#MENGEJAR_CINTA_RIANTI
#EPISODE_13
Setelah puas melepas rindu dengan Ivo dan Bima, Rianti mengajak Rio dan teman-temannya itu untuk melihat rumah yang akan Rianti beli. Mereka berempat pun pamit pada Mama Rianti. Setelah itu mereka menyusuri jalanan Jakarta yang selalu padat menuju arah Bekasi.
“Yakin lo mau ambil rumah di Bekasi?” Rio melirik Rianti sekilas yang duduk di belakang dengan Ivo. Sementara Bima duduk di depan di samping Rio.
“Iyalah, biar agak tenang dikit. Bekasi kan ga serame Jakarta.” Rianti mencoba berkilah, padahal sebenarnya ia ingin mencari rumah yang harganya lebih terjangkau.
“Siapa bilang, sekarang mah Bekasi sama aja dengan Jakarta.” Rio membantah.
“Ya udahlah, lo tinggal antarin gue.” Rianti berkata santai.
“Siap Tuan Putri.” Rio mengangkat tangannya. Rianti, Ivo dan Bima tersenyum melihat gaya Rio.
Mereka melewati perjalanan dengan mendengarkan cerita-cerita lucu Ivo dan Bima selama menjadi pegawai Rio. Rianti bahagia mendengar kedua sahabatnya itu telah mendapatkan pekerjaan yang lebih layak dibanding pekerjaan mereka sebelumnya. Dan keduanya terlihat sangat menikmati pekerjaan mereka yang sekarang.
Akhirnya mereka pun sampai di sebuah perumahan yang alamatnya telah diberikan Rianti pada Rio sebelum mereka berangkat tadi. Sebuah perumahan sederhana. Rio mencari blok dan nomor rumah seperti yang tertera di alamat. Mereka sampai pada sebuah rumah bercat putih. Rio memarkirkan mobil di depan pagar, mereka berempat pun turun. Rianti menelepon pemilik rumah yang telah membuat janji dengan Rianti untuk bertemu siang ini. Menunggu sekitar sepuluh menit, pemilik rumah pun datang. Seorang ibu paruh baya.
Mereka dipersilakan untuk masuk. Sebuah rumah yang sederhana, tetapi terlihat nyaman. Sebuah ruang tamu, ruang keluarga, tiga buah kamar tidur, tiga buah kamar mandi, dan sebuah dapur. Halaman depan yang tidak terlalu luas.
“Yakin mau ambil yang ini?” Rio berbisik di telinga Rianti. Rianti menoleh pada Rio, lalu mengangguk dengan yakin.
“Bagus kan?” ucap Rianti dengan perasaan senang. Entah mengapa melihat rumah ini, ia langsung merasa suka.
“Bagus sih, tapi apa tidak terlalu kecil? Apa mama dan kedua adik lo mau tinggal di sini?” Rio menatap Rianti dengan tatapan ragu. Rianti tersenyum.
“Hidup itu seperti roda, kadang di atas, kadang di bawah. Dan lo tahu, ketika kita sedang berada di bawah, jangan bersikap seolah-olah kita masih berada di atas. Kita harus menyesuaikan gaya dan cara hidup dengan kondisi yang ada.” Rianti berkata pelan namun penuh keyakinan. Rio terpana, wanita yang luar biasa. Umurnya mungkin baru 24 tahun, tetapi pemikirannya sungguh sangat bijak dan dewasa, Rio berdecak dalam hati.
“Ya, lo benar. Rumah ini juga tidak buruk. Asal bersama, semuanya tentu akan terasa indah.” Rio membalas ucapan Rianti dengan senyum dipaksakan. Betapa jauh kondisi rumah ini dengan rumah yang biasa ditempati Rianti. Rio sebenarnya merasa prihatin. Tetapi melihat ketegaran dan kesabaran gadis di sampingnya ini, Rio merasa malu sendiri.
“Bagus rumahnya.” Ivo dan Bima yang telah berkeliling melihat ruangan demi ruangan memberikan komentar. Rianti tersenyum senang.
