❤ *CINTA*
*di Batas Cakrawala*
🌅 nomor - 9
(Kilasan Masalalu)
Seharian Hanna mengurung dirinya di dalam kamar. Hanya keluar saat sarapan dan makan siang serta ke kamar mandi. Selebihnya, ia akan bertahan di kamar, mengotak atik gadgetnya tanpa ada hasil.
Otaknya buntu. Mengurung diri karena ingin menghindari Dimas, ternyata tidak membuahkan hasil. Ada rasa sesal dalam diri karena memutuskan untuk ikut ke desa itu. Tanpa tahu ada lelaki yang menjadi mimpi buruknya selama satu bulan ini.
Hanna meringis memegang perut bagian bawah. Terasa nyeri seperti akan datang bulan, tetapi entalah. Mencoba memejamkan mata, tapi tidak bisa. Akhirnya Hanna menyerah, memutuskan keluar dari kamar menuju dapur.
Rumah luas tetapi sederhana tersebut tampak rapi dan sepi sore itu. Entah ke mana si pemilik rumah serta Vania dan Haris, Hanna tidak peduli. Ia mengambil gelas di rak, lalu menuangkan segelas air hangat dan segera meminumnya. Dan berhasil, rasa nyeri itu berkurang.
Hanna melangkah ke dapur belakang yang beralaskan tanah. Menatap bingung setiap sudut ruangan mencari tempat untuk mencuci piring, tetpi tidak ada. Terlihat pintu dapur yang terbuka, mengarah ke kamar mandi di luar.
Setelah menemukan apa yang dicari, Hanna kembali ke dalam tetapi tidak kembali ke kamar, melainkan lurus ke ruang tamu yang pintu utamanya terbuka. Lalu langkahnya terhenti sebelum mencapai pintu saat terdengar suara Bik Minah yang ternyata sedang berbicara dengan Dimas.
"Bagaimana kalau dengan Hanna?"
Hanna terlonjak kaget mendengar namanya disebut Bik Minah. Jantungnya berdegup kencang, penasaran apa yang sedang ibu dan anak itu bahas.
"Hanna? Maksud Ibu?"
"Kata Vania, adiknya Pak Haris itu baru saja batal perjodohannya. Anaknya cantik dan Ibu perhatikan dia baik."
Dengusan kasar Dimas terdengar membuat Hanna tertegun.
"Janganlah, Bu. Kenapa harus Hanna? Haris Wirawan itu pengacara terkenal di kota, begitupun orang tuanya. Mana mau punya menantu orang desa sepertiku."
Kedua telapak tangan Hanna mengepal di sisi tubuh. Geram mendengar ucapan Dimas. Walau ada kemungkinan apa yang dikatakan lelaki itu benar, tetapi dengan mengatakan hal itu malah membuatnya semakin terlihat pengecut di mata Hanna. Seharusnya jika memang ingin bertanggung jawab, lelaki itu akan melakukan apapun walaupun berujung penolakan.
Hanna mengusap kasar bulir bening yang mengaliri pipinya. Kakinya melangkah mundur perlahan, hingga sampai di pintu penghubung, berbalik dan masuk kamarnya. Menumpahkan semua ketakutan dan kerisauan hati dalam tangis.
*****
Setelah kegiatan sabtu pagi itu, Dimas semakin kacau. Memandangi rumahnya dari ruang kantornya tanpa berani menampakkan wajah di sana. Niat hati ingin meminta Hanna segera memeriksakan diri, tetapi yang dilakukannya hanya menunggu. Berharap Hanna akan keluar rumah tanpa harus dihampiri dan menimbulkan kecurigaan yang lain.
Sore itu, yang tertangkap pandangan matanya adalah Haris keluar rumah bersama bayinya laki-lakinya yang sudah rapi. Tidak berselang lama, Vania turut keluar rumah menghampiri suami dan anaknya tersebut. Aura ibu satu anak itu tampak jelas memancarkan rona bahagia yang membuatnya semakin cantik.
Dimas tersenyum miris, rasa ragu semakin menguat. Berharap Hanna tidak hamil dan ia tidak perlu tanggung jawab sehingga benar-benar menjadi saudara dengan Vania seperti yang pernah dikatakan wanita itu dulu.
