CINTA DI BATAS CAKRAWALA 17

❤ *CINTA*
*di Batas Cakrawala*
🌅 nomor  - 17 (Kilasan Masalalu) 

Dimas melangkah dengan semangat pulang ke rumah usai salat asar terlebih dahulu di masjid. Rumah sore hari itu tampak sepi, biasanya ibunya masih tetap di kamar usai salat asar. Ia memilih tetap melanjutkan langkah ke kamarnya sendiri. "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam." Suara Hanna menyambutnya ketika membuka pintu. Wanita itu tampak fokus dengan gadget di tangan. 

Dimas menatapnya tajam, penampilan seksi istrinya itu. Tank top hitam dengan hot pants senada kontras dengan warna kulitnya yang putih, membuat Hanna terlihat sangat seksi. "Kamu sudah siap?" tanyanya datar.

Hanna mengangguk, lalu meletakkan gadgetnya kembali di meja rias. "Sudah."

"Kenapa pakai baju seperti ini!" tanya Dimas, nada suaranya berubah.

"Memangnya kenapa?" Hanna menatap dirinya sendiri, "Kita mau berenang, kan?"

Dimas langsung berkacak pinggang. "Ck, kita bukan turis di Bali, Hanna. Lagi pula di mana pun itu, kamu sudah bersuami dan tidak boleh pakai pakaian seperti ini di luar," ujarnya posesif.

Hanna menatap bingung. "Benar, kah?"

Tanpa menjawab, Dimas membuka lemarinya sendiri.  Mengambil kaos kelabu kesayangannya dan memakaikan paksa di tubuh Hanna, menutupi lelukan tubuh ramping wanita itu. "Pakai ini saja."

"Astaga, Dimas!" Hanna menatap kaget dirinya yang seakan ditelan habis kaos besar itu. "Jelek sekali!" Dia mencoba memukul lengan Dimas, tetapi ditahan kuat.

"Kata siapa jelek?" Dimas mengecup hidung mancung Hanna cepat. "Kaos ini hanya menutupi tubuhmu, bukan wajahmu. Cantik kok," lanjutnya dengan mengecupbibir Hanna yang langsung mematung.

Dimas menjauhkan wajahnya, membuka satu persatu kancing kemeja birunya. Saat ia melepaskan kaos dalaman berwarna putih, Hanna memalingkan wajahnya malu. Aneh.

"Ayo!" ajak Dimas setelah memakai celana hitam selutut tanpa baju, memamerkan dada bidangnya yang kekar.

"Kamu begini saja?"

"Iya, aku begini saja."

"Curang! Aku disuruh pakai kaos kebesaran begini, sedangkan kamu malah asik pamer badan!" gerutu Hanna seraya melangkah ke arah pintu, tetapi langsung dihentikan Dimas.

"Tidak ada yang curang. Orang-orang di sini sudah terbiasa melihatku. Kulit sawo matang, yang terkesan hitam malah. Apanya yang mau dipamerkan dariku? Lain halnya denganmu. Kamu bisa membuat Bapak-bapak nelayan di depan kantorku gagal fokus, dan itu dosa," terang Dimas seraya menarik tangan Hanna yang masih cemberut keluar kamar, lalu mereka berjalan pelan keluar rumah. Udara hangat sore hari disertai semilir angin laut yang berembus lembut menyapa mereka.

"Di mana kamu membuang bukunya Malik?" tanya Hanna tiba-tiba.

Senyum yang tadinya tersungging, perlahan memudar karena pertanyaan Hanna. "Kenapa malah membahasnya, sih?" tanya Dimas sinis, menarik paksa tangan Hanna agar mengikutinya ke arah kanan pantai.

"Aku, kan cuma ingin tahu."

"Mana aku tau. Paling sudah hancur," sahut Dimas ketus, hingga langkahnya saat Hanna melepaskan tangannya, lalu berganti dengan menautkan jemari mereka.

"Begini lebih baik." Hanna melanjutkan langkahnya, menatap ke arah pantai tanpa peduli Dimas yang masih menatapnya.

