CINTA DI BATAS CAKRAWALA 8

❤ *Cinta*
*di Batas Cakrawala*
 🌅 nomor - 8 
(Kilasan Masalalu)


Pengaruh Vania—sebagai menantu—dan Hafiz—sebagai cucu—serta Haris yang tidak lain adalah anak kesayangan, membuat langkah Hanna keluar dari rumah orang tuanya untuk ikut keluarga kecil itu ke desa, mulus tanpa hambatan. Ada rasa senang, tetapi ada rasa sedih yang tidak terungkap kata lebih mendominasi. Ya, apalah daya dirinya yang berstatus anak, tetapi kehadirannya seakan tidak pernah dianggap.

Karena telah terbiasa Hanna tidak terlalu memikirkan, setidaknya setelah kejadian batalnya pertunangan dengan Aryan, kedua orang tuanya tidak pernah menyinggung masalah jodoh untuknya, entah karena apa. Sekarang yang dipikirkan Hanna adalah, bagaimana dengan dirinya akibat dari malam itu? Sungguh Hanna tidak ingin hamil, terlebih tanpa seseorang yang berstatuskan suaminya. Tapi memikirkan tentang pernikahan pun, Hanna ragu. Ah, rumitnya ....

Sentuhan lembut di pipi membuyarkan lamunan Hanna. Ia menoleh, mendapati tangan mungil Hafiz yang meraba pipinya. Bayi montok menggemaskan itu berada dalam gendongan Vania yang berdiri tepat di sampingnya, menikmati semilir angin laut yang bertiup pelan di dek atas dalam perjalanan mereka menyeberang ke pulau seberang.

"Terima kasih, kamu mau ikut," ujar Vania dengan senyum tulus. Membiarkan Hafiz terus memainkan surai rambut Hanna yang dibelai angin.

"Kenapa berterima kasih?" balas Hanna datar, matanya fokus pada Hafiz. Perlahan, tangannya terulur kaku balas menyentuh pipi cubby Hafiz.

"Karena kamu memberiku kesempatan untuk menjadi temanmu seperti dulu."

Gerakan tangan Hanna terhenti. Matanya melirik Haris yang tiba-tiba muncul di samping Vania. Sejak kecil mereka tidak akrab, bahkan Hanna merasa seperti tidak punya kakak, karena Haris yang terlalu cuek dan sibuk dengan dunianya sendiri. Lalu satu-satunya teman kecil yang ia miliki dulu, malah menjadi istri dari kakaknya tersebut saat ini.

"Aku tidak pernah memberikanmu kesempatan apapun. Aku hanya melakukan apa yang aku inginkan," gumam Hanna, mengalihkan pandangan pada lautan yang terhampar luas di depan mata.

"Iya, aku tahu, tetapi bagiku itu kesempatan. Aku sama sepertimu, bukankah dulu kita bisa berteman baik karena sama-sama tidak pandai bergaul?" gumam Vania ceria, berusaha memancing pembicaraan tentang masa kecil mereka. "Jadi, saat ini kita ditakdirkan menjadi saudara. Aku senang sekali."

Hanna tetap bergeming, matanya tidak melirik sedikitpun. Walau ada sedikit rasa yang mencubit hatinya. Dijauhkan dari teman satu-satunya dulu saat kecil membuatnya terpuruk. Karena saat tinggal bersama orang tuanya, hanya Vania temannya.

"Ayo Yang, kita siap-siap. Bentar lagi kapal sudah sandar. Biar Hafiz sama aku."

Hanna menoleh, menatap datar apa yang dilakukan kakaknya pada Vania. Iri? Ya, ia iri melihat keharmonisan dan romantisme itu. Melihat bagaimana Haris yang terkenal cuek sejak kecil, kini berubah menjadi lelaki dewasa yang penuh tanggungjawab pada Vania yang bahkan tidak pernah diliriknya dulu. Adakah yang bisa memperlakukannya seperti itu?

Dulu Hanna pernah merasakan tulusnya kasih sayang seorang lelaki seperti itu, tetapi takdir dengan kejam memisahkannya. Membuatnya harus menjalani hidupnya sendiri selanjutnya. Adakah yang bisa tulus mencintainya? Apalagi dengan keadaannya yang sudah berbeda, ia bukan lagi wanita baik-baik. Hanya seorang wanita penuh dosa yang kurang kasih sayang.

Hanna mengikuti langkah Haris dan Vania, menuruni tangga saat kapal sudah lengang oleh penumpang. Masuk dalam mobil sedan yang dikemudikan supir pribadi papinya. Setelah makan siang dan salat, perjalanan panjang dilanjutkan. Pemandangan alami yang belum banyak tersentuh warga sedikit menenangkannya. Ia begitu menikmati perjalanan ditemani celotehan Hafiz dan rengekannya, sehingga melupakan masalah pelik yang menimpanya.

