ya?" Ia memelas manja, tingkahnya benar-benar membuat Bik Minah tidak kuasa menolak.
"Ya sudah, tapi jangan yang mahal-mahal, ya?"
Hanna hanya mengangguk, lalu mulai mencarikan gamis yang bagus untuk ibu mertuanya.
"Ibu suka ini?" tanya Hanna.
Bik Minah mengangguk, sebuah gamis berwarna hitam yang ditunjukkan Hanna memang menarik perhatiannya.
"Kalau gitu Ibu coba, ya? Aku mau beliin Ibu dua."
"Jangan banyak-banyak, Hanna ...."
"Ngga banyak, Ibu. Cuma dua aja, ya?" pinta Hanna lagi. Wajah memelasnya lagi-lagi membuat ibu mertuanya itu tidak kuasa menolak.
Hanna tersenyum senang saat Bik Minah masuk ke dalam toko tersebut untuk mencoba dua potong gamis pilihannya lengkap dengan kerudung. Ia membayangkan kapan bisa seperti itu dengan maminya? Punya waktu berdua, berbelanja, dan melakukan hal sederhana yang biasa dilakukan ibu dan anak perempuannya.
"Gamisnya, pas, Nak." Suara Bik Minah membuyarkan lamunan Hanna.
"Oh, oke. Jadi berapa semua, Pak?" Hanna beralih pada si penjual.
"Lima ratus ribu, Mbak."
Hanna dengan tenang membuka tasnya, tetapi langsung dihentikan Bik Minah.
"Limas ratus ribu? Kenapa mahal sekali? Tidak kurang?"
"Ibu ... kenapa ditawar lagi?" tanya Hanna kaget.
"Ini harganya terlalu mahal. Masa sampai lima ratus ribu. Masih bisa ditawar ini."
Hanna menggeleng. "Ngga usah, Bu. Kasihan kalau kita tawar lagi dagangannya, mereka dapat untung dari mana? Lagian bahannya bagus, kok," jelasnya lembut.
Bik Minah menatap Hanna heran, dengan pikiran yang entahlah ....
"Ini, Pak." Hanna menyerahkan lima lembar uang pecahan seratus ribuan pada si pedagang, lalu kembali menggamit lengan Bik Minah yang terdiam.
"Lain kali, jangan lagi, ya?" ujar Bik Minah saat mereka kembali melangkah.
"Ngga janji, Bu." Hanna terkekeh melihat raut wajah Bik Minah yang cemberut. "Lagian cuma sama Ibu, aku bisa kayak gini."
"Maksud kamu?"
"Eh, ngga kok. Ngga apa-apa, itu sudah azan. Mendingan kita pulang, kasihan Bapak nanti makan sendiri," ajak Hanna mengalihkan perhatian.
Bik Minah hanya mengangguk saat Hanna mengajaknya kembali ke mobil.
*****
Setelah singgah sebentar untuk salat, Hanna melajukan mobil perlahan masuk desa tempatnya tinggal. Senyum terus tersungging di wajah cantiknya karena bahagia. Akhirnya ia bisa seperti teman-teman sekolahnya dulu, jalan berdua dengan seorang ibu walaupun yang ada untuknya saat ini hanyalah ibu mertua.
"Itu Dimas sudah di rumah," ujar Bik Minah saat mobil mendekat, lalu terparkir depan rumah.
Hanna masih tersenyum tanpa menjawab, ia membuka sabuk pengaman lalu keluar menghampiri Dimas diikuti Bik Minah.
"Dari mana saja! Aku sudah bilang pergi diantar Bapak, kenapa keras kepala menyetir sendiri?!"
Hanna dan Bik Minah bertatapan bingung, wajah mereka berubah pias mendapat sambutan murka dari Dimas bahkan sebelum mereka mengucap salam.
"Kenapa marah-marah? Ibu sama istri kamu pulang bukannya salam dulu."
"Istri macam apa yang keluar rumah tanpa mendengarkan ucapan suami?" Tatapan Dimas menghujam, membungkam Hanna.
"Dimas ...."
"Bu, aku bicara dengan istriku!" Dimas masih menatap Hanna tegas.
