CARTING PART 12

CANTING PART 12 / #cantingpart12

Oleh Fissilmi Hamida

Ajeng tampak begitu cantik dengan balutan atasan ketat berwarna hitam yang dipadu rok lilit batik berwarna coklat kombinasi warna keemasan. Sebuah kalung etnic yang terbuat dari batok kelapa menjuntai di dadanya. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, dengan jepit rambut keemasan terpasang di sebelah kiri. Heels 15 cm favoritnya, dan juga tas tangan batik dengan pita di atasnya membuatnya terlihat bagai model profesional yang tengah berlenggak-lenggok di atas catwalk. 

Malam tadi, kala ia membaringkan tubuh letihnya sambil berselancar di dunia maya, ia tak sengaja melihat iklan acara festival batik ini. Senyumnya terkembang. Iya yakin Hadi akan datang karena Hadi tidak pernah absen jika ada acara seperti ini. 

Ajeng tak menyia-nyiakannya. Ini kesempatan emasnya untuk bertemu dan berbicara langsung pada Hadi setelah sudah lebih dari sebulan ia mencoba meraihnya, namun tak pernah ada hasilnya. Tak peduli sesering apapun ia mengirimkan pesan, selalu tak ada balasan. Begitupun saat ia mencoba meneleponnya, selalu gadis itu yang mengangkatnya, membuatnya rasa kesalnya semakin menumpuk memenuhi hatinya. 

Pupus sudah harapannya untuk bisa berbicara pada Hadi.

Ajeng terus melangkah sembari jemarinya menyentuh beberapa hasil karya berbahan batik yang terpampang di sekelilingnya. Sesekali manik matanya melirik stand The House of Sundari milik Hadi. Ia mendesah. Hadi tak tampak di sana. Hanya gadis itu yang tampak sibuk melayani pengunjungnya. 

Kemana Hadi? 

Sementara itu, dada Sekar bergemuruh. Sosok yang hampir tiap hari menghubungi suaminya itu ternyata memang paripurna. Ia kembali merasa kecil karenanya. Perlahan, ia mencuri pandang pada sosok semampai yang tengah memilih-milih aneka tas batik. Gaya busananya tampak begitu berkelas. Ia menelan ludah. Memang tak sebanding dengan gayanya yang sederhana. Ia hampir saja menundukkan kepalanya, tapi sejurus kemudian, ia menegakkannya setelah ia kembali ingat perkataan suaminya.

"Seharusnya kamu bilang begini. Aku istri Mas Hadi. Dari sekian banyak gadis di sekitarnya, aku yang dipilihnya. Berarti aku istimewa. Sedangkan dia, siapa dia? Yang bahkan dengan segala kesempurnaannya, Mas Hadi sama sekali tidak meliriknya."

Sekar tersenyum. Benar, ia yang dipilih Hadi, ia yang mendampingi Hadi. Jadi kenapa harus merasa rendah diri? 

Tapi senyumnya tak bertahan lama, sebab beberapa pengunjung berambut pirang dan kecoklatan kini mendekat ke standnya. 

"Duh, Mas Hadi kenapa lama sekali?" Ia celingukan, kebingungan. 

Terlambat untuk lari atau bersembunyi. Jarak pengunjung itu dengan standnya hanya tinggal sejengkal lagi.

"I like this pattern. Can you tell me the history?" tanya si rambut kecoklatan dengan jambang tipis menghiasi wajahnya. 

"Umm... this...." 

Sekar gugup. Ajeng yang kini berada tepat di stand seberang stand Sekar, menoleh sekilas. Hal itu menarik perhatiannya. 

Sekar menghela napas dan sejenak memejamkan matanya. Ia gugup luar biasa, tapi tak mungkin ia mendiamkan pengunjungnya.

"Umm... we call this pattern as Truntum. It is believed that years ago, Queen Beruk was really sad knowing that her husband, Sri Susuhunan Pakubowo III no longer gave her his warm love. Being terribly sad, she went to Balekambang park and decided to spill her sadness by painting a batik pattern on a cloth. This is the pattern she painted, means re-grow, along with the regrowth of his husband's love to her."

Ajeng mengernyitkan dahinya. 

Gadis ingusan itu... berbicara dengan bahasa Inggris?

Ajeng menggeleng-gelengkan kepalanya, berharap ia hanya salah dengar. Tapi tidak, ia masih mendengar gadis itu terus bicara dengan bahasa Inggris kepada pengunjung asingnya. Ajeng mendesah. Sepertinya, ia telah salah menilai gadis ingusan yang dipilih Hadi untuk menjadi istrinya. Ia kira, ia hanya gadis desa polos dan bodoh yang tidak tahu apa-apa, yang tak seujung kuku pun bisa dibandingkan dengannya. Tapi rupanya, gadis itu tak seburuk yang ia kira. 

