CINTA DI BATAS CAKRAWALA 26

❤ *CINTA*
*di Batas Cakrawala*
🌅 nomor - 26

(18+)

Terjaga hampir sepanjang malam membuat kelopak matanya kini terasa berat untuk mengerjap ketika subuh menjelang. Tangannya meraba sisi tempat tidur di samping, meraih tubuh mungil sang anak dalam dekapan. Perlahan memaksa matanya untuk mengerjap, menatap wajah duplikat Hanna versi mini namun mewarisi beberapa wujud fisiknya.

Menatap Naura, tentu saja mengingatkannya kembali pada Hanna. Dimas menghela napas seraya mengecup pucuk rambut Naura yang menguarkan aroma khas bayi. Namun hal itu tidak mampu menepis segala pemikirannya tentang ucapan Hanna semalam.

"Karena aku bukanlah wanita yang kamu cintai."

Dimas menghela napas gusar, lalu melepaskan pelukan dari tubuh mungil Naura perlahan-lahar agar tidak mengganggu anaknya itu. Ia bangun, duduk di pinggir tempat tidur seraya mengusap wajah dan mengacak rambutnya.

Sepanjang malam ia sibuk memikirkan ucapan Hanna. Tidak tahukan wanita itu jika Dimas mencintainya? Ah, tentu saja Hanna tidak tahu karena Dimas tidak pernah mengatakannya. Ia ingin mengungkapkanya, tetapi terlambat. Dan hal itu baginya terlalu konyol sehingga membuat Hanna memilih pergi selama lima tahun lamanya bersama Naura dalam kandungan.

Lama duduk terdiam, terdengar azan berkumandang dari masjid. Sekali lagi Dimas mengusap wajahnya lalu memperbaiki posisi tidur Naura dan selimutnya yang berantakan. Ia beranjak keluar kamar menuju kamar mandi di belakang rumah.

Dimas menghirup dalam-dalam udara pagi yang segar ketika tiba di luar rumah. Merentangkan kedua tangan, merengangkan otot-otot tubuh yang terasa kaku seraya terus melangkah. Namun, kaki panjangnya terhenti ketika maniknya tertumbuk pada sosok Hanna dalam kamar mandi dengan pintu yang sedikit terbuka.

Wanita itu sedang mengeringkan rambut cokelatnya yang kini panjangnya sudah sampai punggung dengan handuk, sama sekali tidak menyadari kehadiran Dimas yang terpaku di depan pintu. Setelah merasa cukup, Hanna menutupi rambut indahnya itu dengan kerudung warna soft pink sesuai dengan babydoolnya.

Semua gerakan Hanna tidak luput dari pandangan mata Dimas yang tidak sekalipun mengerjap, seakan seluruh dunianya hanya berpusat pada wanita itu. Sampai tatapannya bertemu dengan manik cokelat Hanna yang menjadi candunya dulu, dan ... bahkan masih sampai detik itu.

Hanna tampak salah tingkah, entah menyadari keteledorannya karena pintu yang sudah dia buka terlebih dahulu, ataukah karena bertemu tatap dengan Dimas di pagi buta itu. Dimas masih bergeming di tempat, seperti tersihir, tidak mengalihkan pandangan ketika Hanna melangkah keluar tanpa kata.

"Dimas!" Suara Bik Minah yang muncul di pintu dapur menyadarkan Dimas. Ia melihat sekeliling, sosok Hanna sudah menghilang di dalam rumah dan digantikan dengan ibunya. "Kamu sudah mandi?"

"Belum, Bu." Dimas menghela napas pasrah, lalu berbalik seraya menarik handuknya yang dijemur di seutas tali tampak depan kamar mandi.

"Ya sudah, sana mandi. Sudah azan itu!" Tanpa menjawab, Dimas langsung menutup pintu. Punggung lebarnya bersandar di dinding, dengan napas memburu. Sialnya, bayangan wujud Hanna tanpa kerudung memenuhi otaknya, membuat sesuatu dalam dirinya yang tertahan lima tahun ini kembali bergejolak.

*****

"Mommy ...." Pintu kamar yang tidak tertutup rapat, terdorong dari luar oleh Naura. Gadis kecil itu mengucek mata malas sambil menyeret langkahnya ke arah Hanna yang baru selesai salat. "Abinya Naula mana?"

Hanna mendudukan Naura di pangkuannya. "Abi lagi salat di masjid, sayang."

"Abi calat kok, ngga ajak Naula," gumam Naura dengan bibir mengerucut. Hanna tidak mampu menahan senyum, tiada bosan baginya merasa gemas akan tingkah sang anak. Semalam tidak tidur memeluknya saja, membuat Hanna tidak nyenyak, terlebih setelah pembicaraan singkatnya dengan Dimas sebelumnya.

