CANTING PART 10 / #cantingpart10
Oleh Fissilmi Hamida
Meski kedua matanya masih tampak sembab, Ajeng tersenyum penuh arti setelah mengirimkan sebuah pesan singkat pada Hadi.
Semalam, ia terus membanjiri tempat tidurnya dengan airmata. Rasa sakitnya sungguh tak terkira. Mengetahui bahwa sosok yang dicinta tengah menikmati malam pengantinnya, ternyata membuat duri sembilu semakin menancap dalam di hatinya, hingga ia tak tahan untuk menelepon Hadi. Namun luka di hatinya semakin menganga saat Hadi sama sekali tak mengangkat teleponnya. Dengan hati teriris dan mata yang terus menangis, Ajeng kemudian mengirimkan pesan. Nihil. Tetap tak ada jawaban.
Ajeng kembali bersimpuh dengan genangan airmata. Ada bagian yang hilang dari dalam dirinya. Selama ini, Hadi selalu sigap membalas semua pesannya, juga mengangkat teleponnya. Tapi kini?
Ia tahu ini malam tadi adalah malam pengantin Hadi dengan istrinya. Satu bagian kecil di hatinya tahu bahwa tak seharusnya ini dilakukannya. Hanya saja, cinta buta mengalahkan logikanya, menutup mata hatinya. Sungguh, tak mudah pergi begitu saja setelah bertahun-tahun memendam rasa. Rasa yang awalnya biasa saja, namun kini sudah mengakar dengan begitu kuatnya. Ajeng benar-benar tak kuasa untuk mencabutnya.
Keadaannya semakin nelangsa sejak video lamaran Hadi pada Sekar viral di dunia maya. Selain karena ia memang tak bisa menerimanya, ratusan pesan yang ditujukan padanya pasca video itu beredar juga membuatnya semakin menderita. Semua mempertanyakan kenapa bukan dirinya, sebab selama ini, mereka pikir Ajeng dan Hadi menjalin cinta.
"Lho, Jeng? Bukan kamu? Aku kira selama ini kamu bersamanya." Pesan yang dikirimkan Mbak Ratri waktu itu.
"Hehe."
Hanya 4 huruf itu yang mampu diketik Ajeng untuk membalasnya. Perih.
"Wah, berarti waktu kamu ke London itu, aku salah kira, dong. Sayang sekali. Padahal kalian serasi," balas Mbak Ratri lagi, membuatnya semakin bersedih hati.
Sungguh, Ajeng benci ini. Kenapa orang-orang di sekitarnya terus mempertanyakan kenapa bukan dirinya yang menikah dengan Hadi. Tak tahukah mereka bahwa yang mereka lakukan bagaikan garam yang sengaja ditaburkan di atas luka hatinya? Ajeng semakin menangisi keadaannya.
Namun malam tadi, ia menemukan secercah harapan, celah yang mungkin bisa ia manfaatkan. Hadi meneleponnya setelah beberapa jam ia menunggunya. Itu artinya, Hadi benar-benar memikirkannya. Jika tidak, mana mungkin Hadi meneleponnya di malam pengantinnya? Ya, meskipun sebagian besar isi pembicaraannya adalah Hadi memarahinya. Tapi tidak mengapa. Asal mendengar suaranya, Ajeng cukup senang karenanya. Kaya ngenteni udan ing mangsa ketiga, bagai menunggu hujan di musim kemarau. Meski hanya sekejap saja, namun berhasil menorehkan sedikit rasa tenang di hatinya.
"Baiklah, Mas. Aku akan membuatmu terus memikirkanku. Dengan begitu, setidaknya kamu akan terus menghubungiku," bisik hatinya sambil mengirimkan pesan singkat itu.
Ia lalu bernapas lega, menata rambutnya, mengenakan jas putihnya, bersiap menuju rumah sakit untuk melaksanakan tugasnya sebagai seorang dokter seperti biasanya. Sebelum membuka pintu mobilnya, ia melirik ponsel di tangannya. Nihil, belum ada balasan dari Hadi.
