CERBUNG MENGEJAR CINTA RIANTI 17

#MENGEJAR_CINTA_RIANTI
#EPISODE_17

Terima kasih admin/moderator yang telah berkenan menyetujui tulisan ini.
Terima kasih pembaca setia Rianti.
 
Bonus di hari libur ya pembaca ....

Rianti telah mengganti gaun pengantinnya dengan pakaian tidur berbahan satin. Setelan celana panjang dan blus lengan pendek. Baju tidur yang jauh dari kata seksi. Tubuh Rianti terasa begitu lelah, setelah seharian mengikuti rangkaian acara ijab kabul dan dilanjutkan malamnya dengan resepsi pernikahan di sebuah gedung di Jakarta Pusat. 

Rianti baru saja selesai menunaikan salat isya. Ia benar-benar ingin segera membaringkan tubuhnya. Tetapi, Rianti ingin menunggu Afdi yang masih membersihkan diri di kamar mandi. Rianti duduk di pinggir tempat tidur. Dadanya berdetak tak beraturan. Tangannya terasa panas dingin. 

Berada di kamar seorang laki-laki dan hanya berdua saja dengan laki-laki itu membuat Rianti merasa aneh. Ini pertama kali bagi Rianti berada sedekat ini dengan seorang laki-laki. 
“Belum tidur?” tiba-tiba Afdi telah berdiri di pintu kamar mandi dengan celana pendek dan kaos oblong warna putih. Rianti mendongak dan menatap Afdi dengan tatapan resah. Entah mengapa, ada ketakutan dan kegelisahan yang tak bisa diungkapkan oleh gadis cantik ini. Afdi mendekat dan mengusap kepala Rianti dengan lembut.

“Tidurlah, kamu pasti capek.” Afdi berkata dan tersenyum penuh pengertian pada Rianti. Rianti mencoba membalas senyum Afdi meski rasanya begitu kaku. Rianti lalu menggeser duduknya dan merangkak menuju pinggiran kasur satunya lagi. Pelan Rianti membaringkan tubuhnya dan menghadap ke dinding kamar. Terdengar suara kasur yang bergerak, Rianti yakin Afdi juga telah membaringkan tubuhnya di samping Rianti. Jantung Rianti berdetak semakin cepat. Tiba-tiba Rianti merasakan tubuhnya diselimutkan hingga ke bahu. Rianti menarik napas dalam menenangkan debaran di dadanya. 

“Selamat tidur, ya. Jangan lupa berdoa.” Afdi menyentuh pundak Rianti sekilas. Rianti hanya diam dan segera memejamkan mata. Ia ingin cepat-cepat tertidur. Sementara Afdi masih menatap punggung Rianti dengan berbagai perasaan yang campur aduk. 

Di antara rasa bahagia dan syukur yang dirasakannya, tiba-tiba Afdi juga merasakan keraguan. Bagaimanakah sebenarnya perasaan perempuan yang telah resmi menjadi istrinya ini padanya? Adakah dia memiliki perasaan yang sama dengannya? Tidak usah sebesar rasa cinta yang dimilikinya. Sedikit saja perasaan sayang untuk dirinya, sudah cukup lah sebagai modal mereka untuk membina rumah tangga.

Afdi merasa salah, tak pernah sekalipun menanyakan tentang perasaan Rianti padanya. Ia hanya tahu dengan perasaannya sendiri. Afdi menatap rambut Rianti yang terurai indah di atas bantal. Ingin sekali rasanya ia membelai, mendekap tubuh di depannya ini dan mengecup keningnya untuk mengatakan bahwa ia sangat mencintainya. Tidak perlu melakukan apa-apa yang lebih dari itu. Cukup tidur dengan saling berpelukan di malam pertama mereka. Tetapi, Rianti seperti mencoba memberikan jarak pada mereka dengan tidur membelakangi Afdi.

