CINTA DI BATAS CAJRAWALA 7

❤ *CINTA* 
*di Batas Cakrawala* 
🌅 nomor - 7 
(Kilasan Masalalu)

"Dunia ini memang terlalu sempit untuk hal-hal kebetulan yang telah dikehendaki oleh-Nya. Terkadang membahagiakan, tidak jarang pula jadi menyakitkan."

***

Rasa lelah dan sakit kepala membuat Hanna enggan membuka mata. Tangannya tanpa ragu memeluk sesuatu di samping, dan akhirnya tersadar saat jemarinya menyentuh otot perut seseorang. Tangannya seketika membeku, matanya mengerjap pelan. Lalu terpaku saat melihat punggung lebar nan polos seorang lelaki yang tidur memunggunginya.

Seumur hidup, Hanna tidak pernah berpikir sedikitpun akan menghabiskan malam lalu terbangun bersama lelaki asing di atas ranjang sebuah kamar hotel. Bertahun-tahun bersama Malik, lelaki yang selalu melindunginya dengan cinta dan kasih sayang, tidak pernah menyentuhnya hanya untuk melampiaskan hawa nafsunya. Sungguh, Hanna merasa terhina setelah kesadarannya terkumpul mengingat tingkah cerobohnya karena mabuk semalam.

"Si-siapa, kamu?" Suara Hanna tergagap. Sekuat tenaga menahan diri untuk tidak menangis, menangisi kebodohannya.

Tidak ada jawaban, tetapi Hanna tahu kalau lelaki itu sudah bangun. "Kenapa diam? Kamu sudah bangun, kan?" Desaknya terdengar bergetar.

Perlahan lelaki itu membalik badannya. Sepasang mata hitam yang menatapnya dengan pandangan sulit untuk diartikan. Hanna menguatkan diri, membalas tatapan itu tajam.

"Aku—"

"Kamu laki-laki itu?" sela Hanna cepat, tatapannya menuntut mengingat ada seorang lelaki yang mendekatinya di bar tadi malam.

"Laki-laki?"

Senyum sinis yang tersungging  di wajah Hanna mengingat kejadian semalam sebelum mabuk. Laki-laki itu pasti sengaja menjebaknya. Dan raut wajah bingung itu sama sekali tidak meluluhkan pikiran negatif Hanna.

"Caramu bagus. Menungguku mabuk, lalu membawaku ke kamar ini dan meniduriku seenaknya!" geram Hanna.

"Kamu salah—"

"Cukup!" Tangan Hanna merapatkan selimut hingga sebatas dada, untuk berjaga-jaga. "Semalam aku mabuk, jadi aku tidak mengingat apapun. Jangan pernah mencoba untuk menjebakku, jika tidak ingin terlibat masalah hukum denganku!"

Hanna beranjak dari ranjang dengan selimut menutupi sekujur tubuhnya, meninggalkan lelaki itu masuk ke kamar mandi. Di dalam ruangan berukuran tiga kali dua meter tersebut, Hanna menatap pantulan dirinya di cermin. Lingkaran hitam tampak jelas di sekitar matanya yang bulat. Penampilannya sungguh berantakan, belum lagi rasa sakit di beberapa bagian tubuh membuatnya meringis.

Yang Hanna tahu setelah mabuk, semalam Malik datang padanya. Lelaki itu berkata seperti biasa, akan selalu melindungi dan mencintainya. Ia terlalu larut dalam rasa rindu pada lelaki itu dan frustrasi akan hidupnya sendiri hingga menghancurkan diri dalam semalam.

Air dingin membasuh wajahnya, terasa segar tetapi tidak mampu meredakan segala sakit di hati maupun tubuhnya. Hanna merapatkan selimut di seluruh tubuh sampai sebatas leher. Lalu keluar kamar mandi guna memunguti pakaiannya yang tercecer di lantai tanpa peduli lelaki itu yang terus memperhatikannya tanpa kata di atas ranjang.

Hanna memakai gaunnya cepat, ada sedikit robekan di beberapa bagian yang tidak diketahui bagaimana kronologinya semalam. Sungguh, Hanna tidak akan membiarkan lelaki itu mengambil kesempatan untuk menjebaknya. Lihat saja!

"Aku akan menganggap semalam tidak pernah terjadi dan kita tidak pernah bertemu. Dan semoga kita tidak pernah bertemu lagi!" ujar Hanna mantap setelah keluar dari kamar mandi dengan penampilan yang tampak lebih rapi. Ya, ia harus kuat dan tidak boleh lemah. Lelaki itu hanya orang asing, cukup harga dirinya hancur semalam dan ia tidak ingin berurusan dengannya lagi.