"Mungkin sebentar lagi," hiburnya.
Lalu berlalu, tanpa peduli lagi bahwa cintanya yang dulu murni, kini berubah menjadi sebuah obsesi, bahwa cinta yang dulu ia jaga dalam diamnya, kini menjelma menjadi cinta yang mungkin saja akan menghancurkan dirinya.
Ajeng betul-betul lupa petuah hadi,
"tresna kuwi kaya criping tela. Isa ajur yen kowe ora ati-ati le nggawa,"
**********
Sekar mendesah. Hatinya mendadak gelisah. Berbagai pertanyaan muncul di benaknya tentang siapa pengirim pesan yang baru saja ia baca. Tak ada nama di sana. Hanya nomor saja.
"Pagi, Mas. Terimakasih teleponnya semalam. Love you."
Sekar terus mengingat pesan itu. Jadi, Hadi berbohong padanya? Semalam saat ia menghampiri Hadi yang tengah sendirian di tepi kolam, Hadi bilang bahwa ia tidak bisa tidur. Tapi ternyata ia menelepon seorang perempuan? Siapa dia? Pengirim pesan itu bahkan mengatakan love you di pesannya. Apakah ia punya hubungan khusus dengan suami yang baru kemarin menikahinya?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkecamuk di benaknya. Tiba-tiba ia menyadari satu hal. Apa ini semua karena semalam ia tertidur duluan? Sehingga Hadi merasa kesepian dan akhirnya menghabiskan waktu dengan menelepon perempuan itu?
Sekar masih merutuki dirinya, sambil memainkan sendok dan garpu yang dipegangnya saat Hadi kembali ke sana.
Hadi menatap istrinya yang tampak gelisah.
"Kamu baik-baik saja?" tanyanya. Sekar mengangguk perlahan.
"Kenapa tidak dimakan? Kamu tidak suka makanannya?" tanyanya lagi.
"Sudah kenyang," jawab Sekar singkat.
Hadi mendesah. Sepertinya ada yang tidak beres dengan istrinya. Hal itu semakin kentara saat Sekar masih terus terdiam ketika Hadi mengajaknya ke pantai selepas sarapan. Ia hanya bicara seperlunya.
"Sekar, sayangku. Kamu kenapa? Cerita sama masmu kalau ada apa-apa," kata Hadi, saat keduanya duduk di tepi pantai.
Sejujurnya ia bingung harus bagaimana. Ia belum sempat berguru pada Haryo, sahabatnya tentang bagaimana menghadapi perempuan dengan segala kemisteriusannya. Sebelum ke toilet tadi, istrinya tampak berbinar. Tapi sekembalinya dari toilet, istrinya hanya terus terdiam. Bukankah ini aneh?
"Tidak apa-apa, Mas," jawab Sekar.
Dadanya bergemuruh tiba-tiba. Ingin rasanya ia bertanya siapa perempuan itu. Tapi lidahnya kelu.
Air pantai membasahi kaki keduanya.
Hadi melingkarkan tangan kanannya ke pundak Sekar. Perlahan, disandarkannya kepala sang istri di dadanya. Sekar hanya menurut saja. Dalam hati, ia juga menginginkannya. Rengkuhan suaminya cukup membantu menenangkan gemuruh di hatinya.
"Kita sudah suami istri sekarang. Bukan lagi majikan dan rewang. Jadi jangan pernah lagi merasa sungkan. Jika ada apa-apa, katakan padaku. Jangan biarkan dirimu menyimpan beban sendirian. Biarkan aku membantu meringankan," katanya.
Sekar terisak. Ia membenamkan kepalanya di dada suaminya dengan airmata yang mendadak menganak sungai. Hadi mendesah. Benar. Istrinya tidak baik-baik saja.