"Hanna ...."

"Hm?" Hanna menoleh tanpa menghentikan langkah mereka.

"Lupakan Malik!" ujar Dimas dingin.

"Kenapa? Harus?"

"Karena aku suamimu, Hanna!" tegas Dimas, posesif.

"Karena kamu suamiku, aku istrimu. Bisakah kamu juga melupakan dia?"

Dimas mengernyit heran. "Aku tidak paham siapa yang kamu maksud."

Hanna menghela napas pelan, menunduk menatap tautan jari mereka. "Aku juga tidak tahu siapa dia. Yang jelas, siapa pun dia yang ada di hatimu. Lupakan dia, dan ganti dengan aku. Bisa?"

Dimas tersentak, seketika bayangan Vania yang terlintas di pikiran. Ia diam menatap Hanna dengan pikiran yang berkecamuk. Tadi pagi di saat kebersamaan mereka, ia sama sekali tidak ada yang terlintas di pikirannya saat Hanna membahas tentang 'dia'. Namun, tidak dengan kali ini di saat mereka dalam keadaan yang berbeda. Ia meremas lembut tautan jemari Hanna, menghela napas pelan dengan tatapan serius. "Kita coba."

Tanpa kata, Hanna mendekat. Mengecup bibir Dimas cepat, lalu menarik tangannya melanjutkan langkah.

Dimas membiarkan Hanna melepaskan tangannya, lalu berlari menyapa ombak kecil yang menyapu bibir pantai. Ia menghela napas pelan, mengalihkan pandangan ke arah lain. Pikirannya berkecamuk karena tiba-tiba memikirkan Vania. Padahal sejak kemarahannya beberapa hari lalu, hanya Hanna yang mengisi pikirannya.

"Dimas! Sini!"

Dimas memalingkan wajah kembali pada Hanna yang tersenyum lebar padanya. Wanita itu sudah berendam dalam air sebatas dada. Ia balas tersenyum sambil berjalan mendekat.

"Kenapa diam saja di sana? Mikirin apa?" Tanpa ragu, Hanna melingkarkan kedua tangannya di leher Dimas, mendekatkan wajah mereka.

"Hm, aku ... memikirkanmu," sahut Dimas ragu.

Hanna tertawa, lalu tanpa canggung mencium sudut bibir Dimas. "Apa seharian ini kamu memikirkanku?" bisiknya menggoda.

Dimas menghela napas pelan seraya tersenyum, berusaha menyingkirkan bayangan Vania yang mengganggunya. Ia mengangguk membalas ciuman Hanna. "Iya."

"Eh, kenapa begini?" Dimas tersentak kaget saat Hanna sudah melompat di punggungnya, memeluk erat lehernya tanpa menyakiti. Dengan sigap ia menahan kedua kaki Hanna yang melingkari pinggangnya.

"Ajari aku berenang dengan baik," bisik Hanna diiringi kecupan ringan di pipi Dimas.

Dimas berdecak gemas, perasaannya menghangat karena sikap ceria dan perlakuan Hanna yang tanpa canggung menggodanya. Ketegangan di hatinya berangsur mencair, ia berusaha meyakinkan diri untuk menepati ucapannya. Mencoba dengan Hanna dan melupakan Vania.

"Katanya bisa berenang?" tanya Dimas setelah mampu menguasai diri.

"Bisa, tapi tidak seahli kamu."

"Aku bukan ahli, Hanna ...."

"Ah, terserah apapun itu. Bagiku, kamu jago berenang!" kekeuh Hanna, diiringi kecupan menggoda di pipi dan leher Dimas.

"Astaga! Jangan begini Hanna!" Dimas mengerang kesal.

"Apa?" Tantang Hanna.

"Sekarang kita berenang. Jangan menantangku begini," bisik Dimas gemas.

"Begini bagaimana?" Hanna mengecup telinga Dimas semakin menggoda.

"Hanna!"

Hanna tertawa puas, lalu menumpu dagunya di bahu Dimas. "Apa?"