"Tunggu!" Lelaki itu berusaha menghentikan, tetapi Hanna tidak menghiraukan, terus melangkah  membuka pintu lalu keluar. "Hei, tunggu dulu!"

Hanna berjalan cepat, lalu mencoba untuk berlari menyusuri lorong hotel sambil meringis menuju litf. Menekan tombol lift beberapa kali bersama air mata yang tidak kuasa tertahan. Pintu lift terbuka, ia segera masuk dan bersandar di dinding lalu menekan nomor lantai tujuan. Tubuhnya meluruh seiring pintu lift yang tertutup hingga membawanya turun.

"Malik! Aku sudah hancur ...." Hanna menyembunyikan wajah di kedua lututnya dengan sekujur tubuh bergetar karena tangis.

*****

Keramaian jalan raya pagi itu sama sekali tidak menarik minat. Hanna menyandarkan kepala di pintu, manik cokelatnya menatap kosong keluar. Taksi yang membawanya melaju cepat hingga tiba di perumahan mewah kediaman orang tuanya.

Hanna meraba ruang di sisinya, kosong. Tidak ada ponsel dan handbag yang dibawanya semalam. Entah di mana, apakah tertinggal di hotel? Hanna menjambak rambutnya frustrasi menyadari kecerobohannya.

"Pak, tolong bayarkan argonya," ujar Hanna dari dalam taksi pada satpam penjaga rumah.

Lelaki paruh baya dengan kumis lebat itu menatap heran anak majikannya yang tampak berantakan. Memintanya membayarkan taksi pula? Aneh sekali, pikirnya. Tanpa kata, dia merogoh saku, menyerahkan selembar uang berwarna biru. Sisa gaji bulan itu.

Hanna menutup pintu taksi dengan sisa tenaga. Melangkah gontai masuk rumah, lalu sebuah suara tinggi menyambutnya.

"Dari mana kamu?!"

Langkah Hanna terhenti. Menatap papinya yang berdiri berkacak pinggang serta maminya yang tampak cemas di belakang. 

Hanna memijat pelipisnya, efek mabuk semalam masih terasa membuatnya terhuyung. "Ada masalah?".

Pak Heru melangkah mendekati putrinya. Mata hitamnya mendelik tajam. "Apa yang sudah kamu katakan pada Aryan sampai dia membatalkan perjodohan kalian?"

Hanna mengernyit bingung. "Aryan sudah cerita?" Belum sempat melanjutkan, wajahnya sudah berpaling karena tamparan tangan besar papinya mendarat mulus di pipi kirinya. Panas dan perih terasa, bahkan menjalar di sekujur tubuh hingga hatinya.

"Apa maumu, Hanna?!"

Satu bulir bening menetes dari sudut matanya. Hanna memejamkan mata dengan napas memburu. Hari itu adalah hari tersial dalam hidupnya.

"Kenapa Papi menuduhku?" lirih Hanna, tidak ada getaran dalam suaranya. Hatinya terbiasa menahan sakit sejak kecil karena terabaikan, dan disakiti secara fisik untuk pertama kalinya, sekuat tenaga berusaha ia tahan.

"Menuduh? Bukannya dari awal itu permintaanmu? Jika di antara kamu atau Aryan ada yang tidak suka, maka perjodohan itu batal?"

Hanna tersenyum sinis, memalingkan wajah. Menatap berani papinya. "Ya, itu memang syarat yang aku ajukan sama papi. Dan itu pula yang aku ajukan sama Aryan," Hanna menghela napas sejenak lalu melanjutkan, "Dan aku tidak pernah menyangka, Aryan yang memintaku untuk membatalkan perjodohan kami karena dia menyukai orang lain. Kenapa Papi tidak percaya?"

Pak Heru terdiam. Raut wajah keras yang penuh emosi, perlahan merenggang.

"Asal Papi tahu. Aku sangat berharap Aryan mau menikahiku dan membawaku pergi dari keluarga ini walaupun aku tidak mencintainya. Tapi ternyata ... dia menghancurkan harapanku," rancau Hanna.

Pak Heru menggeleng, kedua tangannya mengepal. Mendapati gelagat aneh anak bungsunya itu. "Kamu mabuk?!"

"Mau mabuk atau matipun, rasanya tidak ada yang peduli! Aku masih punya orang tua utuh sejak kecil. Tapi Papi dan Mami memperlakukanku layaknya orang asing!" Hanna berlari menaiki tangga. Tidak dihiraukan suara papinya yang terus memanggil.

"Hanna!"

