❤ *CINTA*
*di Batas Cakrawala*
🌅 nomor - 27
(18+)
Selagi menunggu Naura yang masih merajuk pada Hanna, Dimas merapikan kamar dan tempat tidurnya. Sebuah kebiasaan yang kembali ia lakukan setelah sekian lama. Tepatnya setelah Hanna meninggalkannya lima tahun lalu, Dimas sangat jarang menempati tempat tidur tersebut karena bayangan indah bersama Hanna selalu mengganggunya ketika berada di kamar itu. Sehingga ia lebih suka menghabiskan waktu di kantor, bergabung bersama rekan-rekan instruktur yang kebanyakan masih melajang.
Kedatangan Hanna dan Naura dua hari lalu sangat memperngaruhiny. Awalnya, Dimas merasa terganggu dan tidak biasa dengan kehadiran Naura sebagai anaknya yang ternyata sudah sebesar itu. Namun, hanya dalam waktu dua hari, gadis kecil itu mampu mengubah rasa yang ia miliki. Menatap wajah yang menggemaskan itu, membuatnya merasa berarti setelah lima tahun hidup dalam kehampaan.
Menjadi orang tua dari seorang gadis kecil yang sangat lucu berusia empat tahun itu membuatnya ingin mengembalikan kebahagiaan yang pernah ia rasakan karena Hanna. Terlebih dengan respon Hanna tadi pagi karena sentuhannya. Ia yakin, wanita itu masih mencintainya dan tidak akan keberatan untuk kembali padanya apalagi dengan adanya Naura di antara mereka.
Dimas mengusap wajah, tersenyum mengingat kejadian tadi pagi di ruangannya bersama Hanna, lalu pertanyaan polos Naura tentang adik. Memunculkan sebuah ide yang bisa membuatnya kembali bersama Hanna.
"Abi!" Pintu kamar Dimas terbuka perlahan dari luar oleh Naura. Gadis kecil itu sudah mengganti bajunya dengan baju tidur berwarna merah mudah, melangkah malas dengan mata sayu. "Naula mau bobok."
Dimas mengalihkan pandangan ke arah pintu, berharap ada Hanna yang menyusul Naura untuk mempermudah rencananya. Namun, beberapa menit menunggu, sosok yang ia harapkan tidak kunjung menampakkan diri.
"Abi!" Naura merengek karena tidak dihiraukan keberadaannya.
"Ya, kenapa?" Dimas tersenyum seraya mengangkat tubuh mungil Naura duduk di pangkuannya.
"Naula ngantuk, mau bobok." Dimas langsung mencium pipi gembul yang cemberut.
"Mau bobok sama Abi saja? Katanya kemarin maunya sama Mommy juga?" Dimas penasaran, menunggu reaksi Naura yang tampak berpikir. Raut wajah menahan kantuk namun tetap serius dengan bibir kecil yang mengerucut itu sangat menggemaskan.
"Naula mau bobok cama Mommy juga tapi sama Abi juga," kata Naura kemudian.
Dimas tersenyum seraya mendekap gemas sang anak, dalam hati ia bersyukur. "Jadi, Naura panggil Mommy dulu, bilangin Mommy tidur sama-sama dengan Naura di sini."
Naura mengangguk seraya mengulurkan tangannya. "Naula mau gendong, Abi!"
Dengan senang hati, Dimas berdiri dengan sang anak dalam gendong lalu keluar kamarnya. Di depan pintu kamar Hanna, ia membiarkan Naura yang mengetuk pintu dan mengutarakan niat yang sudah tidak sepenuhnya adalah keinginan sang anak.
*****
Setelah memastikan Naura tenang di kamar abinya di kamar sebelah, Hanna duduk di tempat tidur seraya membuka kerudung. Lalu membebaskan surai panjang sepunggu berwarna cokelat yang tadinya tergulung asal. Menyisirnya perlahan agar tidak kusut, sebuah kegiatan yang tidak pernah absen dilakukan sebelum tidur malam.
