❤ *CINTA*
*di Batas Cakrawala*
🌅 nomor - 25
(Kilasan Masalalu)
Tepat jam sembilan pagi, suasana sekolah yang tadinya cukup hening, seketika menjadi ramai. Anak-anak mulai keluar dan bermain di sekitar kelas masing-masing. Hanna duduk sendirian di sana, di sebuah ruangan terbuka yang disediakan khusus untuk orang tua siswa menunggu jam pulang anak mereka.
Ia terbiasa duduk sendirian, memperhatikan interaksi anak-anak yang polos dan apa adanya dari pada bergabung dengan orang tua siswa lain yang suka duduk berkelompok, membicarakan segala macam hal yang menurutnya hanya basa basi belaka. Beragam ekspresi ditampakkannya ketika mendengar ocehan atau melihat tingkah laku anak-anak yang sangat menggemaskan.
Sudah satu tahun Hafiz bersekolah di taman kanak-kanak tersebut. Satu tahun itu pula Naura ikut bersekolah walau tadinya usianya belum cukup untuk sekolah. Awalnya Haris yang selalu mengantar kedua anak itu dan akan dijemput oleh Hanna. Namun beberapa bulan terakhir Hanna menggantikan Haris setelah Naura tahu bahwa Haris bukanlah papanya, gadis kecil itu tidak mau sekolah karena ingin diantar abinya. Tidak ada yang bisa membujuk, selain Hanna yang akhirnya mengalah dan mulai memikirkan tentang Dimas dan kembali padanya.
Seperti hari itu, Hanna duduk menghadap ke arah taman yang terdapat banyak permainan anak. Matanya memang tertuju ke sana, tetapi hati dan pikirannya berada di tempat lain. Memikirkan bagaimana reaksi Dimas dan kedua orang tuanya jika tahu tentang Naura yang merupakan anggota keluarga mereka. Bagaimana reaksi lelaki itu saat tahu telah memiliki anak setelah sekian lama mereka terpisah.
"Mommy!" Suara Hafiz membuyarkan lamunan Hanna. Ia melirik mencari asal suara.
Tampak Hafiz berjalan menggandeng tangan Naura yang menangis, sebelah tangan bocah laki-laki itu memegang kerudung sepupunya yang entah bagaimana bisa terlepas.
"Eh, Naura kenapa, Bang?" Hanna langsung mengangkat Naura, mendudukkan di pangkuannya seraya mengajak Hafiz duduk di sampingnya. Naura langsung menyembunyikan wajahnya sambil memeluk Hanna erat dan kembali menangis.
"Abang sama Naula tadi main prosotan sama Fika. Naula bilang nanti Abinya mau pulang kalau kerjanya sudah selesai, tapi Fika bilang kalau Abinya Naula itu sama seperti Abinya Fika yang sudah meninggal jadi ngga pernah pulang. Naula tanya sama Abang, terus Abang bilang kalau orang meninggal itu berarti kayak Kakek dan Neneknya Hafiz kan, Mom?"
Hanna tersentak mendengar penjelasan Hafiz yang lancar. Ia menutup mulutnya memahami maksud ucapan keponakannya yang menjadi alasan tangisan Naura. Seketika jantungnya berdegup kencang, segala macam rasa dalam dada campur jadi satu membuatnya menghela napas gusar. Ia yakin, Naura dalam dekapannya pasti bisa merasakan degupan jantungnya yang tidak wajar.
"Naura marahin Abang, dia nangis, lemparin Abang pake kerudungnya, terus cakar Abang juga." Hafiz mengadu dengan polos seraya menunjukkan tangannya yang memerah. Hanna langsung mengusapnya cepat. "Mom, Abinya Naura masih ada kan? Kok ngga pernah pulang?"
Gerakan tangan Hanna terhenti, ia mengerjap pelan agar air matanya tidak meluruh di depan anak-anak, lalu tersenyum getir.
"Ada, Abinya Naura masih ada," jawab Hanna dengan suara parau. Tangannya yang tadi terasa kaku, perlahan mengacak rambut tebal Hafiz. "Abang Hafiz balik main lagi, deh. Jagoannya Mommy kuat, kan? Jagain Naura sama Adek Ira?"