“Jadi gimana, Nak? Cocok dengan rumah ini.” Bu Asih pemilik rumah bertanya pada Rianti.
“Insyaallah cocok, Bu. Besok insyaallah saya transfer uang mukanya bisa, Bu?” Rianti balik bertanya.
“Bisa, Nak.” Bu Asih mengangguk.
“Terima kasih, ya, Bu.” Rianti menyalami Bu Asih saking merasa senangnya. Akhirnya ia bisa membeli rumah sederhana ini. Rianti yakin, mama dan kedua adiknya akan menyukai rumah ini. Rio hanya memandang Rianti dengan terenyuh. Rianti tetap bisa berdiri tegak di dalam keterpurukannya. Gadis yang kuat, Rio tak henti merasa takjud dalam hati.
Setelah itu mereka pun pamit pada Bu Asih. Rio ingat kalau sore ini ia janji akan bertemu dengan Afdi. Tapi sebelum bertemu Afdi, Rio ingin mengajak Rianti, Ivo dan Bima makan siang. Rio mencari restoran yang berada di antara kantor Afdi dan rumah Rianti. Sehingga ia tidak terlalu jauh jika nanti balik lagi untuk menemui kakaknya.
Rio memilih sebuah angkringan masakan khas Yogya. Setelah memarkirkan mobil, mereka berempat turun dan memasuki tempat makan yang lumayan ramai dengan anak-anak muda itu. Mereka memilih tempat duduk di dekat taman belakang. Seorang pelayan datang dan memberikan daftar menu. Ivo dan Bima langsung memesan makanan yang mereka suka. Sementara Rianti merasa tak punya selera.
“Mau makan apa?” tanya Rio pada Rianti.
“Gue jus aja deh. Belum lapar,” ujar Rianti.
“Makan lah meski sedikit. Jaga kesehatan. Banyak yang harus lo lakukan. Jika tubuh lo nggak kuat bagaimana akan mengurus semuanya? Dan untuk kuat itu, tubuh perlu makan.” Rio berkata panjang lebar.
“Tumben lo jadi cerewet.” Rianti berdecik pada Rio.
“Gue pesenin ya. Tapi harus lo makan.” Rio pun menyebutkan pesanannya pada pelayan. Rio menyamakan pesanan Rianti dengannya. Rianti hanya diam melihat Rio yang tiba-tiba sangat perhatian padanya. Tidak berapa lama pelayan datang mengantarkan pesanan mereka. Ivo dan Bima makan dengan penuh semangat. Sementara Rianti hanya menatap makanan yang ada di depannya.
“Kenapa, mau disuapin?” Rio menatap Rianti yang tidak juga menyentuh makanannya.
“Ih apaan sih.” Wajah Rianti bersemu merah. Rio tersenyum melihat wajah Rianti yang terlihat menggemaskan. Ivo dan Bima saling mengedipkan mata melihat tingkah Rio dan Rianti yang kadang terlihat begitu mesra.
“Kalau nggak mau, ayo cepat makan.” Rio mendelik pada Rianti. Akhirnya dengan gerakan pelan, Rianti pun mulai menyuap nasi di depannya. Setelah Rianti mulai makan, Rio pun mulai menyuap makanan di depannya. Baru juga habis setengah, Rianti sudah berniat untuk menyelesaikan makannya. Akhir-akhir ini Rianti memang hanya makan sekali sehari, itu pun dengan porsi yang mulai berkurang dari biasanya.
“Habiskan!” Rio menatap Rianti tajam.
“Duh, lo udah kayak mama gue aja deh.” Rianti menggerutu pada Rio. Rio tak mengalihkan tatapannya dari Rianti. Rianti kembali menyuap nasin di hadapannya meski merasa sudah tidak berselera.
“Liat nih gue, licin, kan.” Ivo menunjukkan piringnya pada Rianti. Benar-benar licin.
