❤ *CINTA*
*di Batas Cakrawala*
🌅 nomor - 6
(Kilasan Masalalu)
Hanna menempelkan gagang telepon di telinga, sedangkan tangannya yang bebas menekan beberapa digit nomor yang sangat ia hapal. Beberapa saat kemudian terdengar nada tunggu lalu berganti dengan suara yang sangat ia kenali dari seberang.
"Hallo?"
"Hallo, Mami. Besok aku sekolah, kenapa Papi belum jemput aku?"
"Oh, Hanna. Papi ngga bisa jemput kamu. Lagipula, kamu tinggal sama Nenek saja dan lanjut sekolah di sana."
Hanna tertegun mendengar ucapan maminya yang tiba-tiba. "Kenapa?" tanyanya kemudian.
Terdengar helaan napas berat, lalu maminya berkata, "Nenek, kan di sana sendiri. Kamu juga suka tinggal di sana, kan?"
"Iya. Tapi aku mau pulang ...," lirih Hanna dengan suara tercekat di tenggorokan. Kaca-kaca sudah menggenang di pelupuk mata, siap ditumpahkan.
"Sudah, jangan membantah. Dengar saja kata Mami! Tinggal di sana sama Nenek!" Sambungan telepon langsung terputus sepihak.
Hanna tidak kuasa menahan air mata yang meluruh membasahi pipi. Keputusan orang tuanya begitu tiba-tiba membuatnya ingin tahu mengapa, tetapi ucapan ketus maminya tadi mempertegas apa yang dirasakan Hanna selama ini. Perbedaan kasih sayang yang sangat mencolok antara Hanna dan kakaknya, Haris, oleh orang tua mereka. Dan saat itulah puncaknya, gadis itu diasingkan keluarga tanpa sebab yang jelas.
Tangannya terasa lemas saat meletakkan gagang telepon di tempatnya. Diusap kasar air mata yang tiada henti membasahi pipi. Hanna berbalik, melangkah gontai ke kamar yang selalu ditempati jika datang berkunjung di hari libur di rumah neneknya tersebut.
"Assalamu'alaikum."
Langkah Hanna terhenti karena ucapan salam diiringi derit pintu rumah yang terbuka. Menoleh ke arah suara, mendapati seorang laki-laki usia remaja yang terpaut satu tahun di atasnya. Dialah Malik.
"Wa'alaikumsalam." Hanya bibir Hanna yang bergerak tanpa ada suara yang terdengar.
"Lho, Hanna? Kamu masih di sini? Besok, kan sekolah?"
Mendapat pertanyaan seperti itu, Hanna kembali menangis. Lalu berbalik, dan berlari kecil menaiki tangga menuju kamarnya.
"Hanna!" Malik mengejar Hanna ke kamarnya, mengernyit heran melihat gadis itu duduk di lantai samping tempat tidur sambil menangis. "Ada apa?"
"Aku mau pulang!" pekik Hanna kesal dengan suara parau.
Malik mendekat, ikut duduk di samping Hanna. "Iya, kamu bilang mau pulang hari ini, kan? Lalu kenapa masih di sini? Nangis lagi."
"Papi ngga mau jemput aku. Mami juga. Kenapa ngga ada yang mau jemput aku? Aku ngga mau sekolah di sini. Aku mau pulang!" Hanna terus menangis membuat Malik kebingungan.
"Malik? Hanna?" Seorang wanita berusia enam puluhan membuka lebar pintu kamar Hanna.
"Nenek, katanya Hanna akan sekolah di sini?" Malik langsung bertanya, menyambut nenek mereka.
Wanita paruh baya itu menatap Hanna dan Malik bergantian. Tidak ada tatapan yang lembut, hanya sorot mata tua yang datar. "Iya. Mulai besok kamu sekolah di sini, Hanna. Papi kamu sudah urus surat pindah. Kamu ke sekolah sama Malik saja."
