❤ *CINTA*
*di Batas Cakrawala*
By : Alia Citra
🌅 nomor - 24
(Kilasan Masalalu)
Kelopak matanya mengerjap pelan, rasanya berat, entah berapa lama ia terlelap Ruangan bernuasa putih tertangkap retinanya, serta bunyi yang entah apa, berdengung menyapa gendang telinga. Hanna menghirup dalam-dalam udara yang tersalurkan lewat selang kecil di hidungnya, mengisi kekosongan yang terasa dalam dada.
Samar-samar bunyi yang berdengung, bersahutan hampir setiap detik itu beradu dengan isak tangis seseorang. Hanna mencoba menggerakan kepalanya, mencari asal suara. Matanya membulat tidak percaya saat melihat Ibu Rossa yang duduk sendirian menggunakan baju steril sambil menunduk di samping tempat tidurnya. Tangannya bergerak khawatir meraba perutnya yang sudah tidak lagi membuncit. Ia tercengang, pandangannya mengikuti tangannya yang mengepal di atas perut.
"Bayiku," gumaman Hanna membuat Ibu Rossa mengangkat wajah. Ia melirik khawatir pada wanita paruh baya berwajah pucat itu. Tangannya yang mengepal gemetar cemas. "Kenapa Mami di sini? Bayiku mana? Dia anakku, walaupun dia perempuan, tapi aku tetap akan menyayanginya."
Ibu Rossa langsung mendekat, menggenggam erat tangan Hanna. "Alhamdulillah kamu sudah sadar, Hanna," ucapnya lembut tanpa peduli ucapan tajam sang anak.
Hanna menggeleng keras dengan tatapan tajam. "Mana bayiku? Mami tidak mencelakainya, kan?"
"Astagfirullah. Bayimu baik-baik saja, Hanna. Dia ada di ruang perawatan bayi." Ibu Rossa mengusap rambut Hanna lembut dan satu tangannya yang bebas mengusap pipinya sendiri. Sentuhan lembut pertama kali dari maminya sedikit menghilangkan kekhawatiran Hanna, tetapi ia masih tidak percaya perlakuan yang menurutnya janggal itu. "Maafkan Mami, ya? Mami yang telah membuatmu menderita selama ini. Jangan benci Mami."
Hanna mengernyit heran ketika tangannya dalam genggaman di bawa ke pipi Ibu Rossa.
"Maafkan Mami."
Hanna mendengus, tidak suka mendengar kata maaf yang terus diucapkan maminya. Seingatnya sejak kecil, wanita paruh baya itu tidak pernah memeluknya untuk sekedar menenangkan seraya membisikkan kata sayang. Yang ia dapatkan hanya sikap datar dan diskriminasi dari maminya itu, padahal ia tidak tahu apa salahnya. Lalu sekarang, rasanya aneh ketika kini maminya meminta maaf padanya.
"Mami masih di sini?" Tiba-tiba pintu ruangan terbuka, Vania—yang juga menggunakan pakaian steril—melangkah masuk. Bola mata hitam wanita itu berbinar ketika melihat Hanna yang sudah sadar. "Alhamdulillah. Kamu sudah sadar, Hanna?"
Vania mendekat, memeriksa alat-alat medis yang terhubung di tubuh Hanna. "Aku akan konsultasi dengan dokter yang menanganimu dulu, ya?"
"Van," Hanna menahan lemah tangan Vania, "Bayiku mana?"
Vania tersenyum mengusap punggung tangan Hanna. "Alhamdulillah keadaannya sudah membaik, walaupun masih harus dirawat di NICU karena lahir prematur."
"Bisa bawa dia ke sini?"
"Ini ruang ICU, Hanna, tidak sembarang orang bisa masuk ke sini. Apalagi bayi baru lahir dan belum cukup umur."
Hanna melirik tajam maminya yang kini menunduk. Tangannya yang bergetar mengusap perutnya. "Seharusnya bayiku masih di sini, Van. Belum waktunya dia lahir."