"Jangan menggodaku di sini!" Dimas gemas memperingatkan.

"Iya iya. Nanti saja aku menggodamu lagi."

"Astaga!" Dimas menggeleng kesal lalu mulai bergerak membawa Hanna ke arah lautan yang lebih dalam dan jauh dari orang-orang di pantai.

"Ini terlalu jauh dan ... sepi," gumam Hanna setelah menyadari di mana mereka berada. Dasar laut hampir tidak terlihat hingga tidak terkira berapa kedalaman laut dari permukaan.

"Ya, di sini bagus dan seru untuk berenang." Perlahan Dimas melepaskan kedua kaki Hanna, tetapi ditahan saat ia melepaskan kedua tangan Hanna di lehernya.

"Jangan dilepas tanganku. Di sini dalam sekali, Dimas. Aku takut," lirih Hanna panik.

"Aku tidak akan melepaskanmu. Tenang saja." Dimas mengusap lengan Hanna untuk menenangkan, lalu melepaskannya perlahan. Ia berbalik cepat, hingga mereka berhadap-hadapan.

Hanna kembali melingkarkan lengannya di leher Dimas, mendekatkan wajah mereka dengan tubuh tanpa jarak. Dimas menatap seluruh wajah Hanna yang basah, putih kemerah-merahan di kedua pipinya. Jemarinya mengusap sudut bibir Hanna, lalu mendaratkan kecupan di sana yang langsung dibalas dengan lumatan yang menuntut.

Semburat yang jingga menghiasi cakrawala, seakan menjadi saksi awal dari kisah mereka. Kisah antara dua hati yang tertaut untuk masa depan, walaupun masih dibayangi rumitnya masalalu.

*****

Menikmati senja hingga terbenamnya matahari di tepi pantai adalah kegiatan yang pertama bagi Hanna, dan sangat menyenangkan karena ditemani Dimas. Kegiatan mereka sore itu lebih banyak dihabiskan dengan berendam karena Hanna sudah lama tidak pernah berenang, membuatnya takut untuk bergerak sendirian sehingga Dimas yang jadi sasaran layaknya pelampung.

Menjelang magrib, mereka berjalan meninggalkan pantai dengan jemari yang bertautan lembut. Hanna terus tersenyum, merasa bahagia dengan apa yang dilewatinya hingga detik itu karena Dimas. Ia melirik tangan mereka yang masih bertautan, lalu menoleh pada laki-laki bertubuh kekar yang bertelanjang dada di sampingnya. Lelaki yang selama di pantai tadi tidak pernah melepaskannya, menjaganya dengan tulus.

"Kamu mandi duluan," ujar Dimas saat mereka tiba di depan kamar mandi di luar rumah.

"Kamu dulu. Sebentar lagi azan, nanti ketinggalan salat di masjid," tolak Hanna.

Dimas menangkup kedua pipi Hanna. "Aku ingin salat denganmu."

Kelopak matanya mengerjap berkali-kali, pikirannya mendadak kosong. Rasanya ia pasti salah dengar. "Ka-kamu ...." Hanna menelan ludahnya susah payah.

"Mandilah duluan. Jangan lama-lama, setelah itu kita salat sama-sama," ujar Dimas sekali lagi diiringi kecupan di pucuk kepala Hanna.

Hanna menatap punggung lebar Dimas yang berlalu masuk dalam rumah. Ia memegang dadanya, sesuatu terasa berdesir dalam sana. Dimas baru saja mengajaknya salat bersama? Itu seperti mimpi, di saat satu minggu lalu setelah mereka resmi menikah, hal itu terlintas di pikirannya dan terasa mustahil baginya. Namun, hari ini seakan semua hal yang ia anggap mustahil jadi nyata seiring dengan berubahnya sikap Dimas.

Bergegas Hanna masuk ke kamar mandi, membersihkan seluruh tubuhnya yang lengket karena air asin. Setelahnya ia kembali ke kamar sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil. Saat membuka pintu, ia baru tersadar.