"Menangislah. Tidak apa-apa. Kamu bisa cerita setelah tangismu reda." Hadi membelai mesra kepala istrinya. Berusaha tenang, meski sejujurnya ia kebingungan.
"Sepertinya ada pesan yang belum Mas lihat," kata Sekar kemudian, setelah tangisannya mereda dan kepalanya tak lagi terbenam di dada suaminya.
"Oh ya?"
Hadi merogoh sakunya. Berusaha meraih ponselnya.
"Saat Mas ke toilet tadi, ponsel Mas bunyi. Maaf, aku tidak sengaja melihatnya. Pesan itu...." Tenggorokan Sekar mendadak tersekat.
Hadi menggerakkan jemarinya di atas layar ponselnya. Ada cukup banyak pesan di sana. Namun sejurus kemudian matanya terpana. Sebuah pesan dari nomor tanpa nama menarik perhatiannya. Meski sudah tak lagi tersimpan di memori ponselnya, Hadi sangat tahu siapa pemilik nomor itu.
Hadi mendengus saat membaca isi pesannya. Sedang Sekar memalingkan muka.
"Ini yang membuatmu gelisah?" tanyanya. Sekar mengangguk.
Hadi merutuki dirinya, kembali menyesali kecerobohannya semalam. Sekar kembali terisak, membuat Hadi semakin merasa bersalah.
"Namanya Ajeng. Adik kelasku di SMA, juga saat aku kuliah di UGM dulu. Aku cukup dekat dengannya, tapi tidak ada hubungan spesial di antara kami berdua. Aku tidak tahu jika selama ini ternyata dia memendam cinta. Kamu ingat saat aku meminta persetujuanmu untuk mempercepat tanggal pernikahan kita?" tanyanya.
Sekar mengangguk sambil menghapus airmatanya.
"Itu semua karenanya. Hari itu aku menjenguknya di JIH. Hari itu pula aku tahu bahwa ternyata selama ini dia memendam rasa. Dia menunjukkan gelagat tidak baik saat aku menjelaskan padanya bahwa aku akan menikahimu, sehingga aku ingin pernikahan kita disegerakan. Aku tidak mau pernikahan kita gagal karenanya."
Sekar serius mendengarkan. Airmatanya sudah tak menganak sungai.
"Lihat ini," kata Hadi, menunjukkan pesan-pesan yang dikirimkan Ajeng semalam.
"Semalam, aku tidak bisa tidur. Kamu sudah tidur duluan. Lalu aku melihat ponselku yang memang dari pagi belum aku lihat. Banyak pesan yang kuterima, termasuk pesan dari Ajeng ini. Aku memang ceroboh karena aku memutuskan untuk meneleponnya. Seharusnya aku abaikan saja pesan-pesannya. Tapi sungguh, niatku meneleponnya hanya karena aku ingin menegaskan padanya untuk berhenti mengganggu kita. Itu saja," jelasnya lagi.
Sekar menatap wajah suaminya. Rona keseriusan tergambar jelas di sana.
"Jika kemudian dia mengirimkan pesan seperti itu, sungguh, aku tidak tahu apa maksudnya," imbuhnya.
Sekar menundukkan kepalanya. Ia tak tahu harus berkata apa.
"Dia bilang, dia datang saat resepsi kita kan, Mas? Yang mana orangnya?" tanya Sekar kemudian. Penasaran.
Hadi mendesah. Ia takut istrinya akan kembali merasa rendah diri jika tahu Ajeng yang mana.
"Mas?"
"Umm, dia... yang mengucapkan selamat dengan bahasa Perancis," jelasnya pelan.
Sekar mendesah. Ia ingat sosok itu. Gayanya mempesona, cantik paripurna. Intelektualnya pastilah juga sempurna, terbukti dengan bahasa Perancis yang begitu fasih diucapkannya. Sekar memejamkan mata. Tiba-tiba saja, ia merasa begitu kecil karenanya. Seorang rewang, hanya lulusan SMA. Sungguh, tak sebanding dengan sosoknya yang begitu sempurna.
