Cerbung....
*Aku Bukan Wanita Bodoh*
*Jilid......13*
"Antar wanita ini ke ruangannya, atas ijin siapa dia bisa keluyuran ke sini. Mba tolong jaga sikap ya. Jangan seenak dengkul di sini!"
Terdengar suara kemarahan dari ruangan yang baru ku tinggalkan tadi. Suara Pak Wahyu. Rupanya wanita yang di maksud Pak Wahyu adalah Karin.
"Bu Merry, tunggu."
Suara Pak Wahyu menyusulku.
"Sekarang kita ke Kodam ya Bu."
Aku mengangguk. Bertiga dengan Pak Wahyu dan Kopral Dodi kami menuju Kodam.
========
Rasanya nyesak setelah mendengar penjelasan dari Kasi Intel. Mas Amin dan Karin di gerebek warga di rumah kontrakan Karin. Mereka berdua tertangkap basah tanpa menggunakan sehelai benang pun.
Berawal dari kecurigaan warga. Karin yang awalnya mengontrak sebuah rumah di dekat rumah dinas Mas Amin, setiap hari terlihat mendatangi rumah Mas Amin dan pulang pagi hari ke kontrakannya. Sebaliknya Mas Amin juga sering ke rumah Karin dan menginap sampai pagi hari baru kembali ke rumah dinas. Warga curiga, jika Karin adalah istri sah harusnya mereka tinggal serumah. Kehidupan di kampung yang sempit menjadikan mereka bahan gunjingan. Warga sudah jengah dengan kelakuan mereka. Saat di minta surat nikah dan kartu keluarga oleh pengurus RT mereka tak punya.
Malam itu ketua RT dan beberapa pengurus desa berencana membicarakan hubungan antara Karin dan Mas Amin secara baik-baik. Tadinya tak ada penggerebekan, semuanya ingin di bicarakan baik-baik. Ketua RT dan pengurusnya serta beberapa warga berencana mengunjungi Karin dulu, setelah itu baru menemui Mas Amin. Tapi tak di sangka saat sampai di rumah Karin, pemandangan tak senonoh terpampang di depan mata. Pintu yang tak di kunci memudahkan Ketua RT dan pengurus beserta warga masuk. Tentu saja mereka berang melihat kelakuan Mas Amin dan Karin yang tanpa sehelai benangpun. Tanpa sempat di cegah oleh Pak RT pukulan dan tendangan membabi buta sudah melayang ke arah Mas Amin dan Karin. Pak RT yang tak kuasa mencegah hanya bisa berteriak menyuruh berhenti, tapi justru teriakan Pak RT mengundang warga yang lain untuk datang. Bukannya melerai, kemarahan yang sudah terpendam berbulan-bulan membuat mereka sumringah, pikir mereka saat itu adalah kesempatan terbaik buat meluapkan emosi.
Aku menghela napas panjang. Miris memang, jabatan dan pangkat Mas Amin tak di pandang. Warga juga tak bisa di salahkan. Salahnya Mas Amin sendiri yang tak bisa menjaga kehormatan diri dan almamaternya.
"Gimana Bu, kasusnya mau sampai di sini atau lanjut, semua tergantung Ibu. Kalau ibu gak mau lanjut, kasus ini kita tutup sampai di sini. Pak Amin pasti di tindak, tetap di penjara dan pangkatnya di tahan untuk beberapa periode, tentu dengan konsekwensi hubungan Pak Amin dan wanita itu harus berakhir dengan surat pernyataan tentunya yang di buat Pak Amin. Kalau Ibu mau lanjut berarti kasus ini akan terus di lanjutkan sampai ke Polisi Militer."
Aku tersenyum kecut mendengar penjelasan Kasi Intel. Pak Wahyu juga hanya diam mendengarkan dan terus menatapku seolah meminta jawaban.
"Ijin Pak, kalau boleh Bapak tanya sendiri ke suami saya maunya seperti apa. Keputusanku tak ada artinya buat dia. Yang terpenting buat dia hanya hidup bersama wanita itu."
Kasi Intel menarik napas panjang, seolah ini masalah yang rumit. Pak Wahyu justru menatapku dengan pandangan penuh rasa kasihan. Aku jengah dengan tatapan itu.
"Ya sudah bawa kedua orang itu ke sini, kita tanya langsung biar gak berbelit-belit."
