CINTA DI BATAS CAKRAWALA 16

❤ *CINTA*
*di Batas Cakrawala*
By: Alia Citra 

🌅 nomor  - 16  
(Kilasan Masalalu)
 

Dimas meninggalkan pantai saat matahari semakin jelas menyinari bumi, mengakhiri kegiatan rutin yang merupakan hobinya setiap hari. Bulir air asin mengalir dari ujung rambut mengenai pelipis, menuju hidung bangirnya, sampai ke dagu. Ia mengusap wajah kasar tanpa menghentikan langkah menuju rumah.

Pagi itu perasaannya menjadi lebih tenang setelah semalaman dirundung gelisah, karena dibayang-bayangi satu nama laki-laki dalam hidup Hanna. Sehingga ia memutuskan berenang, menghangatkan otaknya yang terasa hampir beku karena hubungannya yang dingin dengan Hanna beberapa hari sebelumnya.

Setelah membersihkan diri di kamar mandi, ia kembali ke kamar. Membuka pintu seraya mengusap rambutnya yang basah dengan handuk yang menggantung di leher. Tampak Hanna sedang duduk di pinggir tempat tidur. Istrinya itu terlihat segar, wajahnya putih bersih dengan rambut cokelat sebahu setengah kering.

"Hm ... Dimas." Suara Hanna terdengar ragu.

Dimas menghentikan tangannya yang sedang membuka lemari. Sebelah alisnya terangkat saat menoleh. "Apa?" 

"Apa ... apa, kamu melihat buku?"

Dimas menutup pintu lemari tanpa mengambil baju, menghadap Hanna sepenuhnya. "Buku apa?" tanyanya datar, walaupun sudah tahu buku apa yang dimaksud Hanna.

"Buku ... bukuku, di sini semalam." Hanna menepuk sisi tempat tidur.

"Bukumu? Atau bukunya Malik?" Dimas tidak bisa mengontrol lidahnya untuk menekankan nama Malik.

Hanna tersentak kaget. "Malik? Kamu tahu bukunya? Kamu baca?"

"Ya, dan sudah aku buang di laut saat berenang tadi," jawab Dimas santai dan apa adanya. Ia memang membaca hampir semua tulisan tangan Malik di buku itu tadi lalu membuangnya ke laut sebelum berenang.

"Apa!" pekik Hanna tampak shock. "Kamu membuangnya?!"

"Kenapa? Apa pentingnya buku itu untukmu?" ujar Dimas kesal. Entah mengapa, ia tidak sanggup mengetahui seberapa pentingnya Malik itu bagi Hanna sehingga menyimpan buku tersebut walaupun sang empunya sudah tiada.

Hanna berdiri, mendorong Dimas kesal hingga sedikit terhuyung ke belakang. Mata cokelatnya menatap Dimas tajam. "Siapa yang menyuruhmu membuangnya? Lancang sekali!"

Dimas mendengus kasar. "Aku suamimu, aku berhak melakukan itu," ujarnya lantang. Egonya sebagai laki-laki, merasa berhak atas apa pun terhadap Hanna, istrinya.

"Kamu tidak punya hak! Itu barang pribadiku!" Hanna tidak kuasa menahan tangis.

"Karena kamu masih mencintai Malik itu?" tanya Dimas sinis. Ia benar-benar frustrasi saat melihat Hanna menangisi Malik.

"Karena hanya Malik yang tulus mencintaiku. Dia tidak pernah menyakitiku kecuali ...," Hanna menghela napas yang tersendat sambil terisak, "Kecuali kematiannya."

Dimas tertegun mendengar kata-kata Hanna tentang Malik yang begitu tulus mencintainya. Wajar saja kalau malam itu Hanna menggumamkan nama lelaki itu saat tidak sadar. Namun, lagi-lagi egonya tidak terima karena Hanna istrinya. Untuk apa memikirkan laki-laki lain yang sudah tiada sementara dia telah memiliki suami?

