CINTA DI BATAS CAKRAWALA 5

❤ *CINTA*
*di Batas Cakrawala*
🌅 nomor - 5

Benarkah obat untuk patah hati adalah jatuh cinta lagi? Entahlah ... Hanna tidak percaya, tetapi tidak juga menampik hal tersebut. Yang dilakukannya adalah mencoba untuk membuka hati. Pada siapa? Siapa saja yang ingin mencintainya, walaupun keraguan sering mengusik dan berpikir tidak ada yang bisa mencintainya seperti Malik.

Satu tahun mengenal Aryan, lelaki datar layaknya laki-laki pada umumnya, tidak ada yang diketahui Hanna lebih lanjut. Pertemuan mereka dalam rentang waktu satu tahun itu hanya tiga kali, terhitung dari pertama bertemu. Respon Aryan biasa saja, tidak ada antusias berlebihan maupun menunjukkan sikap secara tidak langsung menolaknya. Sehingga Hanna berpikir, lelaki itu bisa menerimanya.

Selama satu tahun yang berlalu itu, Hanna melakukan rutinitasnya seperti saat masih bersama Malik. Menjadi jurnalis memang cita-citanya sejak kecil, tetapi wanita itu tidak pernah ingin dikekang. Ia lebih suka bebas berkarya tanpa batasan dalam mengolah hasil otaknya.

Hanna menatap pantulan dirinya di cermin. Malam itu di sebuah hotel berbintang, kedua orang tuanya menggelar resepsi pernikahan kakaknya yang menikah setahun lalu setelah iparnya melahirkan tiga bulan lalu. 

Sebuah gaun tanpa lengan menjuntai menutupi kaki, berwarna biru muda sesuai tema malam itu, walau sebenarnya terlalu terbuka untuk acara tesebut mengingat pengantinnya berhijab. Hanna tidak peduli, toh memang tidak ada yang pernah peduli padanya selama ini.

Rambut cokelat sebahu yang biasa terurai, saat itu disanggul rapi memperlihatkan leher jenjang dan bahunya yang mulus. Sebenarnya Hanna sengaja tampil lebih malam itu, karena beberapa hari sebelumnya Aryan telah mengkonfirmasi akan hadir setelah diundang Pak Heru.

Jangan bicara soal cinta, karena Hanna tidak ingin memikirkannya. Yang jelas ia menggantungkan harapan pada Aryan jika hubungan mereka berlanjut ke jenjang yang lebih serius. Hanna ingin terbebas dari keluarganya, ia ingin punya alasan pergi dari mereka sekali lagi. Dan mungkin, menikah dengan Aryan adalah jalannya.

Hanna memasuki ballroom hotel sendirian setelah beberapa saat lalu pasangan mempelai lebih dulu masuk. Mengedarkan pandangan, menatap sekeliling. Ramai, tetapi ia merasa sendiri. Tidak ada yang ia kenali lebih dekat walaupun banyak pula keluarga besar kedua orang tuanya yang hadir. Mendudukkan diri di salah satu kursi yang mengeliling sebuah meja tamu undangan yang kosong di sudut ruangan. Mencoba menikmati pesta di tengah kesendiriannya. Hal itu justru membuatnya teringat pada Malik.

"Hanna?" Sebuah suara rendah menyapa, membuyarkan lamunan Hanna tentang masalalu. Tampak seorang lelaki berpostur tinggi tegap berdiri di sampingnya.

"Aryan?" balas Hanna, menyambut dengan senyum. "Hai, duduklah."

Aryan, lelaki itu balas tersenyum lalu duduk di hadapan Hanna. "Apa kabar?"

"Baik. Kamu sendiri?"

"Ya. Seperti yang kamu lihat. Aku sangat baik maka bisa ada di sini." Terlihat senyum canggung di wajah Aryan yang tidak luput dari tatapan mata cokelat Hanna. Hal itu wajar bukan? Mengingat mereka jarang bertemu dalam kurun waktu satu tahun.

Keheningan tiba-tiba terjadi di antara kedua manusia dewasa itu yang berada di tengah pesta yang sesungguhnya ramai. Tidak ada satupun yang memulai pembicaraan beberapa saat lamanya.

Hanna berdeham pelan, melirik ke arah pelaminan. Pasangan pengantin tampak masih sibuk menyambut para tamu yang datang dengan senyuman. Lalu beralih kembali pada lelaki di hadapannya. "Aryan, kamu ... sudah menemui mereka?" Telunjuknya menunjuk sesuai arah pandangnnya.