Perintah Kasie Intel kepada salah satu anggota yang ada di ruangan itu.
"Silahkan Bu Amin mungkin mau istirahat dulu. Sambil menunggu kedatangan suami ibu dan wanita itu."
Lanjutnya lagi. Aku mengangguk dan berpamitan dari ruangan itu.
Ya Allah kuatkan aku. Bagaimanapun lelaki itu dulu pernah jadi teman hidup, jatuh bangun berjuang waktu masih di pelosok Maluku Utara. Kadang aku hanya makan singkong rebus dan pisang, tapi aku selalu berusaha menyuguhkan nasi buat Mas Amin. Aku tak mau dia lemas saat bertugas. Meski hidup serba kekurangan tapi aku berusaha menyuguhkan makanan bergizi untuknya. Dulu aku begitu memujanya, mencintainya sepenuh hati, kasih sayang Mas Amin juga begitu dalam ku rasa. Hidup serba susah tapi hati bahagia.
Berbeda dengan saat ini. Di saat semua sudah di raih, pada akhirnya harus hancur berkeping-keping tanpa sisa. Di lubuk hati yang paling dalam aku masih berharap cinta itu. Seandainya Mas Amin mau menundukkan egonya, meminta sepatah kata maaf dariku, mungkin aku masih mau menerimanya walau hati teriris. Tapi apa, dalam keadaan babak belur pun tanpa ada rasa malu Mas Amin mengakui cintanya untuk wanita itu.
Begitu tak berharganya diri ini untuk Mas Amin.
Aku tergugu. Ku tutup wajahku dengan kedua tangan, berusaha menahan isak.
"Pakai ini,"
Pak Wahyu sudah duduk di sampingku seraya.menyodorkan sapu tangan tanpa menatapku. Tatapannya lurus ke depan.
Aku menerima sapu tangannya dengan ragu.
"Menangislah, kadang air mata di butuhkan untuk mengurangi kesedihan. Setegar apapun kamu, kamu hanyalah seorang wanita."
Lembut terasa ucapan Pak Wahyu. Suaranya tegas, tapi penuh kharisma. Andai lelaki di depanku ini adalah suamiku, sudah ku rebahkan tubuh ini ke dada bidangnya.
Ya Allah mikir apa aku ini. Ku pejamkan mata ini rapat2, aku menarik nafas panjang. Harus kuat, masa depan aku dan anak-anakku masih panjang.
"Makasih ya Pak."
Hanya itu yang tercetus dari bibirku setelah mendengar ucapan Pak Wahyu.
Pak Wahyu tersenyum, kali ini mata itu menatapku, teduh. Sejuknya tatapan itu. Andai itu tatapan Mas Amin. Segera ku palingkan wajah menatap sekelompok bougenvil di depan sana, tanaman itu bergoyang seakan meledekku.
Pak Wahyu rasanya masih lekat menatapku, terbukti saat tatapan kami bertubrukan. Sama-sama jadi salah tingkah.
"Ijin Dan di panggil Kasi Intel."
Beruntung Kopral Dodi datang, suasana jadi mencair.
"Baik. Saya segera ke sana"
Pak Wahyu menatapku lagi.
"Masih mau di sini?"
Aku mengangguk, mengiyakan.
Pak Wahyu dan Kopral Dodi berlalu. Aku menyempatkan diri untuk menelpon Aliya. Terdengar nada sambung dari seberang.
"Assalamualaikum Kak."
"Walaikumsalam Bun, kapan pulang Bunda."
"Bentar lagi ya, kalian baik-baik aja kan? Dedek gimana? Rewel gak?"
"Alhamdulilah Bun kami baik-baik aja. Dedek pintar Bun gak rewel."
"Syukur deh,"
"Oh ya Bun tadi ada yang ke sini nyari Tante Karin."
"Hah?" Aku terkejut
"Buat apa mereka nyari Tante Karin ke rumah kita?"
"Itu lho Bun Koh Siong. Katanya dia juga kenal Bunda. Biasanya perusahaan tempat Bunda kerja suka beli bahan bangunan dari tokonya."
Aku berpikir sejenak. Baru ingat kalau Koh Siong adalah suplayer bahan material untuk perusahaan Rani, tempatku bekerja.
"Terus apa hubungannya dengan Tante Karin?"