Dimas mendekat tanpa mengalihkan pandangan dari dua bola mata cokelat terang yang langsung memerangkapnya. Tanpa kata, tangannya terulur menyentuh pipi halus Hanna, mengusap air mata di sana. Hasratnya bergejolak, batinnya bertanya-tanya. Apakah jika mereka 'melakukannya' dalam keadaan sadar, Hanna masih menggumamkan nama Malik?

Dimas menangkup kedua pipi Hanna seraya mendekatkan wajahnya. Mengikuti nalurinya, ia mendaratkan bibirnya di bibir Hanna yang lembut, mengecupnya pelan. Kedua tangannya beralih di pinggang Hanna, menempelkan tubuh mereka tanpa jarak.

"Dim—"

"Apa kamu masih mencintainya?" Suara Dimas mendadak parau.

"Aku—" Dimas menghentikan ucapan Hanna dengan melumat bibirnya sedikit kasar. Ia tidak ingin mendengar kebenaran Hanna masih mencintai Malik. 

"Kamu istriku!" bisik Dimas posesif. Hanna mengangguk samar, tetapi mampu tertangkap mata Dimas dan dianggapnya sebagai persetujuan untuk segera menuntaskan hasratnya.

*****

"Kalian ini dari mana? Kenapa jam segini baru sarapan?"

Hanna hampir saja menumpahkan teh yang dibuatnya saat mendengar suara Bik Minah ketika ia tiba di ruang makan. Tubuhnya tiba-tiba terasa kaku, wajahnya memanas apalagi saat ditatap penuh selidik ibu mertuanya. Wajar sih, mereka baru sarapan hampir setengah sembilan pagi.

"Hanna? Kamu sakit?" Bik Minah mendekat, tangannya terulur menyentuh pipi Hanna yang justru terasa dingin.

"Eh, ngga, Bu." Hanna menggeleng cepat, ia melirik Dimas yang sedang makan dengan santai.

"Tadi pagi habis subuh kayaknya kamu sudah mandi. Kenapa rambutnya masih basah? Kamu mandi lagi?"

Hanna memejamkan mata saat tangan Bik Minah mengusap rambutnya. Ketika matanya mengerjap, senyum manis mertuanya itu terlihat.

"Jangan terlalu sering keramas, ya? Nanti bisa flu, apalagi di sini dingin kalau pagi," ujar Bik Minah masih saja tersenyum pada Hanna. "Kamu juga, Dimas!" Suaranya berganti lebih tegas pada anaknya.

"Eh, kenapa denganku, Bu?" Dimas tersentak, lalu menoleh. Hanna tahu, suaminya itu pura-pura bingung.

"Kamu itu orang asli sini biasa berenang pagi, beda dengan Hanna. Jadi dia tidak boleh keseringan keramas pagi-pagi."

Dimas berdecak sementara Hanna semakin gugup. Ah, pasti wajahnya semakin memerah saat ini.

"Ya sudah sana sarapan. Ibu senang, akhirnya bisa melihat kalian sarapan bersama dan berdua saja."

Hanna mendekati Dimas setelah Bik Minah pergi ke dapur. Diletakkannya gelas berisi teh sedikit kasar, lalu duduk di samping dengan wajah ditekut.

"Kenapa lagi?" tanya Dimas, menoleh dengan tampang datarnya.

"Kenapa Ibu bisa tahu?"

"Tahu apa?"

"Itu tadi kita sampai mandi lagi dan sarapan terlambat ...." Hanna tidak tahu harus berkata bagaimana tentang apa yang tadi mereka lakukan.

Dims terkekeh santai.

"Kenapa? Apa aku tadi berteriak dan mungkin Ibu dengar?"

Dimas malah tertawa.

"Dimas!" Hanna memukul kuat lengan Dimas yang malah menertawakannya. "Kenapa tertawa! Aku serius!"

Dima menutup mulutnya agar tawanya tidak kelepasan, sepertinya pukulan Hanna tidak ada terasa di lengan kokohnya. "Baiklah, aku juga serius. Tadi kamu hanya menggumamkan namaku tapi tidak pakai teriak, kok."