Ajeng mendadak gelisah. Hatinya bergemuruh saat mendengar rombongan pengunjung asing itu merasa puas dengan penjelasan Sekar. Beruntung, Ajeng menghadap ke arah yang membelakangi Sekar, hingga rona keterkejutan dan kegelisahannya tak tertangkap oleh siapapun, termasuk oleh Sekar. 

"Mas Hadi dari mana saja to?" sungut Sekar saat melihat suaminya.

Hadi diam saja sambil terus menatap istrinya. Sekar salah tingkah. Pandangan Hadi selalu bisa menimbulkan getaran di hatinya.

"Mas? Kenapa?" tanya Sekar. 

"Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu bisa berbahasa Inggris, hmm?" tanyanya, tanpa sekalipun manik matanya beralih dari istrinya. 

"Aku mendengar semuanya. Kamu tidak melihatku berdiri di belakang kerumunan bule tadi? Aku cepat-cepat ke sini karena melihatmu kebingungan. Tapi aku kalah cepat. Tahu-tahu bule-bule itu sudah mengerubutimu dan kamu sudah memulai penjelasanmu," kata Hadi.

Sekar menatap mesra suaminya saat sosok itu melingkarkan tangan di pundaknya. 

"Proud of you, Sayang," bisiknya di telinga Sekar. Sekar membalasnya dengan sebuah senyuman.

Sungguh, ada banyak kejutan yang Sekar perlihatkan selama kurang lebih sebulan ini mereka mengarungi bahtera pernikahan. Sekar yang sebelumnya selalu rendah diri, kini sudah jauh lebih bisa membawa diri. Sekar yang ia pikir akan selalu dirundung kesedihan menghadapi semua yang Ajeng lakukan, ternyata mampu menunjukkan sebuah level kedewasaan. Hadi merasa sungguh beruntung memilihnya, si gadis jahe yang teramat dicintainya. Tidak salah memang jika ia menjuluki Sekar sebagai gadis jahe; tumbuh di dalam tanah, tak terlihat oleh yang lainnya, tapi berhasil memesonakan mata dengan bunga merah muda yang ditumbuhkannya. 

Pengunjung tampak asik memilih kain dan juga baju batik yang terpampang rapi. Beberapa melirik dan tersenyum melihat Hadi yang masih menggoda istrinya. Tapi tidak bagi Ajeng yang masih bergeming di tempatnya. Gelak tawa yang ditunjukkan Hadi bersama istrinya membuat api cemburunya berkobar sedemikian dahsyatnya, membuat rasa perih semakin memenuhi hatinya. 

"Mas, aku ingin bicara sebentar," katanya kemudian, setelah berhasil menyeruak kerumuman dan mencapai stand milik Hadi. 

Hadi terperangah. Begitu juga Sekar. Ia kira Ajeng sudah pergi entah kemana karena ia tak lagi melihatnya. Tapi sosok itu kini sudah berada di hadapannya. 

Sekar memegang lengan suaminya, erat. 

Sebulan mengarungi bahtera bersama membuat benih-benih cinta untuh suaminya tumbuh subur, mengakar dalam di hatinya. Hingga ia bertekad untuk tidak akan membiarkan siapapun merebutnya. Ia akan melakukan apapun untuk mempertahankan Hadi agar tetap berada di sisinya.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Hadi. 

"Aku hanya ingin bicara sebentar, Mas. Tolonglah," pintanya. 

Sekar masih terdiam. Di telepon, ia bisa bersikap tenang. Tapi bertemu langsung? Bayangkan saja, bagaimana rasanya bertemu dengan seseorang yang mencintai suamimu? 

"Tidak bisa, Jeng. Aku sibuk," kata Hadi lagi. 

"Sebentar saja, Mas. Tolonglah. Ikutlah bersamaku sebentar. Kita bicara di depan. Tidak akan lama. Aku janji," pintanya lagi. Hadi mendengus.

"Kamu mengajakku ikut bersamamu di depan istriku? Kemana otakmu, Jeng?" Hadi menatap Ajeng lekat-lekat.

"Maafkan aku. Aku hanya ingin bicara sebentar. Itu saja," kilahnya.

"Jika memang ada yang ingin kamu bicarakan, bicarakan saja di sini. Biar istriku juga dengar," kata Hadi. 

"Iya, Mbak. Sampaikan saja di sini. Mas Hadi sedang sibuk." 

Sekar ikut buka suara, setelah berhasil meredam gemuruh dahsyat di hatinya. Ajeng melirik.