Seakan paham arti tatapan Hanna, Vania mendekat berusaha untuk menenangkannya. "Tidak apa-apa. Bayimu kuat walaupun lahir sebelum waktunya, lagipula itu sudah takdirnya. Kamu tenang, ya? Setelah kamu pindah di ruang rawat biasa, kamu bisa lihat dia."
Hanna menangguk pelan lalu kembali melirik maminya. "Kenapa Mami masih di sini? Kenapa juga Mami tiba-tiba peduli padaku?"
"Hanna ...." Vania langsung menahan pergerakan Ibu Rossa.
"Mi, jangan sekarang. Hanna baru sadar, biarkan keadaanya stabil dulu," bujuk Vania. "Kita keluar dulu, ya? Setelah ini dokter akan memeriksa Hanna."
Ibu Rossa menyerah, mengikuti langkah Vania keluar ruangan.
Hanna memandang lurus ke arah langit-langit kamar. Memikirkan alur kehidupannya yang begitu rumit, dan kini membuat bayinya yang tidak berdosa hrus lahir lebih cepat dari waktunya, tanpa seorang ayah pula.
Ia tidak kuasa menahan tangis ketika teringat ayah dari bayinya. Apa yang sedang dilakukan lelaki itu? Apakah dia marah? Kecewa? Atau malah bahagia? Seketika Hanna merasa jadi wanita yang paling egois jika memikirkan bayinya, tetapi ... bukankah Dimas memang tidak pernah menginginkan bayi yang ia lahirkan? Itu yang Hanna yakini. Jadi, tidak salah ketika ia memutuskan pergi, ya, ia tidak salah. Batin Hanna terus bergelut, membenarkan sikapnya itu.
Hanna meringis seraya mengelus perut bawah yang terasa nyeri, mungkin di bekas operasinya. Ia mencoba menguatkan diri, menghela napas dalam dan memejamkan mata. Tidak sabar rasanya menggulirkan waktu secepatnya agar segera bisa melihat bayi perempuannya.
*****
Kondisi Hanna yang sempat drop pasca operasi, akhirnya berangsur membaik. Tiga hari di rawat di ICU, Hanna pun dipindahkan ke ruang rawat biasa. Dengan duduk di kursi roda yang didorong Haris, Hanna dibawa ke ruang NICU.
Bulir bening yang mengalir dari sudut mata mengiringi senyum haru yang terpancar di wajah Hanna ketika melihat bayi perempuannya terlelap dalam salah satu tabung inkubator. Tanpa lelah, matanya tidak berkedip memandang lekat seluruh tubuh mungil bayi yang diperjuangkan dan dijaganya selama tiga puluh minggu dalam kandungan.
"Anakku," gumam Hanna seraya mengusap air matanya. "Kamu beneran sudah lahir."
Tangannya meraba tabung berdinding kaca tersebut. Ia mendesah kecewa karena untuk sementara belum bisa menggendong bayinya dan memberi ASI secara langsung. Namun ia bersyukur ketika salah satu bidan yang ada di sana mengatakan bahwa Vania telah menjadi pendonor ASI untuk bayinya selama empat hari ini.
"Bagaimana?" sambut Haris ketika Hanna keluar setelah puas melihat bayinya di dalam.
Hanna tersenyum, mengusap pipinya yang basah. "Vania mana?"
"Vania langsung pulang setelah memberikan ASI untuk bayimu."
"Walaupun aku membencinya, kenapa dia tidak peduli pada kebencianku? Lima bulan diia tetap peduli padaku dan sekarang pada anakku ...," ujar Hanna dengan perasaan tidak menentu.
Haris mendekat, mengusap bahu adiknya yang bergetar karena tangis. "Kebencianmu adalah wajar, aku dan Vania tidak masalah dengan itu. Jadi mulai sekarang, bayimu itu adalah anakku dan Vania juga."
