#Mengejar_Cinta_Rianti
#Episode_14
Terima kasih admin/moderator yang telah berkenan untuk menyetujui tulisan ini.
Terima kasih pembaca setia Rianti.
Rianti merebahkan kepalanya ke pangkuan mamanya. Sang mama mengusap lembut rambut anak gadisnya.
“Kenapa kamu menerima Afdi, Nak?” Bu winda bertanya seraya memainkan anak rambur Rianti. Mata Rianti menerawang, ingatannya kembali pada sang ayah tercinta yang telah tiada. Andai ayahnya masih ada, Rianti yakin semua ini tidak akan terjadi. Setelah menarik napas panjang, Rianti menjawab pertanyaan mamanya.
“Kita butuh seseorang untuk tempat bersandar, Ma. Bukan dari segi materi, tetapi berempat saja melewati hari-hari tanpa seorang laki-laki yang bisa melindungi, rasanya teramat gamang.” Pandangan Rianti pun mendadak menjadi kabur.
“Apakah kamu memiliki perasaan pada Afdi? Sedikit saja.” Bu Winda menarik tubuh Rianti untuk duduk dan mereka kini berhadapan.
“Entahlah, Ma. Tetapi yang pasti Mas Afdi memiliki perasaan cinta yang besar pada Rianti. Itu terbukti dari kesungguhannya sehingga datang untuk meminang Rianti.” Rianti mencoba mengalihkan tatapannya dari tatapan menyelidik sang mama. Bu Winda menarik napas panjang, jujur ia tidak ingin jika anak gadisnya mengorban diri hanya demi dirinya dan kedua adiknya.
“Baiklah, jika keputusanmu memang telah bulat, Mama hanya bisa mendukung. Siapa pun itu, asal bisa membuatmu bahagia, Mama juga akan bahagia.” Bu Winda lalu membawa Rianti ke dalam pelukannya. Rianti memeluk mamanya dengan erat. Butiran bening mengalir satu demi satu membasahi pipinya.
Beberapa waktu terakhir mengurus masalah perusahaan seornag diri, mengurus hutang-hutang perusahaan dan mengurus mama serta kedua adiknya, jujur membuat Rianti merasa sudah tidak kuat lagi. Rianti merasa butuh tempat bersandar. Dan Rianti melihat Afdi sebagai laki-laki yang baik, bertanggung jawab, dan peduli pada keluarganya. Ketika papanya meninggal, Afdi lah orang pertama yang sibuk mengurus semuanya, mulai dari urusan rumah sakit, kepulangan papanya, pemakaman, sampai tahlilan di rumah mereka. Rianti merasa ia memiliki alasan untuk menerima Afdi.
Jika ditanya hatinya, jujur ia belum memiliki rasa apa-apa pada laki-laki itu. Tetapi Rianti yakin, kebersamaan mereka nantinya akan membuat rasa itu perlahan hadir dan tumbuh di hatinya. Jika ditanya tentu Rianti lebih memilih Rio, laki-laki yang mampu menghadirkan getaran di hatinya. Namun apa hendak dikata, Rio seperti menghindar dari rasa yang ada di antara mereka. Benar jika sikap Rio menunjukkan kalau laki-laki itu juga menyayangi Rianti. Tetapi jika Rio hanya menganggap dirinya hanya sebatas sahabat, bagaimana Rianti harus memaksakan perasaan cintanya?
“Ma, kita mulai ngepak barang ya. Mungkin minggu depan kita sudah harus pindah ke rumah baru kita, Ma.” Rianti menghapus pipinya yang basah lalu segera bangkit dari duduknya.
“Ya, Nak. Kita hanya perlu membawa barang-barang yang penting saja. Tidak usah dibawa semua karena pasti tidak akan muat juga di sana, kan?” Bu Winda ikut berdiri.
“Kardus sudah Rianti beli kemarin, Ma. Kita mulai dari kamar Mama dulu, ya, Setelah itu kamar Siska dan Amelia. Baru kamar Rianti.” Rianti beranjak menuju lemari pakaian mamanya. Tetapi tiba-tiba Rianti bergegas menuju lemari tas yang terletak di samping lemari pakaian sang mama.