*****

Dimas telah berpakaian rapi usai membersihkan diri. Hampir setengah jam lamanya, lelaki itu duduk di pinggir ranjang dengan kedua tangan tiada henti menjambak dan mengacak rambutnya yang basah. Mata cokelat tajam wanita itu terus melekat, berputar di otak. Serta rancauan dan ucapannya bergantian terngiang di telinga. Akhirnya, ia memutuskan meninggalkan kamar tersebut setelah matahari mulai tinggi. Mengumpat dalam hati terhadap apa yang telah dilakukan temannya semalam dengan membawanya bersama wanita asing di hotel.

Jantungnya berdegup kencang saat tiba di penginapan yang ditempati bersama kedua orang tuanya sejak kemarin malam. Teringat akan janji dan kebohongannya semalam, Dimas ragu untuk bertemu orang tuanya. Terlebih dengan apa yang terjadi padanya.

"Kamu dari mana? Kenapa baru datang?" Bik Minah menatap penuh selidik anak tunggalnya yang berdiri salah tingkah.

Rambut basah tidak bisa menutup wajah pucat dan mata Dimas yang masih memerah. Laki-laki itu menunduk bingung tanpa menjawab.

"Kamu sakit, Nak?"

"Eh," Dimas menahan tangan sang ibu yang hampir menyentuh wajahnya, "Ngga, Bu. Aku baik-baik saja."

"Kamu minum?"

Astaga!

Dimas memejamkan matanya. Lupa kalau seorang ibu tetap punya feeling yang kuat terhadap anaknya. "Maaf," lirihnya dengan kepala tertunduk lalu meraih tangan ibunya yang dibawa ke bibir.

"Cuma minum saja, kan, Nak?" Suara Bik Minah tampak khawatir.

Tubuh Dimas menegang. Apakah ia harus jujur? Tidak, hal itu pasti sangat mengecewakan ayah dan ibunya. Ia hanya menggeleng pelan membuat Bik Minah menghela napas.

"Apa kamu masih mengharapkan Vania?"

"Bu ...."

"Nak, jujur saja. Kalau kamu bohong tentang kegiatanmu semalam, itu artinya masih ada kaitannya dengan Vania."

Dimas hanya diam karena apa yang diucapkan ibunya memang benar. Ya, semua karena Vania, tetapi salahkan saja dirinya yang tidak bisa menjaga hatinya sendiri. Mengharapkan seorang wanita yang jelas telah bersuami, padahal wanita itu sama sekali tidak memberi harapan apapun padanya.

"Lupakan Vania. Dari awal Ibu sudah bilang sama kamu, kan?"

Dimas mengangguk patuh tanpa kata. Beribu penyesalan menghujam dalam dada, bukan hanya rasa bersalah pada orang tua yang telah dibohongi, tetapi juga tentang wanita itu. Ah, siapa wanita itu?

*****

Hari-hari yang Hanna lewati sungguh membosankan. Wanita itu lebih banyak mengurung diri di kamar dengan menyibukkan diri dengan berbagai macam tulisan yang dibuat, tetapi tidak ada satupun yang selesai karena bayangan mata hitam lelaki itu terus menghantuinya. Bahkan membuatnya hampir tidak memikirkan Malik.

Di balkon kamarnya, sore itu Hanna duduk seperti biasa. Menikmati angin sore dengan buku milik Malik di tangan, tetapi matanya memandang kosong ke depan. Hampir satu bulan, dan bayangan lelaki itu begitu mendominasi. Apa karena kepemilikannya satu malam itu? Atau karena?

Hanna tersentak kaget, tangannya refleks menyentuh perutnya. Astaga! 

"Tidak! Aku tidak mungkin hamil," gumam Hanna, berusaha mengingat jadwal bulanannya yang telah terlambat satu minggu. Ia berdiri sambil menggeleng panik. Lalu suara tangisan Hafiz yang melengking dari kamar sebelah menyentaknya. 

"Aku tidak mungkin hamil. Aku tidak mengenal lelaki itu. Bagaimana ini?" Hanna semakin frustrasi diiringi tangisan Hafiz yang terdengar memekakan telinga.

Ia keluar kamarn, membuka pintu kamar sebelah yang ternyata tidak terkunci. Seketika tubuhnya membeku melihat pemandangan di dalam sana. Tidak ada suara Hafiz yang tadinya melengking. Yang ada hanya celoteh bayi itu, sibuk sendiri di tengah lantunan ayat suci yang dibacakan Vania tepat di sampingnya.

"Hanna ...?" Hanna mengerjap kaget, mendapati Vania berdiri tersenyum di hadapannya. Masih menggunakan mukena putih dengan Hafiz di gendongan. "Ada apa?"

Hanna menggeleng, mengalihkan pandangan pada bayi yang hampir berusia empat bulan tersebut. Bayangan jika dirinya hamil, tanpa suami. Apa bisa ia menjadi orang tua, sementara seumur hidupnya tidak pernah merasakan ketulusan kasih sayang orang tua?

