CERBUNG JILID 14

Cerbung....


*Aku Bukan Wanita Bodoh*

*Jilid......14*


Tak ada puasnya lelaki itu menorehkan luka, luka tak berdarah.

"Lakukan sesuai prosedur dan peraturan yang ada di militer Pak."

Kataku mantap, dengan tatapan masih menghujam ke arah lelaki di depanku.

"Apa Ibu sudah siap dengan segala resikonya? Ayo Bu mumpung masih di sini, belum sampai ke Polisi Militer."

"Saya tak punya alasan untuk mempertahankannya,"Kataku datar.

Kasi Intel menarik nafas panjang. 

"Baik, silahkan buat berita acara. Kamu Amin, sudah siap di pecat. Saat ini kamu boleh menjalani perawatan untuk beberapa hari tentunya dengan pengawalan ketat. Selanjutnya tempat kamu di sel. Dan wanita ini tetap menjalani perawatan jangan ke mana-mana kita butuh keterangan darinya. Silahkan Bu Amin kalau mau melanjutkan laporan ke Polisi untuk wanita ini, adukan kasus perzinahan."

"Siap, Pak."

Karin melotot ke arahku. Aku pura pura tak melihatnya.

Kasi Intel menutup pembicaraan dan keluar dari ruangan. Aku juga berniat keluar dari situ, ketika terdengar suara Karin menggema.

"Kamu mau melanggar perjanjian itu Merry? Benar kamu mau melaporkan aku ke Polisi?"

"Aku gak melanggar janji. Itu kan perjanjian kalau kalian gak ketahuan komandan. Sekarang kan ketahuan salah kalian sendiri, tak bisa membendung nafsu. Lagian ini kan perintah, ya aku harus nurut. Udah, hitung-hitung kamu nungguin Mas Amin aja sampe selesai sidang dipenjara. Kamu gak akan kesepian," Kataku santai.

"Jangan bercanda. Aku gak mau di penjara," Teriak Karin emosi.

"Aku hanya melaksanakan perintah. Kan aku dah kasih tahu kamu resiko selingkuh sama TNI. Kamu ngotot. Nah sekarang nikmati. Lagian nanti juga kamu akan selamanya bersama lelaki pujaanmu itu. Udah di pecat kan bisa santai seharian dirumah."

"Kamu gak usah senang gitu Merry, di pecatpun Mas Amin gak akan kelaparan. Lha kamu harus banting tulang buat nafkahin diri sendiri, kasihan."

Cibir Karin. Aku hanya diam males meladeni. Aku lebih memilih mendekati Mas Amin.

"Mas, rumah mau aku jual. Aku akan pergi dari kota ini.Kamu gak usah takut gak kebagian. Hasil penjualan rumah nanti kita bagi dua.Tapi jatah kamu di bagi dua lagi buat anak-anak. Kamu gak keberatan kan?"

"Hahaha...gak di kasih juga gak apa-apa, lagian tuh rumah paling laku dua ratus juta. Belum di bagi dua belum punya Mas Amin di bagi dua. Udah buat kamu aja, ntar kamu jadi gembel lagi hahaha...,"

"Hentikan tawanya Bu, di sini bukan pasar"

Suara Pak Wahyu langsung membungkam mulut Karin. Dengan muka masam Karin berusaha diam.

"Benar Mas, kamu gak mau uangnya."

"Iya gak perlu."

Jawab Mas Amin ketus.

"Benar nih, aku rekam deh biar yakin."

Ku ambil telepon genggam di tas dan menyalakan rekaman. Ku sodorkan dekat Mas Amin.

"Benar Mas uang hasil penjualan rumah semuanya buat aku?"

"Iya buat kamu semua dan anak-anak. Lagian itu kan semua uang tabungan kamu."

"Kan tabungan juga berasal dari gaji kamu"

"Udah ga usah drama, dah di tolak bukannya bersyukur"

Karin menyela.

"Benar nih mas, yakin?"

"Iya, yakin."

Ku matiin rekamannya. Dan mendekati Karin. Wanita itu terlihat mengenaskan sebenarnya. Wajahnya sudah seperti balon yang di tiup. Mata sipitnya makin tak kelihatan karena pipinya yang melendung. Kalau aku jadi Karin,lebih memilih memakai masker dan tak kan keluar sebelum sembuh. Tapi entah apa  yang ada di pikirian wanita itu. Dengan tubuh makin persis buntelan dan wajah mengenaskanpun tetap percaya diri.

"Kamu gak usah membujuk Mas Amin dengan uang. Kamu gak akan bisa kasih lebih dari yang saya bisa kasih."

Kembali suara wanita itu memenuhi ruangan. Tanpa malu dengan sekitar. Aku membuka galeri foto di telepon genggam dan menyodorkannya ke Karin.

"Nih bayar dulu ya, malu dong di tagih-tagih hutang ma orang. Katanya orang kaya."

Aku berkata sambil senyum-senyum ke Karin. Melihat apa yang ku sodorkan air mukanya berubah.

"Gak mungkin, kamu ngarang ya, aku gak pernah menunggak pembayaran."

Setengah berteriak suara Karin.

"Ya sudah cek aja sendiri ke Koh Siong. Aku teleponin ya."

"Gak perlu aku bisa sendiri."

Aku mengangkat bahu.