"Tidak usah ikut-ikutan. Aku bicara pada Mas Hadi. Bukan padamu," kata Ajeng, membuat jemari Hadi mengepal karenanya. 

Sekar mengelus lengan Hadi, mencoba meredam emosi suaminya yang semakin meninggi, meski sejujurnya, hatinya juga mulai diterpa emosi. 

"Iya, Mbak, saya tahu. Tapi saya istri Mas Hadi. Saya berhak tahu apa yang akan Mbak bicarakan pada suami saya," kata Sekar sambil terus berusaha menata gemuruh di hatinya.

Ajeng mendengus. 

"Mas ingat soal analogi frekuensi radio yang pernah Mas ceritakan padaku? Mas bilang, frekuensimu hanya berhenti pada gadis itu, kan? Aku hanya ingin bilang, bukankah satu frekuensi radio bisa dinikmati oleh lebih dari satu orang? Mungkin sebaiknya Mas juga mempertimbangkan itu," kata Ajeng. 

Kemudian berlalu. 

Hadi melirik istrinya yang mendadak menundukkan kepala. Ia mendesah. Ia tahu ada bulir bening menggenang di mata istrinya. 

**********

Hadi menatap nanar ke luar jendela kamarnya yang masih sedikit terbuka. Meski gelap telah sempurna pekatnya, rintik hujan tetap tampak jelas di sana. 

Ia sungguh tak menyangka Ajeng jadi begitu gila, begitu terbutakan oleh cinta. Nekat menemuinya saat ia tengah bersama istrinya? Bukankah ini gila? Ajeng yang dulu dikenalnya, menghilang entah kemana.

Hadi menutup jendela kamarnya, lalu beringsut, duduk di sebelah istrinya yang mematung di sisi ranjang sambil menyisir rambut bergelombangnya.

"Kamu masih memikirkan soal tadi?" tanyanya, sambil membelai rambut istrinya. 

Sekar mengangguk perlahan. Bohong jika ia bilang ia tidak memikirkan perkataan Ajeng tadi. Dusta namanya jika ia bilang ia baik-baik saja. 

"Aku tidak tahu kenapa dia jadi begini. Padahal dulu dia tidak seperti ini."

Hadi naik ke ranjang, lalu merebahkan dirinya. Sekar masih sibuk dengan rambutnya.

"Soal frekuensi itu....," kata Sekar, lalu tercekat. Ia menengadahkan kepalanya, menatap langit-langit kamarnya.

Hadi kembali bangkit dari tempat tidurnya, lalu merengkuh istrinya dari belakang.

"Jika masih ada keraguan dalam dirimu, artinya kamu meragukanku. Kamu tidak percaya padaku?" tanyanya. Kini kepalanya bersandar di pundak Sekar. 

Sekar mendesah perlahan.

"Bukannya tidak percaya, Mas. Hanya saja...." Lagi-lagi Sekar tak bisa melanjutkan kalimatnya. 

Hadi melepaskan rengkuhannya, lalu menggeser posisinya hingga kini keduanya duduk bersebelahan di tepi ranjang. 

"Kamu takut aku mendua?" telisik Hadi. Sekar menjawabnya dengan sebuah isakan. 

Hadi langsung merengkuhnya, membiarkan istrinya menumpahkan apa yang dirasakannya.

"Menangislah agar kamu lebih lega. Tapi jangan keras-keras. Kalau kanjeng ibu dengar, bisa mati aku dimarahinya," kata Hadi sambil sedikit menggoda istrinya. Nihil, godaan recehnya tak berefek apa-apa. 

Lembut, ia membelai kepala Sekar. Mencoba menyalurkan energi cinta yang dimilikinya agar istrinya bisa sedikit lebih tenang. 

"Sekar, dengarkan aku. Benar satu frekuensi radio bisa dinikmati oleh lebih dari 1 orang. Tapi dalam hal ini, aku bukanlah si frekuensi radio, melainkan aku adalah si pencari frekuensi. Aku tidak akan kemana mana karena aku sudah menemukan frekuensiku yaitu kamu. Memang, aku bisa bisa saja berpindah sebentar, mendua ke frekuensi lainnya saat frekuensi yang kusukai sedang ada jeda iklan. Tapi, aku tidak akan melakukan itu. Kamu tahu kenapa?"

Sekar menggeleng.

"Karena aku menyukai semua yang ada di frekuensi di mana aku mengentikan pencarianku. Acaranya, iklannya, mungkin gangguannya, aku menikmati semuanya. Jadi untuk apa mendua ke frekuensi lainnya?" jelas Hadi panjang lebar, berharap penjelasannya mampu menjadi penawar bagi kegelisahan istrinya. 

Sekar melepaskan diri dari pelukan Hadi. Hatinya lebih tenang setelah apa yang Hadi katakan padanya. 