"Hanna?" Vania menyentuh lengan Hanna, menyadarkannya.

"Apa dia begitu merepotkan?" gumam Hanna tanpa sadar, dengan pandangan yang masih fokus pada Hafiz.

Vania mengernyit heran, menatap bayinya dan Hanna bergantian. Sejak perjodohannya dengan pengacara itu batal, Hanna semakin jauh tidak tersentuh. Lalu kini tiba-tiba datang padanya.

"Hafiz?" Vania tersenyum mencium pipi bayinya, "Tidak sama sekali. Sangat menyenangkan memilikinya."

Hanna tidak bereaksi apapun. Pikirannya berkecamuk.

"Hanna. Bagaimana kalau kamu ikut kami ke desa?" ujar Vania tiba-tiba.

"Apa?" tanya Hanna yang tidak fokus.

Vania tersenyum, mengusap bahu Hanna mencoba membujuk. "Ikut aku, Mas Haris dan Hafiz ke desa. Desa tempat asal Papaku. Kamu butuh liburan dan di sana tempatnya bagus. Mau, ya?"

Hanna diam memikirkan tawaran Vania. Tangannya meremas dress yang dipakai bagian perut. "Apakah itu jauh?"

"Lumayan. Satu jam dari sini ke pelabuhan, lalu menyeberang laut dua jam. Dan tiga jam perjalanan darat sampai desa."

Hanna menghela napas meyakinkan diri. Sepertinya itu tawaran yang bagus. Tapi ....

"Bagaimana dengan Papanya?" Mata Hanna melirik Hafiz, karena yang ia maksud adalah Haris.

"Kalau soal Mas Haris, kamu ngga usah khawatir." Vania tersenyum, tetapi senyumnya tidak mampu menenangkan Hanna. "Kamu mau, ya?"

Akhirnya Hanna mengangguk kaku.

*****

Hari-hari yang dilaluinya tidak sedatar dulu. Setelah kembali dari kota sebulan lalu, tidak jarang Dimas merasa stress. Menghabiskan waktu dengan berenang sekalipun tidak mampu menenangkannya. Semua karena wanita itu, sehingga dengan mudahnya membuatnya melupakan Vania.

Ah, ya. Tentang Vania, hari itu dia akan berkunjung bersama suami dan anaknya untuk menyalurkan bantuan dari harta peninggalan orang tuanya. Hal itu telah disampaikan sejak seminggu sebelumnya.

Dimas mengusap wajahnya, bulir air asin menetes dari ujung rambut hingga ke dagu. Mengakhiri kegiatan berenang sore itu, berjalan menjauhi air laut menuju daratan. Di depan rumahnya, ada sebuah mobil sedan yang sudah tidak asing baginya.

"Apa kabar Nia?" 

"Alhamdulillah, Bik. Nia sama Mas Haris dan Hafiz, semua baik-baik saja."

Langkah Dimas semakin mendekat, lalu terhenti saat melihat keakraban ibunya dengan Vania tetap sama seperti dulu. Tanpa sadar Dimas tersenyum miris. Vania telah bahagia, tetapi sayangnya dia masih berkubang dalam penyesalahnnya sendiri.

"Oh, ya, Bik. Maaf kalau ngerepotin. Ini Hanna, adiknya Mas Haris. Nia ngajak Hanna untuk ikut ke sini."

"Tidak apa-apa, Nak. Tidak ada masalah. Adiknya Pak Haris, itu artinya saudara kamu juga, kan?"

Dimas masih di tempatnya, kurang lebih lima meter dari mobil yang terparkir. Mata hitamnya yang sejak tadi memandangi Vania, beralih pada seorang wanita yang sejak tadi luput dari perhatiannya. Rambut cokelat sebahu, kulit putihnya dan bola mata cokelat yang terang. Seketika bayangan tentang malam itu berputar cepat di depan mata. Wanita itu ....

"Dimas?" Dimas tersentak karena ibunya memanggil. "Vania dan Pak Haris sudah sampai."

Kakinya seakan terpaku dengan pasir pantai yang dipijak. Bukan hanya itu, tubuhnya pun terasa demikian. Dimas mencoba mengerjap, berharap apa yang dilihatnya salah, teyapi tetap saja seperti apapun usahanya, wanita itu tetaplah sosok yang sama tertangkap penglihatannya. Berdiri di sana, memandanginya dengan sorot mata yang tidak bisa diartikan.

Dunia ini begitu luas tetapi menapa dosa satu malam yang dilakukannya harus dengan wanita itu? Adik dari Haris Wirawan, dan itu artinya saudara ipar Vania?

0 comments:

Posting Komentar