*****

Hampir jam lima sore, mobil sedan yang ditumpangi Hanna dan keluarga kecil Haris memasuki kawasan desa nelayan di ujung utara pulau. Jalanan berpasir menyambut mereka di musim hujan saat itu. Sepanjang jalan, tidak sedetikpun Hanna bisa memejamkan mata. Padahal Hafiz di samping dalam kendali Vania, sudah terlelap. Entah kenapa, perasaannya jadi tidak menentu.

"Alhamdulillah, sudah sampai." Suara Haris dan bunyi pintu mobil yang terbuka membuat Hanna tersadar. Melirik ke samping, lagi-lagi pemandangan yang membuatnya hanya bisa mendesah iri.

Ada rasa sesal yang membuatnya kesal, menyadari kedatangannya ke desa tersebut bersama keluarga kecil kakaknya yang lengkap dan bahagia. Sementara dirinya? Mungkin bisa dibilang, layaknya obat nyamuk.

Huft!

Hanna menyusul keluar. Merapikan rambut cokelatnya yang tertiup angin pantai dengan jemari. Menatap sekeliling, indah. Pemandangan desa di pinggir laut yang masih asri membuatnya jatuh cinta untuk pertama kali.

"Assalamu'alaikum, Bik." Vania menyapa sang pemilik rumah, yang Hanna kenal dengan panggilan Bik Minah di acara resepsi sebulan lalu.

"Wa'alaikumsalam. Apa kabar, Nak?"

"Alhamdulillah. Aku, Mas Haris dan Hafiz, semuanya baik-baik saja." Mereka semua saling menyapa, dan sejenak mengabaikan Hanna.

"Oh, ya Bik. Maaf kalau ngerepotin. Ini Hanna, adiknya Mas Haris. Nia ngajak Hanna untuk ikut ke sini," ujar Vania yang cepat menyadari keberadaan Hanna.

"Tidak apa-apa, Nak. Tidak ada masalah. Adiknya Pak Haris, itu artinya saudara kamu juga, kan?"

Hanna memaksakan diri tersenyum, lalu bersalaman dan mencium punggung tangan Bik Minah dengan canggung.

"Oh ya. Bapak ada di dalam, dan Dimas ...," Bik Minah memandang ke arah pantai. Terlihat anak lelakinya baru saja mengakhiri kegiatan berenang sore itu, "Itu dia."

Mau tidak mau, Hanna mengikuti arah pandang Bik Minah. Seorang lelaki dengan postur tubuh tinggi, tegap berjalan ke arah mereka. Hanna mencoba untuk cuek dan tidak tertarik, tetapi saat sosok itu semakin mendekat, mata hitam segelap malam tersebut membuatnya terpaku. Hanna membeku, punggung lebar lelaki itu membuka kenangan satu bulan yang lalu di hotel malam itu. Astaga, dia ... laki-laki itu?

"Dimas?"

Lelaki itu, namanya Dimas? Walau hanya sekali bertemu, tetapi entah mengapa seluruh tubuh lelaki itu terekam jelas di otak Hanna. Matanya terpejam rapat, menghela napas kuat karena rongga dada terasa sesak. Hanna merasa dunianya akan runtuh karena tidak sanggup menghadapi kenyataan.

"Apa kabar?" Haris menjabat tangan Dimas ramah.

"Alhamdulillah, baik," jawab Dimas dengan lirikkan mata tertuju pada Hanna.

Hanna menunduk, membiarkan mereka saling menyapa dan berharap segera berakhir tanpa melibatkan dirinya.

"Ini adiknya Mas Haris, namanya Hanna," ujar Vania memperkenalkan.

"Aku Dimas." Dimas mengulurkan tangan tepat di hadapan Hanna.

Telapak tangan Hanna terasa dingin, bahkan menjalari sekujur tubuhnya. Menghela napas pelan guna meredakan gugup, Hanna memberanikan diri mengangkat wajahnya. Dan ... bagaimana bisa, lelaki itu menatapnya dengan tenang? Seakan tidak pernah terjadi apapun di antara mereka.

"Hanna." Untuk menghilangkan kecanggungan yang tampak, Hanna akhirnya meraih telapak tangan besar yang terulur itu. Seperti ada sengatan listrik seketika saat tangan yang berjabat serta mata yang bertatapan. Waktu terasa berhenti seketika. Jika tidak ada orang, rasanya Hanna ingin memukul lelaki yang tidak kunjung melepaskan tangannya itu. Sialan!