Hanna bergeming, tidak merespon ucapan neneknya. Neneknya tersebut adalah ibu dari maminya, single parent dengan dua anak perempuan sejak maminya berusia dua tahun karena bercerai dengan kakeknya yang merupakan orang Arab. Sifat neneknya yang keras, mirip maminya. Jika bukan karena Malik, Hanna juga tidak akan pernah mau liburan dengan mengunjungi neneknya.
Sang nenekpun berlalu keluar dan pintu kamar tertutup tanpa mengatakan apapun lagi. Malik beringsut mendekati Hanna, tangannya mengusap bahu gadis itu agar tenang.
"Sudah, jangan menangis. Tinggallah di sini dan kita akan ke sekolah bersama setiap hari," ujar Malik menenangkan.
Hanna tetap bergeming, tetapi tangisnya sudah berhenti. Menatap Malik sendu. Sejak kecil, hanya laki-laki itu yang peduli padanya. Seorang yatim piatu yang diangkat anak oleh tantenya. Hanna selalu merasa tenang bersama Malik, merasa terlindungi. Padahal tidak ada ikatan darah di antara mereka, hanya sepasang orang asing yang saling mengenal sejak kecil. Dan kebersamaan itu, akhirnya menumbuhkan sebuah rasa yang tidak biasa karena saling membutuhkan.
*****
Pintu kayu itu berderit pelan setelah terdorong dari luar oleh Hanna. Tampak sebuah ruangan dengan desain sederhana, didominasi warna kelabu menghiasi dindingnya dan perabotan di dalamnya. Sebuah single bed terletak di tengah ruangan, serta sebuah nakas dan meja belajar di kedua sisi.
Mata cokelat Hanna melihat sekeliling saat melangkah masuk. Kosong, tidak ada Malik di kamarnya. Kamar yang sudah tidak asing baginya. Hanna mendekat ke arah ranjang, duduk di sana menghadap meja belajar. Beberapa hari belakangan, Malik selalu menyibukkan dirinya sendiri. Bahkan laki-laki itu berniat tinggal di Australia dan meninggalkannya. Tentu saja Hanna tidak akan membiarkan hal itu terjadi, ke manapun Malik pergi ia akan ikut.
Hanna mengambil sebuah buku tebal milik Malik di atas meja belajar. Lelaki itu punya hobi membaca sama seperti dirinya, itulah sebabnya kini Malik berprofesi sebagai jurnalis di berbagai media. Jemarinya mulai membuka lembaran-lembaran kertas yang menjadikan buku itu begitu tebal. Lalu tangannya terhenti di sebuah halaman yang terdapat tulisan tangan.
"Ketika kamu berpikir, bahwa kamulah orang paling menderita di dunia, amu salah. Buka matamu dan lihatlah di luar sana, masih banyak orang yang lebih menderita di bandingkan dirimu. Dan jangan pernah membandingkan nasib baik maupun buruk di antara kalian. Karena Allah tidak pernah salah menentukan takdir setiap umatnya. Ketika Allah memberikanmu cobaan, Dia yakin bahwa kamu mampu melaluinya. Maka, jangan pernah menyerah, Hanna."
Hanna menghela napas pelan, paham maksud tulisan itu ditujukan untuknya, tetapi ia tidak pernah tahu jika Malik hobi menuliskan nasehat-nasehatnya secara asal di buku.
Jemarinya kembali melanjutkan membuka lembaran lain.
"Aku akan selalu menjagamu semampuku. Aku mencintaimu, Hanna. Ketika Allah memberikanku waktu untuk bertahan lebih lama lagi, aku ingin menghabiskan waktuku dengan mendekatkan diri kepada-Nya bersamamu."
Sejenak, Hanna mengernyit tidak paham, lalu dengan cepat mengacak lembaran halaman buku itu. Mencari sesuatu yang bisa menjawab rasa penasarannya, tetapi nihil. Hingga halaman ke lima ratus, tidak ditemukan lagi tulisan tangan Malik.