Afdi menarik napas dalam. Jauh di lubuk hatinya, laki-laki ini mencoba untuk mengerti. Barangkali istrinya ini masih merasa asing tidur seranjang dengan seorang laki-laki. meski mereka telah berstatus sebagai suami istri. Afdi mencoba memahami, kalau Rianti pasti butuh waktu untuk berdekatan secara intim dengan dirinya. Akhirnya Afdi pun memejamkan mata dengan tetap menghadap ke punggung Rianti.

*****
Azan subuh baru saja berkumandang. Afdi telah memakai baju koko dan sarungnya bersiap melaksanakan salat subuh. Rianti terbangun begitu mendengar alarm dari ponselnya berbunyi. Rianti duduk dan masih bingung memandang keadaan di sekitarnya. Beberapa detik kemudian, Rianti baru menyadari bahwa ia tidak berada di kamarnya. Afdi hanya menatap Rianti dengan bibir menyungging senyuman. Wajah polos dan bingung gadis itu terlihat amat menggemaskan di mata Afdi.

“Mas, sudah bangun? Kenapa nggak bangunkan Rianti?” Rianti menguakkan selimutnya dan bergegas turun dari tempat tidur.

“Tidurmu terlihat begitu nyenyak. Mas kasihan mau membangunkanmu.” Afdi yang telah bersiap menunaikan salat subuh di atas sajadah di sudut kamar menjawab dengan senyuman. Rianti masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudu. Tidak berapa lama, Rianti pun ke luar dengan wajah yang telah basah oleh air wudu. 

“Mau salat sama-sama?” Afdi ternyata masih menunggu Rianti.

“Ya, Mas.” Rianti mengangguk dan mengambil mukenanya yang terlipat di atas nakas. Sedikit tergesa Rianti memakai mukenanya dan membentangkan sajadah di belakang Afdi.
“Tetapi bacaan Mas masih sangat minim, ya.” 
“Nggak apa-apa, Mas. Nanti kita belajar lagi sama-sama, ya?” 

Rianti pun berdiri tegak di belakang Afdi. Afdi mengangkat tangannya bertakbiratul ikhram. Lalu mereka pun menunaikan salat dengan khusyuk. Suara Afdi ketika membacakan ayat-ayat pendek memang tidak semerdu suara para hafidz yang sering didengar Rianti di youtube. Tetapi  alunan bacaan ayat-ayat pendek yang diucapkan Afdi terdengar begitu syahdu. Rianti merasa terbuai dan hanyut mendengarnya. 

Dua rakaat yang terasa berbeda subuh ini. Afdi memegang dadanya yang terasa berdebar aneh tak menentu. Beginikah rasanya menjadi seorang suami? Beginikah rasanya menjadi imam bagi perempuan yang dicintainya? 

“Mas …” Rianti mendekat dan mengulurkan tangannya pada Afdi. Afdi menyambutnya dengan rasa haru. Rianti mencium punggung tangan Afdi dengan santun. Afdi mengusap lembut puncak kepala istrinya yang berbalut mukena.

“Makasih, ya.” Afdi menggenggam erat tangan Rianti. Rianti mendongak, ini sudah untuk kesekian kalinya ia mendengar Afdi mengucapkan terima kasih padanya.
“Kenapa Mas selalu mengucapkan terima kasih?” Rianti menatap lekat mata Afdi.

“Karena kamu telah memberikan kebahagiaan pada Mas.” Afdi tersenyum.
“Rianti belum melakukan apa-apa, Mas.” Rianti menunduk menatap jemari tangannya yang berada dalam genggaman Afdi.

“Dengan menerima lamaran dan bersedia menjadi istri Mas, itu sudah merupakan kebahagiaan untuk Mas.”  Afdi mengangkat dagu Rianti dengan jari tangannya. Lalu ditangkupnya kedua pipi Rianti dengan kedua belah tangannya. Lembut Afdi mencium kening Rianti. Rianti memejamkan matanya. Ia ingin merasakan getaran cinta itu, seperti getaran cinta Afdi yang terlihat jelas lewat tatapan matanya. Tetapi, Rianti sadar, ini masih terlalu dini. Rianti masih punya banyak waktu untuk belajar mencintai suaminya ini. 