"Kenapa kamu tiba-tiba berubah?" Hanna menatap heran perubahan raut wajah Haris. "Mami juga berubah, jadi peduli padaku. Ada apa?"
Haris tersenyum, tetapi tidak bisa menyembunyikan raut wajahnya yang menyimpan beban. "Tidak ada apa-apa. Sekarang kita sama-sama sudah dewasa, punya anak masing-masing. Tapi apapun itu, kita tetap saudara. Lahir dari rahim yang sama. Sudah sewajarnya kita peduli satu sama lain."
"Tapi kenapa tiba-tiba?" cecar Hanna yang masih belum puas akan jawaban yang diterima.
Haris langsung mendorong kursi roda Hanna perlahan. "Tidak ada yang tiba-tiba. Semua butuh proses. Bukankah waktu lima bulan kamu tinggal di rumahku itu adalah proses? Lagi pula selama hidup kita yang tidak saling peduli, itu juga proses. Proses yang salah, dan akan menjadi pengingat untuk ketika menjadi orang tua."
Hanna hanya diam mendengarkan, membiarkan Haris terus mendorong kursi rodanya hingga tiba di ruang perawatan. Sejujurnya ia masih merasa aneh dengan sikap keluarganya yang tiba-tiba berubah peduli padanya, terutama maminya. Namun ia tidak mau ambil pusing, selama bayinya baik-baik saja, maka ia juga akan sama baiknya.
"Hanna ...." sambut Ibu Rossa di depan ruang rawatnya.
Tanpa menyapa menghiraukan maminya, Haris langsung membuka pintu dan membawa Hanna masuk.
"Istirahatlah. Nanti sore kamu bisa mengunjungi bayimu lagi," ujar Haris setelah membantu Hanna berbaring di tempat tidurnya. "Aku pergi dulu, ya? Akan ada perawat yang menjagamu, jangan khawatir."
Hanna tersenyum tipis, hatinya menghangat karena perhatian tulus dari kakaknya yang selama ini tidak pernah ia rasakan. Mengamati sosok kakaknya yang keluar ruangan lalu menutup pintu. Namun, ada yang aneh, bukahkah Ibu Rossa ada di luar tadi? Kenapa Haris tidak mempersilakannya masuk?
Ah, Hanna menggeleng, malas memikirkan hal-hal yang tidak penting. Setelah melihat bayinya tadi, sosok mungil itu terus melekat dalam ingatan, membuatnya tidak sabar untuk segera memeluknya. Hanya bayinya, fokus hidupnya ke depan hanya untuk si kecil itu. Ia tidak ingin memikirkan hal-hal lain yang tidak penting.
*****
Wanita paruh baya itu masih berdiri di depan ruang rawat sang anak. Kedua tangannya saling meremas karena gugup. Ingin rasanya ia menyusul ke ruang NICU, tempat cucunya dirawat. Memberikan perhatian layaknya seorang ibu pada umumnya yang ikut mendampingi anak perempuannya menghadapi proses sebelum dan sesudah melahirkan untukpertama kali. Ya, seharusnya memang seperti itu. Namun hal itu tidak bisa ia lakukan karena kesalahan fatalnya di masalalu.
"Ngapain Mami di sini?" Haris menutup pintu ruangan Hanna, menatap sinis maminya.
"Ma-mami mau lihat keadaan Hanna."
"Untuk apa? Dia bukan anak yang harapkan, seharusnya Mami tidak usah peduli padanya!"
"Haris! Hanna itu anak kandung Mami, sama seperti kamu. Wajar kalau peduli padanya."
"Anak kandung," Haris meringis ketika mengatakan hal itu, "Anak kandung, tetapi selama tiga puluh tahun hidupnya, Mami memperlakukannya seperti anak tiri!"