"Sudah, ya? Kamu siap-siap, aku mandi dulu." Dimas langsung bergegas keluar kamar saat Hanna akan menghampiri.

Hanna duduk di kursi meja riasnya setelah ganti baju, menatap pantulan wajahnya di cermin sambil menunggu. Tidak sampai sepuluh menit, Dimad sudah kembali ke kamar dengan handuk yang melilit di pinggang. Hanna menahan napas karenanya.

"Lho? Belum siap?" Dimas langsung membuka lemari, memakai bajunya cepat.

"Aku ... aku ngga punya mukena," lirih Hanna, tanpa membalik badannya. Memantau reaksi Dimas dari pantulan cermin.

Dimas berbalik, melilitkan sarung di pinggang melengkapi kaos putih yang membungkus tubuhnya. "Kamu ngga punya mukena? Kok bisa?"

"Aku, sudah lama ngga salat." Kali ini Hanna menunduk, antara takut dan malu tidak berani menatap Dimas yang mendekatinya.

"Begitu, ya? Baiklah, biar aku pinjam sama Ibu dulu." Dimas mengusap rambut Hanna yang setengah kering, lalu keluar kamar.

Hanna semakin tidak tenang, penasaran dengan apa yang dipikirkan Dimas tentangnya. Seorang wanita yang tidak punya alat salat, bisa disebut apa ia?

"Ini, pakai punya Ibu dulu." Dimas meletakkan mukena putih milik ibunya di pangkuan Hanna, lalu menggelar dua sajadah di lantai kamar yang sempit tetapi masih cukup untuk mereka.

Hanna memakai mukena perlahan, lalu berdiri di belakang Dimas yang menjulang di hadapannya. Dadanya berdesir hebat, tubuhnya bergetar saat Dimas menoleh padanya.

"Walaupun sudah lama kamu tidak pernah melaksanakannya, tapi aku tahu kamu bisa. Jadi, jangan ragu." Dimas tersenyum, lalu kembali fokus bersiap untuk salat.

Hanna tidak kuasa menahan kaca-kaca di pelupuk mata yang akhirnya menetes membasahi pipi. Ia tidak menyangka bisa berdiri di belakang Dimas sebagai makmum salatnya mengingat bagaimana sikap lelaki itu sebelumnya. Suara Dimas yang lirih membuatnya khusu, bisa menyelesaikan ibadah salat yang bertahun-tahun tidak pernah ia kerjakan.

"Alhamdulillah." Suara Dimas membuat Hanna mengangkat wajahnya yang terus menunduk setelah salat. Ia terpaku menatap imamnya itu menyugar rambut hitamnya, lalu memperbaiki pecinya. Mendadak Hanna merasa canggung saat Dimas mengulurkan tangan dan diraihkan. Ia mencium punggung tangan itu sambil memejamkan mata. Desiran halus itu kembali menyeruak.

"Cantik," gumam Dimas tiba-tiba.

Wajah Hanna memanas, menerbitkan semburat kemerahan di kedua pipinya.

"Kamu cantik seperti ini." Dimas menangkup kedua pipi Hanna, bola mata hitamnya memindai setiap inci wajah sang kekasih halal.

"Seperti ini? Maksudnya? Pakai ini?" Hanna menunjuk penampilannya dengan gerakan mata. Meyakinkan diri sendiri.

Untuk sesaat Dimas bergeming, menatapnya lurus.

"Dimas!" Hanna memegang kuat tangan Dimas di pipinya.

"Ah, ya?" Dimas tersentak.

"Ck, mikir apa, sih? Pasti bukan aku," ujar Hanna kesal, melepaskan kedua tangan Dimas di pipinya.

"Aku memikirkanmu, Hanna ...." Dimas kembali menangkup kedua pipi Hanna.

"Aku ngga yakin. Mungkin kamu mikirin guru PAUD itu, kan, karena aku pakai mukena gini? Penampilannya dia kan tertutup?"