“Ayo, kita turun. Kita lihat menu sarapan pagi ini.” Afdi menarik tangan Rianti untuk bangkit. Rianti menurut. Rianti membuka mukena dan melipatnya. 
“Mas, ke kantor hari ini?” Rianti menoleh pada Afdi yang juga tengah membuka sarungnya. 

“Mas libur tiga hari ini. Mas ingin ngajak kamu jalan-jalan ke puncak.” Afdi memberikan sarungnya pada Rianti. Rianti menerimanya dan melipatnya, lalu meletakkannya di atas nakas bersama dengan mukenanya.

“Tapi, Mas. Rencana Mama dan adik-adik pindahan lusa. Sudah terlalu lama kami molor dari jadwal yang disepakati dengan si pembeli. Harusnya dua minggu lalu kami sudah pindah ke rumah di Bekasi.” Rianti duduk di pinggir tempat tidur. 

Afdi membuka baju kokonya dan memberikannya lagi pada Rianti. Rianti menerimanya dengan wajah terasa panas melihat Afdi hanya bertelanjang dada. Dengan perasaan tak menentu, Rianti memalingkan wajahnya dari Afdi. Afdi mengambil sebuah kaos berwarna putih dari lemari lalu memakainya dengan santai. 

Setelah itu, Afdi mengambil sesuatu dari meja di samping lemari pakaian. Sebuah map berwarna coklat.
“Ini, hadiah pernikahan dari Mas.” Afdi menyerahkan map yang dipeganganya pada Rianti dan ikut duduk di samping istrinya itu. 

“Apa ini, Mas?” Dahi Rianti berkerut dan memandang Afdi dengan bingung.
“Bukalah.” Afdi tersenyum. Rianti pun membuka map di tangannya dan mengeluarkan isinya. Beberapa lembar kertas dan Rianti membaca isinya. Surat perjanjian jual beli rumah. 

“Ini rumah Papa?” Mata Rianti membulat dan kembali menoleh pada Afdi.
“Ya, rumah itu harus tetap menjadi milikmu sekeluarga.” Afdi memeluk pundak Rianti.

“Jadi, Mas yang telah membeli rumah itu?” Kali ini Rianti tak dapat menahan rasa harunya. Butiran-butiran bening di matanya jatuh satu-satu membasahi pipinya.
“Hei, kenapa malah menangis? Kamu tidak senang?” Afdi melepaskan pelukannya dan menatap Rianti dengan tatapan bingung. Rianti menggeleng.

“Tidak, Mas. Bukan itu. Ini terlalu berlebihan Mas. Kenapa Mas melakukannya?” Rianti terisak. Afdi kembali merengkuh tubuh istrinya itu.

“Karena Mas sangat mencintaimu. Mas akan lakukan apa pun yang bisa membuatmu bahagia.” Afdi memeluk Rianti dengan erat. Hatinya ikut terenyuh melihat keharuan istrinya itu. Rianti menumpahkan tangisnya di dada Afdi. Tuhan, laki-laki ini begitu baik. Laki-laki ini tahu betapa rumah peninggalan Papa sangat berarti buat Rianti sekeluarga. 

Rumah itu menyimpan banyak kenangan. Kenangan masa kecil, masa remaja, dan masa-masa indah bersama sang papa. Tuhan, berikan sedikit saja cinta di hatinya untuk laki-laki ini, Rianti memohon lirih dalam hati.

"Mas, jangan terlalu baik sama Rianti. Rianti takut tidak bisa membalas semua kebaikan Mas." Rianti berkata lirih dengan nada memohon pada Afdi. Afdi merenggangkan pelukannya dan menatap lekat mata Rianti.

