#Mengejar_Cinta_Rianti
#Episode_12
Terima kasih admin/moderator yang telah berkenan menyetujui tulisan ini.
Terima kasih pembaca setia Rianti
Telah satu minggu sejak kepergian Pak Arif. Rumah terasa begitu sepi. Bu Winda seperti kehilangan semangat hidupnya. Rianti, Siska dan Amelia selalu berusaha menghibur sang mama. Tetapi tetap saja wanita cantik itu masih tak bisa melupakan kesedihannya. Rianti sebagai anak sulung terpaksa harus mampu menyelesaikan semua permasalahan yang ada di perusahaan papanya.
Rianti memimpin rapat di hadapan seluruh pegawai dan staf papanya dan menceritakan kondisi perusahaan dengan sejujur-jujurnya. Semua pegawai bisa memahami kondisi perusahaan yang benar-benar sudah tidak memiliki apa-apa. Mereka mencoba menerimanya sebagai sebuah suratan takdir dari Yang Maha Kuasa.
Rianti juga harus mulai memikirkan pembayaran hutang-hutang perusahaan. Jalan satu-satunya adalah dengan menjual rumah, mobil, tanah dan beberapa aset Pak Arif lainnya. Rianti memikirkan bagaimana cara menyampaikan hal tersebut pada mama dan kedua adiknya. Mama dan kedua adiknya baru saja berduka karena kehilangan sang papa. Lalu bagaimanakah mereka akan menghadapi jika harus juga kehilangan rumah.
Malam ini, setelah salat magrib, Rianti masuk ke kamar mamanya dengan mengajak kedua adiknya. Bu Winda terlihat masih khusyuk di atas sajadahnya. Mendengar pintu kamar dibuka, Bu Winda menoleh dan melihat ketiga anak gadisnya telah berdiri di sisi tempat tidur. Bu Winda pun mengakhiri zikir dan doanya. Dibukanya mukena dan dilipatnya dengan gerakan yang masih juga lemah. Rianti sungguh merasa tidak tega melihatnya.
“Sini.” Bu Winda melambaikan tangannya pada anak-anaknya. Rianti, Siska dan Amelia mendekat. Mereka duduk di sisi kiri dan kanan Bu Winda. Si Bungsu Amelia menyandarkan kepalanya ke bahu sang mama. Di antara Rianti dan Siska, Amelia lah yang paling terpukul karena kepergian papa mereka. Sehingga Bu Winda, Rianti dan Siska berusaha memberikan perhatian lebih pada Amelia.
“Ma, Rianti ingin mengatakan sesuatu.” Rianti menatap wajah mamanya seraya meremas jemari tangannya. Terlihat jelas kalau gadis yang dituntut untuk lebih dewasa dari usianya itu sedang resah.
“Ya, Sayang. Katakanlah, Nak.” Bu Winda berkata dengan lembut pada Rianti. Rianti menarik napas dalam mencoba membuang sesak di dadanya.
“Ma, kalau seandainya kita pindah rumah dulu untuk beberapa saat bagaimana?” Rianti berkata dengan hati-hati pada mamanya. Diliriknya sang mama, dalam hati Rianti cemas membayangkan reaksi mamanya. Sesaat Bu Winda terdiam, namun sejurus kemudian wanita lima puluhan itu tersenyum pada Rianti.
“Nggak apa-apa, Nak. Apapun yang menurutmu harus kita lakukan, Mama akan selalu menurutinya.” Bu Winda lalu menatap mukena yang berada dalam pangkuannya. Wanita ini mencoba sekuat tenaga untuk mengiklaskan semuanya.
“Ya, Ma. Makasih, Ma. Tapi Rianti janji, suatu saat Rianti akan mengembalikan rumah ini pada Mama.” Rianti memegang kedua belah tangan mamanya. Siska dan Amelia terpaku. Berarti mereka harus segera meninggalkan rumah ini? Rumah yang telah membesarkan mereka. Rumah yang penuh kenangan akan masa kecil, masa remaja, dan masa-masa bersama sang papa.