“Ma, ini lemari tas Mama kok sudah kosong? Tas-tasnya sudah mama packing semua?” Rianti membuka lemari tempat memajang koleksi tas mamanya. Hanya tertinggal dua buah tas saja di dalamnya. Bu Winda mendekati Rianti dan memegang pundak anaknya itu dengan lembut.
“Maaf, jika Mama nggak bilang terlebih dahulu. Beberapa hari yang lalu, teman-teman mama ke sini, dan mereka berminat dengan tas-tas Mama. Jadi Mama pikir daripada tidak terpakai, kan lebih baik Mama jual saja.” Bu Winda berusaha tersenyum pada Rianti. Rianti mematung. Akhirnya mereka benar-benar sampai pada kondisi seperti ini. Rianti tahu, mamanya juga tengah berupaya untuk mendapatkan uang. Berarti uang wisuda Siska yang katanya sudah dibayar berasal dari uang penjualan tas-tas ori mamanya ini.
“Berarti uang wisuda Siska kemarin dari uang penjualan tas mama?” Rianti memegang pintu lemari dengan tubuh bergetar. Ia harus siap, harus siap dengan kondisi mereka yang mungkin akan mulai dari nol lagi.
“Ayo, kita keluarkan baju-baju Mama. Katanya mau bantu Mama packing pakaian.” Bu Winda menarik tangan anaknya menuju lemari pakaian.
“Padahal tas-tas itu hadiah dari Papa kan, Ma? Tas-tas itu memiliki kenangan dengan Papa.” Suara Rianti terdengar lirih. Dadanya kembali terasa sesak.
“Sayang, kenangan dengan Papa tidak terletak pada barang-barang seperti itu. Kenangan dengan papa ada di hati kita.” Bu Winda berkata seraya membawa tangan Rianti ke dadanya. Tetapi tak bisa juga ditahannya genangan air di pelupuk matanya. Dan wanita cantik itu pun terisak. Rianti merengkuh pundak mamanya dan membawanya ke dalam pelukannya.
“Sstt … sudah, Ma. Mama benar, kenangan dengan Papa akan sellau abadi di hati kita. Ayo kita mulai berberes.” Rianti menepuk-nepuk lembut bahu mamanya. Lalu mereka berdua pun mulai mengeluarkan isi lemari sang mama. Menumpuknya di atas kasur. Rianti turun ke bawah untuk mengambil kardus kosong yang telah dibelinya kemarin.
****
Malam ini Rianti sekeluarga diundang untuk makan malam di rumah Afdi. Rianti memakai rok berwarna coklat tua dengan atasan coklat muda. Dipadu jilbab bermotif dengan warna senada. Siska dan Amelia kali ini terlihat kompak dengan celana berbahan katun dan kemeja polos dengan warna senada. Sementara Bu Winda terlihat anggun dengan gamis berwarna hitam dipadu jilbab syari berwarna maroon. Mereka telah ditunggu oleh supir Afdi, Pak Didi.
Setelah pamit pada Mbok Uun, Bu Winda dan ketiga anak gadisnya bergegas menuju mobil yang telah terparkir di luar pagar. Pak Didi membukakan pintu untuk para wanita yang akan diantarnya menuju rumah sang majikan.
“Maaf … jadi menunggu, Pak.” Rianti mengangguk sopan pada laki-laki paruh baya itu.
“Ah, nggak lama kok non. Baru saja saya sampai.” Pak Didi pun tersenyum dan mengangguk sopan pada Rianti dan mamanya.
Setelah mereka berempat masuk ke mobil, Pak Didi menutupkan pintu dan berbalik arah menuju tempatnya. Perlahan mobil meninggalkan rumah Rianti menuju rumah Afdi. Ibu kota di malam hari terlihat gemerlap dan megah. Jalan layang, gedung-gedung pencakar langit, mall-mall yang terlihat benderang, semua menyempurnakan sosok metropolitan kota yang tak pernah tidur ini. Hampir satu jam mereka menikmati keindahan kota Jakarta di malam hari, akhirnya mereka pun sampai di rumah keluarga Afdi.