Ibu Rossa menunduk, tidak kuasa menahan tangis. Ia tidak pernah membayangkan akan sampai pada saat ini, saat di mana rahasia yang ia simpan sendiri puluhan tahun akhirnya terkuak juga. Suami dan anak kesayangannya—Haris—sampai membencinya sedemikian rupa. Hanya tinggal Vania, menantu yang dulunya tidak diharapkan, kini selalu ada untuknya.
Malam hari setelah Hanna melahirkan dan dipindahkan ke ICU, Ibu Rossa melanjutkan ucapannya yang sempat tertunda sebelumnya pada suami dan anaknya. Dengan linangan air mata, ia mengungkap dosa yang dilakukannya tiga puluh satu tahun lalu. Berselingkuh dengan salah satu teman Pak Heru yang sama-sama sedang merintis karir menjadi pengacara, yang juga merupakan teman lamanya. Hubungan terlarang itu membuahkan hasil, yaitu kehadiran Hanna dalam kandungannya.
Hubungan itu pun diakhiri Ibu Rossa sepihak ketika menyadari kehamilannya di usia dua bulan. Ia stress, khawatir, dan takut jika perselingkuhannya ketahuan sehingga ia mengalami perdarahan di awal kehamilannya. Beberapa kali ia beralasan tidak ingin hamil lagi, dan berniat mengugurkan kandungannya, namun selalu gagal. Akhirnya Hanna terlahir setelah Ibu Rossa mengalami perdarahan menjelang usia kehamilan sembilan bulan.
Untuk menutupi aibnya, untuk melampiaskan penyesalannya karena telah menghianati sang suami, Ibu Rossa menganak tirikan Hanna dan hanya peduli pada Haris yang tentu anak kandung suaminya. Semua orang tidak ada yang tahu—termasuk suaminya—memaklumi sikapnya, menganggap hal yang dilakukannya wajar karena tidak ingin punya anak lagi.
"Sebagai laki-laki, aku bisa merasakan apa yang Papi rasa. Bertahun-tahun hidup bersama dalam kebohongan, memaklumi semua sikap Mami yang tidak adil kepada Hanna!" Haris mengembuskan napas kasar, menatap lekat wajah maminya yang selalu basah karena air mata. "Bahkan aku akan mendukung apapun keputusan Papi, termasuk memilih berpisah dengan Mami!"
Ibu Rossa menggeleng pelan, menatap sendu sang anak. "Jangan, Haria, Mami mohon. Jangan biarkan Papi menceraikan Mami. Puluhan tahun Mami mendampinginya—"
"Ya, Mami memang mendampingi Papi selama ini. Tapi juga menghianatinya diam-diam!" Haris melangkah mundur, menjauhi maminya yang mendekat. Lelaki itu mengacak rambutnya kasar, tampak sangat frustrasi. "Entahlah, tapi yang pasti Mami jangan pernah mengatakan apapun sama Hanna! Jangan sampai membuatnya terpuruk dan berimbas pada bayinya."
Ibu Rossa mengangguk kaku, menangis tergugu yang sama sekali tidak dipedulikan Haris. Orang-orang yang biasanya peduli padanya, kini meninggalkannya, membiarkannya terpuruk sendiri.
*****
Satu minggu setelah persalinannya, Hanna diizinkan pulang. Namun ia memilih bertahan di rumah sakit karena tidak ingin jauh dari si kecil yang diberi nama Naura oleh Vania. Bayi mungil itu mengalami perkembangan yang baik selama satu bulan dirawat. Dan hari itu, Hanna bisa memeluk bayinya sepuasnya karena telah diizinkan pulang oleh dokter.
Sepanjang jalan, Hanna—yang duduk sendiri di jok belakang—tidak sedikitpun mengalihkan pandangan dari Naura dalam dekapannya. Ia gemas, karena bayi dengan rambut hitam lebat dan mewarisi sebagian besar garis wajahnya, hanya tidur saja. Padahal ia sangat ingin melihat membuka mata, menatapnya. Atau menangis karena lapar sehingga ia lebih berguna.