“Tidak perlu terbebani, Sayang. Di mana pun kita akan tinggal, asal kita selalu bersama, Mama sudah bahagia.” Bu Winda menggenggam tangan anak sulungnya dengan erat. Namun tak dapat ditahannya bening yang mengambang di kedua pelupuk matanya. Rianti pun sama, sejak papanya meninggal ia berusaha untuk tidak menangis lagi. Ia harus kuat, karena sekarang ia lah yang menjadi tulang punggung keluarga. Dan kali ini, tak dapat lagi ditahannya tangisnya. Rianti terisak dan telengkup di pangkuan mamanya. Bu Winda mengelus rambut Rianti dengan penuh kasih. Berempat mereka menangis dalam diam.
“Maafkan Rianti, Ma. Rianti belum bisa berbuat banyak untuk menyelamatkan rumah dan mobil peninggalan Papa. Rianti juga nggak bisa menyelamatkan perusahaan.” Rianti berkata di antara isak tangisnya.
“Hei, kamu sudah melakukan banyak hal. Jangan memikirkan sesuatu di luar batas kemampuanmu, Nak.” Bu Winda mengangkat kepala Rianti dan menangkup wajah anaknya dengan kedua belah tangannya. Bu Rianti mencoba tersenyum dengan pipi yang basah dengan air mata.
“Ya, Ma. Terima kasih atas pengertian, Mama.” Rianti memeluk mamanya dengan erat. Rianti menunpahkan tangisnya dalam pelukan sang mama. Tetapi dalam hati gadis ini berjanji, ini terakhir kali ia menangis. Ia harus kuat demi mama dan kedua adiknya.
****
Esoknya Rianti mulai memasukkan info penjualan rumah dan beberapa mobilnya di istagram dan media sosial lainnya. Rumah dan mobil memang harus dijual untuk melunasi hutang-hutang perusahaan dan membayarkan dua bulan gaji karyawan. Rianti meminta pengertian para karyawan untuk mau menerima pembayaran dua bulan gaji mengingat kondisi perusahaan yang tidak memungkinkan untuk memberikan pesangon sebesar tiga bulan gaji. Lagi-lagi Rianti bersyukur, seluruh karyawan memahami kondisinya.
Rianti juga mulai mencari rumah sederhana yang harganya terjangkau. Karena cukup sibuk mengurus masalah perusahaan dan aset-aset papanya yang masih bisa diselamatkan untuk membayar hutang perusahaan, Rianti memutuskan untuk resigne dulu dari pekerjaannya. Selain itu, Rianti juga merasa perlu untuk mendampingi sang mama di minggu-minggu pertama kepergian papanya itu. Hari ini, Rianti berjanji akan bertemu dengan calon pembeli rumahnya. Rianti tengah bersiap-siap, tetapi tiba-tiba masuk pesan dari sang pembeli.
Ia mengatakan tidak jadi bisa bertemu dan mengatakan akan langsung mentransfer uang pembelian rumah seharga yang ditawarkan Rianti. Tanpa tawar menawar. Rianti mengucapkan syukur dalam hati. Pengacaranya yang akan mengurus surat menyurat nanti pesan si pembeli. Rianti menarik napas lega. Semua berjalan dengan lancar dan sesuai rencana. Dua mobilnya juga telah terjual dengan harga yang tidak jauh dari yang ditawarkan Rianti.
Rianti mengubah rencananya untuk mengurus masalah rumah yang akan dibelinya. Rianti turun ke bawah mencari mamanya. Rianti ingin mengajak mamanya untuk melihat rumah yang akan mereka beli. Sementara Siska dan Amelia telah berangkat pagi-pagi, Siska ke kampus untuk mengurus komprenya dan Amelia ke sekolah untuk mengambil nomor ujian UN. Kedua adiknya berangkat berboncengan menggunakan motor. Ya, mereka harus membiasakan diri sekarang untuk naik motor kemana-mana.
Rianti melihat mamanya sedang membantu Mbok Uun di dapur. Baru saja Rianti akan menghampiri mamanya, tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu depan. Rianti berbalik menuju ruang tamu. Rianti membuka pintu begitu mendengar ucapan salam. Seseorang berdiri di depan pintu dengan senyum khasnya. Rianti mematung, entah mengapa debaran di dadanya terdengar begitu riuh tak beraturan.