“Lo kan memang tukang makan dari dulunya.” Rianti mencibir pada Ivo. Ivo tergelak.
“Ya, iyalah. Cuma nikmat makan ini yang tidak pernah hilang dari gue.” Ivo menepuk dadanya pongah.
“Masih banyak nikmat yang lainnya, jangan kufur.” Bima mengingatkan Ivo.
“Hehe, iya Bos. Maaf.” Ivo nyengir seraya mengangkat dua jarinya pada Bima. Rianti tersenyum melihat tingkah kedua sahabatnya yang tak pernah berubah. Masih juga konyol dan kocak seperti masa-masa mereka bersama dulu. Akhirnya meski agak kesusahan, Rianti bisa juga menghabiskan makanannya.
“Nah, gitu kan pintar.” Rio mengusap puncak kepala Rianti yang berbalut jilbab. Rianti mendelik pada Rio.
“Ups, maaf …” Rio mengangkat dua tangannya pada Rianti. Rianti melengos, gadis cantik itu mencoba menetralkan debaran di dadanya yang kembali berpacu kencang. Setelah ngobrol tentang pekerjaan baru Ivo dan Bima di Bandung, akhirnya mereka pun bangkit, bersiap untuk pulang. Rio menuju kasir membayar makanan mereka. Rianti, Ivo dan Bima menunggu di parkiran. Tidak berapa lama Rio pun datang dan mereka pun meninggalkan parkiran angkringan. Rio akan mengantarkan Rianti kembali sekalian Ivo dan Bima. Karena Ivo dan Bima memarkir motornya di rumah Rianti.
Pas azan asyar, mereka pun sampai di rumah Rianti. Ivo dan Bima langsung pamit pulang karena masih ada keperluan sebelum nanti malam balik ke Bandung. Rio pun ikutan pamit.
“Gue balik ya. Jangan lupa kalau lo ada perlu apa-apa, hubungi gue.” Rio berdiri di hadapan Rianti dan menatap gadis itu dengan perasaan luruh. Entah mengapa, laki-laki itu merasa ini akan menjadi pertemuan terakhir mereka. Pertemuan terakhir dengan Rianti yang masih berstatus sahabatnya. Setelah ini, bisa saja kondisinya berbeda.
“Boleh gue bertanya satu hal?” Rianti menatap Rio dengan riak yang sulit disembunyikannya.
“Ya?” Rio membalas tatapan Rianti dengan riak yang sama.
“Apa lo sudah punya seseorang yang istimewa di sana?” lirih suara Rianti membekukan seluruh tubuh Rio.
“Apa itu penting buat lo?” Rio mengalihkan tatapan matanya dari wajah tirus Rianti.
“Apa gue nggak penting buat lo?” Entah dorongan dari mana yang membuat Rianti berani bicara seperti itu pada laki-laki dihadapannya ini. Rio tercekat, susah payah laki-laki bermata elang itu menelan ludahnya.
“Sangat … sangat penting.” Suara Rio terdengar bergetar.
“Penting sebagai …?” Rianti masih mengejar Rio tanpa mengalihkan tatapan matanya dari laki-laki itu. Rio menggusar rambutnya dengan resah. Kembali ditatapnya Rianti dengan tatapan mata berisi luka.
“Sebagai sahabat.” Samar suara Rio memasuki gendang telinga Rianti, mengalir ke dada dan terasa perih di dasar hatinya. Rio pun merasakan hal yang sama, ada yang mengambang di pelupuk matanya menahan rasa sakit di dadanya mengucapkan kata-kata tersebut. Rianti pun sama. Bening mengambang di pelupuk matanya.
“Baiklah, terima kasih telah menganggap gue penting sebagai seorang sahabat.” Rianti mencoba tersenyum dan bulir bening itu akhirnya benar-benar turun membasahi kedua belah pipinya. Rio bergetar. Ingin sekali direngkuhnya tubuh kurus di depannya dan mengucapkan seribu kata cinta padanya.