"Ayo, biar aku bantu," ujar Haris yang sudah membuka pintu, mengagetkan Hanna yang tidak sadar kalau ternyata sudah sampai di rumah.
"Ma ... dek," gumam Hafiz dalam gendong Vania, terus menunjuk Naura yang dibawa Hanna masuk rumah lebih dulu.
"Iya, kita susul Mommy lihat adek." Vania menyusul Hanna dengan semangat.
"Oh, ya, Van. Aku, kan sudah melahirkan. Aku ngga butuh perawat lagi, cukup Ibu Asih saja yang bantu ngurus rumah. Aku mau ngurusin Naura sendiri," ujar Hanna, melirik Vania sekilas, lalu kembali fokus pada bayinya yang dibaringkan di ranjang kamar.
"Iya, kamu tidak perlu perawat lagi. Ada aku kok, yang bakalan bantuin kamu untuk merawat Naura."
Hanna menoleh kaget. "Kamu mau bantuin aku rawat Naura? Maksudnya? Kalian, kan ngga tinggal di sini?"
"Mulai hari ini, aku, Mas Haris dan Hafiz tinggal di sini sama kamu," jawab Vania tenang, sesekali memperhatikan Hafiz yang duduk diam, seakan penasaran menatap adik sepupunya yang terus tidur.
"Kenapa begitu? Memangnya Mami mengizinkan kalian tinggal di sini?" Hanna menatap heran, curiga lebih tepatnya.
Vania diam, tampak seakan memikirkan sesuatu. Lalu tersenyum tulus pada Hanna. "Iya, Mami tidak keberatan. Kebetulan ini juga keinginannya Mas Haris. Dia suka banget sama Naura, dia merasa punya anak sepasang sekarang."
"Benarkah?" Hanna masih tidak percaya, "Bukannya Mami tidak bisa jauh dari Hafiz? Kenapa Mami jadi aneh setelah aku melahirkan? Kalau karena merasa bersalah membuat Naura lahir prematur, aku rasa itu terlalu berlebihan baginya yang sejak dulu tidak pernah peduli padaku, Van."
Vania tampak salah tingkah, mengalihkan pandangan dari tatapan curiga Hanna.
"Ma, dek, book," celoteh Hafiz dengan bahasa bayinya. Menunjuk Naura yang tetap tenang, sedangkan bayi berusia tiga belas bulan itu tampak sangat penasaran.
"Iya, Adek masih bobok. Kakak juga bobok, ya?" bujuk Vania tetapi dibalas gelengan keras oleh anaknya.
"Nda au. Ma, dek, book."
Hanna tersenyum, pikirannya teralihkan karena celotehan Hafiz yang menggemaskan. Ia mendekat, mengambil alih Hafiz dan mendudukannya di pangkuan.
"Kakak bobok di sini aja, sama adek sama Mommy? Mau, kan?" bujuk Hanna seraya mengecup pipi bulat Hafiz. Bayi laki-laki itu hanya tertawa, kebiasaannya merespon orang-orang yang gemas padanya.
"Hafiz biar sama aku aja. Nanti repot kalau Naura bangun," kata Vania.
"Ngga apa-apa kok. Dari tadi juga Naura tidur mulu. Biar Hafiz di sini aja, nanti kalau dia rewel baru aku balikin ke kamu," sahut Hanna dengan tawa sambil memeluk Hafiz.
Vania menghela napas pelan dan tersenyum. "Baiklah." Dia berdiri, mengusap rambut Hafiz lalu melangkah ke pintu kamar.
*****
Vania berdiri di balik pintu kamar Hanna yang tertutup, memijat pelipisnya yang baik-baik saja. Ia hanya bingung dengan masalah yang tengah menimpa keluarga suaminya, karena tidak selamanya fakta menyakitkan itu bisa disembunyikan dari Hanna.
"Hafiz mana, Yang?" sapa Haris yang tiba-tiba muncul entah dari mana, mengagetkan Vania.