"Aku bisa menyetir sendiri, makanya tidak mau merepotkan Bapak. Tadi kami singgah dulu di masjid sebelah, Ibu salat di sana. Jangan terlalu khawatir padaku. Aku punya SIM kok, bahkan bisa menyetir sendiri sampai ke kota," ujar Hanna setenang mungkin, tidak ingin Dimas mengacaukan perasaan bahagianya.
"Aku tidak khawatir pada wanita keras kepala sepertimu! Yang aku khawatirkan itu Ibuku yang kamu bawa!" ujar Dimas penuh emosi.
Mata bening Hanna langsung berkaca-kaca, menatap lekat bola mata hitam Dimas. Ia sungguh tidak menyangka, ternyata sedikitpun tidak ada rasa khawatir suaminya itu padanya? Apa mungkin karena wanita di ruangannya tadi?
"Oh, maaf kalau begitu. Maaf membawa Ibumu tanpa izinmu. Lain kali tidak akan terjadi lagi." Hanna mengusap cepat, air mata yang sudah mengalir. Tanpa mengalihkan pandangan, tagannya merogoh dalam tas, mengambil amplop cokelat dan langsung meraih tangan Dimas, menyerahkan benda tersebut. "Itu uangmu. Simpan sendiri!"
Sekuat tenaga Hanna berusaha agar tangisnya tidak pecah, tetapi tidak berhasil. Ia menangis di depan bapak mertuanya yang baru kembali dari dapur.
"Hanna, sudah pulang? Mana Ibu?" Pak Budi menatap heran menantunya yang menangis sesenggukan. "Kenapa menangis?"
Hanna tidak menjawab, ia melanjutkan langkahnya ke kamar, menangis di dalam sana hingga disusul Bik Minah.
"Hanna ...."
Hanna duduk di pinggir tempat tidur, menangkup wajahnya yang sudah basah. Menangis sesenggukan apalagi saat dipeluk Bik Minah.
"Jangan dengarkan Dimas. Tadi dia hanya emosi. Percayalah, dia juga khawatir padamu, tapi terlalu gengsi untuk mengakuinya," ujar Bik Minah dengan tangan mengusap punggung menantunya yang masih bergetar.
"Ngga, Bu. Di-mas ngga khawatir sama aku. Di-a mem-benciku karena mengikatnya dengan per-nikahan ini," lirih Hanna tersendat.
"Semua tidak benar, Nak."
Hanna melepaskan pelukan Bik Minah, menatap wanita paruh baya itu dengan wajah bersimbah air mata. "Semua benar, Bu. Dimas membenciku karena pernikahan ini, sehinga dia tidak bisa menikah dengan wanita yang dia cintai itu."
Bik Minah mengernyit khawatir. "Wanita yang Dimas cinta? Siapa?"
"Wanita itu, yang panggil Dimas, Abang. Aku tidak tahu dia siapa, yang jelas Dimas menyebut namanya, La-ni."
"Lani? Oh, Dimas sendiri ngaku sama Ibu, kalau dia tidak suka sama guru PAUD itu. Kecuali ...." Bik Minah menahan ucapannya.
"Kecuali siapa?" tanya Hanna penasaran, tangisnya sudah terhenti.
Bik Minah menggeleng cepat. "Tidak, itu sudah masalalu. Apapun yang terjadi, kamulah istrinya Dimas dan masa depannya. Menantu Bapak dan Ibu."
Perasaan Hanna tidak tenang, ia menatap curiga mertuanya itu. Seakan ada yang disembunyikan, tetapi entah apa dan ia yakin itu ada kaitannya dengan Dimas dan masalalunya.
"Dimas masih mencintai seseorang, kan, Bu?"
"Apapun itu, berjanjilah untuk tetap setia menjadi istrinya Dimas. Jangan anggap Ibu dan Bapak sebagai mertua, tapi sebagai orang tuamu sendiri, ya, Nak?"
Hanna mengangguk, menatap mata tua yang berkaca-kaca di hadapannya. Ia langsung menghambur memeluk Bik Minah dan kembali menangis.