"Dengar, ya. Kita ini suami istri. Kita satu dalam ikatan suci. Tak ada kata balas budi dalam sebuah cinta dan pernikahan. Jika kelak kamu juga melakukan kebaikan pada Mas, itu bukan karena kamu ingin membalas kebaikan-kebaikan Mas. Tetapi karena rasa cinta di hatimu untuk Mas." Afdi berkata dengan suara tegas. Rianti kembali tergugu mendengar kata-kata laki-laki di sampingnya ini. 

"Ya, Mas." Rianti mengangguk. Afdi tersenyum.
“Makasih, ya, Mas.” Rianti kembali berkata dalam isak tangisnya. Afdi mengusap rambut Rianti dengan penuh kasih.

“Ya, Sayang. Mulai saat ini, katakan apapun yang kamu inginkan. Jangan pernah sungkan dan menyembunyikan apapun dari Mas.” Afdi mencium lembut puncak kepala Rianti. Rianti mengangguk. 

“Iya, Mas.” Rianti tengadah dan menatap Afdi dengan mata penuh air mata. Afdi mengusap mata dan pipi Rianti yang basah.

“Jadi, gimana? Mau menemani Mas ke puncak?” Afdi menatap Rianti penuh harap. Rianti tersenyum dan mengangguk.

“Ya, Mas. Kemana pun itu, asal Mas bahagia, Rianti akan menemani.” Rianti berucap seraya melepaskan pelukan Afdi. 
“Terima kasih, ya.” Afdi meraih kembali tangan Rianti dan menggenggamnya erta.

“Ini sudah untuk kelima kalinya Mas mengucapkan terima kasih.” Rianti menatap Afdi dengan tatapan mata menggoda. Afdi terbahak.

“Ucapan terima kasih itu tanda kita bersyukur atas apa yang kita terima dari Tuhan atau pun dari seseorang.” Afdi mencoel hidung Rianti dengan gemas. 

“Ayo, kita turun. Nanti Mama dan Papa pikir pengantin baru ngapain lagi.” Afdi bangkit dan menarik tangan Rianti. Rianti merona mendengar ucapan suaminya. 
“Mas, mau cuci muka dulu.” Rianti menghentikan langkah Afdi.

“Oke, Mas tunggu, ya.” Afdi pun melepaskan pegangan tangannya pada Rianti. Rianti pun bergegas masuk ke kamar mandi.

****

Afdi dan Rianti turun menuju ruang makan. Terlihat Bu Aini dan Bi Ina tengah sibuk di dapur. Rianti mendekat.
“Ada yang bisa Rianti bantu, Ma?” Rianti berucap begitu berada tepat di samping mertuanya. Bu Aini menoleh.

“Wah, pengantin baru sudah bangun ternyata. Kamu bikinkan minum aja buat suamimu, ya.” Bu Aini tersenyum menggoda pada Rianti. Rianti pun tersenyum malu mendengar kata pengantin baru.

“Ini cangkir dan air panasnya. Afdi kalau pagi sukanya minum teh. Kalau siang biasanya baru kopi.” Bu Aini menjelaskan kebiasaan anaknya seraya menyerahkan tempat gula dan teh pada Rianti. Rianti kembali mengangguk.

“Ya, Ma,” jawab Rianti seraya membuka tutup gula dan kopi di depannya. Rianti ingat berapa sendok gula yang disukai oleh Afdi, seperti yang dijelaskan Ivo dulu ketika ia menjadi cleaning servis di kantor Afdi.

“Untuk Papa, Ma?” Rianti menuangkan air panas ke cangkir yang telah berisi gula dan kopi.

“Papa sudah Mama bikinkan tadi. Kalau Papa sukanya minum kopi di taman belakang. Tuh lagi duduk sambil baca koran.” Mama menunjuk taman belakang dengan dagunya.