Akhirnya, Hanna pasrah mengembalikan buku tersebut di meja belajar. Sekedar menatanya bersama buku lain, lalu sebuah amplop jatuh di antara susunan buku-buku yang ada. Rasa penasaran kembali timbul saat melihat logo sebuah rumah sakit swasta di amplop putih tersebut.
Tangan Hanna gemetar saat membukanya, menemukan satu lembar surat di dalam. Matanya bergerak membaca, tetapi tidak memahami istilah kesehatan yang tertulis di sana. Hanya saja, firasatnya berkata ada sesuatu yang disembunykan Malik. Itulah mengapa lelaki itu ingin meninggalkannya.
Pintu kamar yang tertutup, tiba-tiba terbuka. Malik berdiri kaku melihat Hanna duduk di ranjangnya dengan selembar surat di tangan.
"Hanna ...."
"Apa ini?" tanya Hanna dengan tatapan nanar. Malik bergeming, membuat Hanna geram melihatnya. "Kamu beneran mau tinggalin aku?"
Hanna berdiri, lalu melangkah mendekati Malik yang masih berdiri di tempat dengan wajah berubah pias. "Aku ngga akan membiarkan kamu pergi, Malik! Ngga akan!"
"Tapi aku sakit, Hanna!" balas Malik, tidak tahan hingga akhirnya membentak.
"Sakit? Jadi kamu sakit?" gumam Hanna dengan tatapan kosong.
"Ya, aku sakit. Seharusnya tidak ada yang tahu tentang ini. Ibu dan Nenek, dan juga kamu. Tidak ada yang boleh tahu!"
"Lalu? Kamu akan menanggungnya sendiri?" Malik mengangguk membuat Hanna tidak kuasa menahan tangisnya. "Ngga! Kamu ngga boleh sendirian. Biarkan aku menemanimu. Sesuai dengan harapanmu yang tertulis di buku itu."
Malik tidak percaya mendengar apa yang diucapkan Hanna. Tangannya memegang kedua bahu Hanna, menatapnya lekat. "Tapi-"
Hanna membungkam Malik dengan bibirnya sesaat lalu berkata, "Aku mohon bertahanlah. Aku janji akan menemanimu seumur hidupku."
*****
Mobil-mobil berlalu lalang tanpa hambatan, membuat suasana jalan raya malam itu ramai lancar. Hanna melayangkan pandangan keluar jendela mobil, menatap kosong dengan pikiran berkecamuk setelah keputusan Aryan akan hubungan mereka yang tidak berlanjut.
Helaan napasnya terasa berat karena rongga dada yang sesak seakan terhimpit beban berat tidak kasat mata. Sakit yang tidak terjelaskan, bukan karena cinta, tetapi karena sebuah harapan kosong yang dipupuknya sia-sia sama seperti sebelumnya saat bersama Malik. Hanna mengusap air mata dengan gerakan frustrasi. Apalagi yang harus ia lakukan agar bisa terbebas dari keluarganya?
"Sudah sampai, Mbak."
Hanna tersentak dari pikirannya yang kalut karena suara supir taksi yang membawanya pergi dari hotel. Manik cokelatnya menatap sekeliling dengan kedua alis tebal yang bertaut bingung. "Ini di mana, Pak?"
"Mbaknya tadi minta diantar ke sini, kan? Ini tempatnya."
Kali ini Hanna lebih fokus pada sebuah bangunan elit berlantai dua, tepat di depan taksi yang berhenti. Tampak gemerlap dengan hiasan lampu warna-warni serta deretan mobil berbagai merek menghiasi tempat parkirnya.
"Ini ...." Hanna ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Bibirnya terkatup rapat, sungguh tidak menyadari apa yang dikatakan pada supir taksi hingga dibawa ke tempat itu.
"Mbak?"
"Ah, iya, Pak. Terima kasih." Hanna membuka handbagnya, lalu menyerahkan satu lembar uang seratus ribu. Tanpa menunggu kembalian, wanita itu langsung keluar.