"Mommy!" Samar terdengar suara Naura dari balik pintu kamar yang tertutup diiringi ketukan tangan kecilnya. Hanna mengernyit heran, tanpa curiga beranjak mendekati pintu saat suara anaknya itu kembali terdengar dengan ketukan yang makin jelas.
"Naura ada apa—" Suara Hanna tertelan di tenggorokan ketika membuka pintu. Matanya tertumbuk pada sosok Naura yang tidak sendiri, melainkan bersama Dimas yang berdiri tegak mengendong sang anak.
Hanna mendadak gugup menyadari ia lupa memakai kembali kerudung, serta tanpa sengaja bertatapan dengan Dimas yang terlihat sangat menyebalkan, seakan ingin menerkamnya. Tanpa kata, ia menutup pintu lalu menyambar kembali kerudung biru navi dan langsung memakainya.
"Mommy!"
"Iya, sayang. Ada apa?" Hanna kembali membuka pintu sebelum Naura menangis. Ia mencoba fokus pada anaknya itu, tanpa menghiraukan Dimas yang masih menatapnya lekat.
"Naula mau bobok cama Mommy."
"Katanya tadi maunya sama Abi?" tanya Hanna heran.
Naura mengangguk. "Naula mau bobok cama Abi, telus Mommy juga!"
"Tapi—"
"Di kamalnya Abi, tempat tidulnya becal, Mi. Kita tidul di cana aja cama Abi," ajak Naura semangat di tengah kantuk yang tampak jelas dari wajah sayunya.
Hanna melirik Dimas yang ternyata tidak sedikitpun mengalihkan pandangan darinya. Sebenarnya ia malas berinterkasi dengan lelaki itu, namun ia tidak kuasa menolak permintaan Naura karena khawatir membuat sang anak menangis menjelang tidur malam karena nanti akan sulit untuk membuatnya tidur.
"Ya sudah." Hanna pasrah, menutup pintu kamarnya lalu menyusul Dimas ke kamar sebelah.
Sejenak kakinya berhenti melangkah ketika masuk kamar tersebut, kamar yang ia tempati bersama lelaki itu lima tahun lalu. Kamar yang penuh kenangan indah, tempat yang mampu membuatnya melupakan Malik dan menumbuhkan rasa cinta di hati terhadap si pemilik kamar, yang kemudian menghadirkan Naura ke dunia.
"Masuklah dan tutup pintunya." Suara rendah Dimas mengangetkannya.
Hanna mengerjap pelan, menatap Dimas yang sudah duduk tenang di pinggir tempat tidur sambil mengusap kepala Naura. Gadis kecil itu yang sudah berbaring nyaman dengan mata terpejam. Ia menurut lalu menutup pintu, melangkah ragu ke tempat tidur.
"Kenapa tidur harus pakai kerudung?" Suara Dimas bersamaan dengan cekalan tangannya menghentikan gerakan Hanna naik di tempat tidur.
Jantungnya berpacu lebih cepat ketika tangan Dimas berpindah di bahunya, sekujur tubuhnya meremang seketika. Hanna melirik khawatir pada Naura yang ternyata sudah tidur. Ingatannya kembali berputar pada kejadian tadi pagi di ruangan kerja Dimas. Ia takut lelaki itu akan berbuat lebih dari pada apa yang dilakukannya tadi pagi. Tidak, ia tidak siap mengingat saat ini mereka berada di kamar dan apapun bisa terjadi walaupun ada Naura di antara mereka.
"Hanna?"
Hanna berusaha menguatkan diri, menyingkirkan tangan Dimas dari bahunya. Dan sialnya, lelaki itu malah menarik pinggangnya lembut membuatnya tidak kuasa memberontak. Mereka kini berdiri berhadapan, dan kejadian tadi pagi berputar cepat mengingatkan Hanna.
"Tadi kamu tidak pakai kerudung. Lalu kenapa sekarang kamu malah memakainya untuk tidur?"
