CANTING PART 9 / #cantingpart9
Oleh Fissilmi Hamida
Hadi mendesah. Sudah hampir 2 jam lamanya ia berbaring di samping istrinya, tapi kedua matanya belum mau terpejam juga. Push up 50 kali yang ia lakukan beberapa saat tadi juga tidak memberikan efek apa-apa. Matanya masih terus terbuka. Tidak ada sedikitpun rasa kantuk di sana. Geletar-geletar dahsyat yang menghinggapi raganya karena ini pertama kalinya ia seranjang dengan seorang gadis, membuat keadaannya semakin nelangsa. Apalagi gadis itu adalah sosok yang teramat dicintainya.
"Tahu begini, aku tidak akan minum kopi tadi," batinnya lagi.
Sosok di sebelahnya tetiba beringsut, mengubah posisinya meski matanya masih terpejam. Kini sosok itu menghadap padanya dan Hadi bisa bebas memandanginya. Istrinya tampak begitu lelah.
Hadi tersenyum. Angannya melesat jauh ke masa itu, masa di mana ia pernah melihat hal yang sama. Malam itu ia pulang agak larut dari biasanya lantaran tugas kuliah yang harus segera diselesaikannya. Saat ke dapur untuk mengambil segelas minuman dingin, ia melihat Sekar kecil tengah terlelap di kursi ujung dapur. Ekspresi wajahnya saat tidur, sama persis dengan yang dilihatnya kini. Hanya saja nuansanya berbeda. Jika dulu rasa gemas yang dirasakannya, sekarang rasa menggelora yang menggelayutinya.
Hati Hadi berdesir. Perlahan, ia mengangat kepalanya, lalu mendekatkannya ke wajah istrinya. Kini keduanya tak lagi berjarak. Hidungnya bahkan sudah menempel pada hidung mbangir sang istri. Rasanya ia tak tahan lagi. Naluri kelelakiannya membuatnya hampir saja tak bisa menahan diri, tapi kemudian ia kembali ingat pesan Haryo di resepsi tadi.
"Sabar, Di, sabar...," bisiknya pada dirinya sendiri.
Hadi memutuskan untuk bangkit dari tempat tidur setelah memberikan satu kecupan mesra di dahi istrinya, meluruskan badan sejenak, lalu beranjak meninggalkan ranjang kayu ukir yang ia tempati di kamar president suite di resort itu. Ia kini berdiri di depan pintu kaca kamarnya yang mengarah langsung ke pemandangan pantai, sembari menarik nafas dalam-dalam selama beberapa kali untuk membantunya meredam gejolak dalam dirinya yang masih menjadi-jadi.
Setelah 5 menit keheningan, manik matanya kemudian menangkap sesuatu yang tergeletak di atas meja, ponselnya yang sejak pagi belum disentuhnya. Pasti banyak ucapan-ucapan selamat di sana.
Hadi meraihnya. Ada satu pesan menarik perhatiannya, pesan dari Ajeng. Sepertinya baru saja dikirimkan, hingga pesan itu berada di atas sendiri. Hadi ragu untuk membukanya, apalagi ada 5 panggilan tak terjawab yang juga berasal darinya. Tak tahukan Ajeng bahwa ia sedang menghabiskan malam pengantinnya? Ya, walaupun memang malam pengantinnya harus ia lalui sendirian lantaran sang istri terlelap duluan.
Jemarinya perlahan membuka pesan itu.
[ Mas...]
[ Kenapa nggak angkat teleponku? ]
[ Nggak mungkin kan kamu sudah tidur jam segini? ]
Hadi mendesah. Pesan itu dikirimkan saat ia makan bersama Sekar tadi. Ajeng betul-betul tidak tahu diri.
[ Aku tahu ini malam pengantinmu, Mas. ]
[ Hanya saja aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. ]
[ Apa kamu suka dengan kedatanganku tadi di resepsimu? ]
Hadi membaca pesan selanjutnya. Punggungnya kini bersandar di dinding kamarnya. Ia kembali teringat gaya Ajeng saat datang ke resepsinya tadi. Dandanan paripurna, juga ucapan selamat dengan bahasa Perancis sempurnanya. Sesuatu yang menurutnya disengaja. Hadi mendengus kesal. Ajeng yang menyenangkan, kenapa sekarang jadi begitu menyebalkan?
Hadi menilik istrinya. Sosok manis itu masih terlelap dengan wajah tenangnya. Hadi kemudian berjalan perlahan keluar kamar, meninggalkan istrinya terlelap sendirian.
Ada pepatah Jawa yang berbunyi 'kesrimpet bebed kesandung gelung' yang berarti terjerat bebed dan tersandung gelung. Bebed adalah kain jarik yang dipakai oleh lelaki Jawa pada jaman dulu, sedang gelung adalah tatanan rambut tradisional para wanita jawa, seperti sanggul. Peribahasa ini menggambarkan keadaan seorang lelaki yang sudah berumah tangga, namun terjerat cinta perempuan lain di luar pernikahannya.