*****
Pagi itu, Hanna terbangun sendiri di kamar. Semalam ia masih larut dalam kesedihannya hingga tertidur dengan cepat. Tadinya ia berpikir kalau Dimas tidak tidur di kamar, tetapi ia salah. Bantal dan sebuah selimut yang berbeda dengan yang ia pakai tampak berserakan di sisi kosong tempat Dimas seharusnya berbaring. Ia tersenyum miris, apalagi tidak menemukan suaminya itu di rumah jam setengah tujuh pagi saat sarapan.
Kamar telah tertata rapi. Pakaian Hanna yang sebelumnya tertumpuk di koper, kini sudah punya tempat tersendiri di dalam lemari. Berikut juga dengan alat make upnya telah tertata di meja rias. Sedangkan buku-bukunya, ia tempatkan di meja kosong yang memang sudah ada di sana sejak ia datang.
Setelah merapikan kamar, Hanna keluar dengan setumpuk pakaian kotor. Bukan hanya miliknya tetapi juga dengan Dimas. Memang lelaki itu tidak menyuruhnya, hanya saja ia sadar diri walaupun tidak dianggap, setidaknya kedua mertuanya sangat menghargainya.
"Eh, Hanna? Mau apa, Nak?" Bik Minah seperti kebiasaannya sehari-hari di dapur.
"Nyuci, Bu. Aku nyuci di belakang aja, airnya jalan, kan?"
"Kamu yakin, mau nyuci? Di sini tidak ada mesin cuci, biar Dimas saja yang nyuci. Itu celananya jinsnya panjang dan berat."
Hanna tertawa mendengar kekhawatiran mertuanya. "Ibu santai aja. Aku ngga apa-apa, kalau soal nyuci aku biasa kok, sejak tinggal di rumah nenek, aku harus nyuci sendiri. Cuma masak aja yang aku masih ngga bisa."
"Kamu yakin?"
"Iya, Ibu ngga usah khawatir, ya? Hari ini aku nyuci dulu, besok baru belajar masak?" Hanna tersenyum, memastikan pada mertuanya bahwa ia benar-benar baik-baik saja.
"Ya sudah."
Hanna bergegas menuju belakang rumah, melakukan aktivitas yang sudah akrab dengannya sejak kecil. Tanpa tahu ada sepasang mata yang mengamatinya dari jauh.
Beberapa hari yang dilewati Hanna, hubungannya belum juga membaik dengan Dimas. Lelaki itu masih mendiamkannya, walaupun mereka sudah rutin makan siang dan malam bersama di rumah, serta Hanna telah memastikan ia tidak tidur sendiri malam harinya. Hanya saja Hanna ikut diam, ia tidak ingin memulai pembicaraan jika memang Dimas tidak menginginkan. Ia sadar, seperti apa posisinya. Saat ini ia hanya bertahan karena kedua mertuanya yang ia anggap sebagai orang tua sangat menyayanginya.
Sehari-hari Hanna menghabiskan waktu dengan belajar berbagai hal dengan Bik Minah. Yang paling ia sukai adalah memasak, terutama menggoreng ikan. Ia akan histeris dan melompat-lompat saat minyak ikan menyerangnya. Semua terasa menyenangkan, membuatnya hampir lupa akan dinginnya sikap Dimas. Kecuali saat malam tiba, saat ia sendiri di kamar, yang terbayangkan olehnya adalah Malik. Salahkah, kalau ia berharap Maliklah yang seharusnya menjadi suaminya?
*****
Akhirnya Dimas menyerah. Empat hari ia rasa waktu yang sudah terlalu lama untuk mendiamkan Hanna. Ah, sebenarnya tidak juga. Ia tidak mendiamkan istrinya itu, hanya saja ia tidak tahu apa yang harus dikatakan saat mereka bersama. Dari mana memulai pembicaraan setelah sebelumnya ia memarahi Hanna sedemikian rupa sampai wanita itu turut bersikap datar dan pendiam. Tidak ada lagi ocehan provokasinya yang membuatnya harus beristigfar menahan emosi.
Malam itu, sama seperti malam sebelumnya, di mana ia akan menyibukkan dirinya di kantor. Lalu akan kembali ke rumah menjelang tengah malam saat ia yakin Hanna sudah tidur. Bedanya, malam itu Dimas memutuskan kembali saat baru jam sembilan malam, karena hari itu pekerjaannya lumayan banyak sehingga ia butuh tidur yang cukup.