“Oh, iya, Ma.” Rianti kembali mengangguk seraya mengaduk teh di depannya. Setelah itu, Rianti membawa cangkir teh yang mengepulkan asap panas dengan harum khas yang masuk ke rongga hidung Rianti. Afdi tengah duduk di ruang keluarga seraya menonton televisi. Acara dunia Islam menjadi favoritnya di pagi hari. 

“Tehnya, Mas.” Rianti meletakkan cangkir teh  di depan Afdi.
“Makasih, ya.” Afdi tersenyum dan meraih tangan Rianti.
“Duduk sini.” Afdi menarik Rianti mengajak istrinya itu duduk di sampingnya.

“Rianti mau bantu Mama dan Bi Ina dulu, Mas.” Rianti menahan tubuhnya dan berusaha melepaskan genggaman tangan Afdi.

“Pengantin baru nggak apa-apa kali nggak ikut masak.” Afdi mengedipkan matanya pada Rianti. Mata Rianti membulat.
“Apaan sih, Mas. Nanti aku nggak jadi menantu kesayangan Mama kalau malas-malasan.” Rianti meninggalkan Afdi yang tertawa mendengar ucapan Rianti.

Sampai di dapur, Rianti kembali bertanya pada ibu mertuanya.
“Rianti bantu, ya, Ma?” Rianti melihat Bi Ina sedang memasak mie goreng. Bu Aini sedang mengiris timun dan tomat.

“Sudah, temani saja suamimu. Biar Mama dan Bi Ina saja yang mengurus sarapan.” Bu Aini menyentuh pundak Rianti sekilas. 

“Iya, Non. Pengantin baru nggak boleh capek-capek dulu.” Bi Ina ikut berkata dengan mimik wajah menggoda ke arah Rianti. Kembali wajah Rianti merona. 
“Ih, Bibi. Sama aja kali, Bi. Mau pengantin baru, mau nggak, sarapan ya tetap harus disiapkan.” Rianti masih berdiri di samping Bu Aini.

“Jarang-jarang Afdi bisa duduk santai seperti itu. Biasanya kalau hari kerja, jam segini mah sudah siap-siap untuk berangkat ke kantor.” Bu Aini menyusun irisan timun dan tomat di piring berbentuk persegi.

“Oh, iya, Ma?” Rianti ingat kalau dulu mantan bosnya itu memang selalu datang pagi-pagi.
“Iya, makanya, mumpung Afdi belum masuk kerja dan bisa duduk-duduk santai seperti itu, kamu temani.” Bu Aini membawa piring berisi timun dan tomat ke meja makan. Rianti mengikuti dari belakang. Setelah meletakkan piring di tangannya, Bu Aini meraih tangan Rianti dan membawanya ke ruang keluarga.

“Nah, duduk sini.” Bu Aini mendudukkan Rianti di samping Afdi. Afdi menoleh dan tersenyum. Wajah Rianti kembali memerah. Duh, mertua dan anak kok kompak banget ya? Sang ibu mertua pun berlalu dan melenggang balik ke dapur.

“Aku bilang juga apa. Duduk sini temani suami, pengantin baru.” Afdi tersenyum menggoda pada Rianti. Rianti geram mendengar ucapan laki-laki di sampingnya ini. Reflek tangannya mencubit perut Afdi.

“Eits, mulai berani, ya?” Afdi menangkap tangan Rianti dan menggenggamnya erat. Meski belum ada getaran di dada Rianti, tapi tak ayal wajah cantiknya bersemu merah juga. Afdi menatap Rianti dengan lekat. Wajah Rianti yang bersemu merah terlihat begitu menggoda. Ingin sekali rasanya Afdi mencium pipi yang kemerah-merahan itu. Tetapi Afdi hanya bisa meneguk ludahnya. Afdi harus membiarkan proses kedekatan mereka berjalan dengan alami. 
Bersambung …..

0 comments:

Posting Komentar