"Senang bertemu denganmu."

Senang? Tetapi nada suaranya yang tertangkap indera pendengaran Hanna terasa sebaliknya. Dan ia pun merasakan hal yang sama, tidak senang dengan pertemuan ini.

"Hm," sahut Hanna malas, segera melepaskan genggaman tangan mereka.

Entah apa yang terjadi, tetapi Dimas terlihat canggung karena lebih dari satu menit menatap dan menggenggam tangan Hanna.

"Baiklah, mari kita masuk saja," ajak Bik Minah.

Vania dan Haris membawa bayi mereka mengikuti Bik Minah yang masuk rumah. Sementara supir yang mengantar mengeluarkan barang bawaan mereka. Hanna pun turut menyusul, tetapi langkahnya terhenti saat Dimas menahannya.

"Kita harus bicara!" 

"Ap—" Hanna tidak sempat menyahut karena Dimas telah menyeretnya ke arah pantai.

*****

"Lepas!" Hanna menghempaskan tangan Dimas yang memeganganinya kuat. "Jangan macam-macam!"

Dimas mendengus, membuang pandangan ke sembarang arah. Jujur, melihat kembali wanita yang tanpa sadar ditidurinya bulan lalu itu membuatnya hilang akal. Wanita yang menghantui hari-harinya dengan rasa bersalah dan penyesalan kini seakan datang padanya. Dan wanita itu ... seperti apa Dimas harus mengatakannya? Adik dari suami wanita yang masih ia cinta.

"Aku tidak akan macam-macam," ujar Dimas akhirnya. Frustrasi mengacak rambutnya yang tebal.

Hanna melipat kedua tangan di dada, menatap sinis. "Lalu? Kenapa menyeretku ke sini?"

"Kita harus bicara!"

"Bicara apa? Bicara saja!"

Dimas menghela napas pelan, tidak menyangka telah melakukan kesalahan dengan wanita yang sebenarnya cantik, tetapi tidak dengan sikapnya.

"Aku ingin minta maaf, saat itu kamu tidak memberiku kesempatan untuk bicara."

Bibirnya terkatup rapat, Hanna hanya diam mendengarkan.

"Malam itu aku sedikit mabuk, tetapi ada yang tidak beres di minuman yang aku minum. Temanku pasti melakukannya, mungkin saja memberikan obat yang membuatku hilang kendali," lirih Dimas, bingung karena Hanna menatapnya datar.

"Lalu, menurutmu? Dengan ucapan maaf semua selesai? Kamu memanfaatkanku, kamu laki-laki. Tidak akan merasa rugi sepertiku!" Suara Hanna bergetar.

Dimas mengangguk paham, hatinya berdenyut nyeri mendengar ucapan Hanna. Ia yang brengsek, karena malam itu masih sadar. Hanya saja tidak kuasa menahan diri yang telah dikuasai nafsu.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Dimas akhirnya, ragu.

Hanna tersenyum sinis. "Apa maksud pertanyaanmu?"

Dimas menelan ludah susah payah. Tentu maksud pertanyaannya bukan maksud sebenarnya, tetapi akibat dari kejadian malam itu. Sungguh, Dimas tidak bisa membayangkan jika apa yang dipikirkannya satu bulan itu jadi nyata.

"Maksudku—"

"Aku hamil?" sela Hanna.

Dimas tersentak, jantungnya berdegup kencang. Kedua tangan mengusap wajahnya yang sudah mengering. "Apa itu benar?" lirihnya ragu, menatap perut Hanna.

"Aku tidak tahu," sahut Hanna acuh.

"Kenapa? Bagaimana kalau—"

"Apa yang akan kamu lakukan?" sela Hanna lagi, membungkam Dimas. "Kalau aku hamil, apa yang kamu lakukan? Kita tidak saling kenal. Tidak mungkin kamu akan menikahiku, kan?"

Dimas masih saja diam. 

Seulas senyum sinis terbit di wajah Hanna. "Sudah kuduga," ujarnya, membalik badan lalu melangkah pergi tanpa bisa dicegah lagi.

Dimas jongkok menghadap laut, mengacak rambutnya frustrasi. Bagaimana bisa ia menikahi Hanna dan menjadi saudara Vania dan Haris?

*****

"Ini kamarnya, Nak. Maaf kalau sempit," ujar Bik Minah.

Hanna telah kembali dari pantai tanpa ada yang mencurigainya. Memperhatikan ruangan berukuran tiga kali tiga meter yang dihiasi tempat tidur kayu di sudut. Kamar itu jauh berbeda dengan kamar yang pernah ditempati seumur hidupnya.