Dimas melangkah keluar kantornya yang entah kenapa sudah sepi. Langit malam yang gelap tanpa cahaya, serta angin yang berembus cukup kencang membuatnya merapatkan jaket hingga sampai rumah.
Membuka pintu kamar perlahan, sama seperti sebelumnya, pemandangan Hanna yang sudah terlelap menyambutnya. Namun ada yang berbeda dari istrinya itu, tanpa selimut yang menutupi tubuhnya serta sebuah buku yang tergeletak di atas tempat tidur. Dimas yakin, Hanna pasti ketiduran karena kelelahan terlalu banyak beraktivitas di rumah.
Ia mengambil buku tersebut untuk diletakkan di meja, tetapi gerakan tangannya terhenti saat menemukan satu lembar foto yang ia yakin wanita dalam foto tersebut adalah istrinya. Lalu, siapa laki-laki yang bersamanya?
Karena penasaran, Dimas membolak balikan foto tersebut tetapi tidak menemukan apapun sebagai keterangan. Lalu perhatiannya teralihkan pada buku tebal di tangan, ia membukanya asal. Terdapat banyak tulisan tangan di sana, dan satu nama yang tertulis membuat Dimas membeku untuk beberapa saat. Malik, ia masih ingat dengan jelas nama itu yang disebut Hanna saat malam kebersamaan mereka di hotel satu bulan lalu.
Siapa Malik? Apakah lelaki itu kekasih Hanna yang membuatnya mabuk malam itu? Tetapi seingat Dimas, saat bertengkar dengan Haris karena masalah mereka terbongkar, yang disebut Hanna sebagai alasan bukan nama Malik. Lalu siapa lelaki itu?
"Maaf kalau aku egois, bahkan terkesan munafik. Aku pernah mengatakan padamu, bahwa kamu harus menikah dengan laki-laki yang kamu cintai, kan? Entah kenapa, saat terasa waktuku semakin berkurang, rasanya berat merelakanmu, Hanna. Aku selalu berharap hatimu tetap untukku, walaupun aku sudah tiada dan kamu telah menemukan seseorang yang lebih baik dan tentu lebih sehat dibandingkan aku. Maafkan aku, Hanna. Maaf ...."
Dimas memejamkan mata, menahan gemuruh dalam dada. Ia tidak tahu apa yang tengah hatinya rasakan, tetapi yang jelas ia tidak suka kenyataan itu. Kenyataan di mana Hanna masih menyimpan nama seseorang yang telah tiada saat sudah berstatus sebagai istrinya.
Ia meletakkan buku tersebut asal di atas meja rias, lalu berbaring tanpa ganti baju terlebih dahulu di samping Hanna. Menatap lekat wajah yang putih kemerah-merahan di hadapannya. Cantik, walau dalam keadaan polos tanpa sapuan make up. Tangannya terulur menyentuh dua alis tebal istrinya itu, turun ke hidung yang mancung khas timur tengah. Dimas menyingkirkan tangannya agar tidak menyentuh bibir Hanna yang menggoda. Lalu tangannya terhenti sebelum menyentuh kulit halus di pipi Hanna. Ia baru menyadari adanya jejak air mata di sana.
"Siapa yang kamu tangisi? Dia? Atau aku?" gumam Dimas, mengusap lembut pipi Hanna.
Hanna melenguh pelan tanpa bergerak, tampak tidurnya tidak terganggu sedikitpun. Entah lelah karena banyak melakukan kegiatan di rumah, atau karena menangis? Beragam pertanyaan berputar di otak Dimas.
Dimas menyingkirkan bantal guling yang selalu membatasi mereka beberapa malam sebelumnya. Lalu menyelimuti Hanna sebatas leher. Ia mendekat, mendaratkan kecupan untuk pertama kali dalam kesadarannya di pucuk kepala Hanna.
"Dia dengan egois memintamu tetap mencintainya walaupun telah tiada. Apakah sebagai suamimu aku juga egois karena memaksamu melupakannya?"