“Hai. Apa gue mengganggu?” Rio menatap Rianti dengan tatapan penuh kerinduan. Lama … lama sekali rasanya mereka tidak bertemu.
“Hai. Silakan masuk.” Rianti tersenyum kaku dan melebarkan daun pintu. Rio membalas senyum Rianti. Entah mengapa mereka seperti berjarak saat ini. Seperti ada pembatas yang harus sama-sama mereka jaga.
“Terima kasih.” Rio pun masuk dan berjalan ke sofa ruang tamu.
“Silakan duduk.” Rianti mengikuti langkah Rio dari belakang. Rio mengangguk dan segera duduk di salah satu sofa. Rianti mengambil tempat di seberang Rio.
“Maaf, gue baru sempat datang.” Rio menatap Rianti yang terlihat hanya menunduk.
“Tidak apa-apa.” Rianti mengangguk dan tersenyum pada Rio.
“Gue turut berduka cita.” Rio kembali menatap Rianti. Rio melihat Rianti begitu jauh berubah, taka da binar ceria di mata indahnya. Tak ada lagi rona bahagia di wajah cantik yang terlihat makin tirus itu. Sungguh, Rio sangat prihatin melihat kondisi gadis di depannya ini. Andai boleh, ingin sekali Rio memeluk tubuh yang terlihat makin kurus itu. Mendekapnya dan mengusap lembut kepalanya.
“Terima kasih.” Rianti kembali mencoba tersenyum. Meski senyum itu terlihat amat rapuh.
“Katakan apa saja yang bisa gue bantu.” Rio berkata sungguh-sungguh dengan tatapan tulus. Entah mengapa Rianti menjadi begitu sedih mendengar kata-kata Rio. Berulang kali gadis itu mengerjapkan mata mengusir buliran-buliran bening yang mengambang di pelupuk matanya.
“Anggaplah gue kakak sekaligus sahabat lo. Gue akan siap membantu apa pun yang lo perlukan.” Rio menawarkan dirinya dengan tulus. Laki-laki ini tahu beban berat yang sedang dipikul oleh gadis di depannya ini. Rio sudah mendengar tentang kondisi perusahaan dan semua permasalahan yang ada pada keluarga Rianti. Rianti semakin menundukkan kepalanya. Tak dapat lagi ditahannya butiran-butiran bening itu. Rianti terisak.
Rio bangkit dan melangkah mendekati Rianti. Laki-laki itu duduk di samping Rianti yang masih tenggelam dalam kesedihannya.
“Menangislah jika itu akan mengurangi beban di hati dan pikiran lo.” Rio berkata lembut seraya mengangsurkan beberapa lembar tisu pada Rianti. Rianti mengambil tisu yang diberikan oleh Rio. Setelah mengusap mata dan pipinya yang basah, Rianti menoleh pada Rio.
“Gue hanya memikirkan Mama dan kedua adik gue. Apa mereka sanggup melewati ujian berat ini.” Suara Rianti terdengar parau di antara isak tangisnya. Rio terdiam, Rio menyadari semua beban dan tanggung jawab sekarang ada di pundak Rianti. Sebagai anak sulung, Rianti harus menggantikan papanya dalam memikirkan mama dan kedua adiknya. Memenuhi kebutuhan mereka dan memikirkan kebahagiaan mereka.
“Gue yakin, dengan adanya lo, mereka akan bisa melewati semua ini dengan baik. Karena itu, yang harus benar-benar siap dan kuat itu adalah lo sendiri.” Rio menepuk pundak Rianti sekilas memberi keuatan. Kembali Rianti menghapus air matanya. Rio benar, ia harus kuat. Kalau ia sendiri rapuh, bagaimana ia akan menguatkan mama dan kedua adiknya.
“Ya, lo benar. Gue harus kuat.” Rianti mengangguk.
“Nah, itu baru Rianti yang gue kenal. Dan lo nggak sendiri, ada gue. Lo bisa anggap gue sebagai kakak lo.” Rio menatap Rianti dengan penuh kasih. Tuhan betapa hatinya ingin mengatakan lebih dari kata-kata itu.