Saat Vania dan Haris menjauh dari rumah yang kini tampak sepi, Dimas berdiri. Mengambil alat tes kehamilan di laci, menyimpannya di saku samping celana panjang yang dikenakan. Lalu keluar, melangkah cepat menuju rumah. Belum juga sampai di teras, Dimas harus menunda niatnya karena sang ibu tiba-tiba keluar dari rumah.
"Dimas?" Bik Minah melangkah keluar di teras menunggu anaknya tersebut. "Ini hari sabtu, ada kerjaan apa, kok di kantor terus?"
Langkah Dimas yang tadi terhenti, kembali dilanjutkan. Mendekati ibunya. "Ngga ada, Bu. Kan biasanya aku juga di kantor terus."
Bik Minah menatap Dimas sejenak, kemudian menarik lengan anaknya itu untuk duduk bersama di teras. "Kamu masih mengharapkan Vania?"
Dimas kembali menegakkan punggungnya yang baru bersandar, menoleh kaget pada sang ibu. "Ibu ngomong apa, sih?"
Bik Minah tidak langsung menjawab, mengalihkan pandangan ke arah pantai. Tertuju pada Vania dan Haris yang sedang jalan-jalan. Tatapan itu membuat Dimas paham.
"Mana mungkin aku masih mengharapkan istri orang? Vania sudah punya anak dan dia bahagia dengan suaminya serta anaknya. Aku tidak layak mengharapkannya," lirih Dimas, sendu.
Bik Minah memegang bahu Dimas. "Lalu sampai kapan kamu akan sendiri terus?"
"Bu ...." Dimas menggeleng.
"Dimas, kamu satu-satunya anak Bapak sama Ibu. Kalau kamu memang sudah ikhlas tidak lagi mengharapkannya, kenapa tidak segera cari istri?"
Dimas mendengus malas, pembahasan istri mengingatkannya pada Hanna dan masalah mereka. "Nantilah, Bu. Belum ada yang cocok."
"Siapa yang belum cocok? Lani?"
"Kenapa Lani?" Dimas kaget saat ibunya malah membahas salah satu guru muda di PAUD.
"Lalu siapa yang belum cocok denganmu kalau bukan Lani?"
"Bu, Lani itu cuma salah satu pengajar di PAUD, tidak ada hubungannya sama aku."
"Kamu benar-benar tidak ada hubungan dengan Lani?" Bik Minah menatap penuh harap.
"Tidak ada, Bu ...." Dimas memelas, lebih tepatnya jengah. Bagaimana bisa memikirkan wanita lain, sedangkan Hanna dan ketakutannya akan keadaan wanita itu masih menghantui?
"Bagaimana kalau dengan Hanna?"
Dimas terlonjak kaget mendengar nama Hanna disebut ibunya. "Hanna? Maksud Ibu?" Suaranya terdengar gugup.
"Kata Vania, adiknya Pak Haris itu baru saja batal perjodohannya. Anaknya cantik dan Ibu perhatikan dia baik."
Dimas mendengus kasar. Bagaimana kalau ibunya tahu apa yang telah terjadi antara dirinya dan Hanna? Apakah ibunya tetap menyukai wanita itu? Atau malah mengutuk perbuatan mereka?
"Janganlah, Bu. Kenapa harus Hanna? Haris Wirawan itu pengacara terkenal di kota, begitupun orang tuanya. Mana mau punya menantu orang desa sepertiku," ujar Dimas terdengar putus asa.
Apa yang dikatakan lelaki tiga puluh tahun itu adalah wajar. Bukan hanya masalah perasaannya yang masih tertaut pada Vania sehingga enggan untuk menerima Hanna, tetapi jika dipikir, masalahnya akan lebih rumit lagi mengingat citra keluarga Wirawan yang terpandang di kota. Sedangkan ia hanya anak seorang mantan pengasuh dan supir, yang bisa berpendidikan tinggi berkat biaya dari Pak Ahmad dan beasiswa. Ya, Dimas benar-benar ragu setelah memikirkan segala kekurangan keluarganya.
"Tapi yang Ibu lihat, orang tuanya Pak Haris itu baik. Apalagi setelah memiliki cucu ...."