Sebuah rumah yang megah dengan pagar tinggi sebagai pelindungnya. Seorang satpam membukakan pintu pagar, mobil pun memasuki halaman yang sangat luas. Mobil berhenti di depan garasi. Pak Didi kembali bergegas membukakan pintu. Rianti, Bu Winda, Siska dan Amelia turun dan merapikan sejenak pakaian mereka. Pintu depan terbuka, terlihat Bu Aini, Pak rahmat dan Afdi berdiri menunggu kedatangan mereka di depan pintu. Rianti dan keluarganya mengucapkan salam dan menyalami calon keluarga baru mereka.
“Hai, Sayang, kamu terlihat sangat cantik mala mini.” Bu Aini mencium pipi kiri dan kanan Rianti dan tersenyum dengan perasaan sayang pada calon menantunya. Rianti tersipu mendengar pujian dari Ibu Afdi tersebut. Afdi yang sedari tadi tak mengalihkan tatapannya dari gadis yang sedang menyalami papa dan mamanya itu ikut tersenyum mendengar pujian sang mama. Apalagi melihat wajah tersipu malu Rianti.
“Makasih, Tante.” Rianti membalas senyum Bu Aini dan kembali menundukkan wajahnya begitu merasakan tatapan Afdi yang begitu lekat padanya.
“Panggil Mama dong, Sayang. Kok Tante, sih. Sebentar lagi kamu akan menjadi anak Tante.” Bu Aini mengerling menggoda Rianti.
“Eh, iya, Ma.” Rianti meralat kembali ucapannya. Setelah itu Bu Winda pun menyalami Bu Aini. Disusul oleh Siska dan Amelia.
“Ayo, mari kita masuk.” Bu Aini mempersilakan Aini dan keluarganya untuk masuk. Mereka pun masuk dan menuju ruang tamu yang terlihat sangat mewah. Sofa dengan nuansa coklat susu, dipadu dengan karpet bulu tebal yang menutup sebagian lantainya. Sebuah lemari kaca berukuran besar yang memajang berbagai jenis pajangan bernilai tentunya.
“Bagaimana kabarmu?” Afdi melirik Rianti yang berjalan di sisinya memasuki rumah.
“Alhamdulillah, baik, Mas.” Rianti tersenyum pada Afdi. Sedetik Afdi merasa jantungnya berhenti berdetak melihat senyum manis Rianti padanya. Dulu semasa gadis ini masih menjadi pegawainya, Afdi belum pernah melihat gadis ini tersenyum padanya. Malah wajah cantiknya selalu terkesan jutek dan tak ramah pada dirinya. Dan anehnya, Afdi bisa merasakan sikap itu hanya pada dirinya seorang. Kalau pada yang lainnya, Rianti selalu terlihat baik dan ramah. Alhamdulillah, ,alam ini Afdi bisa mendapatkan senyum manis itu juga.
“Syukurlah.” Afdi membalas senyum Rianti. Mereka mengambil tempat duduk berhadapan. Rianti di samping mama dan kedua adiknya. Sementara Afdi di samping mama dan papanya.
“Bagaimana kabarnya, Bu Winda?” Bu Aini menatap Bu Winda dengan ramah.
“Alhamdulillah Bu Aini, kami sekeluarga baik. Rianti telah melakukan banyak hal untuk menyelesaikan masalah perusahaan dan masalah keluarga.” Bu Winda membalas senyum Bu Aini.
“Insyaallah setelah menikah, Rianti nggak akan sendiri lagi mengurus semua itu. Afdi akan menjadi tempat dia berbagi dan bersandar.” Bu Aini pun melirik anaknya yang sedikit terlihat tegang. Afdi tersenyum dan mengangguk.