Hanna menepis tangan Dimas yang bergerak menyentuh ujung kerudungnya. "Karena ada kamu, laki-laki yang bukan mahramku!"
Dimas tersentak tampak tidak terima. "Aku menjadi mahrammu karena pernikahan kita, Hanna. Aku suamimu!"
"Apa benar aku masih istrimu?" tanya Hanna datar, tidak percaya.
"Tentu saja kamu masih istriku. Aku tidak pernah menceraikanmu dari dulu, sebelum kamu pergi, sampai detik ini!"
"Benarkah? Kenapa kamu mempertahankan istri durhaka sepertiku? Kamu bisa mendapatkan wanita yang lebih baik dariku, yang tidak akan pernah meninggalkanmu dalam keadaan apapun. Aku hanya wanita egois yang mencintaimu." Suara Hanna tenggelam beserta tubuhnya dalam dekapan Dimas yang bergerak cepat membawanya berbaring di samping Naura yang terlelap memeluk guling.
"Aku bisa saja menikah lagi. Tapi aku tidak bisa, aku tidak bisa memikirkan wanita lain kalau cuma kamu yang menguasai hati dan pikiranku," bisik Dimas sambil mencium pipi Hanna yang tidak berdaya di bawahnya. Tangannya menarik ujung kerudung wanita itu dan melepaskannya.
Hanna merutuki dirinya yang kembali terlena akan sentuhan Dimas. Otaknya berpikir untuk memberontak, namun hati tidak bisa berbohong ketika tubuhnya malah bereaksi sebaliknya, membiarkan Dimas mencium bibirnya seperti tadi pagi. Ia memejamkan mata, mendesah berat dengan napas tersengal ketika ciuman Dimas merambati telinga dan turun di lehernya, serta tangan yang bergerak aktif menyentuh tubuhnya.
"Dimas!" Hanna mencengkram kuat tangan Dimas yang sudah merayap masuk di balik baju tidurnya. "Jangan ...," lirihnya dengan napas berat.
Dimas yang sudah dikuasai gairah tidak merespon larangan itu, tangannya terus bergerak sementara bibirnya mencecap sesuka hati di kulit tubuh Hanna yang lembut.
"Dimas, jangan!" Hanna hampir saja berteriak.
Dimas mengangkat kepalanya dari ceruk leher Hanna, menatap dengan wajah memerah. "Kenapa?" Suaranya terdengar kecewa.
Hanna diam menatap langit-langit kamar, mengatur napas dengan pikirannya berkecamuk. Ia masih memikirkan status pernikahan mereka, perasaan Dimas padanya, dan hubungan lelaki itu dengan guru muda di PAUD yang mengganggu mereka tadi pagi. Ia tidak bisa menyerahkan dirinya pada Dimas begitu saja, karena tidak ingin kecewa lagi seperti dulu.
"Ada apa, Hanna?" Dimas menangkup wajahnya dan mengecup bibirnya lembut.
"Aku ... tidak bisa." Hanna mendorong dada Dimas agar menjauh dari atas tubuhnya. Lalu berbalik memeluk Naura, berusaha menenangkan diri tanpa merapikan baju tidurnya yang berantakan.
Ia tetap bergeming ketika terdengar helaan napas kasar Dimas di balik pungungnya. Lalu sisi tempat tidur di belakangnya bergerak, selanjutnya Hanna tahu, Dimas menjauhi ketika terdengar derit pintu kamar yang terbuka, lalu ditutup kembali.
*****
Dimas membasuh wajahnya berkali-kali, meresapi dinginnya air dari bak mandi malam itu. Merasa tidak cukup, ia langsung mengguyur kepalanya dengan air satu gayung. Segar, lumayan untuk meredakan sakit kepala dan nyeri di pusat tubuhnya akibat hasrat yang tidak tersalurkan.