[ Mas...]
[ Mas, balaslah ]
Hadi kembali mendesah. Ia tidak mau hal seperti itu terjadi dalam pernikahannya. Hatinya mendadak gelisah. Entah mengapa ia merasa Ajeng sedang mencoba menjeratnya.
Jemarinya kembali bergerak di atas layar ponselnya. Malam ini ia harus bicara pada Ajeng untuk mempertegas semuanya. Hadi melihat bagian atas di ujung kanan ponselnya. Hampir pukul 12 malam.
"Halo," jawab suara di seberang sana. Hadi memejamkan mata beberapa saat sebelum menjawabnya.
"Hai, Jeng. Bisa bicara sebentar?" tanyanya.
"Tentu saja!" jawab Ajeng. Terdengar jelas ada rona suka cita di sana.
"Kamu tidak bertanya kenapa aku belum tidur, Mas?" tanyanya manja. Hadi mendengus kesal mendengarnya.
"Jeng, aku ingin mempertegas semuanya. Aku tidak tahu apa maksudmu berkali kali mengirimkan pesan dan bahkan meneleponku di malam pengantinku. Apakah menurutmu itu pantas, huh?" Amarah mulai menaiki ubun-ubunnya, namun ia berusaha meredamnya.
Ajeng diam saja. Hanya hembusan nafasnya saja yang terdengar di telinga Hadi.
"Apa kamu tidak tahu kalau malam pengantin itu artinya aku sedang bersama istriku?" cercanya lagi, dengan intonasi yang mulai meninggi.
"Aku... tidak ada maksud apa-apa, Mas. Aku... aku hanya tidak bisa berhenti memikirkanmu," jawabnya. Perlahan, isakannya mulai terdengar.
"Jeng, jujur aku tidak nyaman dengan semua sikapmu. Aku berterimakasih kamu datang ke acara resepsiku. Tapi dandananmu yang seperti itu, apa maksudnya itu? Aku tidak akan tergoda kecantikanmu meskipun kamu berdandan seperti itu. Lalu mengucapkan selamat dengan bahasa Perancis, come on, Jeng. Aku tahu yang ada di pikiranmu," kata Hadi. Ajeng sedikit terhenyak karenanya. Beruntunglah layar telepon tidak mampu merekamnya, hingga ia bisa menyembunyikan ekspresi keterkejutannya.
"Apa salahnya berdandan sempurna untuk menghadiri hari spesial, Mas? Soal bahasa Perancis, aku hanya ingin mengucapkan itu dengan bahasa yang menurutku adalah bahasa paling romantis," jelasnya.
Hadi kembali mendengus.
"Aku tahu bukan itu maksudmu," sanggahnya.
Sejenak hening.
"Iya. Aku memang sengaja berdandan sempurna agar Mas sadar bahwa secara fisik, aku lebih paripurna. Mas pasti lihat bagaimana aku menjadi pusat perhatian saat aku datang. Beberapa dari mereka semua menoleh padaku dan mengabaikan sosok yang berdiri di sebelahmu."
Hadi mengepalkan tangan mendengarnya.
"Aku juga sengaja memakai bahasa Perancis untuk menunjukkan kalau secara intelektual, aku juga jauh lebih baik. Well, tapi lumayan lah, dia bisa menjawab ucapanku dalam bahasa Perancis juga. Kamu pasti berusaha keras mengajarinya ya, Mas? Tapi tetap saja, aku tidak sebanding dengannya," sambung Ajeng lagi, membuat amarah Hadi semakin menjadi-jadi. Rasanya sakit mendengar istri tercintanya direndahkan seperti ini.
Sungguh, benarlah kata orang bahwa cinta itu buta, dan Ajeng sedang menunjukkanya. Ajeng yang selama ini dikenalnya, tiba-tiba saja menjelma menjadi sosok yang begitu berbeda.
Hadi kembali menghela napas untuk meredam amarahnya.
"Jeng, tolong mengertilah. Aku sudah menikah. Jangan seperti ini. Ini membuatku tidak enak hati. Kita memang tetap bisa berteman, tapi tetap harus ada batasan. Ingat. Aku adalah suami orang," kata Hadi kemudian, berusaha agar amarahnya tidak meluap.
"Tidak bisa, Mas. Sudah terlambat. Cinta di hatiku untukmu sudah mengakar terlalu dalam. Aku akan memperjuangkanmu. Aku akan menunggumu sampai kamu membalas perasaanku," kata Ajeng. Entah apa yang ada di benaknya.