"Iya, Bu. Itu karena Vania menantu mereka, wajar sajalah. Sedang aku laki-laki. Tinggal dan bekerja di desa kecil ini, mana pantas bersanding dengan anak perempuan dari keluarga terpandang itu?" Dimas berdiri, melangkah masuk rumah tanpa memberikan kesempatan ibunya menyela.
Langkahnya terhenti, matanya tertuju pada pintu kamar yang ditempati Hanna. Melirik sekitar yang tampak sepi, tidak terlihat tanda-tanda kalau ibunya akan menyusul masuk. Dimas mengetuk pintu kamar tersebut, cukup lama hingga terbuka dari dalam.
Bola mata cokelat Hanna tampak berkaca-kaca menatapnya. Sejenak Dimas terdiam, lalu dikagetkan suara Hanna yang dingin.
"Apa?"
"Ba–gaimana keadaanmu?" Dimas memejamkan mata, merasa salah bicara. Kenapa malah menanyakan kabar? Bodoh!
Hanna mengernyit, lalu raut wajahnya berubah datar. "Apa pentingnya untukmu?"
Dimas mengusap wajah kasar, memandang Hanna gusar. Tangannya beralih meraba saku celana. Belum sempat merogoh apa yang dicari, Hanna mencoba menutup pintu kamarnya.
"Hanna, tunggu dulu!" Dimas menahan pintu yang hampir tertutup.
"Jangan ganggu, aku. Dasar laki-laki pengecut!"
Dimas tersentak karena umpatan Hanna, egonya sebagai laki-laki tidak terima direndahkan. Sekali sentakkannya, pintu terbuka. Matanya berkilat marah.
"Jangan macam-macam, atau aku teriak!" ancam Hanna tampak khawatir.
Gerakan tangan Dimas melemah karena ancaman itu. "Aku tidak akan macam-macam. Aku hanya ingin—" Belum selesai ucapannya, pintu sudah berdebum di depan wajahnya. Dimas mengusap wajah kasar, tidak berniat kembali mengetuk pintu.
Hanna, wanita itu sungguh menyulitkannya!
*****
Baru satu hari, Hanna sudah merasa bosan berada di desa itu. Tempat yang menyuguhkan pemandangan indah tersebut sejujurnya cukup memanjakan mata dan membuatnya tertarik. Sayangnya keberadaan Dimas membuat Hanna enggan keluar rumah, bahkan keluar kamar sehingga membuatnya hampir mati kebosanan.
Satu bulan setelah kejadian itu telah mengubah sikap Hanna. Wanita itu tadinya jarang menangis semenjak tinggal bersama neneknya dan hidup bersama Malik, tetapi karena kejadian tersebut, dalam kesendiriannya Hanna selalu menangis. Dan untuk hari itu, entah untuk keberapa kalinya ia meneteskan air mata untuk alasan yang sama yaitu Dimas!
"Hanna?" Suara Vania terdengar diiringi ketukan pintu kamar dari luar.
Hanna mengusap wajahnya cepat, lalu beranjak dari tempat tidur dan membuka pintu. Vania berdiri di sana dengan Hafiz. Saudara ipar dan teman masa kecilnya tersebut memang selalu memanggilnya saat tiba waktu makan. Dan selalu, senyum lebar yang diperlihatkan wanita cantik itu tanpa peduli respon Hanna yang datar.
"Ada apa?"
"Ayo kita makan malam." Vania tersenyum.
Hanna diam menatap Vania ragu.
"Ada masalah?" tanya Vania, seakan bisa menangkap ekspresi Hanna yang meragu.
Hanna menggeleng, lalu menutup pintunya dari luar. Berjalan lebih dahulu menuju ruang makan. Sampai di sana, langkahnya terhenti saat melihat Dimas duduk di salah satu kursi.
"Hanna, ayo duduk." Vania menyadarkan Hanna yang masih terpaku pada Dimas.
Dimas menoleh, menatap sekilas. Lalu kembali fokus pada makan malam yang tersaji.
"Duduklah di sini." Vania mengarahkan Hanna pada sebuah kursi kosong di samping Dimas.
Hanna tampak ragu, sebelum akhirnya mendudukan diri di sana. Lalu menahan tangan Vania yang akan beranjak duduk di samping suaminya. "Kapan kalian pulang ke kota?"