"Naura tadi masih bobok. Kalau dibangunin nanti pasti nangis," ujar Hanna mengalihkan perhatiannya sendiri.

Tidak ada jawaban, Naura malah asyik memeluk Hanna dan kembali memejamkan matanya.

"Nah, kan tidur lagi. Katanya mau sekolah sama Abi?" pancing Hanna. Benar saja, eeketika kelopak mata bulat Naura terbuka lebar karena hal yang memang sangat diinginkan gadis kecil itu sejak lama.

"Naula mau mandi cekalang, Mi, mau cekolah cama Abi!" Naura langsung berdiri semangat.

Perasaan Hanna menghangat melihat keceriaan Naura. Keraguannya kemarin menguap entah kemana, tidak salah ia memutuskan demi kebahagaiaan sang anak, meskipun ia masih ragu dengan kebahagiaannya sendiri. Ah, bukankah bahagianya Naura adalah bahagianya juga? Dengan atau tanpa Dimas, yang terpenting Naura bersamanya.

"Ya sudah, ayo mandi. Setelah ini kita bantuin Nenek di dapur." Hanna melepaskan satu-satunya mukena yang ia miliki, alat salat yang diberikan Dimas lima tahun lalu ketika bahagia masih membersamai mereka.

*****

Suasana sarapan pagi hari itu sama seperti kemarin, Naura kembali menjadi pusat perhatian dengan celotehan khasnya yang selalu mengundang senyum dan tawa bahagia keluarga Pak Budi. Duduk di tengah kedua orang tuanya,aku Naura makan dengan semangat walaupun berantakan seperti biasa.

Setelah sarapan, Naura bersemangat memakai tas merah muda kesayangannya di punggung. Gadis kecil itu langsung menghampiri kakek dan neneknya, mencium punggung tangan mereka satu persatu dan dibalas dengan kecupan gemas di pipi gembulnya.

"Assalamu'alaikum." Semua tersenyum mendengar salam yang lancar dan benar yang diucapkan Naura.

"Wa'alaikumsalam," balas Pak Budi dan Bik Minah bersamaan.

"Salam sama Mommy juga." Hanna menyodorkan tangannya sambil tersenyum lebar. Naura menurut meraih tangannya, tetapi menariknya mendekati Dimas.

"Naula mau cekolah cama Abi, cama Mommy juga," gumam Naura, menatap polos kedua orang tuanya bergantian yang masing-masing memegang tangan kanan dan kirinya.

Hanna memalingkan wajah, menatap ke sembarang arah saat Dimas menoleh padanya. Ia tidak tahu harus merespon seperti apa keinginan Naura itu. Keadaan yang ada membuatnya benar-benar canggung, mengingatkannya pada kecerobohannya tadi subuh di kamar mandi.

"Ya sudah. Ayo kita berangkat." Dimas memutus sepihak kecanggungan yang terasa.

Hanna menoleh kaget, menatap Dimas yang sudah menuntun langkah Naura. Mau tidak mau, ia akhirnya mengikuti langkah ayah dan anak itu keluar rumah tanpa melepaskan tangannya. Orang lain yang melihat mereka, pasti berpikir bahwa mereka adalah keluarga kecil yang bahagia tanpa masalah. Tidak akan ada yang tahu jika mereka sempat terpisah selama lima tahun lamanya.

"Naura masuk sendiri? Atau mau temani Abi sama Mommy?" ujar Dimas sembil menunduk, mensejajarkan tinggi dengan sang anak. 

Hanna menatap datar interaksi Dimas dan Naura. Ia diam, membiarkan lelaki itu mengambil alih perhatian Naura sesukanya.

"Naula macuk sendili, kan cudah becal, Abi." Dimas tersenyum bangga, mengecup pucuk kepala putrinya. Hal itu tidak luput dari perhatian Hanna yang merasakan gemuruh hebat dalam dada. Pelupuk matanya tergenang, langsung diusapnya sebelum cairan bening itu mengalir.

"Ya sudah. Salam sama Mommy dulu," ujar Dimas ketika Naura mencium punggung tangannya. Naura beralih pada Hanna, mencium punggung tangannya. Setelahnya, gadis kecil itu berlari masuk ke dalam ruang kelas dengan semangat. Tidak tampak kecanggungan dialami Naura yang langsung menghampiri salah satu murid PAUD lain yang berusia lebih muda darinya.

Hanna diam memperhatikan Naura sejenak. Setelah memastikan sang anak baik-baik saja di dalam sana, ia berbalik berniat kembali ke rumah. Namun satu langkahnya langsung terhenti ketika Dimas yang sejak tadi turut memperhatikan Nauraa.

"Ikut aku!"