Hafiz mengangguk, meraih tangan Hanna dan mencium punggung tangannya lalu berlari kembali melanjutkan mainnya.
Hanna kembali fokus pada Naura. Ia melonggarkan pelukan, menatap wajah sembab sang anak yang menatapnya sendu.
"Naula mau Abi," gumam Naura sambil terisak, air mata kembali membasahi pipi gembulnya. Dan dengan cepat Hanna mengusapnya. "Abi pasti pulang, kan? Abinya Naula ngga kayak Abinya Fika, kan?"
Hanna mengangguk kelu, diusapnya sekali lagi jejak air mata di wajah sang anak hingga tidak berbekas. "Abinya Naura ada kok, Nak."
"Abi pulang kapan?"
Hanna menatap lekat bola mata hitam Naura untuk menguatkan hatinya, mata hitam yang selalu mengingatkannya pada sosok Dimas. Ia menghela napas dalam, berusaha mengatur debar jantungnya agar sanggup mengatakan satu hal berat baginya. "Abi ngga akan pulang, sayang. Tapi kita yang akan pulang dan ketemu Abi."
Kelopak mata Naura mengerjap, wajah polosnya tampak bingung.
"Pulang ke mana?"
Hanna mengusap rambut hitam Naura perlahan dengan senyum menenangkan, walaupun jelas berbeda dengan hatinya yang kacau.
"Kita pulang ke rumah Abi, Nak. Sudah terlalu lama kita pergi." Suara Hanna memelan di akhir kalimat.
Sesuatu yang berat telah ia putuskan. Ia akan kembali pada Dimas demi Naura. Entah bagaimana reaksi suaminya itu, Hanna tidak terlalu yakin. Mengingat kata suami juga, ia sendiri tidak yakin kalau ia masih menjadi istrinya Dimas. Entahlah, tetapi baginya, bahagia Naura lebih penting dari apapun termasuk bahagianya sendiri. Hanya satu hal saja yang ia harapkan, semoga Dimas mau menerima dan mengakui Naura sebagai anaknya. Ia tidak sanggup jika Dimas masih seperti dulu, tidak menginginkan anak darinya.
*****
Setelah insiden kecil Naura tadi, gadis kecil itu tidak mau kembali ke kelas dan Hanna tidak bisa memaksa. Ia membiarkan Naura terus bersamanya hingga jam pulang sekolah tiba. Hafiz dan Naura juga sudah terlihat baik, karena dasarnya anak-anak yang gampang marahan tetapi mudah pula berbaikan. Keduanya tampak antusias ketika Hanna mengatakan akan mengajak mereka ke rumah Ibu Ratna terlebih dahulu.
Mobil Hanna memelan ketika tiba di dekat rumah Ibu Ratna. Dari pembelokan, tampak jelas sebuah mobil yang tidak asing baginya berada tepat di depan rumah tujuannya.
"Mom, kok berhenti di sini? Rumahnya Nenek kan di sana?" tunjuk Hafiz tepat di mobil sedan yang mirip mobil Haris.
Hanna mencengkram kuat stir mobil. Ia tidak bisa memutar balik dan pulang karena sudah terlanjur janji dengan anak-anak. Namun ia juga ragu untuk tetap pergi ke rumah itu jika ada tamu yang sangat ingin ia hindari.
Ia tersentak kaget ketika Hafiz dan Naura sudah berebut keluar mobil dan berlari masuk rumah Ibu Ratna seraya mengucap salam antusias. Hanna menundukkan kepala hingga mengenai stir mobil. Dadanya terasa sesak karena merasa tidak sanggup jika harus bertemu mereka, kedua orang tuanya. Ia selalu menghindar ketika mereka datang ke rumah Haris untuk menemui cucu-cucu mereka, termasuk Naura.
"Hanna?" Suara Ibu Ratna diiringi ketukan jemarinya di kaca mobil. Hanna mengangkat wajahnya yang sudah bersimbah air mata, membiarkan Ibu Ratna membuka pintu.