Suara Hanna yang pelan mampu didengar seluruh pasang telinga di ruangan sempit itu. Termasuk Dimas, tentu saja.
"Kamu ngga betah di sini?" tanya Vania heran.
Hanna diam, mengedarkan pandangan pada seluruh penghuni ruang makan tersebut. Pak Budi dan Bik Minah masing-masing duduk di kursi ujung meja, menatapnya heran dan tampak penasaran. Lalu Haris—kakaknya—menatapnya tajam. Entah apa maksud tatapan itu. Mungkin kesal karena adiknya itu merepotkan dan memalukan di rumah orang.
"Tidak, bukan itu. Mungkin karena jaringan internet di sini tidak terlalu baik, sehingga beberapa email tentang pekerjaanku terkendala," ujar Hanna beralasan. Sejenak melirik Dimas yang bergeming.
"Oh, masalah itu? Nak Hanna bisa ke kantor Dimas saja. Di sana jaringan internetnya bagus, kan? Apa itu istilahnya, Dimas?"
Dimas tersentak karena sentuhan tangan ibunya. "Wifi, Bu," ujarnya tanpa mengangkat wajah.
"Ah, iya, itu. Kamu, kan bisa ajak Hanna ke sana biar dia tidak bosan, Dimas."
Dimas cuma mengangguk membuat Hanna tersenyum kecut. Entah bagaimana reaksi wanita paruh baya itu jika mengetahui apa yang telah anak tunggalnya itu lakukan pada Hanna. Akankah bisa bersikap sebaik itu lagi?
"Nah, sekarang kita makan dulu. Tidak baik terlalu banyak bicara saat waktunya makan." Pak Budi memutus suasana canggung tersebut, memulai makan malam diikuti yang lainnya.
Setelah makan, Hanna beranjak ke kamar mandi di luar saat Bik Minah dan Vania sedang merapikan ruang makan. Rasa nyeri terasa di perut tiba-tiba membuatnya tidak tahan.
"Hanna!"
Hanna tersentak kaget saat tangannya dicekal sebelum masuk kamar mandi. Dan pelakunya adalah Dimas. "Lepas!" Sekuat tenaga berusaha melepaskan, tapi Dimas bergeming.
"Aku yakin, tadi hanya alasanmu saja, kan? Untuk segera pergi dari sini?" tanya Dimas dengan suara pelan, sesekali melirik ke arah dalam rumah.
"Bukan urusanmu!" sentak Hanna, suaranya tertahan.
"Iya, bukan urusanku setelah kita selesaikan urusan kita!"
Hanna mengernyit heran. "Apa maksudmu?"
Dimas merogoh saku celananya, mengeluarkan sesuatu yang membuat mata cokelat Hanna membulat kaget.
"Lakukan tes itu secepatnya. Aku tunggu besok pagi di pantai jam enam. Pastikan dirimu tidak hamil, lalu pergilah dari sini sesuai keinginanmu!" Tampak tiga buah testpack diletakkan Dimas dalam telapak tangan Hanna yang tiba-tiba kaku. Setelah mengatakan itu, Dimas langsung berlalu meninggalkan Hanna yang mematung.
Bukan hanya tangannya, tetapi juga sekujur tubuhnya terasa kaku untuk digerakkan. Tanpa terasa benda tersebut jatuh di tanah seiring dengan bulir bening yang menetes membasahi pipi. Kelopak matanya mengerjap, Hanna menghela napas dalam. Ucapan Dimas terdengar bagai hinaan untuknya. Lelaki itu bukan hanya pengecut tetapi juga brengsek!
Hanna memunguti tiga buah testpack tersebut, lalu segera masuk ke kamar mandi.
*****
Dimas duduk terpekur di atas sajadah di masjid subuh itu. Beristigfar berkali-kali, tidak kunjung membuatnya merasa tenang dari sesal yang terus menghantui karena ucapannya yang tega pada Hanna semalam. Sungguh, dirinya benar-benar kalut, dan hanya kepada Allah tempatnya mengadu dan memohon ampunan dari segala khilaf dan dosanya.
Masjid yang tidak jauh dari rumahnya tersebut sudah tampak sepi. Dimas mengusap bulir bening yang tanpa terasa menetes mengiringi doanya. Entah bagaimana hasilnya, ia memasrahkan semua pada Allah. Ia sudah bertekad akan menikahi Hanna, jika wanita itu hamil. Lalu jika tidak, apakah semua selesai?