Ia menyugar rambut kasar, membiarkan sisa air mengaliri tengkuknya. Mengusap wajah sekali lagi seraya mengembuskan napas. Rencana yang ia susun untuk bisa bicara dengan Hanna, gagal karena hasratnya yang bergejolak lebih besar dari tadi pagi hanya karena melihat penampilan Hanna tanpa kerudung. Sungguh, hal tersebut membuat memori lima tahun lalu berputar indah di kepala. Hanna benar-benar candunya, yang selalu membuat ia tertarik untuk menyentuhnya, setelah lima tahun yang membuat ia mati rasa.
Dimas keluar kamar mandi setelah membasahi kepalanya sekali lagi karena hasrat yang belum padam. Melangkah ke dapur sambil mengeringkan rambut, mengambil gelas dan mengisinya dengan air putih. Dalam satu kali teguk langsung tandas tidak bersisa.
Ia mengembuskan napas kasar karena bingung apa yang harus dilakukan selanjutnya. Ide sekamar dengan Hanna seperti memakan buah simalakama. Jika ia kembali ke kamar, mendapati Hanna tidur ataupun tidak itu sama saja, karena ia tidak akan bisa bicara dengannya. Dimas tidak bisa menjamin hal tadi tidak terulang lagi jika Hanna belum tidur.
Lama duduk termenung di dapur rambutnya telah mengering, Dimas memilih kembali ke kamar. Ketika membuka pintu, perasaannya campur aduk melihat Hanna dan Naura terlelap sambil berpelukan. Sebuah pemandangan sederhana yang sangat menenangkan. Dalam hati ia berharap bukan hanya malam ini ia bisa melihat dua wanita berharga selain ibunya itu tidur nyaman di sana, melainkan selama sisa hidupnya.
Setelah menutup pintu, Dimas mendekat duduk di balik punggung Hanna. Menatap wajah teduh yang masih sama seperti dulu ketika wanita itu terlelap nyaman dalam dekapannya setiap malam. Bahkan kini wajah itu tampak dewasa dan keibuan. Ia tidak bisa berbohong, sebagian hatinya kecewa mendapati Hanna yang ternyata sudah tidur. Andai saja wanita itu masih terjaga ... ia yakin, keinginan Naura untuk memiliki adik akan segera terwujud.
Dimas melepaskan pelukan Hanna yang melonggar di tubuh Naura. Ia mengangkat tubuh sang anak, lalu membaringkannya merapat di dinding dan dibatasi dengan guling. Kemdian ia berbaring di samping Hanna dan memeluknya dari belakang. Menghirup aroma shampo dari rambutnya yang lembut. Mengikuti naluri, bibirnya mencium tengkuk Hanna dan membenamkan wajah di sana. Berharap malam masih panjang, sehingga ia tidak lagi mendapat penolakan Hanna seperti tadi.
*****
Pagi harinya Hanna lebih banyak diam, membiarkan Dimas meladeni ocehan Naura yang seakan tidak kenal lelah menanyakan apapun yang ingin diketahuinya. Ia masih sangat canggung berdekatan dengan Dimas karena terbayang kejadian semalam dan tadi subuh ketika ia terbangun. Entah bagaimana ia bisa melepaskan pelukan pada Naura dan berada dalam pelukan posesif Dimas. Bukan hanya itu, entah berapa ia pun turut membalas pelukan ayah dari anaknya itu. Sehingga ia harus tahan napas dan pura-pura tidur ketika Dimas terbangun.
"Bunda!" Suara Naura membuyarkan lamunan Hanna. Naura melepaskan genggaman tangan darinya dan Dimas ketika tiba di depan kelas. Naura berlari menghampiri gurunya yang tidak lain adalah Melani dan mencium pungung tangan wanita muda itu. "Assalamu'alaikum."
Hanna mendengus kasar melihat keakraban Naura dengan wanita itu.
"Wa'alaikumsalam, cantik," balas Lani seraya mengusap pucuk kepala Naura. Kedua tangan Hanna mengepal menahan kesal melihatnya. "Sudah salam sama Abi belum?"