"Kalau aku hancur malam ini, adakah yang peduli?" gumam Hanna dengan tatapan nanar pada bangunan kokoh di hadapannya.
Setelah lama hanya berdiri memandangi bangunan tersebut, jejak air mata di pipi telah mengering. Wajahnya berubah datar seperti biasa, Hanna melangkahkan kaki yang terasa kaku memasuki bangunan tersebut.
Alunan musik yang sendu menyambut kehadirannya di sana, seakan tahu apa yang tengah dialaminya. Hanna menghela napas pelan, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sebuah bar bernuansa rustic yang didominasi kayu pada desian interiornya dan pencahayaan minim, menambah kesan melankonis semakin terasa mengalahkan keramaian yang diciptakan pengunjung.
Hanna melanjutkan langkahnya ke arah meja bar, duduk di salah satu kursi kosong yang tersedia. Menatap bingung pada deretan berbagai macam gelas serta ukuran yang tentunya diisi beragam jenis minuman oleh bartender.
Saat itu adalah kedua kalinya bagi Hanna memasuki tempat seperti itu. Dulu saat masih bersama Malik, Hanna pernah diam-diam mendatangi tempat seperti itu saat baru satu bulan tinggal di Australia. Kemudian lelaki baik yang selalu di sisinya hingga ajal menjemput itu menyeretnya pulang tanpa sempat ia mencicipi salah satu minuman. Dan tentu, Malik memarahinya habis-habisan sepanjang jalan sampai rumah. Bahkan sampai satu minggu setelahnya mereka lewati tanpa bertegur sapa.
Hanna tersenyum miris. Setiap detik dalam hidupnya selalu ada bayangan Malik. Apalagi di saat-saat terpuruknya, tidak ada yang merangkul seperti dulu yang sering dilakukan lelaki itu.
"Sendirian?" Tiba-tiba seorang lelaki dengan penampilan formal yang tetap terlihat santai, mengambil tempat duduk di sampingnya yang baru saja kosong.
Hanna menatap datar hanya sekilas, lalu mengalihkan tatapan malas. Tanpa aba-aba, diraihnya satu gelas berukuran sedang yang berisi cairan keemasan. Diteguknya kasar, tetapi saat menyentuh lidah dan mengaliri kerongkongannya, Hanna mengernyit. Pahit.
Perubahan raut wajah Hanna saat meneguk minuman itu tidak luput dari lelaki yang masih duduk tenang di samping. Senyum miring tersungging di wajahnya dengan pikiran yang entah apa.
Mengenyahkan rasa aneh yang menyerang hingga terasa di perut, mungkin saja minuman itu telah mengenai lambungnya. Hanna tidak menghentikan aktivitasnya, menghabiskan isi gelas tersebut, berharap bisa membuatnya lupa akan sakit hati yang baru dialami.
'Tidak ada yang bisa menghentikanku, Malik. Tidak ada! Mungkin begini caranya melupakan ....'
"Tidak biasa minum?"
Hanna tersenyum sinis mendapat pertanyaan tersebut. "Siapa Anda? Dan apa urusan Anda?"
Lelaki itu menghela napas pelan, telunjuknya menyentuh bibir gelas dengan gerakan melingkar. Tatapannya tidak lepas dari wajah Hanna yang sudah memerah. "Tidak ada. Hanya kasihan saja. Sepertinya baru saja patah hati?" Tatapannya yang lekaki perlahan turun, memindai penampilan Hanna yang berantakan dengan gaun biru yang tidak cocok digunakan untuk bersantai di tempat di mana mereka berada.
"Pergilah! Jangan menggangguku!" Hanna mengibaskan sebelah tangan, malas. Lalu memijat kepalanya dengan tangan dan siku yang bertumpu di meja. Sakit kepala menyerangnya.
*****
Dimas semakin merasa tidak nyaman. Rasa panas menjalar disekujur tubuhnya diikuti rasa panik. Berada di tempat seperti itu sangat berbahaya baginya, bisa saja selain minuman, obat-obatan terlarang juga beredar.