"Kenapa Mas tidak menikah dengannya saja?" katanya kemudian. Perih tiba-tiba menggelayuti hatinya.
"Karena aku tidak pernah punya rasa yang sama untuknya. Jika memang aku punya rasa untuknya, mungkin aku sudah memilihnya. Nyatanya, siapa yang kupilih untuk menemaniku menghabiskan sisa hidupku? Kamu, Sekar. Kamu," katanya, berusaha meyakinkan istrinya yang sepertinya masih didera sedikit keraguan.
Sekar kembali memandang suaminya. Ada bulir kesejukan yang tetiba mengaliri hatinya. Tapi... entahlah, sepertinya masih ada ganjalan di salah satu sisi hatinya. Bagaimana jika Ajeng terus menggoda suaminya dan suaminya nanti tergoda? Sekar menggeleng-gelengkan kepalanya, mengundang Hadi untuk bertanya kenapa.
"Aku... aku takut Mas akan tergoda olehnya. Dia sempurna, sedang aku, aku siapa?" jawabnya jujur. Hadi tersenyum mendengarnya.
"Kalimatmu salah," kata Hadi. Sekar memicingkan mata meminta penjelasan.
"Seharusnya kamu bilang begini. Aku istri Mas Hadi. Dari sekian banyak gadis di sekitarnya, aku yang dipilihnya. Berarti aku istimewa. Sedangkan dia, siapa dia? Yang bahkan dengan segala kesempurnaannya, Mas Hadi sama sekali tidak meliriknya," sambung Hadi, membuat Sekar tersipu karenanya.
Ah, benar juga kata suaminya. Sekar kembali menatapnya. Kali ini dengan senyum manis menghiasinya. Sosok tampan ini selalu bisa menenangkannya. Kalimat-kalimat bijaknya ajaib, bak penawar atas segala gelisah hatinya.
"Susah payah aku meyakinkanmu untuk menikah denganku. Tidak akan aku menyia-nyiakanmu," imbuhnya. Sekar semakin melayang mendengarnya.
"Lihatlah pantai ini. Pantai dan ombak, mereka terus bersatu. Meski kadang ombak berkelana, tapi ia akan terus kembali ke pelukannya. Aku ingin kita seperti itu. Tak ada pantai tanpa ombak, tak ada Hadi tanpa Sekar," ucap Hadi, memecah keheningan yang sejenak muncul di antara keduanya.
"Aku ingin kita berjanji untuk saling terbuka. Jika ada yang mengganjal, katakan saja. Jangan dipendam, agar kita bisa sama-sama menyelesaikan." Sekar mengangguk mendengar nasihat suaminya.
"Maafkan aku, Mas," katanya kemudian. Hadi menatapnya, dengan tatapan lembut penuh cinta.
"Aku juga mintamaaf. Seharusnya aku abaikan saja pesannya. Maaf jika aku tidak langsung jujur padamu semalam. Maaf aku sudah membuatmu menangis dan sedih seperti ini," ucapnya tulus, sembari mengelus pipi kanan istrinya.
Sekar mengangguk. Keduanya kini berpegangan tangan. Sejenak, keduanya kembali menikmati keheningan yang dipadu hembusan angin pantai dan deru ombak yang menciptakan ketenangan.
"Sekar...," panggilnya lagi, dengan nada yang begitu manja mengetarkan hati.
"Apa kamu menyadari sesuatu?" tanyanya lagi.
"Sesuatu apa?" Sekar belum mengkap maksud suaminya.
"Sekarang aku yakin bahwa kamu juga sangat mencintaiku,"katanya, sembari menyentil dagu istrinya. Hati Sekar berdesir mendengarnya. Benarkah?