"Kenapa mereka ke sini, Bu?" lirih Hanna yang langsung memeluk Ibu Ratna dan menangis. Harinya sudah cukup berat setelah memutuskan membawa untuk Naura pada Dimas, ia merasa tidak sanggup untuk menghadapi masalah lain lagi.
"Mereka ingin minta bantuan Ibu untuk bisa bicara sama kamu, Nak."
"Aku ngga mau, Bu."
Ibu Ratna mengusap punggung Hanna yang masih bergetar. "Bagaimana pun juga, mereka orang tuamu. Kasihan Mami kamu sudah sakit-sakitan, Nak. Beliau sangat ingin bicara sama kamu. Terus, Papi kamu juga. Beliau tidak pernah menyangkal kalau kamu adalah anaknya walaupun kenyataanya berbeda."
Ibu Ratna melonggarkan pelukannya. "Allah saja Maha Pemaaf ketika hambanya mau bertobat. Alangkah sombongnya, kita sebagai hambahnya tidak mau memaafkan sesama. Terlebih terhadap orang tua. Sejak awal, Ibu bilang sama kamu, kamu itu wanita kuat makanya Allah mengujimu dengan segala cobaannya dan agar kamu selalu mendekatkan diri pada-Nya."
Hanna mengusap air matanya, berusaha mencerna ucapan wanita paruh baya itu dengan baik. Terkadang ia berpikir, mengapa ibu tiri seperti Ibu Ratna bisa lebih baik dari ibu kandung? Alangkah beruntungnya mereka yang memiliki ibu seperti Ibu Ratna.
"Mau ya, bicara sama Mami Papi kamu? Waktu kita hanya sementara di dunia, tidak baik menyimpan masalah berlarut-larut dan selalu menghindar, Nak. Tidak akan membuat kita tenang."
Hanna mengembuskan napas berat. Setelah memikirkan ucapan Ibu Ratna ada benarnya, ia memutuskan untuk masuk rumah tersebut dan bertemu kedua orang tuanya.
*****
Melihat keakraban Naura dan Hafiz bersama Oma Opanya membuatnya langkah Hanna terhenti di depan pintu. Hatinya berdenyut nyeri ketika fokusnya tertuju pada Naura yang kini duduk di pangkuan Ibu Rossa yang duduk di kursi roda.
Ketika Hanna depresi, kondisi fisik Ibu Rossa langsung menurun dan sakit-sakitan membuat suaminya langsung melunak. Darah tingginya sering kambuh, dan puncaknya delapan bulan lalu wanita paruh baya itu harus dilarikan ke rumah sakit karena mengalami stroke ringan dan kini tidak mampu berjalan dengan baik sehingga membutuhkan kursi roda. Karena itu pula Haris melunak, dan kembali menjadi Haris yang sangat menyayangi maminya seperti dulu.
"Naura sama Hafiz ke belakang dulu, yuk, sama Nenek sambil tunggu Kakak Rico dan Mbak Ara pulang dijemput Bunda," ajak Ibu Ratna setelah menggiring Hanna masuk dan duduk dengan baik di hadapan orang tuanya.
"Oma cama Opa nanti ke lumah, ya?" kata Naura sebelum pergi.
"Pasti," jawab Pak Heru, sementara Ibu Rossa hanya mengangguk.
Suasana ruang tamu kecil tersebut mendadak hening, tidak ada yang berniat memulai pembicaraan terlebih dahulu.
"Hanna," gumam Ibu Rossa setelah lama hanya saling diam. Dan Hanna tetap diam memasang tampang datar walau berbeda dengan hatinya yang tidak karuan. "Maafkan Mami, ya?"
"Mami memang orang tua yang buruk. Mami malu padamu, Nak. Kamu tetap merawat Naura dengan baik di tengah luka hati yang menderamu bertubi-tubi. Sementara Mami malah menelantarkanmu tanpa kasih sayang dan melampiaskan semua dosa dan kesalahan Mami padamu. Maafkan Mami."
Hanna pikir ia tidak akan tersentuh sedikitpun, nyatanya ia begitu rapuh sehingga air mata tidak kuasa ditahan karena ucapan maminya.