Hanna diam membuat Dimas juga ikut terdiam.

"Makanlah," ujar Dimas tiba-tiba, memutus hening di antara mereka.

"Kenapa kamu ingin sarapan denganku sekarang?" tanya Hanna kemudian.

"Ingin saja," jawab Dimas santai.

"Aneh ...."

"Tidak ada yang aneh, Hanna. Ini wajar, ketika seorang suami dan istrinya sarapan bersama."

"Aneh, karena suaminya itu kamu. Habis marah-marah, mendiamkanku berhari-hari lalu pagi ini ...?"

"Maaf," ujar Dimas, meraih satu tangan Hanna.

"Untuk?"

"Harus aku sebutkan satu persatu kesalahanku?"

Hanna tersenyum melihat raut wajah Dimas yang lembut, jauh berbeda dari hari-hari sebelumnya. "Aku tidak yakin kamu mengingat semuanya," ledeknya.

"Baiklah, aku menyerah. Aku tidak akan menang melawan kata-katamu." Dimas mengangkat tangan dengan wajah dibuat-buat, lalu kembali melanjutkan makannya.

"Aku lebih suka kamu bilang menyerah dari pada maaf," bisik Hanna, menahan tawanya. Kemudian ia juga melanjutkan makan tanpa peduli Dimas yang menatapnya dalam diam.

*****

Saat azan zuhur berkumandang, Dimas segera merapikan mejanya. Hari itu moodnya sedang baik sehingga semua laporan yang beberapa hari sebelumnya terbengkalai, bisa ia selesaikan semua hanya dalam waktu tiga jam. Segitu kuatnya pengaruh sentuhan Hanna terhadap dirinya?

Dimas keluar dari ruangannya, berjalan ke arah masjid dengan perasaan tenang. Wudhu dan salat berjamaah dengan khusu'. Setelahnya, ia keluar dari masjid, langsung mencium punggung tangan bapaknya yang juga keluar bersamaan.

"Makan di rumah?" tanya Pak Budi saat Dimas mengikuti langkahnya.

"Iya, Pak," jawab Dimas dengan senyum yang terus mengembang, menyamai langkah bapaknya hingga tiba di rumah.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam." Terdengar balasan salam dari dalam rumah, lalu berganti dengan suara tawa yang terdengar jelas bahagia. Dimas tersenyum saat menangkap suara tawa Hanna. Otaknya kembali memutar kejadian tadi pagi.

"Astagfirullah!" rutuk Dimas seraya menggeleng keras.

"Ada apa?"

Dimas mengerjap kaget mendapati Hanna berdiri di hadapannya, menatapnya penasaran. "Apanya?" tanyanya balik.

"Kamu kenapa? Tiba-tiba beristigfar saat masuk rumah. Ada setan?"

Dimas mengangguk polos, tanpa mengalihkan tatapan dari bola mata cokelat Hanna. Astaga! Rasanya ia ingin membawa istrinya itu ke kamar saat ini juga. Tidak salah, kan?

"Setan apa? Habis salat kok, aneh," gumam Hanna, memutar tubuhnya lalu mengisi sebuah piring di meja makan dengan nasi. "Duduk sini, kenapa berdiri saja?"

Dimas mengerjap bingung. Hanna benar-benar membuatnya hilang fokus. Ia melirik kedua orang tuanya yang sudah duduk dengan makanan mereka masing-masing sambil menahan senyum.

"Dimas!" Hanna langsung menarik tangan Dimas yang masih belum sadar sepenuhnya. "Duduk sini!"

Dimas menurut, duduk diam memperhatikan Hanna yang menuangkan air untuknya.

"Makanlah, itu ikannya aku yang goreng," bisik Hanna, menyodorkan sebuah piring berisi dua potong ikan tongkol.

"Oh, ya?" gumam Dimas, benar-benar seperti orang linglung.