Aryan mengangguk tanpa melirik sedikitpun. "Ya, aku juga sudah menemui Pak Heru serta Kakakmu Haris Wirawan."

"Oh. Baiklah. Jadi bagaimana?" Hanna melanjutkan pembicaraan, membuka topik untuk membahas hubungan mereka.

"Bagaimana?"

"Ya, bagaimana dengan ... kita? Inikan sudah satu tahun?"

Raut wajah Aryan berubah serius. Berdeham pelan lalu berkata, "Itu juga yang ingin aku bahas denganmu."

"Oh, jadi?" Hanna tampak antusias untuk menyimak.

Aryan menunduk sejenak, lalu kembali mengangkat wajahnya. Lelaki itu menatap lekat ke dalam bola mata cokelat milik Hanna yang terang. Cantik, sesungguhnya wanita keturunan Arab itu sangat cantik, tetapi hal itu tidak mampu membuat Aryan tertarik lebih jauh hingga memutuskan melanjutkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius.

"Aku minta maaf," lirih Aryan.

"Ya?" Hanna sedikit mencondongkan wajahnya karena ucapan Aryan tertangkap samar gendang telinganya.

Aryan menghela napas pelan. Diraihnya jemari Hanna yang lentik. Ditatap kembali wajah wanita itu yang tampak mengernyit heran. "Maafkan aku, Hanna. Aku, aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita ini lebih jauh lagi."

Hanna bergeming sesaat, mencerna maksud ucapan Aryan. Pasti ia salah dengar, atau lelaki itu salah ucap. Ya, Hanna mencoba untuk berpikir positif. Ia tersenyum lalu berkata, "Aku tidak mengerti."

"Hanna ...," Aryan menghela napas gusar, "Aku mencintai seseorang dan dia bukan kamu."

Bibir tipis Hanna yang dipoles listik maroon itu terkatup rapat. Ia yakin, pendengarannya tidak salah seperti tadi, tetapi sungguh, bukan hal itu yang ingin dengarnya. Dan tanpa dijelaskanpun, ia paham maksudnya.

"Hanna, aku tidak bisa berpura-pura. Aku sudah mencoba, tapi gadis itu muncul di sana. Kamu tahu seperti apa awal komitmen kita tentang perjodohan ini, kan? Jika salah satu di antar kita ada yang jatuh cinta pada orang lain maka, perjodohan ini batal?"

Hanna mengangguk kaku, tidak tahu harua merespon apa. Keputusan Aryan terlalu tiba-tiba dan Hanna tidak mempersiapkan apapun.

"Sekali lagi aku minta maaf. Soal Pak Heru, biar aku yang jelaskan keputusanku ini pada beliau." Aryan mengelus lembut punggung tangan Hanna yang mendadak terasa dingin dalam genggamannya.

Hanna hanya diam dan menunduk. Tidak ingin menatap Aryan atau berkata apapun, karena sudah pasti lelaki itu bisa menangkap rasa sedihnya. Dan sungguh, Hannastasia Wirawan tidak selemah itu!

"Hanna?" Aryan tampak cemas karena Hanna tidak kunjung meresponnya.

Hanna mengatur napasnya, mengangkat wajah. Berusaha sebaik mungkin mengukir senyum di saat hatinya teriris perih. "Tidak masalah. Itu perjanjian kita di awal, aku hargai kejujuranmu. Itu lebih baik dari pada munafik, kan?"

Sejenak Aryan menatap lekat wajah Hanna, setelahnya dia tersenyum lega. "Terima kasih pengertianmu. Kamu tahu, jodoh kita sudah ditentukan Allah. Jadi seperti apapun kita mencoba, kalau bukan jodoh tetap tidak akan berhasil. Percayalah, cepat atau lambat, kamu akan dipertemukan dengan jodohmu yang terbaik."

Hanna mengangguk tanpa kata.

"Senang mengenalmu. Aku rasa, hal ini tidak lantas membuat hubungan kita benar-benar berakhir bukan? Kita bisa berteman karena aku suka tulisan-tulisanmu tentang Hukum Internasional." Aryan mencairkan suasana, tangan Hanna yang masih dalam genggamannya dijabat ramah.

"Terima kasih, jujur selama ini tidak ada yang mau menawarkan pertemanan tulus padaku." Hanna tersenyum miris.

