CANTING PART 13 / #cantingpart13
Oleh Fissilmi Hamida
Dusun Mangli, Kaliangkrik, Magelang.
Pukul 8 pagi, Hadi sudah sampai di kampung halaman istri yang begitu ia cintai, sebuah dusun kecil yang terletak di lereng Gunung Sumbing. Hadi memang pernah ke tempat ini sebelumnya, saat lamaran resmi untuk meminang kekasih hatinya. Tapi ia tetap berdecak penuh kekaguman, ia bagai berada di negeri atas awan. Indah sekali.
"Yuk, Mas," ajak Sekar sambil menjinjing tas berisi oleh-oleh untuk simbok dan tetangga.
Hadi merapatkan jaketnya dan menggendong ranselnya. Cuaca yang mendung membuat dinginnya hawa terasa menusuk tulangnya.
"Nderek, nggih, Bude," kata Sekar pada salah satu tetangganya, karena mobil Hadi terparkir di sana. Rumah Sekar berada di ujung, paling atas sendiri sehingga tidak memungkinkan kendaraan roda 4 untuk naik ke sana.
"Mas kuat, kan, naik ke sana? Kan belum sarapan," katanya lagi.
"Ngece. Kuat, lah. Sambil gendong kamu juga kuat. Mau aku gendong?" jawab Hadi, sambil mengerling manja. Sekar mecucu dan menghadiahkan sebuah cubitan di perut suaminya.
Beberapa penduduk tampak bersiap ke ladang mereka. Berada di ketinggian kurang lebih 1.700an mdpl, sebagian besar wilayah di Mangli memang digunakan sebagai pertanian sayuran. Padi dan pohon kelapa sudah tidak bisa ditemui di tempat setinggi ini.
Desa yang memang merupakan desa wisata ini mempunyai slogan yang sama dengan nama desanya, yaitu MANGLI. M berarti menakjubkan alamnya, A berarti aduhai indahnya, N berarti ngangeni suasananya, G berarti guyup rukun masyarakatnya, L berarti luar biasa budayanya, dan I yang berarti ingin kembali selalu.
Begitu pula yang dirasakan oleh Hadi sejak pertama ia menginjakkan kaki di tempat ini. Syurga tersembunyi, begitu ia menyebutnya. Cukup susah memang untuk menuju kesana, tapi sebanding dengan keindahan yang mempesona, mulai dari hamparan hijau, lahan berbukitan yang dihiasi petak-petak ladang, gardu pandang, kebun strawberry, juga icon tulisan Mangli layaknya tulisan hollywood yang berdiri tegak di perkebunan warga.
Ia melirik sosok yang berjalan di sebelahnya. Seperti halnya Mangli, baginya, Sekar juga merupakan keindahan yang tersembunyi. Tak banyak orang yang bisa melihat keindahannya yang tertutup label rewang. Tapi Hadi berhasil menyibaknya, merasakan sendiri bahwa Sekar memang istimewa. Susah juga untuk Hadi dulu meraih dan meyakinkannya, namun semuanya terbayar dengan gelak bahagia yang ia rasa selama satu purnama mereka merajut cinta bersama.
"Ana montor apik, ana montor apik."
Hadi menoleh ke bawah. Beberapa anak kecil tengah mengerubuti mobilnya sambil bersorak sorai. Beberapa tangan mungil mengelus-elus mobil berwarna merah itu. Menggemaskan sekali.
Keduanya mencium takzim tangan keriput simbok yang menyambutnya di depan pintu. Sekar sudah mengirimkan pesan pada Lik Yati, tetangga sebelah rumahnya bahwa ia dan Hadi akan datang pagi ini karena simbok tidak piawai menggunakan ponsel.
"Ayo ayo sarapan. Simbok sudah buatkan pepes ikan, dan brongkos tempe kesukaan Nak Hadi."
Lalu keduanya mengekor di belakang simbok, memasuki rumah sederhana yang masih berdinding anyaman bambu dan berlantai tanah itu.