"Kamu kenapa, sih?" Hanna menatapnya heran.

Dimas tersenyum menggeleng, otaknya benar-benar tidak bisa fokus didekat Hanna. Padahal tadi pagi ia masih biasa saja. Astaga!

"Ya sudah makan, jangan bengong saja!" Hanna mengambil nasi untuk dirinya sendiri.

Dimas menelan makanannya susah payah karena matanya tidak bisa teralihkan dari Hanna, tanpa peduli ikan yang digoreng untuknya itu tidak dibersihkan dengan baik. Ia mengusap tengkuknya, berganti mengusap pelipisnya guna mengontrol detak jantung yang tiba-tiba meningkat. Diteguknya segelas air putih yang dituangkan Hanna hingga tandas, sedikit bisa meredakan paniknya.

"Ikan gorengku, bagaimana?" tanya Hanna setelah Dimas menyelesaikan makannya.

"Lumayan, tapi ...," Dimas menatap piringnya, "Insang dan isi perutnya ngga dibuang."

Hanna tampak kaget, mata cokelatnya membulat menatap piring makan Dimas. "Begitu, ya? Aku ngga tahu kalau itu harus dibuang."

"Ngga tanya Ibu? Atau kamu makan ikan dengan insangnya juga?"

Hanna menggeleng polos. "Aku hanya meminta dua ekor ikan sama Ibu, satu untukmu satu untuk aku. Ya, aku ngga tanya, langsung potong dan cuci. Lagian aku juga ngga makan insangnya, tapi suka isi perut ikan."

Dimas menggeleng seraya tersenyum mendengar ucapan polos Hanna. Kali ini otaknya sudah lebih waras dan tidak gagal fokus karena Hanna lagi. Mungkinkah efek kelaparan atau?

"Lain kali tanya Ibu, jangan sok tau," celetuk Dimas yang langsung mendapat cubitan dari Hanna.

"Sudah ah! Sana balik kerja lagi!" Hanna berdiri, mengambil piring makannya dan Dimas.

"Hanna!" Dimas menahan tangan Hanna. "Kamu bisa berenang?" Entah timbul dari mana ide tentang berenang di otaknya. Menikmati angin sore, berjalan berdua di pantai. Sepertinya romantis?

"Bisa, kenapa?"

Dimas melepaskan tangannya, berpindah menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Nanti sore, setelah asar. Kita berenang?"

Hanna tampak menimbang, lalu menjawab, "Boleh."

Dimas tersenyum membiarkan Hanna berlalu ke dapur. Segera ia bergegas kembali ke kantor, mengecek ulang beberapa laporannya sebelum dikirim ke dinas.

*****

Hanna menatap bingung isi lemarinya. Jemarinya sejak tadi mengikuti arah matanya memilih baju berwarna warni di dalam sana hampir setengah jam. Ia mendesah pelan, akhirnya memilih memakai tank top hitam dengan hot pants senada untuk berenang sore itu.

Setelah siap, ia duduk di pinggir tempat tidur sambil mengecek gadgetnya menunggu Dimas pulang. Tidak lama hanya berselang sepuluh menit, pintu kamar dibuka dari luar.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam." Hanna masih fokus pada benda di tangan tanpa menyadari Dimas sudah mendekat dengan mata hitam yang tajam.

"Kamu sudah siap?"

Hanna mengangguk, lalu meletakkan gadgetnya kembali di meja rias. "Sudah."

"Kenapa pakai baju seperti ini!"

"Memangnya kenapa?" Hanna menatap dirinya sendiri, merasa tidak ada yang salah dengan penampilannya. "Kita mau berenang, kan?"

Dimas langsung berkacak pinggang. "Ck, kita bukan turis di Bali, Hanna. Lagi pula di mana pun itu, kamu sudah bersuami dan tidak boleh pakai-pakaian seperti ini di luar."

Hanna menatap bingung. "Benar, kah?"