"Jeng, dengarkan aku. Menungguku membalas perasaanmu itu sama dengan menunggu tumbuhnya jamur di musim kemarau. Kaya ngenteni thukule jamur ing mangsa ketiga. Sia-sia. Aku tidak akan pernah punya rasa yang sama karena hatiku sudah dimiliki olehnya," jelas Hadi.
Lalu hening. Keduanya sejenak bergeming dalam keheningan masing-masing.
"Umm, bagaimana malam pengantinmu, Mas?" tanya Ajeng kemudian, memecah keheningan. Hadi tersentak. Ia tidak tahu kenapa Ajeng menanyakan hal itu.
"Aku yakin malammu tidak berjalan lancar. Karena kalau lancar, kamu tidak akan sempat melihat ponselmu, apalagi menghabiskan waktu untuk meneleponku."
Kali ini ucapan Ajeng benar-benar membuatnya kesal, sekaligus menyesal. Seharusnya ia biarkan saja ponselnya tadi tetap tergeletak di atas meja. Hadi merutuki dirinya.
"Tentu saja malam pengantinku berjalan sempurna. Aku meneleponmu untuk menegaskan agar kamu berhenti mengganggu malam pengantinku bersamanya. Asal kamu tahu saja. Aku punya waktu untuk meneleponmu karena ini jeda waktu sebelum aku melanjutkan kembali malamku bersamanya. Aku sengaja memberikan waktu untuknya beristirahat sejenak sebelum kami kembali memadu cinta!" kata Hadi, sukses membungkam Ajeng yang sejurus kemudian langsung mematikan teleponnya, tanpa satupun kata untuk mengakhirinya.
"Argh!"
Hadi berteriak cukup keras untuk mengeluarkan kekesalannya. Dadanya bergemuruh begitu kencang saat mendengar Ajeng mengolok malam pengantinnya meski memang malam pengantinnya belum berjalan sebagaimana mestinya. Ia juga tak bisa menerima saat Ajeng memandang rendah istri yang baru tadi pagi dinikahinya.
"Bodoh, kamu, Di. Bodoh!" Ia terus merutuki kecerobohannya.
Hadi berjalan perlahan, lalu mendudukkan dirinya di tepi kolam renang, membasuh wajahnya sejenak, berharap segarnya air di wajahnya akan memberinya sedikit ketenangan.
Hadi terkesiap saat ada yang tiba-tiba menyentuh bahunya. Ia menoleh. Semakin terkesiap saat ia melihat siapa sosok yang baru saja menyentuh punggungnya.
"Mas Hadi kenapa di sini?" tanyanya. Kelembutannya betul-betul mempesona.
"Aku... aku tidak bisa tidur," jelas Hadi, sedikit terbata. Tidak mungkin ia menjelaskan yang sebenarnya.
"Maaf saya tidur duluan tadi. Saya nerasa lelah sekali," katanya. Rasa bersalah jelas tergambar di wajah ayunya.
Hadi tersenyum. Melihat Sekar, sosok yang dicintainya menyusulnya, membuatnya sejenak lupa pada hal menyebalkan yang baru saja dialaminya.
Hadi bangkit dari tepi kolam. Kini keduanya saling berhadapan.
Sekar sedikit terhenyak saat tiba-tiba Hadi merengkuhnya. Pelukannya terasa begitu erat dan... hangat. Tak ada satupun kata yang terucap di antara keduanya, Sekarpun tak tahu harus berkata apa. Tapi ia tahu, ada cinta yang berusaha Hadi salurkan melalui rengkuhannya sehingga ia membiarkan saja Hadi bergeming pada posisinya.
Perlahan, ia membalas pelukan Hadi dengan melingarkan kedua tangan ke pinggangnya. Hadi tersenyum karenanya.
"Kenapa kamu menyusulku, hmm? Apa kamu merindukanku?" tanya Hadi sambil menhadiahkan sebuah kecupan di kening, tanpa sedikitpun melepaskan pelukan eratnya.
"Saat saya terbangun, Mas Hadi tidak ada di kamar. Saya lihat pintu kamar sedikit terbuka. Jadi saya susul saja Mas keluar," jelasnya.
Hembusan angin membelai wajah keduanya.
Hadi melepaskan pelukannya, namun kedua tangannya kini beralih memegang kedua pipi istri tercintanya. Keduanya kini saling beradu pandang. Sekar kembali merasakan getaran. Namun anehnya, kali ini getaran itu bukan berupa getar ketegangan, melainkan getar kenyamanan. Sesuatu yang juga ia inginkan. Entah apa sebabnya.
"Sekar...," panggil Hadi perlahan.
"Iya, Mas," jawab Sekar. Kali ini ia berani membalas pandangan mesra suaminya.