“Pergilah … kita akan menjadi sahabat selamanya.” Rianti berbalik dan membuka pintu rumahnya dengan terisak. Rio mematung melihat punggung Rianti yang menghilang di balik pintu. Rio pun luruh dalam tangisnya. Betapa sakitnya cinta yang tak bisa diungkapkan. Betapa sakitnya cinta yang sebenarnya bisa digenggam tetapi harus dilepaskan. Ingin dikejarnya gadis itu dan meneriakkan sejuta kata cinta dan sayangnya. Tetapi bukankah cinta sejati harus merelakan?
****
Setelah salat asyar di masjid, Rio pun segera menuju kantor Afdi. Hampir satu jam Rio menikmati kemacetan dan akhirnya laki-laki itu kembali menjejakkan kaki di kantor yang memiliki banyak kenangan indah untuknya itu. Kenangan indah masa-masa bersama Rianti, Ivo dan Bima. Rio melewati meja resepsionis, ruang divisi keuangan, Rio pun sampai di depan ruangan Afdi. Beberapa karyawan yang kebetulan melihat Rio mengangguk hormat pada Rio. Semua telah mengetahui jika Rio adalah anak pemilik perusahaan ini. Rio membalas semuanya dengan senyum ramah.
Tanpa mengetuk pintu, Rio masuk ke ruangan Afdi. Afdi mengangkat wajahnya mendengar pintu dibuka. Dan senyum laki-laki beralis tebal itu langsung mengembang melihat siapa yang datang.
“Akhirnya datang juga.” Afdi langsung berdiri menyambut kedatangan adiknya. Rio menghempaskan tubuhnya di sofa tamu ruangan Afdi. Afdi melakukan hal yang sama. Ia duduk di hadapan Rio.
“Bagaimana kabar lo?” Afdi menatap Rio dan melihat wajah lesu adiknya itu dengan alis terangkat. Tidak biasanya adiknya itu seperti ini.
“Baik. Seperti yang lo lihat.” Rio mengembangkan tangannya dan mencoba tersenyum pada Afdi. Meski senyumnya terlihat patah.
“Nanti malam gue akan melamar Rianti. Bagaimana menurut lo?” Afdi mencoba mencari jawaban dari mata Rio. Tetapi Rio buru-buru mengalihkan pandangannya.
“Gue setuju. Rianti memang butuh seseorang untuk mendampingi dan membantunya mengahapi semua kemelut dalam perusahaan dan keluarganya. Dan gue rasa lo orang yang tepat.” Rio berusaha membuat suaranya terdengar riang dan penuh semangat.
“Jika lo katakan gue berhenti, gue akan berhenti.” Afdi menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa.
“Hai, jangan mempermainkan perasaan anak gadis orang. Lo telah memberikan perhatian yang menunjukkan bagaimana perasaan lo yang sebenarnya pada Rianti. Jangan berhenti. Raihlah cintanya. Dan gue dengar, papanya juga telah menitipkan Rianti beserta kedua adiknya pada lo kan? Lo harus laksanakan amanatnya.” Rio memberikan semangat dan keyakinan pada Afdi.
“Lo mencintai Rianti?” Afdi menatap Rio lekat. Rio membalas tatapan Afdi dan sejurus kemudian laki-laki itu mengangguk.
“Gue mencintainya sebagai seorang sahabat dan saudara. Kami pernah melewati masa-masa indah dan masa-masa susah ketika sama-sama menjadi seorang cleaning servis. Hanya itu yang mendekatkan dan mengikat kami. Percayalah.” Rio kembali meyakinkan Afdi. Afdi menarik napas lega.
“Baiklah, kalau begitu nanti malam gue akan ke rumah Rianti.” Afdi berkata dengan penuh semangat. Rio berdiri dan mengulurkan tangannya pada Afdi.
“Selamat, ya. Akhirnya lo menemukan juga calon pendamping hidup lo.” Rio berkata dengan tulus. Afdi ikut berdiri dan menerima uluran tangan adiknya.