"Ya Allah, maafkan aku," gumam Dimas seraya mengusap wajah. Berdiri dari duduknya, lalu beranjak keluar dari masjid.
Sang fajar telah menyingsingkan sinarnya di ufuk timur. Cahaya kemerahan menghiasi langit pagi menggantikan gelapnya malam. Dimas melangkah ke pantai yang sepi, menatap ke arah laut sejenak lalu menoleh ke arah rumah. Belum terlihat tanda Hanna akan keluar. Dalam hati berharap cemas, apakah wanita itu akan menuruti keinginannya?
Terpaan angin laut yang dingin menyentuh kulit tidak bisa mendinginkan hati yang kacau. Dimas semakin gusar manakala terdengar langkah yang bergesekan dengan pasir pantai. Ia berbalik, mendapati Hanna berjalan mendekatinya dengan tatapan tidak terbaca.
Dimas menghela napas pelan. Menelan ludah kasar, tenggorokan terasa kering untuk melontarkan suara. Hanna semakin dekat, mata Dimas mengarah pada tangan wanita itu. Benda yang ia serahkan semalam ada dalam genggaman.
"Bagaimana?" tanya Dimas akhirnya, setelah lama terdiam bertatapan dalam keheningan pagi yang diisi suara deburan ombak.
Senyum sinis tersungging di wajah Hanna yang tampak sembab. Lalu wanita itu bertanya, "Apa yang akan kamu lakukan?"
"Apa? Katakan dulu hasilnya bagaimana? Kamu sudah test, kan?"
"Sebelum aku mengatakannya, jawab dulu. Apa yang akan kamu lakukan? Kamu akan menikahiku?"
"Aku, aku akan menikahimu kalau hamil. Kalau tidak ...."
"Kalau tidak?" Hanna menekankan.
Dimas diam sejenak, menghela napas lalu mengembuskannya. "Ya, seperti apa yang aku katakan semalam. Kembalilah ke kota dan lanjutkan hidupmu."
"Brengsek!" umpat Hanna diiringi telapak tangannya yang melayang menyentuh pipi kiri Dimas.
Dimas tersentak, wajahnya berpaling ke kanan. Pipinya terasa perih, tetapi itu pantas untuknya.
"Terima kasih telah menghancurkan hidupku! Aku sangat bersyukur karena tidak mengandung anak dari laki-laki pengecut sepertimu! Dan aku tidak perlu alat sialan ini untuk memastikan keadaanku!" Hanna melemparkan testpack yang masih tersegel utuh di wajah Dimas, lalu berbalik dan berlari pergi dari sana.
Dimas menatap bingung benda-benda tersebut. Masih tidak yakin dengan apa yang diucapkan Hanna. Bagaimana wanita itu tahu tidak hamil sedangkan tidak ditest?
"Hanna!" Dimas turut berlari mengejar. Langkahnya yang lebar dan kekuatan yang lebih membuatnya dengan mudah menyamai langkah Hanna yang hampir tiba di rumah dan menarik tangannya. "Jelaskan apa maksudmu?"
"Sial!" Hanna hampir berteriak frustrasi. "Apa kamu laki-laki bodoh? Sudah berapa banyak wanita yang kamu tiduri lalu dicampakkan sehingga tidak tahu bagaimana seseorang itu hamil apa tidak?"
"Kamu yang pertama!" tegas Dimas.
Hanna bungkam.
Dimas mengacak rambutnya, lalu kembali menahan tangan Hanna. "Jangan bohong padaku. Katakan yang sebenarnya ...."
"Kamu tidak tuli, kan? Aku bilang aku tidak hamil! Aku bukan wanita di luar sana yang bisa berpura-pura agar dinikahi! Aku tidak sudi!" Hanna memberontak ingin melepaskan diri tetapi sulit, cekalan tangan Dimas cukup kuat.
"Hanna!" sentak Dimas.
"Dimas!"
Dimas dan Hanna tersentak mendengar suara Bik Minah. Mereka kompak menoleh, mendapati wanita paruh baya itu berdiri tidak jauh dengan tatapan mata yang menuntut.
0 comments:
Posting Komentar