Seketika Hanna menoleh pada Dimas yang juga sedang memperhatikan hal yang sama dengannya. Ia menatap Dimas lekat, penasaran siapakah yang ditatap lelaki itu. Naura kah? Atau ibu gurunya?
"Eh, belum," gumam Naura lalu berbalik, berlari pelan menuju Hanna. "Mommy, Naula mau cium pipi Mommy."
Hanna yang tersentak langsung membungkuk, perasaannya menghangat ketika bibir mungil Naura mendarat di pipinya. Senyum langsung tersungging di wajahnya.
"Mommy, Naula bica punya adik kan?" bisik Naura tetapi suaranya terdengar keras. Wajah Hanna memerah ketika Naura beralih mencium punggung tangannya. Ia menegakkan tubuh dengan pandangan tertunduk ketika Naura beralih pada Dimas. "Abi, Naula bica punya adik kan?" Gadis kecil itu tampak tidak puas sehingga mengulang pertanyaannya.
Hanna menghela napasnya, penasaran dengan jawaban Dimas.
"Tentu saja bisa," jawab Dimas terdengar meyakinkan.
"Yei!"
Hanna merasa jantungnya bertalu cepat tidak karuan, lalu menghela napas kuat karena pasokan udara tiba-tiba terasa menipis di sekitarnya. Wajahnya terasa panas, membuatnya terus menunduk melihat aksi ayah dan anak itu. Seketika ia melupakan kecemburuannya terhadap wanita yang masih memandangi mereka.
"Bunda, nanti Naula mau punya adik, lho," lapor Naura pada Lani.
Hanna langsung mengangkat wajahnya saat menyadari Nauranya sudah kembali menghampiri gurunya tersebut. Ia bisa melihat raut wajah kurang nyaman yang tampak jelas dari wajah Melani.
"Oh, ya?"
"Iya, nanti Naula mau punya adik kayak adik Ila."
Hanna tersenyum puas melihat ekspresi Lani yang semakin jelas tidak nyaman.
"Ya sudah, kita masuk aja sekarang," ujar Lani yang kemudian membawa Naura masuk kelas.
Hanna mendesah lega melihatnya, lalu berbalik cepat secepat geraka tangan Dimas menahannya seperti kemarin. Ia tersentak, salah tingkah menatap sekeliling. Banyak warga yang membawa anak-anak mereka usia balita sekolah di PAUD itu. Perlahan, ia melangkah menundur mendekati Dimas.
"Ayo kita bicara," lirih Dimas.
Hanna diam menggigit bibirnya. Ia takut Dimas membawanya ke ruangannya lalu yang terjadi seperti kemarin.
"Aku janji, aku tidak akan macam-macam," bisik Dimas seakan tahu apa yang dipikirkannya. Perlahan Hanna membalik badannya, memberanikan diri menatap sorot lembut dari manik hitam itu.
"Tapi jangan di ruanganmu."
Sebelah alis Dimas terangkat heran. "Kenapa?"
"Pokoknya jangan di ruanganmu!" kekeuh Hanna kesal.
Dimas mengembuskan napas pelan seraya mengangguk. "Baiklah." Tanpa melepaskan tangannya, ia menarik Hanna pergi dari sana.
Hanna tidak bisa menolak, mengikuti langkah Dimas ke arah pantai. Ia tahu ke mana lelaki itu membawanya, berjalan menyusuri pantai ke arah kanan, tempat di mana dulu mereka sering menikmati waktu senja berdua. Seketika, semua kenangan indah mereka lima tahun lalu berputar rapi di otaknya.
*****
Angin laut yang berembus membuat udara terasa hangat di tengah sinar matahari yang mulai menyengat menerpa kulit. Dimas menggulung lengan kemeja biru sesiku serta kaki celananya, duduk di atas pasir kelabu yang kering tanpa alas kaki agak jauh dari Hanna sibuk bermain air laut dengan kakinya. Walaupun tidak bisa melihat ekspresi wanita itu karena berdiri memunggunya, tidak sekalipun ia mengalihkan pandangannya. Sudah hampir sepuluh menit mereka di sana, tidak ada yang berbicara. Hanya suara debur ombak yang terdengar di antara mereka.