*****
Seraya mengeringkan rambutnya, Hanna gelisah sambil merapikan kamar. Buku yang selalu menemaninya setiap malam tidak ia temukan di manapun. Lemari, laci meja, meja rias bahkan koper dan tasnya telah ia periksa.
"Di mana, ya? Tadi malam masih ada," gumam Hanna kesal. Duduk di pinggir tempat tidur sambil memutar otak, memikirkan apa yang ia lakukan semalam sebelum tidur.
"Aku ketiduran? Lalu bukunya? Apa Dim—" Ucapannya terhenti saat pintu terbuka.
Hari masih pagi, baru jam setengah tujuh. Dan Hanna tidak menyangka akan melihat Dimas masih di rumah, tidak biasanya. Lelaki itu masuk ke kamar dengan handuk di leher sambil mengusap rambutnya yang basah, telanjang dada, hanya memakai boxer biru.
Hanna ingin bertanya, tetapi ia ragu. Hubungannya dan Dimas sangat dingin, dan mereka hampir tidak pernah terlibat pembicaraan sebelumnya setelah murkanya siang itu.
"Hm ... Dimas ...." Akhirnya Hanna memberanikan diri, berkata lirih. Jemarinya saling bertautan bingung dia atas lutut.
Dimas menghentikan tangannya yang sedang membuka lemari. Sebelah alisnya terangkat saat menoleh. "Apa?"
Hanna menelan ludah susah payah. Suara Dimas terdengar datar membuatnya ragu untuk bertanya, tetapi buku itu penting baginya. "Apa ... apa, kamu melihat buku?"
Dimas menutup pintu lemari tanpa mengambil baju, menghadap Hanna sepenuhnya. "Buku apa?"
"Buku ... bukuku, di sini semalam." Hanna menepuk sisi tempat tidur.
"Bukumu? Atau bukunya Malik?"
Hanna tersentak kaget. "Malik? Kamu tahu bukunya? Kamu baca?"
"Ya, dan sudah aku buang di laut saat berenang tadi," jawab Dimas santai.
"Apa!" pekik Hanna shock. "Kamu membuangnya?!"
"Kenapa? Apa pentingnya buku itu untukmu?"
Hanna berdiri, mendorong Dimas hingga lelaki itu sedikit terhuyung ke belakang. Mata cokelatnya menatap tajam. "Siapa yang menyuruhmu membuangnya? Lancang sekali!"
Dimas mendengus kesal. "Aku suamimu, aku berhak melakukan itu."
"Kamu tidak punya hak! Itu barang pribadiku!" Hanna tidak kuasa menahan tangis.
"Karena kamu masih mencintai Malik itu?" tanya Dimas sinis.
"Karena hanya Malik yang tulus mencintaiku. Dia tidak pernah menyakitiku kecuali ...," Hanna menghela napas yang tersendat sambil terisak, "Kecuali kematiannya."
Hanna menutup mulutnya agar suara tangisnya tidak terdengar sampai di luar kamar dan membuat mertuanya khawatir. Ia tersentak kaget saat Dimas sudah berdiri di hadapannya, menatapnya dengan pandangan yang tidak bisa ia artikan. Tubuhnya terasa membeku saat tanpa kata, jemari Dimas terulur menyentuh kedua pipinya. Mengusap lelehan air matanya.
Tanpa diduga, Dimas menangkup kedua pipinya lalu wajahnya mendekat. Hanna mengerjap kaget saat Dimas mencium bibirnya dengan tangan kokoh lelaki itu beralih di pinggangnya, memeluknya erat.
"Dim—"
"Apa kamu masih mencintainya?" bisik Dimas parau disertai embusan napas yang terasa hangat, menyapu wajah Hanna. Sekujur tubuhnya meremang membuat lidahnya kelu.
"Aku—" Hanna tidak mampu melanjutkan ucapannya karena Dimas kembali membungkamnya.
Astaga! Ada apa dengan lelakinya itu? Apakah dia cemburu pada Malik? Atau? Hanna sudah tidak sanggup memikirkan apapun lagi. Ia hanya berharap, Dimas melakukan semua itu padanya dengan penuh kesadaran.
Bersambung ....
Semoga Mamas Dimas benar-benar sadar!
0 comments:
Posting Komentar