Ah, Sekar juga sangat merindukan tempat ini, meski sejak usia 7 tahun ia bersama simbok tinggal di Yogyakarta dan hanya mengunjungi tempat ini saat lebaran atau saat bapak pulang dari perantauan.
"Bapak kemana, Mbok?" tanya Sekar, setelah meletakkan tas jinjingnya. Sejujurnya, ia merindukannya meski bapak tak pernah menunjukkan kasih sayang yang semestinya seorang ayah berikan pada putrinya.
"Simbok ndak tahu. Dari Subuh tadi Bapakmu sudah keluar. Nanti juga pulang," jawab simbok sembari jemarinya terampil menyiapkan makanan.
"Nginep, kan?" sambung Simbok lagi.
"Enggak."
"Iya."
Sekar dan Hadi menjawab bersamaan. Sekar menjawab tidak, Hadi menjawab iya. Simbok bingung mendengarnya.
"Jadi, nginep apa ndak?" tanya simbok memastikan.
Sekar menatap suaminya. Semalam ia sudah bilang bahwa ia ingin langsung kembali ke Yogyakarta. Bukan apa-apa. Ia memang sangat merindukan simbok, ia ingin sekali mencurahkan kegelisahan dan mendengarkan wejangannya. Hanya saja... bagaimana jika Hadi tidak kerasan di rumahnya? Bagaimana jika Hadi tidak nyaman tidur di ranjang reyotnya? Bagaimana jika Hadi terganggu asap dari dapur yang menyeruak ke seisi rumah tiap kali simbok memasak karena simbok masih memakai tungku dari tanah liat dan bukan kompor?
Jadi ia memutuskan untuk tidak menginap. Beberapa jam saja bertemu simbok, itu sudah cukup membuat kegelisahannya sedikit sirna.
"Nginep kok, Mbok. Kami nginep," kata Hadi sambil menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya.
Sekar mendelik.
"Mas Hadi sibuk, Mbok. Banyak pekerjaan. Jadi kami tidak bisa menginap," kata Sekar sambil melirik tajam pada Hadi. Hadi tidak peduli.
"Aku sudah membereskan semua pekerjaanku, kok," katanya, sambil mengunyah makanannya.
"Tapi kita tidak membawa baju ganti, Mas. Jadi kita sebaiknya pulang sore ini." Sekar masih kekeuh.
Hadi mengentikan aktifitas makannya, berdiri mengambil ranselnya, dan diberikannya ransel itu pada Sekar.
"Nih, aku sudah membawa baju ganti untuk kita berdua," kata Hadi kalem, lalu kembali duduk dan melanjutkan makannya.
Sekar mbesengut. Simbok terkekeh melihat tingkah keduanya.
"Ih, Mas!" sungutnya kemudian.
Hadi bergeming, tetap sibuk dengan makanannya dengan mata kanan yang sengaja ia kedipkan dengan manja untuk istrinya. Sekar semakin gemas dibuatnya.
**********
"Kenapa kamu ngotot tidak mau menginap, hmm?" tanya Hadi pada Sekar yang sedang sibuk mengganti sprei.
"Kamu ini aneh. Katanya kangen simbok, tapi tidak mau menginap. Ada apa sebenarnya? Cerita sama masmu."
Hadi beringsut. Kini kedua lengannya sudah melingkar di pinggang Sekar. Kepalanya bersandar di punggung istrinya yang masih sibuk menata kasurnya.
"Coba lihat kamar ini, Mas," pinta Sekar. Hadi mengedarkan pandangan.
"Iya, so?"
Sekar mendesah.
"Memangnya Mas Hadi nyaman tidur di kamar seperti ini? Lantai tanah, ranjang reyot, atap yang tidak ada langit-langitnya. Bandingkan dengan kamar Mas. Aku hanya takut Mas Hadi tidak nyaman dengan ini semua. Maaf ya, Mas. Rumah kami begitu sederhana," jelas Sekar yang kini sudah berdiri tegak. Ia tetap membiarkan Hadi memeluk dan meletakkan kepala di atas punggungnya.