"Hafiz ... ada sama Hanna di dalam. Katanya mau lihat adeknya," jawab Vania, lalu meraih tangan Haris dan membawanya menjauh dari sana.
"Kamu baik-baik saja, kan, Mas?" Vania membuka pintu ruang kerja Haris yang berada tepat di samping kamar Hanna.
"Aku baik, sudah lebih baik sekarang."
Vania menatap Haris sendu, lalu mengarahkannya untuk duduk di sebuah sofa panjang yang menjadi tempat favorit mereka bersantai ketika berkunjung ke rumah itu.
"Jangan terlalu keras sama Mami, Mas. Kamu sebagai anak harus netral, berdiri di tengah kedua orang tuamu yang sedang bermasalah. Kamu laki-laki dan sudah sanga dewasa, anak kebanggaan mereka selama ini. Kalau kamu bersikap condong ke salah satunya, itu tidak adil, Mas."
"Tapi Mami selingkuh, Van! Dan Hanna ... Ya Allah, aku harus bilang apa tentang dia? Selama ini karena sikap Mami yang tidak peduli padanya, semua menjauhinya, termasuk Papi dan aku membencinya tanpa sebab. Mengasingkan Hanna, tinggal jauh bersama nenek hanya karena dia anak hasil selingkuhan." Haris menyandarkan punggung lebarnya, menghela napas gusar dengan tatapan lurus ke langit-langit ruangan.
"Mas," Vania memeluk Haris untuk menenangkan, "Aku paham masalahnya. Hampir sama dengan yang terjadi dengan Papa, Mama dan Ibu Ratna—"
"Ngga, Van. Masalah Mami dan Papi beda dengan masalah Mama Papa kamu. Dalam agama tidak dilarang seorang lelaki beristri lebih dari satu, tapi wanita yang sudah bersuami dan berselingkuh dengan laki-laki lain sampai hamil ...." Haris langsung mengusap wajahnya karena tidak mampu melanjutkan kalimatnya.
Vania mengangguk paham, sadar kalau memang masalah kedua orang tuanya dan mertuanya berbeda. Ia seorang anak dari wanita kedua, sedangkan Hanna? Vania tidak sanggup mengatakan walaupun hanya dalam hati.
"Ma!" Vania dan Haris tersentak kaget mendengar teriakan Hafiz. Bayi itu berlari kecil ke arah mereka.
"Lho, Kakak sama siapa?" Vania langsung menyambut anaknya itu. "Mommy mana?"
"Dek." Hafiz menunjuk ke arah pintu yang terbuka dan tidak ada siapapun di sana.
"Jangan bilang kalau Hanna dengar pembicaraan kita?!" Haris langsung bergegas keluar.
"Astagfirullah!" Vania panik menggendong bayinya. Mendekapnya untuk menenangkan debar jantungnya yang tidak menentu. Ia terus beristigfar, berharap semua tetap baik-baik saja walaupun pikiran negatif terus merecokinya.
*****
Selepas kepergian Vania, Hanna langsung disibukan dengan Naura yang terganggu tidurnya karena diapernya penuh. Walau masih terasa kaku, tetapi ia mencoba untuk santai, membersihkan Naura dan mengganti diapernya. Ia tersenyum melihat Naura yang kembali terlelap sementara Hafiz sibuk menoel pipinya.
"Sini, Kak. Kita cari Mama dulu, Kakak di sini malah main terus, ngga mau bobok." Hanna menurunkan Hafiz dari atas ranjang. Bayi yang sudah bisa berjalan sejak usia sebelas bulan itu berlari ke arah pintu, lalu berbalik seakan sedang menunggu.
Hanna menyusul, menggendong Naura lalu keluar kamar bersama Hafiz yang mendahuluinya. Seakan sudah hapal tempat favorit kedua orang tuanya, si kecil itu berlari arah ruangan yang Hanna ketahui adalah ruang kerja Haris di rumah itu.