“Terima kasih. Doakan agar Rianti menerima lamaran gue.” Afdi menarik Rio ke dalam pelukannya.
“Pasti. Dan sebagai sahabat Rianti, gue ingin minta satu hal pada lo, tolong bahagian dia.” Kali ini Rio tak dapat menyembunyikan suaranya yang terdengar parau.
“Gue janji akan membahagiakannya dengan seluruh jiwa dan raga.” Afdi menepuk bahu Rio. Rio tersenyum dan melepaskan pelukannya.
“Baiklah, gue pamit balik ke Bandung. Maaf gue nggak bisa menemani lo nanti malam.” Rio melangkah mendekati pintu ruangan. Afdi mengikuti langkah Rio. Mereka berdua ke luar dari ruangan menuju lobi.
“Ya, nggak apa-apa. Gue ngerti.” Afdi mengantar Rio sampai ke luar gedung. Rio bergegas menuju mobilnya dan meninggalkan Afdi dengan hati berdebar membayangkan acara lamarannya nanti malam ke rumah Rianti.
****
Habis salat isya, Afdi dengan kedua orang tuanya, Pak Rahmat dan Bu Aini mendatangi rumah Rianti. Mereka sengaja tidak memberi tahu akan kedatangan mereka karena tidak ingin merepotkan Rianti dan keluarganya. Mereka juga membawa berbagai macam kue dan buah-buahan yang telah ditata di dalam piring-piring cantik. Mereka hanya ingin sebuah lamaran yang sederhana mengingat kondisi Rianti sekeluarga yang masih dalam masa berduka.
Dan di sinilah Afdi beserta kedua orang tuanya sekarang. Di ruang tamu Rianti. Kue-kue dan buah-buahan telah ditata Bu Aini di meja, di hadapan mereka. Bu Winda dan Rianti memandang semua itu dengan perasaan heran. Begitu juga dengan Siska dan Amelia yang ikut bergabung duduk di ruang tamu. Tak ada kabar berita, tiba-tiba keluarga almarhum ayah mereka datang berkunjung dengan membawa banyak oleh-oleh.
Rianti hanya memakai gamis sederhana dengan pashmina yang dipasang seadanya. Tetapi di mata Afdi semua itu tidak mengurangi kecantikan Rianti. Berulang kali laki-laki yang mengenakan kemeja berwarna coklat muda itu melirik Rianti.
“Maaf sebelumnya, Bu Winda, jika kedatangan kami begitu mendadak dan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.” Pak Rahmat membuka percakapan.
“Ya, Pak. Tidak apa-apa. Namun, maaf … kondisinya yan seperti ini. Kami tidak menyiapkan apa-apa. Mohon maaf.” Bu Winda berkata seraya mengangguk pada Pak rahmat dan Bu Aini.
“Tidak apa-apa Bu Winda, kami memang sengaja tidak memberi kabar agar Bu Winda dan Nak Rianti tidak menjadi repot.” Bu Aini tersenyum penuh pengertian pada Bu Winda. Bersamaan dengan itu, Mbok Uun datang membawakan minuman untuk mereka. Mbok Uun menatanya di depan Pak Rahmat, Bu Aini dan juga Afdi. Juga di depan Bu Winda, Rianti, Siska dan Amelia. Setelah itu Mbok Uun pun pamit ke belakang.
“Silakan diminum, Pak, Bu, Nak Afdi.” Bu Winda mempersilakan tamu-tamunya untuk minum.
“Ya Bu, terima kasih.” Pak Rahmat dan Bu Aini mengambil cangkir di hadapan mereka dan meminumnya seteguk dua teguk. Hanya Afdi yang tidak mengambil minumnya. Entah mengapa Afdi merasa gelisah sendiri membayangkan apa yang akan dijawab Rianti atas lamarannya nanti.
“Baiklah Bu Winda, sebelumnya kami mohon maaf jika kedatangan kami terlalu cepat. Pak Arif baru saja meninggalkan kita. Tetapi banyak orang mengatakan, bahwa niat baik jangan ditunda.” Pak Rahmat berkata seraya menatap Rianti dan Bu Winda bergantian.