"Aku mau pulang!" Hanna berusaha menarik tangannya, tetapi cekalan tangan Dimas terlalu kuat menahannya.

"Tidak, sebelum kita bicara!" Dimas menarik paksa tangan Hanna yang akhirnya tidak bisa mengelak, menuruti langkah lelaki itu ke ruangannya.

"Kalau mau bicara, ya, bicara saja. Tidak perlu mengunci pintunya segala!" Hanna menatap kesal apa yang dilakukan Dimas. Tiba-tiba ia merasa takut, saat Dimas berbalik menjauhi pintu yang terkunci dan mendekatinya.

"Tadi malam kita belum selesai bicara," ujar Dimas, melangkah pelan menghampiri Hanna yang terus melangkah mundur sampai menyandarkan pinggulnya di meja kerja Dimas.

"Apa?" sahut Hanna malas, berusaha meredam detak jantungnya yang berdetak tidak menentu.

"Tentang kepergianmu dalam keadaan hamil!"

"Apa lagi yang harus aku jelaskan? Aku rasa apa yang aku katakan semalam sudah jelas! Kamu tidak mencintaiku, itu alasan yang cukup untukku pergi!"

"Oh, ya?" Dimas merapatkan tubuhnya dengan Hanna, memerangkap wanita itu dengan kedua tangan di sisi tubuh yang bertumpu di meja membuat Hanna langsung terduduk panik. "Lalu kenapa sekarang kamu kembali kalau kamu pikir aku tidak mencintaimu?"

Hanna menggigit bibirnya, menunduk ragu. Tubuhnya terasa kaku karena posisi yang seintim itu dengan Dimas. Ia tidak berani mengangkat wajahnya, menatap bola mata yang kapan saja bisa menghipnotisnya sehingga membuatnya menyerahkan diri dengan bodohnya seperti dulu. Lidahnya pun terasa kelu sehingga tidak ada satu kata yang bisa diucapkan.

"Kamu masih mencintaiku, kan, Hanna?" Embusan napas hangat Dimas menyapu wajahnya, membuat Hanna tidak kuasa memejamkan mata. Sekujur tubuhnya meremang, bibirnya makin terkatup rapat. Tiba-tiba terasa benda kenyal yang basah dan lembut menempel di bibirnya yang sudah tidak pernah terjamah. Awalnya hanya kecupan, tetapi lama kelamaan berubah menjadi lumatan kasar yang menuntut, membuatnya tidak kuasa untuk membalas.

Akhirnya, Hanna terbuai akan sentuhan Dimas setelah sekian lama. Ia tidak bisa berbohong, bahwa ia sangat merindukan sentuhan lelaki itu.

"Katakan sesuatu?" bisik Dimas parau di sela ciumannya yang rakus.

"Apa?" Hanna seperti kehilangan akal, kedua tangannya memeluk leher Dimas seakan enggan mengakhiri ciuman mereka. Ia sampai tidak sadar, tangan Dimas yang tadinya memeluk pinggangnya, sudah bergerak merambati punggung, bersiap membuka kerudungnya tanpa melepaskan tautan bibir mereka.

Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu ruangan menyadarkan Hanna dari gairahnya yang memuncak. Sekuat tenaga ia melepaskan diri dari Dimas yang dikuasai nafsu. Ternyataima tahun terpisah ternyata membuat lelaki itu makin menggila!

Dimas menatapnya tajam dengan wajah memerah dan napas memburu. Hanna masih ingat reaksi itu, reaksi tubuh Dimas ketika ia menggodanya dulu. Sayangnya sekarang keadaan mereka sudah berbeda.

"Kita belum selesai!" ujar Dimas, tanpa merapikan penampilannya yang berantakan, lalu berbalik melangkah ke arah pintu.

Hanna mengatur napasnya sambil memperbaiki letak kerudungnya. Ia meraba kancing bajunya yang ... astaga! Wajahnya memerah mengetahui dua kancing baju teratasnya telah terbuka akibat gerakan tangan Dimas yang lincah sampai membuatnya tidak sadar. Hanna segera merapikan penampilannya ketika lelaki itu membuka pintu.

"Maaf, Bang. Ganggu."

Hanna menatap lurus ke arah pintu yang terbuka, melihat sosok wanita muda yang pernah dicemburuinya dulu karena ia yakin, bahwa wanita itu menaruh hati pada Dimas, dan mungkin saja masih sampai saat ini. Dan wanita itu pun balas menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa dipahami.

"Ada apa?" Suara Dimas terdengar datar.

"Aku ingin bahas tentang pembicaraan terakhir kita," ujar wanita itu sesekali melirik ke arah Hanna.