Tanpa mengetuk pintu, ia membukanya perlahan. Senyum di wajahnya langsung pudar ketika mendengar pembicaraan Haris dan Vania dengan jelas.
"Tapi Mami selingkuh, Van! Dan Hanna ... Ya Allah, aku harus bilang apa tentang dia? Selama ini karena sikap Mami yang tidak peduli padanya, semua menjauhinya, termasuk Papi dan aku membencinya tanpa sebab. Mengasingkan Hanna, tinggal jauh bersama nenek hanya karena dia anak hasil selingkuhan."
"Mas, aku paham masalahnya. Hampir sama dengan yang terjadi dengan Papa, Mama dan Ibu Ratna—"
"Ngga, Van. Masalah Mami dan Papi beda dengan masalah Mama Papa kamu. Dalam agama tidak dilarang seorang lelaki beristri lebih dari satu, tapi wanita yang sudah bersuami dan berselingkuh dengan laki-laki lain sampai hamil ...."
Kelopak matanya mengerjap pelan, sepelan waktu yang seakan berhenti bergulir. Pikirannya mendadak kosong setelah mencerna ucapan Haris yang cukup jelas terdengar tadi tentang dirinya. Kedua kakinya terasa lemas membuatnya menyandarkan punggung di dinding. Dadanya terasa sesak menahan air mata yang mendesak keluar. Hanna membiarkan Hafiz masuk dalam ruangan itu, sementara ia mendekap erat Naura lalu menyeret langkah kembali ke kamarnya.
Perlahan-lahan Hanna membaringkan Naura di ranjang, hal itu malah membuat bayinya tiba-tiba menangis. Ia mendekat ke arah jendela, tanpa menghiraukan tangisan Naura yang semakin keras. Pikirannya melayang tidak tentu arah, lalu terpaku pada kilasan masalalu di setiap kejadian bersama maminya yang sama sekali tidak pernah mempedulikannya. Satu persatu kilasan itu berputar bagai kaset rusak terpampang nyata di depan mata.
"Hanna ...." Suara Haris mendekat, tidak mampu mengalihkan perhatian Hanna.
"Aku ... anak hasil perselingkuhan Mami, dengan siapa?" gumam Hanna dengan tatapan kosong keluar.
"Hanna." Haris menyentuh bahu Hanna dan langsung ditepis kasar.
"Katakan, Kak! Karena aku anak hasil dari perselingkuhannya, membuat Mami membenciku selama ini?!" teriakan Hanna beradu keras dengan tangisan Naura.
Haris mencoba memeluk Hanna, tetapi adiknya itu memberontak keras.
"Pantas saja tidak ada yang bisa mencintaiku, pantas saja aku selalu menderita selama ini! Kenapa aku dilahirkan kalau memang aku tidak diinginkan!" Hanna masih saja berteriak dalam pelukan Haris yang mencoba menenangkannya.
"Hanna tenanglah. Tenangkan dirimu, pikirkan anakmu."
"Aku tidak pantas jadi seorang Ibu. Anak haram sepertiku tidak pantas mendapatkan apapun. Bawa Naura pergi dariku, Kak! Aku tidak mau kalau Naura menderita punya Ibu sepertiku!" Tubuh Hanna melemah dalam pelukan Haris, bersamaan dengan tenangnya Naura yang sudah diambil alih Vania.
Napasnya tersengal, seakan oksigen di sekitarnya menipis. Tubuhnya melemah ketika rasa nyeri menjalar dari perut bagian bawahnya. Hanna tidak sanggup lagi untuk mengerjapkan mata, tenggelam dalam kegelapan dan kesakitan yang tidak bertepi.
Bersambung ....
Yang kangen Abang Dimas, maaf untuk Bagian ini dia free.
Coba aja cari di pantai, sepertinya dia lagi duduk sendirian menanti senja sambil merenungi nasib dan status yang tidak jelas.
0 comments:
Posting Komentar