“Maksud kedatangan kami ke mari adalah ingin meminta Rianti untuk Afdi. Afdi telah lama menyukai Rianti. Afdi ingin menjadikan Rianti sebagai bagian dari hidupnya.” Suara Pak rahmat terdengar penuh wibawa, namun kata-katanya itu telah membuat Rianti tersentak. Tak pernah membayangkan laki-laki di hadapannya ini akan menjatuhkan pilihan padanya. Bu Winda juga merasa kaget, tetapi wanita cantik itu berusaha menghadapinya dengan tenang.
“Pak Rahmat, Bu Aini, sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas maksud kedatangan Bapak dan Ibu serta Nak Afdi.” Bu Winda berhenti sejenak. Ditatapnya lantai di bawahnya dengan tatapan luruh. Entah mengapa tiba-tiba hatinya menjadi pilu. Teringat kembali almarhum suaminya. Andai ia masih ada di sini. Bu Winda menarik napas dalam dan kembali mengangkat wajahnya.
“Dulu, jujur saya pernah menginginkan Rianti berjodoh dengan Afdi. Tetapi itu dulu, ketika keadaan kita masih sama. Namun sekarang semuanya telah berubah, Bapak dan Ibu mungkin tahu, kalau sekarang kami sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Mungkin Rianti sudah tidak layak lagi bersanding dengan Afdi.” Kali ini Bu Winda sudah tak dapat menahan air matanya. Buliran bening itu akhirnya luruh juga membasahi pipinya. Rianti memeluk mamanya dari samping. Menepuk pundak mamanya dengan lembut.
“Bu Winda, kenapa harus mengukur cinta dengan harta? Cinta Afdi tulus pada Rianti. Tak memandang harta atau pun itu namanya.” Bu Aini merasa ikut terenyuh mendengar ucapan wanita di hadapannya itu.
“Tetapi jika sekarang kami menerima Afdi sebagai pendamping Rianti, tentu akan banyak yang menganggap semua itu karena harta. Dan saya tidak akan menggadaikan cinta anak saya dengan apapun juga. Tidak juga dengan harta.” Bu Winda berkata dalam isak tangisnya. Rianti pun terisak mendengar ucapan mamanya. Beginilah ternyata rasanya ketika hidup sedang berada di garis terbawah.
“Saya juga tidak akan membeli cinta Rianti dengan harta, Bu. Karena cinta Rianti tak akan terbeli dengan harta sebanyak apa pun. Saya akan membeli cinta Rianti dengan cinta juga. Karena saya mencintainya dan saya berjanji akan membahagiakannya, Bu.” Kali ini Afdi yang bicara dengan penuh keyakinan. Bu Winda mengangkat wajahnya dan mencari kebenaran atas perkataan Afdi. Bu Winda bisa melihat kesungguhan di mata laki-laki tiga puluh tahun itu. Rianti pun memalingkan wajahnya dan menatap Afdi dengan mata basah.
“Saya menerimanya, Pak, Bu.” Rianti berkata dengan tegas. Dan satu persatu air matanya luruh, seperti luruhnya bunga-bunga di hatinya. Tak ada lagi yang tersisa kecuali dahan-dahan dan ranting-ranting kering. Tetapi Rianti punya alasan untuk ini. Afdi terpana, menatap Rianti dengan tatapan tak percaya. Gemuruh di dada Afdi menyeruak menghadirkan gelora yang tak dapat disembunyikannya. Bu Winda, Siska dan Amelia menoleh kaget pada Rianti. Rianti menghapus kedua pipinya yang basah dengan telapak tangannya. Lalu gadis cantik itu tersenyum pada mama dan kedua adiknya.
“Ya, Rianti menerima Mas Afdi sebagai pendamping hidup Rianti.” Rianti mengangguk dengan penuh keyakinan.
Bersambung …..
0 comments:
Posting Komentar