Hanna mendengus kasar, lalu melangkah mendekati mereka yang masih berdiri di pintu. Menatap lurus pada wanita muda itu, lalu beralih pada Dimas. Tanpa mengatakan apapun, ia langsung melangkah keluar dengan hati kesal, terlebih karena Dimas tidak menahannya.

Lima tahun ia meninggalkan Dimas. Apakah lelaki itu dengan mudahnya berpaling darinya? Ah, bukankah sejak dulu Dimas tidak pernah mencintainya? Dan Dimas adalah laki-laki normal yang punya kebutuhan. Wajar kalau dia akan mencari pelampiasan dengan wanita lain. Dan mungkin saja, dengan wanita itu.

Hanna mendudukkan diri di depan ruang kelas PAUD, menatap ke dalam pada Naura yang tampak bersemangat berada di antara teman-teman barunya. Ia tersenyum, miris mengingat betapa murahannya ia tadi saat disentuh Dimas, tanpa cinta.

*****

"Mau bicara apa?" tanya Dimas setelah memastikan Hanna sudah menjauh dari ruangannya. Ia menyugar rambutnya yang berantakan seraya mengatur napas serta detak jantungnya yang masih tidak beraturan akibat hasrat yang harus ditahan.

Sorot mata Lani yang tadi mengikuti langkah Hanna, kembali fokus pada Dimas. Wanita muda itu memilin ujung kerudungnya, tampak menimbang apa yang akan dikatakan.

"Bagaimana dengan keputusan Abang?"

Gantian Dimas yang tersentak, mengingat pembicaraan terakhirnya dengan Lani minggu lalu di ruangannya. Ia mengacak rambutnya, sekali lagi menatap ke arah Hanna yang mulai beranjak dari tempatnya dan kembali ke rumah.

"Maaf, Lani. Kamu itu sudah seperti adik bagiku," kata Dimas datar.

"Abang menolakku karena dia sudah kembali? Lagipula, apa kalian masih suami istri setelah lima tahun berpisah?" cecar Lani yang tampak tidak suka dengan pernyataan Dimas.

Dimas tertegun mendengar ucapan Lani. Lima tahun ia dan Hanna terpisah, apakah mereka masih sah sebagai suami istri?

"Aku bisa menunggu, Bang-"

"Aku sudah punya anak, Lani!"

"Naura, kan namanya? Murid baru di kelas yang seharusnya sudah masuk TK. Dia anak yang manis, tidak susah untuk mendekatinya," ujar Lani terdengar percaya diri.

"Dengarkan aku. Aku bisa saja menikah lagi seperti saran warga, entah itu menikah denganmu atau wanita lainnya di desa ini. Tapi semua tidak semudah yang mereka katakan, karena aku mencintainya, entah dia masih istriku atau tidak!" ujar Dimas mantap.

Seketika raut wajah Lani berubah mendung.

"Kembalilah ke kelas. Aku juga banyak pekerjaan." Dimas berbalik, melangkah menuju mejanya tanpa mempedulikan Lani yang masih berdiri memandanginya di depan pintu yang terbuka. Ia mendudukkan diri di kursi, mengacak kasar rambutnya karena bayangan Hanna terus berputar memenuhi otaknya.

*****

"Tadi sekolahnya bagaimana?" Naura suka?"

Dimas mengalihkan fokus dari makanan yang hanya diaduk tanpa minat, melirik pada Hanna yang memulai pembicaraan pada Naura yang baru saja menyelesaikan makan siangnya. Sejak tadi pikirannya dikuasai bayangan wanita itu tentang apa yang mereka lakukan tadi dan keberanian Lani yang cukup mengusik, sehingga tidak sadar bahwa semua anggota keluarganya telah selesai makan termasuk Naura.

"Naula cuka, Mi. Teman Naula lucu, maca Naula dipanggil Kakak. Naula, kan cuma kakaknya Adek Ila aja," gumam Naura menimbulkan gelak tawa Pak Budi dan Bik Minah.

Sementara Dimas, menatap Naura dan Hanna bergantian. Lalu fokus pada Hanna yang tersenyum, senyum yang membuatnya terpaku.

"Nanti Naura juga bisa jadi Kakak kalau punya adik sendiri," kata Bik Minah dengan santainya. Hal itu langsung membuat senyum di wajah Hanna memudar, dan Dimas yang sejak tadi memandanginya langsung tersadar.

"Memangnya Naula bica punya Adik, Mi?" tanya Naura polos, menatap Hanna penasaran. 

Dimas diam memperhatikan reaksi Hanna yang mengatupkan bibirnya rapat, tampak menegang dan salah tingkah. Ia mengalihkan pandangan pada Naura, lalu kembali pada Hanna yang masih diam. Seketika sebuah ide terlintas di otaknya.

0 comments:

Posting Komentar