Aryan mengernyit heran.

Hanna memperbaiki senyumnya, tidak ingin membuat Aryan mengasihaninya. Lalu berdiri memperbaiki gaunnya. "Aku ke toilet dulu. Silakan nikmati pestanya."

Sekuat tenaga menahan kaca-kaca yang telah menggenang di pelupuk mata, Hanna melangkah gontai keluar dari ballroom. Menghirup udara sebanyak mungkin guna meredakan sesak di dada.

"Kamu lihat, Malik? Aryan sudah menolakku. Menurutmu? Masih adakah yang mau mencintaiku tulus sepertimu?"

*****

Dari teras rumah, Hanna berdiri menikmati semilir angin yang lembut meniup kerudung biru yang menutupi kepala dan rambutnya di saat senja hari itu. Beberapa kali matanya terpejam, memikirkan banyak hal.

Keceriaan Naura, hatinya sendiri serta menerka seperti apa isi hati Dimas dan maksud ucapan lelaki itu tadi pagi. Semua bercampur jadi satu membuat Hanna menghela napas pelan.

Setelah kejadian tadi pagi, Hanna kembali ke rumah dengan perasaan bimbang. Tidak ada yang ia lakukan selain membiarkan Naura bersama Dimas. Makan siang hingga tidur siang bahkan gadis kecilnya itu turut ke masjid mengikuti Abinya. Dan saat ini di sanalah mereka, bercengkrama layaknya ayah dan anak yang tidak pernah terpisah.

Semalam perasaannya dibuat hancur oleh harapan semunya serta penolakan Dimas yang terang-terangan mengusirnya. Dan sekarang lelaki itu begitu mudahnya mejungkir balikkan perasaannya dengan memintanya tinggal.

"Abi! Kenapa ini kelang cemua?" Terdengar teriakan Naura.

Hanna menatap lurus ke arah pantai. Terlihat Naura tampak cemberut menumpahkan hewan laut yang diisinya dalam botol plastik. Lalu Dimas mendekati anaknya itu.

"Kan, Abi sudah bilang, di sini ngga ada spongebob." Dimas mengusap rambut panjang Naura yang basah.

"Tapi Abang Hafiz bilang spongebob itu ada di laut. Itu, kan laut?" Naura menunjuk ke arah laut biru yang seakan tiada batas.

"Iya itu laut. Tapi spongebob itu cuma ada di tv. Nanti kita nonton sama-sama."

Naura terlihat bingung. Kelopak mata bulatnya mengerjap lucu. Hal itu membuat Dimas berdecak, betapa menggemaskan anaknya itu. Digendongnya tubuh mungil Naura.

"Abi ajarin berenang saja, mau?"

Naura mengangguk antusias. "Mau!" dia menatap ke arah teras rumah dan berteriak, "Mommy! Mommy, Naula mau belenang cama Abi!"

Teriakan Naura menyentak Hanna yang sejak tadi memperhatikan tanpa sadar. Sejenak beradu pandang dengan Dimas yang entah berapa lama memperhatikannya. Hanna hanya mengangguk dan tersenyum membuat Naura semakin terlihat gembira.

Hanna mengurungkan niatnya, sekuat tenaga menahan langkah agar tidak mendekati pantai. Tidak ingin ikut dalam kebahagiaan itu karena rasa tidak pantas mengingat Dimas pasti melakukan hal itu demi Naura begitupun dirinya.

"Mommy!" Naura yang digendong Dimas di punggung masih terlihat semangat walau sekujur tubuhnya tekah basah dan lengket karena air laut.

Hanna tersenyum lembut seraya merentangkan kedua tangannya. "Mandi sama Mommy, ya? Sudah sore, nanti masuk angin."

Naura mengangguk patuh, sementara Dimas tidak mengatakan apapun. Lelaki itu membalik tubuhnya membelakangi Hanna guna menyerahkan Naura.

"Abi, nanti Naula ikut calat di masjid lagi, ya?"

"Iya, sekarang mandi dulu, sana!" Tangan Dimas terulur mengusap rambut Naura yang basah. Hal tu membuat posisinya dengan Hanna mendekat. 

Hanna hanya menunduk, mendekap erat Naura di gendongan. Tidak ingin menatap Dimas yang ia yakini juga pasti sedang menatapnya. Tanpa mengatakan apapun, segera Hanna membawa Naura ke dalam rumah untuk memutus kecanggungan dan rasa tidak nyaman yang sungguh mengusik.