Karin terlihat meraba-raba saku celananya. Seperti mencari sesuatu. Tapi tak lama kemudian wanita itu menepuk jidatnya sendiri.

"Nyari handphone bukan? Dah pikun ya lagi di sita."

Sengaja aku meledeknya.

Karin terlihat menahan kesal. Aku tertawa melihatnya. Ku ambil telepon genggam miliku dan menyerahkan ke Karin.
"Ini pakai saja."

Karin mendengus. Di diambilnya  benda itu dengan.kasar."

"Heran deh sama kamu, kok bisa Koh Siong nitipin ini di kamu.?"

"Iya dong bisa aja. Kan dia tahu kita tetangga. Tokonya itu adalah suplayer material untuk perusahaan tempat saya bekerja.

Karin mendengus. Segera di teleponnya Koh Siong. 

"Hallo Koh kata siapa saya menunggak pembayaran material?"

Karin nyerocos aja tanpa basa basi. Aku yang melihatnya hanya menggelengkan kepala. Entah apa jawaban Koh Siong di seberang sana. Wajah Karin terlihat memucat.

"Apa? Belum di bayar? Saya ada urusan di luar kota jadi saya belum mengecek toko. Udah sekarang Koh bisa kirim nomor rekening. Nanti saya transfer."

Karin tak menunggu jawaban apa dari Koh Siong langsung main tutup aja. Aku tahu kelemahan wanita itu, paling tak suka jika di tagih soal uang. Berapapan itu asal masih sanggup di berikan pasti di kasih. Tagihan dari Koh Siong rupanya mampu mengusik keangkuhannya. Buktinya tanpa basa basi saat itu juga langsung bersedia membayar.

Aku tersenyum melihatnya yang menggaruk kepalanya asal.

"Merry saya bisa minta tolong gak transferin uang buat Koh Siong."

"Dengan senang hati."

Jawabku cepat.

"Tumben kamu mau,"

"Aku lagi baik hari ini." Jawabku asal.

"Eh, kenapa kamu gak nanya sama Koh Siong mungkin dia tahu penyebab karyawanmu belum bayar material."

"Ah, paling juga lupa. Liatin aja kalau saya udah pulang dari sini. Aneh juga ya, biasanya ada laporan tiap minggu, kok ini belum ada."

Kali ini Karin seperti berbicara.dengan dirinya sendiri.

"Iyalah Karin gimana ada laporan dari toko, orang tokonya dah jadi debu."

Kataku dalam hati. Andai saat ini hatiku tega memberitahu targedi rumah dan tokonya. Bisa jadi insiden baru nanti terjadi. Biarlah wanita itu berpuas hati masih merasa kaya.

"Ini kartu ATM, ada empat kartu, kamu atur aja dari empat kartu ini bisa terkirim sesuai permintaan Koh Siong. Ini nomor pin. masing-masing kartu. Saya percaya kamu bukan maling kan?"

Nyinyir wanita itu.

"Emangnya kamu? Maling laki orang."

Aku berlalu dari ruangan itu. Meninggalkan Karin dengan wajah merenggut.

Pak Wahyu yang sejak tadi hanya diam ikut menyusul, setelah memerintahkan Kopral Dodi membawa Mas Amin kembali ke ruangannya.

"Bu Merry kok mau di suruh wanita itu."

"Karin namanya Pak,"

Aku tertawa merasa Pak Wahyu enggan menyebut nama Karin.

Pak Wahyu malah memandangku sambil tersenyum.

"Aku salut sama kamu. Tak ada dendam apalagi kebencian."

"Tak perlu dendam juga sebenarnya saat ini juga Karin sudah menerima hukumannya, hanya saja dia belum sadar."

Pak Wahyu mengangguk.

"Aku kagum sama Kamu. Kamu wanita tegar."

Aku terdiam mendengar ucapan Pak Wahyu. Bukan pujiannya tapi sebutan "kamu", setiap kali hanya kami berdua, terasa aneh.

"Ayo aku temenin ke ATM."

"Tak perlu Pak gak enak di lihat orang."

"Ya sudah aku tunggu di sini ya."

Aku mengangguk. Pak Wahyu duduk di ruangan tunggu salah satu poliklinik, dan aku meneruskan perjalanan ke ATM.

Transaksi berhasil. Uang senilai delapan ratus juta rupiah sudah sukses masuk ke rekening Koh Siong. Terlihat saldo masih di angka dua ratus juta untuk dua ATM masing-masing kartu. Sedangkan kedua ATM lainnya masing-masing  di bawah seratus ribu. Ah jadinya aku kepo.

Aku segera keluar dari ATM. Menuju ke ruangan Karin di rawat.

Hari sudah menjelang sore. Niatku hari ini juga kembali ke rumah. Jangan sampai anak-anak menunggu.

Belum sampai ke ruangan Karin, wanita itu terlihat sudah menunggu di koridor. 

"Ini bukti transfer."
Ku sodorkan empat lembar kertas segi empat berwarna putih tersebut.

"Kamu lihat kan ratusan jutapun saya sanggup bayar.."

Ucap Karin angkuh. Bukannya ucapan terima kasih malah nyinyiran yang ku dapat.

"Iya kamu emang kaya. Gak salah Mas Amin sampe rela jadi parasit buat kamu."

Aku beranjak dari hadapan wanita pongah itu tanpa permisi.

Bersambung...

0 comments:

Posting Komentar