"Kamu mau, kan maafkan Mami? Biar Allah bisa terima taubat Mami, jadi ketika sudah waktunya, Mami bisa-"
"Stop!" Hanna langsung menutup kedua telinganya. "Jangan diteruskan! Aku bukan Tuhan, aku hanya seorang wanita, seorang ibu dan juga anak yang rapuh."
Tiba-tiba Ibu Rossa mendekat dengan bersusah payah menggerakkan kursi rodanya.
"Kalau begitu, izinkan Mami menebus semua kesalahan Mami sama kamu."
Hanna mengangkat wajahnya yang berubah sendu. "Dengan apa?" tanyanya ragu.
"Tinggallah kembali di rumah bersama Naura dengan Mami dan Papi."
Hanna menggeleng cepat. "Aku ngga bisa."
"Kenapa?" Perlahan Ibu Rossa memegang tangan Hanna, seperti beberapa tahun lalu yang membuat keadaan Hanna semakin buruk. Namun kini, ada rasa hangat yang menjalari hingga ke hati.
Hanna mengusap cepat air matanya. "Naura ingin bertemu Abinya. Aku rasa, aku sudah terlalu lama pergi dan semua misteri dalam hidupku telah terjawab. Jadi, sudah saatnya aku kembali."
"Benarkah?" Suara Ibu Rossa melemah begitupun genggaman tangannya. "Apa Mami tidak punya kesempatan lagi untuk menebus semua waktu kita yang terbuang?"
Hanna tidak menjawab, ia melirik papinya yang sejak tadi hanya diam memperhatikan tanpa menimpali dengan sepatah katapun. Ah, ia sadar diri bahwa ia bukanlah anak kandung papinya. Menyadari kenyataan itu kembali melukai perasaannya. Selamanya, seperti itulah statusnya.
"Pi ...," panggil Ibu Rossa. Hanna melirik gusar, memperhatikan papinya yang perlahan mendekat dan duduk di sampingnya. "Katakan sesuatu sama Hanna, Pi. Mami ingin kita menghabiskan masa tua dengan anak dan cucu kita."
"Apa kamu membenci, Papi?" Pak Heru buka suara. Lidah Hanna terasa kelu membuatnya hanya bungkam. "Seperti apapun kenyataannya, yang Papi tahu, kamu dan kakakmu itu adalah anak-anak Papi dan Mami. Bahkan dalam agama pun mengakui itu, kamu tetap anak Papi."
Hanna membuang pandangan ke sembarang arah karena air mata dengan seenaknya mengalir tanpa bisa dicegah.
"Kembalilah ke rumah bersama Mami dan Papi bersama Naura sebelum kamu kembali pada suamimu," ujar Pak Heru tulus.
Tanpa sadar, Hanna terisak pelan. Ia benar-benar seseorang yang rapuh, dan ia tidak ingin munafik karena sejujurnya, ia sangat menginginkan hal ini yang puluhan tahun lalu ia harapkan sejak kecil. Hanna hanya diam, tetapi menjawab dengan jelas lewat sorot matanya yang bergantian menatap kedua orang tuanya.
*****
"Kamu yakin?" Haris berdiri dari duduknya, menatap Hanna tidak percaya.
Selepas zuhur dan makan siang di rumah Ibu Ratna, Hanna memilih pulang lebih dulu bersama anak-anak. Dan sekarang, setelah makan malam ia berbicara berdua saja dengan Haris karena sebelumnya telah bicara dengan Vania. Ia merasa perlu izin dari kakaknya itu, karena selama ini dialah yang bertanggungjawab terhadap dirinya dan Naura.
"Iya, Kak."
"Kembali pada Dimas? Jujur aku meragukan itu. Dia bahkan tidak niat mencarimu. Laki-laki pengecut!"
Hanna tersenyum miris membenarkan ucapan Haris. Namun ia sadar, apa yang dilakukan Dimas adalah haknya karena ia juga bersalah dengan memilih pergi. Dimas pasti marah dan membencinya sehingga memilih untuk tidak mencarinya. Menyadari hal itu, keraguan kembali menyergapnya.