Tanpa menjawab, Dimas membuka lemarinya sendiri. Ia mengambil kaos kelabu kesayangannya dan memakaikan paksa di tubuh Hanna, melapisi tank top hitam yang mencetak jelas lelukan tubuh ramping wanita itu.

"Pakai ini saja."

"Astaga, Dimas!" Hanna menatap kaget dirinya. Seakan ia ditelan habis kaos besar itu. "Jelek sekali!" Ia mencoba memukul lengan Dimas, tetapi ditahan kuat.

"Kata siapa jelek?" Hanna mengerjap kaget saat Dimas mengecup hidung mancungnya. "Kaos ini hanya menutupi tubuhmu, bukan wajahmu. Cantik kok," lanjutnya dengan kecupan di bibir Hanna yang langsung mematung, kaget.

Dimas menjauhkan wajahnya, membuka satu persatu kancing kemeja birunya. Hanna memalingkan wajah saat Dimas melepaskan kaos putih dalamannya. Entah ke mana keberaniannya tadi pagi saat menggoda suaminya itu.

"Ayo!"

"Kamu begini saja?" Hanna kaget melihat Dimas yang hanya memakai celana hitam selutut, memamerkan dada bidangnya yang kekar.

"Iya, aku begini saja."

"Curang! Aku disuruh pakai kaos kebesaran begini, sedangkan kamu malah asik pamer badan!" gerutu Hanna seraya melangkah ke arah pintu, tetapi langsung dihentikan Dimas.

"Tidak ada yang curang. Orang-orang di sini sudah terbiasa melihatku. Kulit sawo matang, yang terkesan hitam malah. Apanya yang mau dipamerkan dariku? Lain halnya denganmu. Kamu bisa membuat Bapak-bapak nelayan di depan kantorku gagal fokus, dan itu dosa."

Hanna masih saja mengerucutkan bibirnya saat Dimas menarik tangannya keluar kamar, lalu mereka keluar rumah. Udara hangat sore itu disertai semilir angin laut yang berembus lembut membuat dua sudut bibirnya tertarik ke atas.

"Di mana kamu membuang bukunya Malik?" tanya Hanna tiba-tiba, matanya menatap lurus lautan luas di hadapan mereka.

"Kenapa malah membahasnya, sih?" Suara Dimas terdengar sinis, menarik paksa tangan Hanna agar mengikutinya ke arah kanan pantai.

"Aku, kan cuma ingin tahu."

"Mana aku tau. Paling sudah hancur," ujar Dimas ketus.

Hanna tersenyum mendengar nada ketus yang baginya malah terdengar cemburu. Ia melepaskan tangan Dimas dipergelangan tangannya, lalu mengganti dengan menautkan jari-jari mereka. Hal itu membuat Dimas menghentikan langkah.

"Begini lebih baik." Hanna melanjutkan langkahnya, menatap ke arah pantai tanpa peduli Dimas yang masih menatapnya.

"Hanna ...."

"Hm?" Hanna menoleh tanpa menghentikan langkah mereka.

"Lupakan Malik!"

"Kenapa? Harus?"

"Karena aku suamimu, Hanna!" tegas Dimas, terdengar posesif.

"Karena kamu suamiku, aku istrimu. Bisakah kamu juga melupakan dia?"

"Aku tidak paham siapa yang kamu maksud."

Hanna menghela napas pelan, menunduk menatap tautan jari mereka. "Aku juga tidak tahu siapa dia. Yang jelas, siapa pun dia yang ada di hatimu. Lupakan dia, dan ganti dengan aku. Bisa?"

"Kita coba," ujar Dimas setelah lama terdiam dengan raut wajah serius.

Hanna tidak menjawab, tetapi ia mendekati Dimas. Mengecup bibirnya cepat, lalu menarik tangan Dimas mengikuti langkahnya.

Bersambung.

Segini dulu, yaaaaa.

Untuk part ini, ada beberapa scene yang dicut. Silakan baca lengkapnya di Wattpad atau wall aku ya.

0 comments:

Posting Komentar