Tetapi Rio tidak ingin mengkhianati Afdi. Bukankah dari kemarin-kemarin ia telah mengiklaskan Rianti untuk kakaknya itu? Rianti membalas tatapan mata Rio. Mereka bertatapan dengan hati yang saling bicara. Dan dua hati yang sama-sama bergetar aneh itu mencoba pasrah pada takdir, ke mana takdir akan membawa mereka.
“Oh iya, hari ini lo ke mana? Ada waktu nggak, kita ngumpul ama Ivo dan Bima.” Rio memalingkan wajahnya dari Rianti. Sungguh tak sanggup laki-laki itu menerima tatapan Rianti seperti itu.
“Rencana gue mau lihat rumah yang mau gue beli.” Rianti pun mengalihkan matanya dari wajah Rio.
“Lo mau beli rumah?” Rio sedikit kaget.
“Iya, rumah ini terlalu besar untuk kami berempat. Dan rumah ini juga menyimpan banyak kenangan yang hanya mengingatkan kami pada Papa.” Rianti mencoba memberikan alasan yang masuk akal. Rio mengangguk mencoba memahami.
“Kalau gitu, gue temani ya. Kita tunggu bentar lagi Ivo dan Bima datang.” Rio berkata dengan penuh semangat.
“Mereka mau ke sini juga? Memang mereka nggak kerja?” Rianti menatap Rio heran.
“Gampang, mereka sekarang kan kerja ama gue. Jadi kalau kata gue libur, ya libur. Kan mau menyampaikan ucapan bela sungkawa kami ama lo.” Rio terlihat semringah.
“Mereka kerja ama lo? Sejak kapan? Kok nggak ngajak-ngajak gue, sih.” Rianti merasa banyak yang sudah ia lewatkan.
“Masih pengen jadi cleaning servis lo? Ivo ama Bima aja sudah naik jabatan sekarang, masa lo masih pengen gitu-gitu juga.” Rio mengerling dengan tatapan menggoda pada Rianti.
“Ih, masa cleaning servis lagi sih. Sekretaris lo kek, atau manager sekalian. Haha.” Rianti terbahak. Rio terpana melihat tawa Rianti. Akhirnya di tengah kedukaannya gadis ini bisa juga tertawa. Rio bahagia melihatnya. Andai saja ia bisa setiap hari membuat Rianti tertawa dan berbahagia. Duh, Tuhan, apa Afdi akan bisa melakukannya? Apakah Afdi akan bisa membuat gadis ini tertawa dan berbahagia?
“Benaran lo mau kerja di perusahaan gue? Lo tinggal pilih, job apa aja yang lo mau.” Rio menatap Rianti dengan serius.
“Gue piker-pikir dulu ya. Tapi tawaran lo serius kan?” Rianti balas menatap Rio dengan serius.
“Ya, serius lah. Kan sudah gue bilang, apapun nanti yang lo perlukan, jangan segan-segan menghubungi gue.” Rio menepuk dadanya meyakinkan Rianti. Rianti kembali tertawa.
“Ya ampun, ada tamu ternyata. Kok nggak dikasih minum,
Rianti?” Tiba-tiba Bu Winda telah berada di ruang tamu.
“Eh, Tante.” Rio langsung berdiri dan mengulurkan tangan pada mama Rianti.
“Nak, Rio, ya?” Bu Winda menatap Rio seraya tersenyum. Rio mengangguk.
“Ya, Tante. Rio.” Rio balas tersenyum pada wanita yang masih terlihat cantik itu. Meski duka masih membayang di wajahnya.
“Silakan duduk lagi, biar Rianti ambilkan minum, ya.” Bu Winda berkata dengan ramah.
“Makasih, Tante.” Rio kembali mengangguk hormat.
“Ayo, Rianti. Ambilkan minum.” Bu Winda mengajak Rianti ke belakang. Rianti bangkit dan mengikuti mamanya. Sampai di dapur, Rianti membuatkan teh panas untuk Rio sekalian untuk Ivo dan Bima yang katanya mau datang.