"Matahari semakin panas, Hanna," kata Dimas akhirnya.
Hanna menyibak ujung rok hitamnya, lalu berbalik. "Jadi mau bicara apa?"
"Duduklah di sini." Dimas menepuk sisi pasir di sampingnya. Tampak Hanna memperhatikan gerakan tangannya, wanita itu terlihat ragu.
"Bicara saja."
"Aku memintamu untuk duduk di sini dan kita bicara baik-baik!" tegas Dimas, merasa kesal karena Hanna tampak enggan berdekatan dengannya.
Wajah Hanna berubah cemberut, perlahan melangkah ke arahnya. Berhenti tepat di hadapannya, tampak ragu membuat Dimas tidak sabar dan langsung menariknya untuk duduk.
"Aku bisa duduk sendiri!" seru Hanna kesal, wajahnya memerah langsung berpaling menatap laut.
Dimas diam menatap wajah Hanna dari samping. Tanpa mengalihkan pandangannya, ia mengeratkan tautan jemari mereka. Hal itu sukses menarik perhatian Hanna yang kembali menatapnya.
"Apa kamu bersedia kembali padaku?" lirih Dimas mengunci pandangan Hanna yang terpaku padanya. "Hanna?"
"Mak-sudmu?" gumam Hanna terbata. "Bukannya katamu ...."
"Semalam aku bilang kamu masih istriku. Tapi sepertinya kamu masih ragu sampai menolakku," ujar Dimas blak-blakan. Bisa ia lihat perubahan raut wajah Hanna karena ucapannya.
"Tentu saja aku ragu. Kamu tidak lupakan, bagaimana responmu ketika aku datang bersama Naura beberap hari lalu?" tanya Hanna setelah lama terdiam.
Dimas mengangguk, menyadari kesalahannya itu. "Iya. Aku tahu. Itu responku karena kaget. Setelah kepergianmu tanpa pamit dan kabar, lalu kembali dengan Naura yang sudah besar. Ada rasa kecewa dan penasaran. Apa yang membuatmu pergi?"
Hanna kembali mengalihkan pandangan ke sembarang arah, dan Dimas masih setia memandanginya.
"Berapa kali aku harus mengatakan alasannya?"
"Karena aku tidak mencintaimu? Masih itu alasannya?" Dimas menunggu reaksi Hanna yang ternyata tetap bergeming. "Kalau aku bilang, aku mencintaimu. Apa kamu akan percaya?"
Seketika Hanna menoleh. "Aku ... tidak yakin."
"Kenapa?" Dimas menatap penasaran.
Hanna menggigit bibirnya, tampak ragu memikirkan sesuatu. "Vania," gumamnya.
Raut wajah Dimas berubah seketika, namun ia berusaha untuk tetap tenang. Berharap apa yang ia pikirkan tidak benar.
"Kenapa dengan Vania?"
Hanna mendengus, berusaha melepaskan tautan tangan mereka. Namun Dimas tetap menahan membuatnya menyerah.
"Vania itu teman terbaik di masa kecilku dan sekarang dia saudara iparku. Kamu mencintainya, kan?"
Wajah Dimas berubah pias, menelan ludah susah payah mengetahui kebodohan yang dulu tidak disadarinya bahkan hingga lima tahun terlewati. Ia menunduk, meremas lembut tangan Hanna dalam genggaman.
"Aku ragu, mungkin sekarang perasaanmu masih sama seperti dulu," gumam Hanna.
Dimas menggeleng pelan. "Aku mencintaimu, Hanna ...."
Satu bulir bening langsung mengalir dari sudut mata Hanna. Dimas mengusapnya lembut.
"Karena Naura?" Hanna mengusap bulir bening lain yang semakin deras mengalir. Dimas menggeleng ingin menyentuh pipinya, namun ditepis Hanna perlahan. "Lalu?"