Sejenak hening.
Perlahan, Hadi membalikkan tubuh Sekar hingga kini keduanya berhadapan.
"Bagaimana aku bisa merasa tidak nyaman jika ada kamu yang menemaniku?" katanya, sembari memberikan tatapan mesra.
"Gombal," balas Sekar.
"Aku serius. Dengarkan aku. Mau di manapun aku berada, asal bersamamu, aku akan merasa nyaman-nyaman saja. Tapi di tempat sebagus apapun, aku tidak akan merasa nyaman tanpa dirimu menemaniku," jelasnya sembari membelai rambut Sekar.
"Benar Mas Hadi tidak apa-apa menginap di rumah sederhana ini?" Sekar kembali memastikan.
"Tentu saja. Kenapa tidak? Kamu pasti sangat mencintaiku sampai begitu memikirkan nyaman tidaknya aku."
Sekar menunduk malu. Benar, Hadi benar. Rasa cintanya untuk Hadi memang tengah tumbuh begitu besar.
"Terimakasih, Sayang. Aku hargai itu sebagai salah satu bentuk cintamu," kata Hadi sebelum mendaratkan sebuah kecupan mesra.
"Masjid dekat sini, kan?" tanya Hadi kemudian, setelah terdengar suara adzan. Sekar mengangguk.
Dan saat kemudian Hadi berjalan menuju masjid Al Kautsar, masjid di dusun tersebut, tetangga dan para gadis berbisik semua,
"bojone Mbak Sekar bagus tenan."
**********
"Kamu baik-baik saja to, Nduk?" tanya simbok, sambil menyangrai biji kopi yang tadi disiapkannya. Wanginya semerbak ke mana-mana. Hadi tengah berkeliling, mengabadikan keindahan sekitar dengan kamera mirorless-nya. Ia sungguh terpesona dengan keindahan dusun ini.
"Kenapa Simbok bertanya begitu?" Sekar meniup api tungku yang mulai padam dengan semprong.
"Nduk, Simbok mengenalmu sejak kamu masih dalam kandungan. Simbok tahu kalau kamu sedang berbahagia, atau sedang dirundung kegelisahan. Ono opo? Cerita sama Simbok."
Sekar menatap sosok hebat itu. Naluri keibuannya luar biasa. Bahkan tanpa sepatah kata pun yang terucap, ia tahu bahwa putrinya sedang tidak baik-baik saja.
"Sekar takut, Mbok. Sekar sunguh takut. Ada seorang perempuan, cantik rupawan, paripurna dalam segala hal, yang mencintai Mas Hadi. Sekar tidak ada apa-apanya di banding dirinya. Dokter, keturunan ningrat, sedang Sekar hanya orang biasa. Sekar sungguh takut Mas Hadi kesrimpet bebed, kesandung gelung, Mbok. Sekar takut Mas Hadi kelak akan tergoda karena perempuan itu terus menerus mencoba menjeratnya."
Sekar mulai terisak. Simbok mengangkat kopinya, meletakannya dalam sebuah wadah, lalu menempatkan diri untuk duduk di sebelah Sekar, di atas amben yang terletak di dekat pintu belakang.
Perlahan, direngkuhnya kepala Sekar dan diletakkan di pangkuannya.
"Mas Hadi selalu meyakinkan Sekar jika Mas Hadi akan terus setia. Sikapnya memang menunjukkan demikian. Mas Hadi tegas pada perempuan itu. Hanya saja....." Sekar kembali tergugu. Simbok masih diam, memberi kesempatan putrinya untuk menumpahkan segala kegelisahan.
"Jika Simbok yang sebaik ini saja bisa dikhianati oleh bapak, bagaimana dengan Sekar yang hanya gadis ingusan?"
Kini tumpahlah airmatanya, membanjiri pangkuan simbok yang terbalut kain jarik berwarna kekuningan. Ia ingat bagaimana segala lara yang diderita simbok lantaran bapak terjerat perempuan lainnya. Ia sungguh takut hal itu terjadi padanya.