"Katanya tokonya Tante Karin belum membayar material yang di ambil. Sementara Tante Karin susah di hubungi. Tadinya Koh Siong mau langsung ke toko Tante Karin, tapi urung karena melihat tokonya juga sudah terbakar. Jadinya ke rumah kita deh, dikiranya Bunda ada, mau titipin pesan buat Tante Karin."
Jelas Aliya panjang lebar.
"Kakak bilang gak Tante Karin di mana."
"Ya gak lah Bun, males nanti di tanya macam-macem."
Dalam hati aku setuju dengan ucapan Aliya. Beruntung anakku bisa berpikir sejauh itu.
"Bun, ini ada nota dari Koh Siong buat Tante Karin. Di simpan apa di buang aja ya Bun?"
"Eh jangan, sini fotoin aja jangan di buang."
Cegahku buru buru.
"Baik Bun nanti Kakak kirim."
Aku menutup telepon. Tak sabar menunggu kiriman foto dari Aliya.
Tinggg....notifikasi WA berbunyi. Segera ku buka. Aku tersentak. Jumlah tagihan dari suplayer untuk toko bangunan milik Karin sejumlah delapan ratus juta. Melihat tanggal yang tertera, transaksi itu terjadi dua minggu sebelum kebakaran. Entah Karin yang menunda pembayaran atau pegawai tokonya yang belum bayar. Dalam hati aku bertanya-tanya. Bukan type Karin menunggak pembayaran. Itu aku tahu saat dulu masih dekat dengannya. Karena toko meubelnya adalah langgananku juga. Sebagian perabotan di rumah kami berasal dari toko meubel milik Karin.
"Bu, ayo masuk lagi ke ruangan Kasi. Pak Amin dan wanita itu sudah datang."
Ajak Pak Wahyu yang tiba-tiba sudah berdiri di depanku. Aku mengiyakan dan langsung berjalan beriringan masuk ke dalam ruangan Kasi Intel.
Di dalam ruangan sudah menunggu Kasi Intel dan beberapa perwira lainnya. Tak terkecuali Mas Amin dan Karin, duduk tegak di kursi roda. Tak terlihat rasa sesal sedikitpun di wajah keduanya.
Aku di dipersilahkan duduk tepat di samping Pak Wahyu. Suasana hening dan kaku. Mas Amin wajahnya terlihat datar tanpa ekspresi, sementara Karin meski tetap menunjukan keangkuhannya tetap saja tersirat gelisah di wajahnya. Mungkin malu atau canggung berhadapan dengan petinggi TNI di Kodam.
Kasi Intel menatap.tajam dua orang di depannya.
"Setelah di selidiki, ternyata kasus ini bukanlah baru."
Kasi Intel memulai percakapan.
"Kamu sudah di kasih kesempatan kemarin tapi bukannya berubah malah semakin menjadi."
Kembali Kasi Intel bersuara dan menatap tajam ke arah Mas Amin. Kemudian berganti menatap Karin. Karin menunduk. Punya malu juga dia ternyata.
"Sudah bertahun-tahun kamu menjadi seorang anggota TNI berarti kamu tahu hukuman dari setiap pelanggaran.."
"Siap!"
"Kamu mau kembali sama istri kamu yang sah atau tetap dengan wanita ini?"
Suara Kasi Intel meninggi. Mas Amin hanya terdiam. Kali ini kepalanya menunduk.
"Jawab saya, kamu pilih siapa, istri kamu atau wanita ini!"
Suara Kasi Intel menggelegar di ruangan ber AC itu.
"Siap, saya pilih wanita ini, Karin."
Suara lelaki itu terbata-bata, tapi rasanya sakit menusuk sampai ke ulu hati. Kalau sebelumnya aku masih mempunyai secuil harapan untuk bersatu lagi, demi anak-anak, dan yang terutama demi menjaga hati Ibu mertua. Aku tahu gimana hancurnya Ibu jika melihat putra kesayangannya harus melepaskan seragam dinasnya demi wanita seperti Karin. Tapi ucapan Mas Amin barusan bagiku adalah sembilu yang kembali mengorek luka yang masih menganga, semakin dalam dan takkan pernah berujung.
Tak terasa air.mataku kembali menetes, mengalir di kedua pipi, meski tanpa tangis.
Bersambung...
0 comments:
Posting Komentar