*****

"Kamu beneran tidak ingin mampir, Nak?" Bik Minah menatap curiga anak lelakinya yang masih duduk di balik kemudi.

Dimas baru saja mengantar kedua orang tuanya tiba di sebuah hotel berbintang, tempat diadakannya resepsi pernikahan Vania dan Haris. Lelaki itu enggan menghadiri pesta tersebut walaupun jelas diundang. Jangan tanyakan lagi sebabnya, karena dengan bodohnya ia jatuh cinta kepada wanita yang sudah bersuami.

Sudah satu tahun berlalu, nyatanya perasaan cinta yang buta itu masih saja menggebu di dalam dada. Membuatnya tidak sanggup dan berbesar hati menyaksikan mereka bersanding di pelaminan. Hal tersebut jugalah yang membuat Dimas enggan membuka hatinya walau terus didesak sang ibu.

"Tidak bisa, Bu. Ibu tahu, kan kegiatanku malam ini? Inipun sudah terlambat," tukas Dimas beralasan.

Pak Budi menarik lembut lengan istrinya yang menghela napas berat. 

"Baiklah kalau begitu. Nanti biar Ibu sama Bapak ke penginapan sendiri."

"Jangan Bu, nanti aku jemput. Insha Allah."

Bik Minah mengangguk.

"Aku pergi dulu, Pak, Bu. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Dimas memacu mobilnya dengan kecepatan sedang menembus keramaian jalanan kota malam itu. Hatinya dirasuki rasa bersalah telah membohongi kedua orang tuanya hanya untuk menghindari patah hati. Karena perihal kegiatan LSM yang dipimpinnya di desa hanya omong kosong belaka.

Ketika mobil berhenti di persimpangan jalan karena lampu merah, Dimas dilanda kegalauan. Sebenarnya ada acara yang diadakan teman semasa kuliahnya dulu yang akan melepas masa lajangnya besok lusa dan tentu mengundangnya. Tetapi sayangnya acara itu diadakan di sebuh bar. Ya, begitulah kehidupan orang kota yang serba bebas, tidak sepertinya di desa.

Setelah batinnya berperang, Dimas akhirnya dikalahkan setan yang merasuki hati. Patah hati membuatnya tidak bisa berpikir jernih hingga membuat otaknya mengendalikan tubuhnya mengendarai mobil ke tempat terkutuk itu dan meninggalkan salat yang tidak pernah ia tinggalkan sebelumnya.

"Wah! Aktivis kampus kita yang alim hadir malam ini di acaraku. Sebuah kejutan!" 

Dimas tersenyum menghampiri temannya, si pemilik acara dan menyalaminya. Seorang lelaki badung anak salah satu konglomerat di kota yang memilih masuk fakultas perikanan dan kelautan guna menghindari jurusan ekonomi bisnis. Dimas tergolong orang yang memang mudah bergaul, dan ia akan bergaul dengan siapapun teman-temannya, mau preman kampus ataupun aktivis dan yang bergelar ustaz sekalipun. 

"Entahlah. Aku hanya sedang suntuk saja," ujar Dimas, setelahnya mendudukan diri di salah satu sofa yang tersedia.

"Suntuk? Apa karena wanita?"

Dimas mengangkat bahu acuh tanpa menjawab. 

"Oh, aku hampir lupa. Kapan kamu pernah dekat dengan wanita? Sampai sekarang masih jomblo? Astaga!"

Dimas menatap jengah teman-temannya. Saat itu ia menyadari telah datang ke tempat yang salah. Ditatapnya beberapa gelas bertangkai berisi minuman berwarna keemasan. Tanpa ragu diraih salah satu gelasnya, dan dalam satu kali tegukan habis tidak bersisa. Rasa pahit langsung menyerang di kerongkongannya saat cairan yang baru disadarinya adalah minuman beralkohol masuk dengan bebas.

"Berhentilah berpikiran macam-macam tentangku. Aku pergi!" Dimas berdiri, tetapi sekujur tubuhnya terasa aneh. Panas dan ... entahlah, seperti ada yang salah dengan dirinya.

*****

"Kenapa Naula ngga boleh bobo cama Abi dan Mommy?" Pertanyaan polos itu dilontarkan Naura yang sudah berbaring sambil menguap menahan kantuk, masih kekeuh tidak ingin segera tidur.