Bagaimana kalau Dimas membencinya? Bagaimana kalau dia tidak akan menerima Naura? Dan bagaimana kalau lelaki itu tidak lagi sendiri? Hanna semakin resah memikirkan hal itu, tetapi mengingat Naura kembali menjadi tujuannya. Cukup Naura bertemu Abinya, dan selanjutnya Hanna memasrahkan takdir hidupnya pada Allah semata.
"Mungkin dia memang pengecut, Kak. Tapi aku mengakui di sini aku yang salah karena memilih pergi, lagi pula aku hanya ingin kembali demi Naura. Kalau pun dia tidak menerimaku dan Naura, tidak masalah. Tapi setidaknya Naura tahu kalau Abinya itu benar-benar ada. Hanya itu."
Hanna menunduk ketika Haris menatapnya heran.
"Aku tidak percaya kamu bisa sekuat itu," gumam Haris. "Tapi ... aku juga tidak bisa menahanmu kalau ini demi kebaikan Naura. Aku sangat menyayanginya dan tentu aku juga ingin yang terbaik untuknya. Jadi seperti keinginanmu tadi, pergilah. Tapi jangan pernah lupakan aku dan Vania yang akan selalu menerimamu dan Naura kembali di rumah ini."
Hanna mengangguk kaku, tidak kuasa menahan tangis. Ia tidak pernah menyangka akan tiba pada saat itu, saat di mana semua keluarganya akan menyayanginya dan itu terjadi ketika ia telah punya anak. Ia pikir selamanya hidupnya akan seperti dulu yang tidak pernah dipedulikan keluarganya.
Begitulah kehidupan, tidak akan pernah bisa ditebak seperti apa jalan kisahnya. Namun seburuk apapun kisah hidupmu, ingatlah Allah Yang Maha Kuasa atas segalanya, yang mampu membuat sesuatu bagimu yang tidak mungkin, menjadi mungkin.
*****
Untuk menghilangkan beban pikirannya selama beberapa tahun belakangan ini, Dimas memfokuskan diri pada pekerjaannya dan mengabdi membangun desa tempatnya dilahirkan dan dibesarkan. Tubuh kekarnya yang dulu terjaga-karena olahraga lari di sekitar pantai dan berenang-kini tampak lebih kurus. Ia pun selalu menampilkan wajah datar dan senyum sewajarnya pada orang-orang. Menyembunyikan luka yang semakin menganga karena cinta yang terlambat dan rindu yang tergerus waktu, membuat kehampaan terasa menyiksa ketika sendiri.
"Pilkades masih dua tahun lagi, tapi kamu harus siap-siap dari sekarang. Bapak yakin, kamu pasti bisa, Dimas."
Dimas tersenyum tipis untuk menghormati kepala desa yang masa tugasnya sisa dua tahun lagi. Banyak warga yang menyukai Dinas dan menginginkan lelaki itu memimpin desa mereka setelah melihat bagaimana loyalnya ia terhadap desa dan tidak tergoda kehidupan yang menjanjikan di kota.
"Saya belum memikirkan itu, Pak," ujar Dimas kemudian.
Sejujurnya ia sempat memikirkannya, hanya saja status sebagai lelaki yang ditinggal kabur istri masih menjadi perbincangan hangat warga belakangan ini. Tidak jarang ada warga yang terang-terangan menyarankan padanya untuk menikah lagi dengan warga asli desa tersebut saja agar tidak seperti Hanna yang kabur meninggalkannya. Jujur saja, pemikiran itu sempat terlintas, namun lagi-lagi kenangan indahnya bersama Hanna membuatnya kembali tersadar dan menjaga hatinya.
"Baiklah kalau begitu. Tapi Bapak sarankan, kamu secepatnya ambil keputusan. Jangan terlalu risau dengan status pernikahan kamu yang sering dibicarakan warga. Tidak mudah bagi seorang laki-laki menjalani hidup sepertimu, dan kamu bisa membuktikannya. Cukup jaga nama baikmu, keluargamu dan desa kita. Yakinlah, kalau jodoh tidak akan ke mana!"