"Nduk, nadayan asor wijilipun, yen kelakuane becik, utawa sugih carita kang dadi misil, iku pantes raketana, darapon mundhak kang budi. Artinya, sekalipun keturunan orang biasa, namun jika perilakunya baik, atau banyak pengalaman yang bermanfaat, maka pantas untuk didekati untuk menambah kebijakanmu."
Simbok memulai wejangannya. Sekar mendengarkan sambil menghapus airmatanya.
"Maksudnya, sesungguhnya kita dilihat bukan karena kita keturunan siapa, tapi lebih kepada sikap kita. Jadi jangan pernah rendah diri meski kita hanyalah kalangan orang biasa." Simbok terus membelai kepala Sekar.
"Buktinya, Nak Hadi memilihmu, meskipun kamu bilang, kamu tidak ada apa-apanya di banding perempuan itu," sambung simbok lagi, persis seperti yang pernah dikatakan Hadi.
"Kunci membangun rumah tangga itu hanya ada 5, Nduk. Pertama keimanan, dan sisanya adalah kepercayaan. Iman akan menjadi benteng agar tidak seenaknya melanggar aturan yang ada, agar tidak seenaknya menghianati janji suci pernikahan yang mengikat kita. Lalu selanjutnya adalah kepercayaan."
Sekar masih menyimak. Banjir air matanya sudah mulai berkurang.
"Yang Simbok lihat, kamu sedang dilanda keraguan. Kamu meragukan kesetiaan suamimu sendiri. Ini tidak baik, Nduk. Itu namanya was-was atau bisikan syetan. Rasa was-was ini bisa membuatmu berprasangka macam-macam, segala yang dilakukan suamimu dianggap mencurigakan, padahal bisa jadi suamimu sama sekali tidak melakukan hal yang kamu tuduhkan. Sikap seperti itu, justru bisa membuat suamimu merasa tidak nyaman, bahkan tidak tahan. Itulah mengapa 4 sisa kuncinya adalah kepercayaan," jelas simbok panjang lebar.
Sekar tercenung. Wejangan simbok bak tamparan keras baginya, bak tombak runcing yang menusuk dadanya.
Benar, bagaimana jika Mas Hadi lama-lama merasa tak nyaman karena aku terus menerus meragukan kesetiaan yang ia tunjukkan?
"Duh, Gusti... apa yang sudah aku lakukan?" gumamnya.
Ia lalu bangkit dari pangkuan simbok, dengan rasa yang begitu sulit untuk diterjemahkan. Ingin rasanya ia segera mengejar Hadi dan meminta maaf atas sikapnya selama ini.
"Belum terlambat untuk memperbaiki diri, Nduk. Sekarang, dari pada kamu terus ragu dan takut suamimu akan tergoda, kenapa tidak memaksimalkan peranmu sebagai istrinya sehingga ia tidak akan pernah bisa untuk melirik yang lainnya?" kata Simbok lagi, dengan senyum terkembang menghiasi wajahnya.
"Kita memang tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi, terlalu mengkhawatirkan hal yang belum tentu terjadi, hanya akan membuat kita tidak mampu menikmati dan menghargai apa yang kita punya di masa sekarang ini," sambung Simbok.
Sekar bersimpuh di hadapan Simbok, meraih kedua tangannya dan menciuminya.
"Maturnuwun, Mbok. Maturnuwun wejangannya," ucapnya, penuh rasa bahagia, sambil terus menciumi jemari keriput simbok yang begitu dihormatinya.
"Jangan lupa libatkan Gusti Pangeran dalam hal ini juga ya, Nduk. Kamu tahu surah An-Nas, kan? Qul A'udzu Birabbin Naas. Baca itu, Nduk. Isinya memohon perlindungan dari segala kejahatan bisikan syetan yang dibisikkan ke dalam dada kita, hingga kelak kita bisa lebih terjaga dari segala prasangka."