Lelaki itu hanya bisa merutuki diri sendiri, karena patah hati bisa merusak diri. Tidak peduli suara teman yang memanggil, Dimas berusaha menahan gejolak dalam diri, melanjutkan langkah yang terasa berat menuju pintu keluar. Dan tiba-tiba, seseorang menabraknya dari belakang.
Dimas tersentak, hampir saja terjerembab. Beruntung tubuh tegapnya masih bisa mengendalikan diri di antara rasa aneh yang tidak dipahaminya, mungkinkah itu namanya mabuk? Ah, tidak. Dimas masih bisa melihat dengan jelas wajah wanita yang kini sudah bersandar ditubuhnya dalam keadaan yang lebih parah dari dirinya.
"Malik ...." Samar suara wanita itu tertangkap indera pendengaran Dimas. "Aku tahu, kamu pasti akan datang menjemputku."
"Hei, Dimas!" Itu suara Dion, si badboy yang punya acara konyol di tempat itu.
"Tolong, gadis ini mabuk. Aku harus pulang, aku sudah tidak tahan."
"Hah? Bukannya gadis ini pacarmu? Atau teman kencanmu? Kenapa mengopernya padaku?"
Dimas menjambak rambutnya frustrasi. Tangan halus wanita asing itu memeluk tubuhnya, membuatnya semakin tidak tahan akan dorongan kuat dari rasa aneh itu. "Tolonglah ...."
"Biar aku antar kalian berdua."
Dimas tidak kuasa menolak, karena rasa yang sungguh menyiksa. Tanpa tahu bahwa malam itu adalah awal dari segalanya.
*****
Gelapnya malam telah berganti pagi bersama matahari yang bersinar cerah menghangatkan bumi. Ketika orang-orang di luar sana telah memulai aktivitas untuk memulai hari, dua manusia dewasa berlainan jenis kelamin itu masih terbuai alam mimpi. Tanpa tahu bahwa dunia nyata telah menanti dengan peliknya hidup mereka di masa depan karena kesalahan semalam.
"Arghhh ....!" Dimas mengerang tertahan karena rasa sakit yang tiba-tiba terasa seakan menghantam kepalanya. Memaksa mata untuk mengerjap perlahan, silau saat manik hitamnya tertumbuk dengan cahaya matahari yang menelusup masuk lewat celah gorden berwarna cream.
Dimas memijat pelipisnya, matanya terus mengerjap bingung menyadari berada di tempat asing. Yang jelas bukan kamar penginapan tempatnya menginap bersama kedua orang tuanya selama di kota.
Pergerakan ranjang yang terasa di belakang punggungnya disertai sentuhan halus sebuah tangan di kulit perutnya yang polos membuat Dimas mematung, kesadaran telah terkumpul sepenuhnya.
Hening beberapa saat.
Satu detik ....
Tiga detik ....
Lima detik, waktu berlalu terasa begitu lambat. Ruangan itu terasa hampa, hanya suara detik jam dinding yang mengisi. Tangan berkulit halus tersebut perlahan terasa kaku lalu tertarik ke belakang. Ingin rasanya Dimas segera berbalik, memastikan siapa yang tidur seranjang dengannya di kamar tersebut, tetapi rasa tidak siap saat pikiran buruk telah berkelana setelah sedikit serpihan ingatan akan kejadian semalam terkumpul dalam otak.
Hembusan napas terasa memburu menerpa punggung lebarnya yang terbuka. Sekujur tubuhnya meremang, rasa kalut semakin menyergap. Astaga, apa yang telah terjadi semalam? Sungguh Dimas tidak berani menggerakkan tubuhnya.
"Si-siapa, kamu?" Suara lirih itu terdengar dari balik punggung, mengingatkan Dimas akan suara yang menyebutkan nama seseorang di sela kegiatan mereka semalam.
Dimas memejamkan mata rapat, menghela napas berat. Sebuah dosa telah ia lakukan semalam, bersama seorang wanita yang tidak dikenalnya.