Dimas mendekat, mengecup pucuk kepala Hanna lama. "Percayalah. Aku sama sekali tidak memikirkannya."

"Dan tidak juga memikirkanku?"

Dimas menggeleng tegas, mendekatkan wajahnya "Setelah ini kita wudhu lagi."

"Dim—" Ucapan Hanna terhenti karena Dimas telah mencium bibirnya.

*****

Tidak ada aktivitas yang dilakukannya seperti hari-hari sebelumnya, yaitu kembali ke kantor. Setelah makan malam, Dimas langsung masuk kamar lebih dahulu tanpa mengganggu Hanna yang asyik bercengkrama dengan ibunya sambil membersihkan dapur dan ruang makan.

Dimas duduk menyandarkan punggungnya di kepala tempat tidur, menatap kosong ponsel di tangan. Pikirannya penuh diisi kegiatannya bersama Hanna seharian itu. Seharusnya menyenangkan, tetapi bayangan wanita lain terus mengganggunya apalagi setelah salat tadi. Ia tidak bisa menampik bahwa wajah cantik Hanna yang memakai mukena mengingatkannya pada Vania. Hal itu membuatnya diliputi rasa bersalah.

Beberapa saat dalam lamunan, pintu kamar terbuka. Hanna masuk menutup pintu dengan santai tanpa disadari Dimas.

"Tumben sudah di sini?" Hanna berjalan ke arah lemari, membukanya dan mengambil baju ganti untuk tidur. "Dimas?"

Dimas tersentak kaget, menatap bingung pada Hanna yang sudah duduk di sampingnya. "Ya?"

"Melamun aja. Mikirin apa? Kayaknya sejak berenang tadi sore, kamu ngga fokus," ujar Hanna heran.

Dimas tersenyum canggung lalu menggeleng pelan tanpa menjawab.

"Kenapa jam segini sudah di sini? Biasanya masih di kantor," lanjut Hanna, berdiri dengan santai melepas bajunya di hadapan Dimas, menggantinya dengan kaos putih kebesaran denganbpanjang setengah paha.

Dimas menghela napas saat memperhatikan apa yang ada di hadapannya. Beberapa hari dinginnya hubungan mereka, ia melewatkan kebiasaan sederhana Hanna sebelum tidur yang selalu menggoda.

"Semua laporan yang pending, sudah selesai aku kerjakan. Makanya aku ngga ke kantor lagi sekarang," jawab Dimas, tidak sepenuhnya jujur. Ia memainkan  ponsel di tangan, tetapi mata tetap fokus pada Hanna duduk di depan meja rias. Memulai perawatan wajahnya.

"Pasti besok badanku pegal semua, gara-gara berenang tadi." Hanna mengakhiri kegiatannya, kembali duduk di samping Dimas. Kali ini membawa sebuah buku di pangkuannya.

"Buku apa itu?" Dimas melirik penasaran.

"Buku aku ini, bukan punyanya Malik, lho," jawab Hanna santai seraya memakai kaca mata bacanya.

Dimas terdiam, memandangi wajah Hanna yang serius membaca buku yang entah apa. Tiba-tiba tangannya terulur menyentuh surai rambut Hanna, menyelipkannya di belakang telinga. Membuat wanita itu tersentak kaget menatapnya.

"Ada apa?" tanya Hanna bingung. Dimas menggeleng pelan, membiarkan Hanna kembali serius dengan bacaannya. Ditatapnya lekat wajah itu dengan perasaan campur aduk.

"Ck, kenapa menatapku terus?" Hanna menutup bukunya, membalas tatapan Dimas.

"Hanna ...." Dimas mendekat.

"Ya?" Hanna mengerjap bingung saat kaca matanya dilepaskan Dimas serta buku di pangkuannya diambil dan diletakkan asal di meja.

"Maaf," lirih Dimas. Jemarinya mengelus pipi Hanna yang lembut.

Hanna tersenyum lembut. "Kali ini tidak perlu minta maaf. Kita sudah komitmen, kan? Aku ikhlaskan buku itu, sama seperti aku mengikhlaskan Malik."