Keduanya lalu terbenam dalam suana penuh keharuan, hingga tak sadar, ada Hadi di balik pintu dapur yang sedari tadi mendengarkan. Ia tersenyum penuh kelegaan.
Rasa hormatnya pada simbok kini kian meninggi levelnya.
**********
"Eh, kenapa ini tiba-tiba manis begini?" selidik Hadi, saat Sekar tiba-tiba saja memeluknya.
"Aku... aku ingin minta maaf pada Mas Hadi. Maaf jika selama ini aku sering terkesan ragu, pada kesetiaan yang Mas tunjukkan padaku. Meski aku melakukan itu karena aku takut kehilangan Mas Hadi, namun tidak seharusnya aku begini," ucapnya tulus dari dalam hati.
Hadi tersenyum, lalu mengelus-elus kepala istrinya. Sejujurnya ia bisa memaklumi sikap istrinya yang memang masih belia. Namun ia bersyukur mendapati istri tercinta menyadarinya.
"Iya, Sayang. Aku tahu semua ini pasti melelahkan untukmu. Yang pasti, tidak ada rumah tangga tanpa cobaan, tidak ada pernikahan tanpa godaan. Tapi, asal kita bisa bersikap seperti sumpit, niscaya kita akan mampu melewati segala yang menghadang." Sekar memicingkan mata.
"Seperti sumpit? Maksudnya?" Sekar tidak mengerti maksud suaminya.
Hadi membimbing tangan Sekar untuk melepaskan pelukannya, lalu menuntunnya untuk duduk di ranjang.
"Iya. Kamu tahu sumpit, kan? Sumpit itu harus sepasang, tidak bisa digunakan jika hanya sendirian. Seperti halnya kita berdua yang berpasangan. Sumpit juga sama panjang, jangan sampai ada salah satu dari kita yang merasa lebih tinggi dari yang lainnya. Perhatikan, saat kita menggunakan sumpit, satunya bergerak, satunya diam. Begitu seharusnya ketika kita dilanda kemarahan. Jika ada salah satu dari kita marah, ada baiknya salah satunya diam."
Sekar memegang lengan suaminya, lalu menyenderkan kepalanya di sana.
"Dalam mengambil makanan, tentu sumpit harus berpasangan. Artinya, apapun rasa makannya, apapun bentuknya, semua dirasakan bersama. Pahit, getir, masalah, apapun itu, semua kita hadapi bersama-sama. Begitu," kata Hadi, menutup wejangannya.
Sekar masih menggelayut manja. Ia sungguh beruntung, memiliki simbok yang begitu bijaksana, juga suami yang begitu dewasa. Membantunya yang masih belia, untuk menjalani biduk rumah tangga sebaik-baiknya.
Hadi memandangi istrinya, lalu sejurus kemudian bergerak untuk merebahkannya hingga ranjang usang itu sedikit berderit. Hawa dingin membuatnya ingin tak ada jarak antara dirinya dan istri tercinta. Namun ia urung, saat sang istri tercinta berbisik di telinganya.
"Air di sini dingin seperti es. Yakin Mas mau keramas pagi-pagi?"
(Bersambung)
kelanjutannya di part 14.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=222553925025559&id=211459742801644
**********
NOTES :
• Nderek nggih, Bude : titip ya, Bude.
• Ngece : menghina.
• Mecucu : mengerucutkan mulut.
• Ana montor apik : ada mobil bagus.
• Mbesengut : cemberut
• Bojone Mbak Sekar bagus tenan : suami Mbak Sekar tampan sekali.
• Semprong : alat peniup api dari bambu
• Kesrimpet bebed, kesandung gelung : terjerat cinta perempuan lain.
• Ono opo : ada apa
• Bahasa jawa panjang yang diucapkan simbok adalah petikan tembang Kinanthi.
• Duh Gusti : ya Tuhan
• Gusti Pangeran : Tuhan.
**********
0 comments:
Posting Komentar