Sejenak hening.

"Mas," panggilnya kemudian.

"Hmm?"

"Aku... aku ingin ke rumah simbok," kata Sekar.

Jujur. Di luar, ia bisa tampak tenang dan tegar menghadapi segala yang dilakukan Ajeng. Hanya saja, ada kalanya ia merasa lelah. Bayangkan saja, sejak malam pertama pernikahannya, perempuan itu masih terus mengganggu bahteranya, sedang kondisi hatinya tak selalu sama setiap harinya. Seperti hari ini misalnya. Berkunjung ke kampung simbok yang jauh dari keramaian, mendengarkan nasihat-nasihat simbok yang menenangkan, sepertinya akan membuatnya lebih baik. 

Hadi kembali memandang istrinya dengan tatapan mesra. 

"Baiklah. Besok aku bereskan pekerjaanku dan lusa kita ke sana. Sekarang tersenyumlah," pintanya. Sekar membalasnya dengan senyum manisnya. 

Keduanya lalu merebahkan diri di atas ranjang kebesaran mereka. Hadi membiarkan Sekar menjadikan lengan kirinya sebagai bantal. 

"Sekar...," panggil Hadi, sembari mengelus-elus lengan Sekar.

"Ya...."

"Kita memang tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi, kita bisa mengikhtiarkan akan seperti apa nanti akhirnya. Masih ingat tentang filosofi kopi yang pernah aku ceritakan?" 

Sekar mengangguk. 

"Kita analogikan situasi kita yang sekarang dengan kopi yang pahit. Kita bisa membuatnga menjadi manis dengan menambahkan gula. Agar tercampur, gula ini harus diaduk, harus diudhek. Udhek tegese usahane aja nganti mandhek, ikhtiar kita tidak boleh berhenti. Begitu juga dengan usaha kita dalam membina rumah tangga kita. Nah, untuk mengaduk, kita perlu sendok, artinya sendhekna marang sing kuasa, serahkan pada yang maha kuasa. Kewajiban kita setelah ikhtiar adalah menyerahkannya pada yang kuasa, kan? Kencangkan doa kita, perbanyak permohonan kita agar kita senantiasa terjaga."

Sekar mendengarkan wejangan suaminya dengan seksama. Ia selalu suka saat suaminya memberinya wejangan seperti ini.

"Lalu?"

"Setelah itu, kita tunggu kopi tadi agar lebih adem agar kita bisa meminumnya. Adem artinya ati digowo lerem. Tenangkan hati kita karena kita sudah berikhtiar dan memasrahkannya pada yang kuasa, agar tak ada lagi prasangka yang nanti bisa merusak semuanya. Jika kita bisa melewati semua proses ini, saatnya kopi tersebut diseruput. Seruput artinya sedaya rubeda bakal luput, segala godaan mudah-mudahan akan terhindar." 

Hadi menutup wejangannya dengan memberikan satu kecupan mesra di kening istrinya. 

Beberapa menit berlalu, tak ada suara dari sosok yang meniduri lengan kirinya itu. Sigaraning nyawanya sudah terlelap dalam pelukannya. Hadi menatapnya, lalu kembali menghujaninya dengan beberapa kecupan mesra. Sejujurnya, malam ini ia menginginkan istrinya untuk kembali bersamanya berenang di lautan cinta. Hanya saja, melihat istrinya yang sedari tadi gundah gulana, ia merasa tak tega untuk memintanya.

Hadi memejamkan kedua matanya yang mulai terasa berat, untuk menyusul istrinya yang sudah terlebih dahulu terbuai mimpi. Sebelum matanya terpejam sempurna, ia tersenyum penuh arti.

"Untung aku tidak minum kopi tadi."

(Bersambung)

kelanjutannya di part 13.

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=222552941692324&id=211459742801644

**********

NOTES :

• I like this pattern. Can you tell me the history? : aku suka motif ini. Bisa ceritakan bagaimana sejarahnya? 
• Ucapan Sekar dalam bahasa Inggris menjelaskan tentang asal mula batik truntum yang dibuat oleh Ratu Beruk saat ia bersedih karena suaminya tak lagi memberinya kehangatan cinta. 
• Proud of you, Sayang : aku bangga padamu, Sayang.
• Diudhek : diaduk
• Udhek tegese usahane aja nganti mandhek : aduk artinya usahanya jangan sampai berhenti.
• Sendhekna marang sing kuasa : serahkan pada yang kuasa
• Ati digowo lerem : tenangkan hati.
• Sedaya rubeda bakal luput : segala godaan akan terhindar.
• Sigaraning nyawa : belahan jiwa. 

**********

0 comments:

Posting Komentar