“Ya, Ma. Insyaallah Afdi akan selalu mendampingi Rianti dalam suka maupun duka.” Afdi menatap Rianti dengan perasaan penuh cinta. Afdi sendiri heran, mengapa semakin hari ia semakin menyukai gadis di depannya ini. Sikap, ketegaran, dan cara gadis itu mengatasi semua permasalahan dalam perusahaan ayahnya dan permasalahan dalam keluarganya membuat Afdi benar-benar kagum.
“Buktikan omonganmu nanti setelah menikah.” Pak Rahmat kali ini angkat bicara seraya menepuk pundak anaknya.
“Tentu Pak. Afdi akan membuktika semua yang telah Afdi janjikan pada Rianti, pada Papa dan Mama dan juga pada keluarga Rianti.” Afdi tersenyum seraya memeluk pundak papanya. Pak Rahmat ikut tersenyum. Laki-laki paruh baya itu merasa senang anaknya telah tumbuh menjadi sosok yang bertanggung jawab.
“Ayo kita ke meja makan. Afdi ikut bantu Mama lho tadi Rianti menyiapkan segala sesuatunya.” Bu Aini berkata seraya melirik anaknya dengan mata menggoda. Wajah Afdi tak ayal memerah juga mendengar omongan mamanya. Bu Aini dan Pak Rahmat pun berdiri, diikuti oleh Rianti, Bu Winda, Siska dan Amelia. Mereka menuju ruang makan. Di Ruang makan, Bi Inah telah menunggu kedatangan majikan dan tamunya.
“Silakan Bu Winda, Rianti, Siska dan Amelia.” Bu Aini mempersilakan para tamunya untuk mengambil tempat.
“Terima kasih, Bu.” Bu Winda menarik kursi di hadapan Bu Aini dan Pak Rahmat. Siska dan Amelia mengikuti mama mereka. Afdi bergegas menarik kursi begitu Rianti akan duduk. Rianti tertegun dengan sikap romantic Afdi.
“Makasih, Mas.” Rianti mengangguk. Afdi tersenyum dan duduk di hadapan Rianti. Bu Aini dan Pak Rahmat senyum-senyum melihat tingkah anak mereka yang terlihat sedang kasmaran. Tidak berapa lama mereka pun mulai menyantap hidangan yang disediakan. Afdi mencoba berkonsentrasi dengan makanannya, karena matanya selalu ingin melirik ke arah Rianti. Rianti seperti biasa mencoba makan dengan santai. Sementara Siska dan Amelia terlihat makan dengan bersemangat. Berkali-kali Bu Aini menawarkan ini itunya kepada Rianti dan keluarganya. Sebagai tuan rumah, wanita cantik itu ingin melayani tamu-tamunya dengan baik. Apalagi tamunya adalah calon menantu dan calon besannya.
Setelah selesai makan malam, Bu Aini mengajak Rianti dan keluarganya untuk duduk di ruang keluarga. Afdi yang duduk di samping Rianti terlihat sedang memainkan ponsel di tangannya. Entah mengapa, tiba-tiba Afdi merasa deg-degan berada di dekat gadis itu. Padahal ia bukan lagi ABG yang baru jatuh cinta.
“Besok kamu sudah ada agenda nggak? Aku mau ngajak kamu nyari cincin sekalian kita ketemu sama WO untuk memilih gaun pengantin yang kamu inginkan.” Afdi menyampaikan niatnya pada Rianti.
“Belum ada. Insyaallah Rianti bisa. Jam berapa, Mas?” Tanya Rianti.
“Kalau pukul 10.00 gimana?”
“Oke. Pukul 10.00. Mas yang jemput atau Rianti yang ke kantor?”
“Kamu dijemput sama Pak Didi aja nggak apa-apa? Nanti ke kantor dulu, baru kita jalan, ya. Ajak Siska atau Amelia kalau kamu malas berangkat sendiri.”
“Ya, Mas. Tapi nanti di kantor Rianriti tunggu di mobil aja, ya, Mas?”