Dimas kembali melempar senyum tipis, membenarkan ucapan kepala desa tersebut yang kemudian pamit meninggalkan kantor PKBM.
"Assalamu'alaikum."
Dimas tersadar dari lamunannya, melihat ke arah pintu. Melani-Instruktur yang juga merupakan guru PAUD-berdiri canggung di depan pintu ruangan.
"Wa'alaikumsalam. Ada apa? Masuklah," ujar Dimas formal.
Wanita bergamis maroon, berusia dua puluh delapan tahun itu melangkah masuk lalu duduk dengan canggung di hadapan Dimas.
"Ada apa?" tanya Dimas tanpa basa basi.
"Maaf, Bang kalau kedatanganku menganggu." Wanita yang akrab disapa Lani itu menunduk dalam dengan jemari bertautan di atas meja, tampak jelas kegugupannya.
"Ada masalahkah?" Dimas menatap heran.
"Ngga ada masalah sama pekerjaan, Bang."
"Lalu?"
Wanita itu mulai mengangkat wajahnya perlahan. "Maaf kalau aku lancang. Aku cuma mau menanyakan status Abang agar ketika aku mengutarakan maksudku, sama sekali tidak menyinggung."
Dimas menyandarkan punggung di kursi seraya menopang dagu, menatap lekat wanita di hadapannya yang kini kembali menunduk. "Status? Apa kamu juga menanyakan statusku seperti warga lainnya?"
"Maaf, Bang. Aku tidak bermaksud seperti warga lainnya. Aku hanya ingin tahu, agar aku tidak berdosa karena menyatakan perasaanku pada suami orang."
Wajah Dimas berubah pias. "Maksud kamu?"
"Sebenarnya, aku sudah lama mengagumimu, Bang. Bahkan sebelum Abang menikah. Dan sekarang, ketika istrimu meninggalkanmu, aku berpikir mungkin saat inilah yang tepat untuk mengatakan semuanya."
Dimas langsung mengusap wajahnya, tidak habis pikir dengan seseorang yang ia anggap sebagai adik ternyata menaruh hati padanya.
"Maaf kalau buat Abang kaget. Aku hanya merasa perlu mengatakannya agar tidak ada lagi yang mengganjal dalam hati karena terlalu lama memendamnya. Apapun keputusan Abang, aku akan terima."
Lama Dimas hanya terdiam, lalu wanita itu memiluh untuk pamit. "Permisi, Bang. Assalamu'alaikum."
Hingga Lani berlalu dan menutup pintu dari luar, Dimas tetap diam saja dengan pikiran tidak menentu.
*****
"Dada Adek Ila, dada Abang Hafiz. Dada Mama cama Papa!" teriak Naura seraya melambaikan tangan dari dalam mobil yang kaca jendelanya terbuka. Gadis kecil itu tampak sangat bersemangat dalam perjalanan dari rumah menuju pelabuhan, melihat laut dan bertemu Abi adalah hal yang selalu terucap dari bibirnya sejak seminggu lalu.
Perlahan mobil Hanna mulai bergerak mundur, masuk dalam dek dasar kapal feri bergabung dengan kendaraan lainnya. Setelah terparkir rapi, ia mengajak Naura keluar lalu naik di dek atas. Angin yang bertiup kencang mengingatkan Hanna pada kenangan lima tahun lalu ketika ia kabur dan pingsan dalam penyeberangan karena kelelahan.
Lima tahun yang lalu ia pergi, dan kini ia kembali setelah mendapat restu dari seluruh anggota keluarga yang dulunya tidak peduli sedikitpun padanya.
Ditatapnya wajah polos Naura yang terus mengoceh di pangkuannya. Semoga ia bisa segera memberikan kebahagiaan kepada Naura, sehingga tidak ada lagi tangisan gadis kecilnya itu karena merindukan sosok ayah.
Bersambung....
Bagian terakhir sudah kembali ke prolog, ketika Hanna dan Naura dalam perjalanan kembali ke desa. Itu artinya kilasan masalalu/flashback end, ya.
Jadi, next part kita kembali ke masa sekarang. Bagi yang lupa, silakan baca ulang, aja deh...
0 comments:
Posting Komentar