Dimas tertegun dengan pikiran berkecamuk, lalu tersentak saat kecupan di rahangnya. Ia mengerjap kaget melihat Hanna mengerling menggoda sambil mengelus dada bidangnya. Hanya dalam sekejap, istrinya itu mampu menghancurkan pertahannya sehingga semua yang mengganjal di benak, buyar seketika. Ia mengembuskan napas pelan, lalu meraih tengkuk Hanna, mencium bibirnya perlahan.

"Maaf kalau aku harus membuatmu kelelahan besok," bisik Dimas. 

Hanna benar-benar candunya.

*****

Hanna merentangkan kedua tangan untuk meregangkan otot yang terasa kaku. Sesekali ia meringis karena rasa pegal di beberapa bagian tubuhnya. Entah karena berenang kemarin sore atau karena ulah Dimas semalam.

Seperti mimpi, hidupnya sejak kemarin layaknya mimpi yang tidak pernah terlintas sedikitpun di benaknya. Diperlakukan lembut oleh Dimas, melengkapi perlakuan baik dari kedua mertuanya. Tadinya ia berpikir, menikahi Dimas adalah pilihan buruk yang membuatnya terpuruk karena perlakuan awal lelaki itu padanya. Namun, semua pemikirannya berubah secara perlahan. Salahkah kini kalau ia mulai berharap pada Dimas? Dan melabuhkan hatinya utuh pada lelaki itu?

Senyum bodoh terukir di wajahnya, Hanna memilih keluar kamar karena tidak ada kegiatan setelah berkutat di dapur membantu sang mertua. Ia keluar di teras dan duduk di salah satu kursi. Angin laut yang berembus menjelang siang terasa hangat menerpa kulit, pemandangan birunya lautan setiap hari sungguh memanjakan mata. Hanna selalu berharap, selamanya ia bisa berada di sana bersama dia.

Beberapa saat menikmati pemandangan laut, pandangannya beralih menatap sebuah bangunan yang tidak jauh dari rumah. Bangunan yang merupakan kantor tempat Dimas menjalankan LSM yang dipimpinnya kurang lebih swjak dua tahun lalu. Senyuman Hanna semakin lebar saat melihat anak-anak PAUD keluar dari sana. Ia mulai berani membayangkan suatu saat akan memiliki anak yang lucu seperti salah satu di antara mereka.

Hanna segera mengunci pintu rumah, kebetulan kedua mertuanya sedang keluar setelah urusan dapur selesai. Ia menyisir rambutnya dengan jemari, merapikan bajunya yang terlalu mewah jika digunakan di rumah. Mau bagaimana lagi, semua baju-baju rumahnya adalah baju terusan berupa dress berwarna warni.

Ia melangkah ke kantor Dimas, sejenak berhenti memperhatikan bocah-bocah di sana yang tampak riang berlari keluar kelas menyambut orang tua. Lalu melanjutkan langkah sampai di ruangan Dimas.

Hanna melongokan kepalanya ke dalam ruangan dengan pintu yang sedikit terbuka. Tampak Dimas sedang fokus menatap layar laptopnya. "Aku ganggu?"

Dimas mengalihkan tatapannya, kaget. "Hei, kemari."

Hanna tersenyum, melangkah masuk lalu menutup pintu. Mendekati Dimas yang duduk menegakan tubuhnya.

"Ada apa?" Dimas langsung menyambut tangan Hanna, menariknya semakin dekat.

"Memangnya harus ada apa dulu, baru aku boleh ke sini?" tanya Hanna dengan wajah sedih yang dibuat-buat.

Dimas tersenyum, tanpa ragu mengecup tangan Hanna dalam genggaman. "Ngga kok. Tumben aja, kan kamu ke sini pas jam kerja aku. Ada apa?"

"Aku sendirian di rumah. Ibu sama Bapak lagi keluar. Katanya nengok saudara Bapak di desa sebelah."

"Oh ...."