"Aku mencintaimu, Hanna. Dari dulu, sebelum ada Naura!"
"Benarkah? Lalu kenapa diam saja setiap saat aku mengungkapkan perasaanku? Kalau kamu mencintaiku, kamu pasti tidak akan ragu mengatakannya. Kamu tidak lupa kan saat itu? Kamu belum ingin punya anak dariku dan ternyata itu karena kamu tidak mencintaiku. Apa kamu memikirkan bagaimana perasaanku saat itu? Kamu hanya menginginkanku, tapi tidak mencintaiku!"
Dimas terdiam mendengar luapan isi hati Hanna, bagaikan pukulan telak yang sakitnya terasa hingga ke dalam dada. Tautan tangan mereka melonggar, memudahkan Hanna menarik tangannya.
"Saat ini, fokus hidupku hanya untuk Naura. Kebahagiaan dia adalah kebahagiaanku. Aku membawanya ke sini agar dia tahu, dia juga punya seorang Ayah, sama seperti sepupu-sepupunya dan teman-temannya. Selama dia bahagia di sini bersamamu, aku juga akan bahagia walaupun dengan status kita yang mungkin sudah tidak bisa bersama."
Dimas menggeleng keras. "Kenapa begitu, Hanna?" lirihnya sendu.
"Jangan memintaku kembali kalau hanya karena rasa tanggungjawabmu atas Naura dan rasa bersalah karena perasaan cintamu pada Vania yang aku ketahui. Aku tidak ingin dikasihani semenyedihkan apapun hidupku sebelumnya. Kamu bebas menikahi wanita manapun yang tidak akan menolakmu, asal jangan pernah gantikan posisiku sebagai Mommynya Naura dengannya." Hanna langsung berdiri.
"Aku harus bagaimana biar kamu percaya?" Dimas mendongakkan kepalanya, menahan Hanna dengan menggenggam tangannya.
"Tidak perlu melakukan apapun. Cukup jadi Abi yang baik saja untuk Naura!"
"Hanya itu? Bagaimana kalau kejadian seperti semalam terulang lagi lalu aku tidak bisa menahan diriku?" Dimas menahan kuat tangan Hanna yang memberontak tanpa menjawabnya. "Jawab aku, Hanna?"
"Bukannya aku membebaskanmu untuk menikah lagi? Nikahi saja wanita manapun sesukamu, atau gurunya Naura saja. Sepertinya dia menyukaimu!"
Dimas mengeram kesal, lalu berdiri dengan memegang kuat kedua bahu Hanna.
"Kamu pikir menikah lagi itu mudah? Bukannya semalam sudah aku katakan padamu? Seharusnya itu cukup menjadi bukti bahwa aku mencintaimu, Hanna. Tapi dasarnya kamu yang keras kepala!"
Hanna mendelik kesal. "Kenapa sekarang kamu yang marah?"
"Karena kamu menolakku. Jangan salahkan aku, kalau aku akan membuatmu segera melahirkan adiknya Naura!" ancam Dimas, menatap tajam tepat di manik cokelat Hanna yang tampak salah tingkah.
"Ancamanmu sama sekali tidak lucu!"
Dimas tersenyum miring membiarkan Hanna membebaskan diri dari cekalannya. "Aku tidak bercanda. Aku serius!"
"Terserah!"
Dimas mengusap kasar wajahnya, lalu menatap punggung Hanna yang terburu-buru melangkah meninggalkannya hingga sosoknya tidak lagi terlihat. Mengembuskan napas kasar, ia mengalihkan pandangan pada lautan luas yang terhampar seakan tidak bertepi. Sejenak kemudian, ia kembali tersenyum penuh keyakinan.
"Lima tahun sudah cukup kamu pergi dariku, Hanna. Kali ini aku akan pastikan kamu tidak akan pernah ke mana-mana lagi tanpa aku," ujar Dimas, berjanji pada dirinya sendiri.
Bersambung ....
Apakah ancamannya Abang D' akan terwujud? 😅
0 comments:
Posting Komentar