Malam itu Naura merengek ingin tidur di kamar Dimas. Hanna tidak banyak bicara, yang dilakukannya hanya menggantikan pakaian Naura dan menyerahkannya pada Dimas agar anaknya itu tidak bicara yang aneh-aneh dan membuat keadaan menjadi canggung.

Tangan Dimas terulur mengusap ubun-ubun Naura yang berbaring di sampingnya. Tidak disangkanya, Naura akan memberikan pertanyaan yang sama dengan yang ditanyakannya pada Hanna. Dan sekarang ia harus menjawab apa? Sepanjang hari Dimas bisa meladeni pertanyaan Naura dengan jawaban logis maupun konyol, tetapi pertanyaan tersebut, Dimas tidak punya jawabannya.

"Abi ngga malah?" 

Dimas mengernyit heran, diusapnya lembut alis tebal Naura yang bertautan. "Marah kenapa?"

"Naula cama Mommy balu datang."

Dimas menggeleng, sungguh tidak menyangka anak sekecil Naura akan berpikir sejauh itu. Ah, banyak hal yang ia lewatkan dalam tumbuh kembang Naura sejak lahir. Sungguh ia menyesali, kenapa Hanna harus meninggalkannya dan membawa Naura dalam kandungan.

"Sudah malam. Ayo tidur, katanya besok mau sekolah?" Dimas mengalihkan pertanyaan.

"Kenapa Abang Hafiz cama Adek Ila boleh bobo cama Mama dan Papa?" Naura kembali melontarkan pertanyaan yang sungguh demi apapun membuat Dimas tidak berdaya. Bagaimana cara Hanna membesarkan Naura sampai pola pikirnya bisa sekritis itu? Tidak akan berhenti sebelum mendapatkan jawaban pasti.

"Itu ... karena mereka punya Mama dan Papa."

"Naula punya Abi cama Mommy."

"Ya." Dimas mengangguk bingung. "Sekarang tidurlah."

"Becok tidul cama Mommy, ya?" Dimas tidak menjawab, dipeluknya sang anak agar segera tidur. "Abi!"

"Iya, iya," jawab Dimas asal, dan beruntungnya akhirnya Naura tenang dengan napas yang perlahan mulai teratur. Tiba-tiba tangan mungilnya meraba-raba dagu Dimas yang ditumbuhi bulu halus. Tingkah Naura saat tidur tersebut mengingatkan Dimas pada Hanna. Sedang apa wanita itu di kamar sebelah? Apakah sudah tidur?

Ah, Dimas mendadak gelisah. Seharian perhatiannya terpusat pada Naura, dan saat anaknya itu sudah tidur, pikirannya teralihkan pada Hanna. Apa yang harus ia lakukan? Apakah Hanna mau tinggal selamanya di sana tanpa kejelasan hubungan mereka? 

Perlahan Dimas bangun dari baringnya agar tidak mengganggu Naura. Mengusap wajah kasar, diliriknya jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Menopang dagu sejenak untuk menetralkan debar dalam dada. Ya, ia harus bicara dengan Hanna.

Dimas membuka pintu kamarnya perlahan tanpa ditutup kembali agar bisa mendengar jika Naura terbangun dan mungkin mencarinya. Diketuk pintu kamar Hanna tepat di samping kamarnya. Beberapa saat pintupun terbuka.

"Ada apa dengan Nau—"

"Ayo kita bicara!" sela Dimas sebelum Hanna berkata lebih lanjut.

Hanna menahan pintu agar tidak terbuka lebih lebar. "Ini sudah malam, dan aku tidak ingin bicara apapun denganmu."

"Hanna!"

"Tolonglah, jangan buat keributan di rumahmu sendiri, Dimas. Ini sudah malam."

"Aku hanya ingin tahu, kenapa kamu pergi membawa Naura? Kenapa kamu begitu tega memisahkan kami lima tahun lamanya sejak Naura masih dalam kandungan?" lirih Dimas dengan tatapan menuntut.

Hanna menghela napas pelan tanpa melepaskan pegangannya di pintu kamar. Dia menunduk dengan frustrasi lalu berkata, "Karena aku bukan wanita yang kamu cinta!"

Dimas mengernyit sejenak kemudian ternganga karena kaget. Hingga pintu kamar Hanna sudah tertutup rapat, ia hanya bisa mematung di tempat menyadari satu hal.

0 comments:

Posting Komentar