"Kenapa?"
"Rianti segan ketemu orang kantor, Mas. Nanti mereka tahu kalau Rianti adalah calon istri Mas."
"Nanti-nanti juga bakal tahu kalau kamu istri Mas."
"Kalau nanti-nanti nggak apa-apa, Mas. Jangan sekarang. Rianti belum siap." Rianti menunduk.
"Kamu malu punya calon suami seperti Mas?" Afdi menekan nada suaranya agar tidak didengar oleh mamanya yang sedang asyik bicara dengan mama Rianti. Rianti mendongak, kaget mendengar ucapanAfdi.
"Ya ampun, bukan gitu Mas. Apa nggak sebaliknya tuh, Mas yang malu kali sama Rianti. Masa direktur calon istrinya cleaning servis." Rianti mencibir ke arah Afdi. Afdi gemas melihat ekspresi wajah Rianti.
"Nggak lah, kalau Mas mah bangga punya calon istri seperti kamu, cantik, baik hati, tangguh, pokoknya semua kriteria seorang istri ada sama kamu." Afdi menatap Rianti dengan tatapan penuh binar cinta. Kata-kata Afdi tak ayal membuat pipi Rianti merona juga.
"Pak direktur udah bisa gombal juga ya sekarang." Rianti kembali mencibir. Afdi memegang dadanya menahan gemuruh dan gejolak hatinya. Duh, Tuhan tidak bisakah waktu dipercepat agar ia bisa segera menghalalkan perempuan di sampingnya ini?
"Gombal sama calon istri sendiri tak apalah." Afdi tersenyum seraya menepuk punggung tangan Rianti.Rianti langsung menarik tangannya.
"Maaf." Afdi mengangkat dua tangannya ke dada.
"Berrati besok aku tunggu di kantor, ya?" Afdi kembali menegaskan pada Rianti akan janji mereka untuk bertemu esok hari.
"Iya, tapi nunggu di mobil, ya." Rianti pun menegaskan kembali ucapannya tadi.
"Oke, nego kamu diterima." Afdi mengedipkan matanya pada Rianti. Rianti tersenyum.
Sementara Bu Aini dan Bu Winda masih terlihat tengah asyik membicarakan seputar acara akad nikah dan pesta pernikahan Afdi dan Rianti. Meski acara pesta diserahkan pada WO, tetapi Bu Aini merasa masih banyak juga yang harus mereka lakukandan persiapkan. Terutama acara pada akad nikah.
“Maaf, nih, Bu Winda, tidak bermaksud apa-apa, kami mengusulkan bagaimana kalau akad nikah kita selenggarakan di rumah ini saja. Mengingat di rumah sana kita baru kemalangan, abru juga lepas empat puluh hari Pak Arif. Selain itu, kami juga tidak ingin membuat Bu Winda menjadi repot di tengah suasana yang mungkin masih berkabung.” Bu Aini berkata dengan sangat hati-hati pada Bu Winda. Bu Winda mendengarkan perkataan Bu Aini dengan lapang dada. Semua yang disampaikan calon besannya itu memang benar adanya.
“Iya, Bu. Saya sebagai orang tua Rianti, insyaallah akan ikut apa yang Bu Winda rasa terbaik untuk kita semua. Saya tidak mempermasalahkan jika akad nikah akan kita laksanakan di sini. Malah saya berterima kasih karena Bu Winda sekeluarga sangat memahami kondisi kami.” Bu Winda berkata seraya tersenyum mengerti pada Bu winda.
“Alhamdulillah.” Bu Aini menarik napas lega. Setelah itu mereka kembali membicarakan hal-hal yang dirasa perlu untuk keperluan akad nikah. Sementara Siska dan Amelia terlihat asyik di taman belakang menikmati suasana di kolam renang dengan lampu-lampu taman yang indah.
Pukul 21.30, Rianti dan keluarganya pamit pulang.
“Aku yang antar, ya? Kasihan Pak Didi pasti sudah istirahat.” Afdi menjajari langkah Rianti ke luar rumah.