"Sikapmu tadi menunjukkan bahwa kamu terbakar cemburu. Kamu gelisah karena kamu takut masmu yang tampan ini tergoda olehnya, kamu sedih karena kamu takut kehilangan suamimu tercinta. Apa itu namanya kalau bukan tanda cinta?" kata Hadi, setengah menggoda.
Sekar membalasnya dengan cubitan kecil di pinggang Hadi. Hadi mengaduh, lalu kemudian menarik Sekar ke pelukannya, dan mengujaninya dengan berkali-kali kecupan mesra di keningnya.
Benar.
Selama ini, tak pernah ada yang aneh di hati Sekar saat melihat Hadi tengah bercengkerama bersama teman-teman perempuannya di pendopo rumahnya. Tapi kini, sebuah pesan saja membuatnya jadi uring-uringan, terbakar cemburu yang rasanya sangat tidak mengenakkan.
Hati Sekar bergedup kencang. Ia malu mengakuinya, tapi ia memang tengah jatuh cinta pada suaminya.
**********
Ponsel Hadi berbunyi saat Hadi tengah membersihkan diri di kamar mandi. Ragu, Sekar berdiri meraihnya. Ada sebuah pesan yang tampak di sana. Pesan dari nomor yang sama yang tadi pagi dilihatnya.
[ Mas, kok belum dibalas juga? ]
[ Aku menunggu balasanmu. ]
[ Haruskah aku meneleponmu?]
Sekar membaca pesan itu. Ia mendesah. Perempuan itu rupanya masih belum menyerah. Ia hampir saja meletakkan ponsel itu saat tiba-tiba ponsel Hadi berdering nyaring. Sekar terhenyak. Ada panggilan dari nomor itu.
"Siapa, Sayang?" tanya Hadi yang muncul dari pintu kamar mandi.
Sekar gugup.
Bukan, bukan karena telepon itu, tapi karena suaminya muncul dengan bertelanjang dada. Hanya sehelai handuk saja yang menutupi tubuh bagian bawahnya. Sekar tersipu. Memang, semalam ia telah memadu cinta bersama Hadi. Tapi melihat Hadi seperti ini, entah mengapa ia merasa gugup sendiri.
Duh, Mas. Kenapa tidak langsung memakai baju saja?
Sekar melirik Hadi. Ponsel Hadi yang dipegangnya masih terus berbunyi.
"Dari siapa?" tanya Hadi lagi.
"Dari... dari nomor yang tadi pagi," jawab Sekar, sedikit terbata, karena Hadi tiba-tiba saja merengkuhnya dari belakang, membiarkan wajahnya yang masih basah bersentuhan dengan pipi istrinya.
Letupan-letupan cinta di hati Sekar semakin menggelora.
"Abaikan saja," ucapnya, sembari mengambil ponsel yang masih berada di tangan Sekar. Mematikannya, lalu menaruhnya di sisi ranjang.
Hadi membalikkan badan istrinya, hingga kini keduanya berhadapan. Hati Sekar masih terus berdegup kencang, namun ia hanya menurut tanpa perlawanan, saat lengan kokoh suaminya kembali menggendongnya ke peraduan. Lalu keduanya kembali tenggelam dalam lautan cinta.
Di tempat lain, ada seseorang yang membanting ponsel saking kesalnya.
(Bersambung)
Lanjut lagi di part 11 yaa..
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=222550098359275&id=211459742801644
Awas, ojo bayangin macam-macam 😂
**********
NOTES :
• Kaya ngenteni udan ing mangsa ketiga : seperti menunggu hujan di masa kemarau.
• Tresna kuwi kaca criping tela. Isa ajur yen ora ngati-ati le nggawa : seperti keripik singkong, begitulah perumpamaan cinta. Bisa hancur jika kau tidak hati-hati membawanya.
• Sumber gambar : kartun kawanimut
0 comments:
Posting Komentar