"Tidak masalah," ujar Hanna datar, tersenyum tipis pada Bik Minah untuk menghargai.

"Ya sudah. Istirahat, ya? Nanti kita makan malam bersama setelah isya'."

Hanna mengangguk, melangkah masuk kamar tersebut setelah Bik Minah meninggalkannya sendiri.  Mengunci pintu lalu uduk di pinggir tempat tidur, menatap sekeliling. Seperti takdir sedang mempermainkannya. Kesalahan satu malam itu bersama lelaki yang tidak ia kenali, tetapi ternyata takdir menyeretnya mendatangi lelaki itu tanpa sadar.

Hanna menenggelamkan wajah di bantal dan menangis. Menangisi nasibnya dan ketakutannya. Lelaki itu, Dimas. Dia sama saja seperti yang lain. Menganggap apa yang mereka lakukan hanya kesalahan, lalu tanpa dosa mencampakan begitu saja tanpa ada rasa bertanggungjawab.

Entah sudah berapa lama Hanna menangis, suara ketukan di pintu kamar mengagetkannya. Ia beranjak dari tempat tidur, lalu membuka pintu. Vania berdiri bersama Hafiz sambil tersenyum lebar.

"Kamu kenapa?" Vania terlihat kaget, membuat Hanna mengusap wajahnya cepat.

"Tidak ada apa-apa."

"Oh," Vania tersenyum, "Ayo kita makan malam."

"Makan malam?" gumam Hanna bingung.

"Iya, sudah selesai isya'. Ayo." Vania menarik tangan Hanna, mengajaknya ke ruang makan.

Hanna menghela napas lega saat tidak melihat Dimas di sana. Hal tersebut semakin meyakinkan dirinya, betapa pengecut lelaki itu.

"Dimas masih banyak pekerjaan untuk menyiapkan kegiatan besok pagi. Makanya tidak bisa ikut makan bersama," ujar Bik Minah.

Hanna mencibir dalam hati. Yakin bahwa hal tersebut hanyalah alasan Dimas untuk menjauhinya.

"Tidak masalah, Bik," sahut Haris.

"Oh ya, Nak Hanna. Semoga betah di sini. Maaf kalau makanannya tidak sesuai selera."

Hanna tersenyum tipis seraya menggeleng. Menatap raut wajah Bik Minah yang ramah. Pikirannya menerawang liar, membayangkan menjadi istri Dimas. Punya mertua yang baik, menyayanginya layaknya anak sendiri.

"Tidak apa, Bu," ujar Hanna tanpa sadar.

Bik Minah tersenyum penuh arti. 

*****

Acara pagi itu berjalan lancar tanpa hambatan berarti. Beberapa orang perangkat desa turut hadir di sana, menyaksikan apa yang dilakukan Vania didampingi Haris agar semua berjalan dengan transparant. Menyerahkan bantuan berupa uang yang sudah diniatkan sejak satu tahun yang lalu untuk desa lewat LSM yang dipimpin Dimas.

Selama acara pagi hari itu berlangsung, Dimas tidak bisa konsentrasi. Pikirannya kacau, lebih tepatnya sejak bertemu lagi dengan Hanna. Dan kata-kata wanita itu yang mempertanyakan tentang niatannya mempertanggungjawabkan perbuatan mereka malam itu jika membuahkan hasil. Semalaman Dimas stress memikirkan hal tersebut. Bisakah ia menjadi suami Hanna tanpa memikirkan Vania yang menjadi saudaranya?

"Terima kasih kerja samanya," ujar Haris, mengulurkan tangan mewakili Vania.

Dimas membalas uluran tangan itu, menjabatnya kaku. Pikirannya yang liar membayangkan jabatan tangan itu untuk akad menikahi Hanna. Benar-benar pikiran gila yang menyelinap di tengah kerisauan hatinya. "Sama-sama," balasnya, berusaha tersenyum untuk menenangkan diri.

Kantornya mulai sepi, semua orang yang tadinya berkumpul di sana telah keluar meninggalkannya satu per satu. Dimas menghela napas pelan, merapikan berkas yang berserakan lalu membuka laci mejanya. Menatap gusar tiga buah testpack yang ia beli semalam di apotek lengkap desa tetangga untuk meminimalisir adanya warga desanya yang tahu.

Sudah satu bulan berlalu, dan tidak bisa ditunda lagi. Dimas harus memastikan keadaan Hanna yang sebenarnya, walaupun sama sekali belum ada tindakan yang terpikirkan olehnya terhadap hasil yang akan dihadapi nanti.

0 comments:

Posting Komentar