“Ya, Mas.” Rianti mengangguk. Rianti dan keluarganya berpamitan pada Bu Aini dan Pak Rahmat.
“Kalau ada apa-apa, jangan sungkan-sungkan hubungi Mama.” Bu Aini mencium pipi kiri dan kanan Rianti.
“Ya, Ma. Makasih, ya, Ma.” Rianti mengangguk. Rianti merasa tersentuh, Bu Aini begitu baik kepadanya dan kepada keluarganya. Baru saja Afdi membukakan pintu mobil depan untuk Rianti, sebuah mobil Fortuner hitam memasuki halaman dan berhenti di samping mobil Afdi. Afdi menutup kembali pintu mobilnya sebelum Rianti naik begitu melihat mobil siapa yang datang. Seseorang turun dari mobil tersebut.
“Hai, tumben lo pulang malam-malam begini. Ada angin apa?” Afdi menyambut saudaranya dengan wajah semringah. Laki-laki yang ternyata Rio itu tersenyum mendengar kata-kata sambutan kakaknya.
“Wah, ada tamu ternyata.” Rio mengangguk pada Rianti dan Bu Winda. Rianti terpaku. Sosok itu berjarak begitu dekat dengannya. Gemuruh di dadanya kembali berpacu. Rianti tersenyum sekilas pada Rio. Rio menyalami Bu Winda dengan santun.
“Lo nginap kan? Gue ngantar Rianti dulu, ya.” Afdi memukul pundak Rio yang terkesan tak mengacuhkannya.
“Iyalah, mau tidur di mana lagi gue. Memang mau jadi anak durhaka. Ya kan, Ma.” Rio memeluk mamanya. Bu Aini tersenyum dan balas memeluk Rio. Bagi Bu Aini, Afdi dan Rio tak ada bedanya. Wanita ini menyayangi keduanya dengan seimbang.
Afdi membukakan pintu kembali untuk Rianti. Sementara Rio melepaskan pelukan mamanya dan berjalan menuju mobil Afdi. Laki-laki itu membukakan pintu belakang untuk Bu Winda dan kedua adik Rianti.
“Makasih, Nak Rio.” Bu Winda mengangguk dan tersenyum pada Rio.
“Ya, Bu. Sama-sama.” Rio membalas senyum Bu Winda. Rianti tanpa sadar ikut melirik pada Rio dan Rio pun sedang melihat ke arahnya. Tatapan mereka bertemu. Rianti buru-buru masuk ke mobil. Afdi yang tak menyadari tatapan Rianti dan Rio menutupkan pintu mobil. Rio menatap Rianti dari balik kaca mobil. Samar ia juga melihat Rianti sedang menatapnya. Tetapi Rianti buru-buru memalingkan wajahnya.
Rianti memasang sabuk pengamannya dan menatap lurus ke depan. Pelan Afdi pun memundurkan mobil ke luar dari halaman rumah. Rio masih berdiri dengan Bu Aini dan Pak Rahmat melihat kepergian Rianti dan keluargnya. Rio menelan ludahnya. Hanya doa yang ingin disampaikannya, semoga wanita yang dicintainya bahagia. Rianti melakukan hal yang sama. Dalam hati ia pun mendoakan laki-laki yang selalu membuat desir indah di hatinya itu. Semoga Allah selalu melindungi laki-laki itu. Semoga Allah mengirimkan wanita terbaik untuknya. Karena ia juga laki-laki yang baik.
“Kenapa, ngantuk, ya?” Afdi menoleh pada Rianti melihat Rianti hanya diam.
“Eh, nggak, Mas.” Rianti tergagap dan mencoba tersenyum manis pada Afdi. Mulai hari ini, Rianti berjanji tidak akan lagi memikirkan Rio. Rianti akan menepikan segala rasa yang dimiliknya pada laki-laki itu. Rianti telah memilih. Dan ia harus bertanggung jawab dengan pilihannya itu.
Bersambung ….
0 comments:
Posting Komentar