"Kenapa diam? Kamu sudah bangun, kan?" Desak suara itu, kali ini terdengar bergetar.
Sekali lagi, Dimas menghela napas. Rongga dada terasa sesak, kepalanya terasa pening menerima kenyataan yang sungguh demi apapun sangat disesalinya. Perlahan Dimas memberanikan diri, membalik badannya hingga bertemu tatap dengan sepasang mata cokelat terang yang indah dari seorang wanita, sayangnya tatapan itu bagaikan elang yang siap menerkamnya.
"Aku-"
"Kamu laki-laki itu?" sela wanita itu cepat, tatapannya menuntut.
"Laki-laki?"
Senyum sinis yang tersungging aneh di wajah wanita itu membuat Dimas mengernyit bingung.
"Caramu bagus. Menungguku mabuk, lalu membawaku ke kamar ini dan meniduriku seenaknya!"
Sakit kepala Dimas semakin menjadi karena ucapan wanita itu yang menuduhnya. "Kamu salah-"
"Cukup!" Tangan wanita itu merapatkan selimut hingga sebatas dada, hal tersebut semakin menyakinkan Dimas dengan apa yang telah terjadi. "Semalam aku mabuk, jadi aku tidak mengingat apapun. Jangan pernah mencoba untuk menjebakku, jika tidak ingin terlibat masalah hukum denganku!"
Wanita itu beranjak dari ranjang dengan selimut menutupi sekujur tubuhnya, meninggalkan Dimas yang segera tersadar dan meraih pakaiannya yang tercecer di lantai dan memakainya cepat. Sungguh, dirinya masih tidak paham maksud pembicaraan wanita itu.
Semalam setelah meneguk segelas minuman, rasa panas langsung menjalari sekujur tubuhnya. Lalu Dion-temannya-mengantarnya dan wanita itu, dan sialnya ke kamar ini hingga membuatnya tidak kuasa menahan diri saat hanya tinggal mereka berdua. Dimas menjambak rambutnya saat semua serpihan kejadian semalam terkumpul sempurna. Ya, Allah, apakah ia adalah pendosa?
Pintu kamar mandi terbuka setelah hampir sepuluh menit tertutup, wanita berambut cokelat sebahu yang terlihat berantakan itu keluar masih berbalut selimut. Wajahnya yang menunduk tampak basah, tanpa menatap Dimas, wanita itu mengambil gaun birunya yang masih tercecer di lantai sisi lainnya. Lalu kembali masuk ke dalam kamar mandi, hal tersebut tidak luput dari tatapan manik hitam Dimas yang terpaku bingung dengan pikiran kosong.
"Aku akan menganggap semalam tidak pernah terjadi dan kita tidak pernah bertemu. Dan semoga kita tidak pernah bertemu lagi!"
Dimas tersentak kaget mendengar suara ketus wanita itu yang sudah keluar kamar mandi, memakai gaun dengan rambut yang sudah sedikit lebih rapi. Langkah wanita itu tertatih menuju pintu kamar.
Apa? Hanya seperti itu responnya? Setelah menuduh lalu pergi begitu saja? Apa wanita itu sudah tidak waras?
"Tunggu!" Dimas berusaha menghentikan, tetapi wanita itu tidak menghiraukan, membuka pintu lalu keluar. "Hei, tunggu dulu!"
Wanita itu tampak berlari susah payah meninggalkan Dimas yang memilih menghentikan langkah di depan kamar karena belum berpakaian lengkap. Ia berbalik kembali masuk kamar setelah wanita itu tidak lagi terlihat.
"Astaga! Bagaimana ini?" Dimas menjambak rambutnya frustrasi. "Bagaimana kalau?" Pikiran buruk menghantuinya. Bagaimana kalau apa yang terjadi semalam membuahkan hasil? Sungguh, Dimas tidak bisa membayangkan hal tersebut, apalagi dia tidak mengenal siapa wanita itu.
0 comments:
Posting Komentar