“Kok bikin banyak?” Tanya Bu Winda.
“Iya, Ma. Teman Rianti, Ivo dan Bima juga mau datang.” Rianti menjawab seraya mengaduk teh di dalam cangkir.
“Oh.” Bu Winda mengangguk.
Setelah selesai membuatkan teh, Rianti menatanya di napan dan membawanya ke ruang tamu. Sambil jalan Rianti tersenyum, ingat masa-masa menjadi cleaning servis dulu. Masa-masa indah bersama Rio, Ivo dan Bima. Baru saja sampai di ruang tamu, terdengar ucapan salam. Ivo dan Bima berdiri di ambang pintu dengan penampilan yang sangat jauh berbeda. Rianti terpana.
“Wah, kalian sekarang keren. Gue jadi pangling.” Rianti berlari mendekati Ivo dan memeluk sahabatnya itu. Ivo membalas pelukan Rianti.
“Gue turut berduka cita, ya.” Ivo menepuk pundak Rianti hangat. Rianti mengangguk.
“Ya, terima kasih.” Mata Rianti kembali terasa panas. Rianti merenggangkan pelukannya dan mengajak Ivo dan Bima masuk. Rio tersenyum melihat ketiga sahabat terbaiknya itu. Andai saja mereka bisa bersama-sama kembali, Rio membayangkan lagi masa-masa mereka berempat menjadi cleaning servis. Meski hanya menjadi pegawai rendahan yang selalu disuruh-suruh, tetapi mereka berempat selalu bahagia. Karena mereka selalu bersama.
Tiba-tiba ponsel Rio bergetar. Terlihat panggilan masuk dari Afdi. Rio berdiri dan melangkah ke luar rumah setelah mengangkat tangan kanannya pada Rianti, Ivo dan Bima.
“Hallo, Assalammualaikum.” Rio mengangkat telepon dari kakaknya itu.
“Waalaikumsalam. Lo di mana? Belum balik ke Bandung kan? Jangan lupa nanti malam, temani gue ama Mama dan Papa ke rumah Rianti, ya.” Terdengar suara Afdi di ujung telepon.
“Ke rumah Rianti?” Rio bertanya tanpa bisa menyembunyikan rasa herannya. Apa Afdi sudah akan melamar Rianti? Dada Rio tiba-tiba bergemuruh.
“Iya, sepertinya gue harus mempercepat lamaran gue pada Rianti. Biar gue bisa leluasa untuk mendampingi dan membantunya yang sedang kesulitan. Kalau belum ada ikatan apa-apa, gue sulit untuk bertindak banyak.” Suara Afdi terdengar penuh keyakinan. Rio mengangguk, meski ia tahu Afdi tidak akan melihat anggukan kepalanya.
“Ya, itu lebih baik.” Akhirnya Rio bertanya dengan kerongkongan yang terasa tercekat.
“Tetapi, maaf. Gue harus balik nanti sore. Gue sudah terlanjur janji sama investor dari Jepang.” Rio mencoba memberikan alasan yang masuk akan pada Afdi. Terdengar helaan napas kecewa Afdi.
“Oke, tetapi sebelum ko balik ke Bandung, bisa kita bicara sebentar?”
“Baik, nanti gue ke kantor lo, ya,” ujar Rio.
“Ya, gue tunggu. Assalammualaikum.” Afdi mengakhiri telepon.
“Waalaikumsalam,” jawab Rio lemah.
Rio menatap lantai di depannya dengan tatapan luruh. Akhirnya saat itu pun tiba. Saat Afdi akan melamar dan mempersunting Rianti. Rio berbalik dan kembali masuk ke ruang tamu. Dilihatnya Rianti yang sedang tertawa lepas bersama Ivo dan Bima. Mata Rio mengembun. Ada bisikan di sudut hatinya yang mengatakan agar ia memperjuangkan cintanya pada gadis itu. Tetapi ia laki-laki sejati, ia tak mungkin menjilat ludahnya sendiri yang telah berjanji untuk merelakan Rianti pada Afdi.
Bersambung ....
terimakasih
BalasHapus