Hanna memperhatikan apa yang sedang dilakukan Dimas dengan laptopnya. Belum sempat ia bertanya, pintu ruangan sudah diketuk dari luar.

"Assalamu'alaikum." Pintu dibuka dari luar. Seorang wanita muda bergamis cream denga kerudung merah muda masuk masuk perlahan. Wanita yang masih hangat dalam ingatan Hanna, pernah berada dalam ruangan ini bersama Dimas serta tatapan memujanya saat itu..

"Wa'alaikumsalam." Hanya Dimas yang menjawab, sementara Hanna hanya diam memperhatikan dengan raut wajah datar.

"Maaf, Bang, ganggu." Wanita itu menghentikan langkahnya ragu. Tampak canggung melirik Hanna yang berdiri di dekat Dimas.

"Ngga apa-apa. Gimana? Dapat?" tanya Dimas langsung.

Wanita itu tersenyum seraya mengangguk, lalu mendekat. Di tangannya terdapat sebuah plastik putih yang langsung diletakkan di atas meja di hadapan Dimas. "Ini Bang, barangnya."

Dimas tersenyum mengambil barang tersebut. "Oh, okey. Makasih, ya."

"Iya, Bang. Sama-sama, permisi. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Hanna mendengus keras saat pintu kembali ditutup, kembali menyisakannya berdua dengan Dimas. Ia merasa tidak suka dengan wanita muda yang memanggil Dimas 'Abang'. Panggilan yang terlalu akrab baginya, walaupun mungkin di daerah itu adalah hal biasa.

Dimas menarik tangan Hanna lalu mendudukkan di pangkuannya tanpa ragu.

"Eh?"

"Ini untuk kamu." Dimas menyerahkan plastik putih yang diterimanya pada Hanna.

"Untuk aku?" Mata cokelat Hanna memicing tidak suka. "Apaan?"

"Buka saja."

"Malas." Hanna berusaha berdiri,  tetapi pinggangnya dipeluk erat.

"Baiklah. Biar aku yang buka." Dimas memastikan Hanna tetap duduk di pangkuannya, lalu dia membuka plastik putih tersebut.

Hanna menatap tidak percaya apa yang diberikan Dimas untuknya. Sebuah mukena putih berbahan kain sutra yang lembut. "Ini ...."

"Untuk kamu," lanjut Dimas sambil tersenyum.

Sejenak Hanna terpaku, tetapi wajahnya berubah datar mengingat dari mana Dimas mendapatkan mukena itu. "Aku ngga mau!"

"Lho, kenapa?"

"Ya kamu kasih aja sama wanita itu tadi, yang panggil kamu Abang!" Hanna berusaha berdiri, tetapi lengan Dimas melingkari pinggangnya erat.

"Hanna ... jangan marah hanya karena aku meminta tolong sama Lani membelikan mukena ini untukmu."

"Kenapa tidak minta tolong Ibu saja? Atau mengajakku pergi beli langsung. Kenapa berlagak surprise tapi lewat perantara wanita lain!"

"Kamu cemburu?"

"Salah?" tanya Hanna balik.

Dimas tersenyum seraya menggeleng. "Tentu saja tidak. Aku senang kalau kamu cemburu, itu artinya kamu bisa melupakan Malik."

"Apa kamu juga cemburu sama Malik?"

"Iya, aku cemburu. Itulah sebabnya aku ingin kamu melupakannya."

Hanna langsung memeluk Dimas, menyandarkan kepalanya di bahu lebar suaminya itu.

"Jangan marah, ya. Aku tidak ada hubungan apapun dengan Lani bahkan sebelum kita bertemu," bujuk Dimas seraya mengusap punggung Hanna pelan. "Jadi, kamu mau, ya, terima mukena ini?"

Hanna tersenyum merapatkan pelukan Dimas. Ia mengangguk lalu menjawab, " Ya, aku mau."

Bersambung.

Sudah ya, manis-manisnya sampai part ini aja. Next, menuju konflik yang menjadi alasan Hanna akhirnya memilih pergi.

0 comments:

Posting Komentar