Sekar memejamkan kedua matanya saat Hadi perlahan mendekatkan wajahnya, hingga tak ada lagi jarak di antara keduanya. Ia terus pasrah atas perlakuan manis suaminya, bahkan saat sejurus kemudian lengan kokoh itu kembali menggendongnya menuju peraduan mereka. Lalu terjadilah apa yang seharusnya terjadi di malam perayaan cinta mereka, sesuatu yang sejak berjam-jam tadi Hadi bersusah payah menghalau gejolaknya. Kini purna sudah, tugas pertamanya terlaksana dengan sempurna.
Hadi tersenyum. 2 cangkir kopinya ternyata tidak sia-sia.
**********
"Kamu pernah dengar tentang legenda Mimi dan Mintuna?" tanya Hadi pada sosok yang digandengnya saat mereka berdua berjalan menutu tempat sarapan. Sekar mengangguk.
"Iya, Mas. Saat kita menikah, banyak yang berpesan begitu. Dadia kaya Mimi lan Mintuna, jadilah seperti Mimi dan Mintuna. Tapi aku belum tahu mereka apa. Yang aku tahu, mereka adalah simbol kesetiaan," jawab Sekar. Jilbab merah mudanya berkibar tertiup angin. Begitu juga dengan baju merah mudanya dengan bunga-bunga putih yang menghiasinya.
Hadi tersenyum. Istrinya sudah tidak menyebut dirinya 'saya' seperti sebelum-sebelumnya, bukti bahwa tak ada lagi jarak majikan dan rewang di antara keduanya.
"Aku juga tidak tahu pasti. Tapi aku pernah membaca, Mimi dan Mintuna ini adalah sejenis hewan di perairan dangkal di kawasan mangrove. Sekilas bentuknya seperti serangga, tapi memiliki cangkang seperti kepiting. Mimi sebutan bagi yang jantan, mintuna sebutan bagi yang betina. Dijadikan simbol kesetiaan, karena hewan ini monogamik, hanya setia pada satu pasangan. Tidak berganti-ganti. Kabarnya, jika dipisahkan dari pasangannya, maha hewan ini akan mati. Tapi aku belum menemukan penjelasan ilmiah soal yang ini. Yang pasti, aku ingin kita seperti mereka. Terus bersama hingga maut memisahkan kita," jelas Hadi panjang lebar, sambil terus memberikan tatapan hangat pada Sekar.
"Kenapa mimi dijadikan sebagai nama yang jantan? Mimi lebih pantas jadi nama yang betina. Yang jantan seharusnya yang mintuna," kata Sekar kemudian, sembari menyeruput teh hangatnya, beberapa saat setelah mereka sampai di tempat sarapan. Hadi terpingkal mendengarnya.
"Boleh aku minta tehmu?" kata Hadi kemudian. Sekar yang masih menyeruput tehnya langsung meletakkan kembali cangkirnya dan menyodorkannya ke hadapan Hadi. Tapi Hadi bergeming. Ia diam saja dengan wajah mesam-mesem, senyum-senyum sendiri.
"Tanganku lelah sekali setelah menggendongmu dua kali. Untuk mengangkat cangkir saja sekarang aku tidak kuat. Bisa tolong mendekat dan bantu aku meminum teh itu dengan tanganmu?" pintanya sambil mengerling manja.
Sekar tersipu. Tak menyangka Hadi seromantis dan semanja itu. Pelan, disodorkannya cangkir teh itu dengan tangannya. Hadi meminumnya, dengan manik mata yang terus menatap istri tercintanya. Beberapa pasang mata memperhatikan mereka berdua. Tanpa penjelasan, mereka pasti tahu bahwa keduanya adalah sepasang pengantin baru yang tengah menikmati bulan madunya.
"Aku ke toilet sebentar ya," kata Hadi sambil meletakkan ponselnya di atas meja. Sekar mengangguk mengiyakan.
Tiba-tiba ponsel itu berbunyi saat punggung Hadi sudah tak tampak lagi. Sekar melihatnya sekilas. Namun meski hanya sekilas, isi pesan itu tampak jelas.
[ Pagi, Mas. Terimakasih teleponnya semalam. Love you 😙 ]
Selera makan Sekar mendadak hilang.
(Bersambung)
lanjut di part 10
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=222548198359465&id=211459742801644
**********
NOTES :
• Mbangir : mancung
• Kaya ngenteni thukule jamur ing mangsa ketiga : peribahasa jawa, artinya menunggu sesuatu yang sia-sia.
• Sumber gambar : kartun kawanimut
**********
●All rights reserved. Bukan untuk diplagiat atau dicopy paste.
**********
Kan, jangan terburu-buru menilai sesuatu. Dua cangkir kopi itu ternyata tidak sia sia 😅
Kira-kira habis lihat pesan itu, reaksi Sekar gimana ya? 😦
0 comments:
Posting Komentar