CERBUNG MENGEJAR CINTA RIANTI 9

#Mengejar_Cinta_Rianti
#Episode_9

Terima kasih admin/moderator yang telah menyetujui cerita ini.
Terima kasih pembaca setia Rianti.

Rianti mengetuk pintu ruangan pimpinan perusahaan, Bapak Afdi Dijaya. Setelah mendengar perintah masuk dari dalam, Rianti pun membuka pintu dan melangkah masuk dengan langkah pelan. Afdi mengernyit melihat kedatangan Rianti. Ia merasa heran, Rianti tidak mengganti pakaiannya dengan seragam cleaning servis. Gadis itu terlihat memegang sebuah map amplop polos berwarna coklat. 

"Maaf, Pak. Ada yang perlu saya bicarakan." Rianti menatap laki-laki yang juga tengah menatapnya dengan intens.
"Silakan duduk." Afdi mempersilakan Rianti dengan senyum menawan. 
"Terima kasih, Pak." Rianti balas tersenyum dan mendudukkan pantatnya di depan bosnya itu.

"Ada, apa? Ada yang bisa saya bantu." Afdi menutup laptop di depannya. Rianti sedikit terperangah, tidak biasanya laki-laki yang terkenal cuek dan dingin ini, mau memberikan waktu dengan menghentikan pekerjaannya. Biasanya ia menghadapi bawahannya dengan tetap fokus pada laptopnya.

Rianti mengangsurkan map coklat di tangannya.
"Apa ini?" Afdi menatapnya dengan kening berkerut.
"Saya mau mengundurkan diri, Pak." Rianti berkata tanpa berani menatap laki-laki di depannya itu. Afdi kaget. Diterimanya amplop coklat itu dengan tangan bergetar.

"Kenapa?" Afdi menatap Rianti nanar.
"Alasannya sudah saya jelaskan di dalam surat itu, Pak." Rianti mencoba tersenyum. Tapi, tatapan bosnya ini sulit diartikannya. 

"Apa karena Rio?" Suara laki-laki itu hampir seperti bisikan. Rianti mendongak, merasa kaget mendengar ucapan Afdi.
"Tidak, Pak. Ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan Rio." Rianti mencoba mengelak.

"Apa pekerjaanmu terlalu berat di sini? Atau gajimu terlalu kecil? Atau kamu telah mendapatkan pekerjaan yang lebih baik?" Afdi tak dapat menyembunyikan rasa kecewanya sehingga memberikan pertanyaan beruntun pada Rianti. Rianti menatap pimpinannya itu dengan tatapan bingung. Apa masalahnya bagi laki-laki ini jika dia berhenti, toh banyak pelamar yang antri untuk menggantikan posisinya, di situasi yang semakin sulit mendapatkan pekerjaan seperti saat ini.

"Iya, Pak. Saya mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Saya mohon maaf." Rianti mencoba jujur agar laki-laki dengan mata elang di depannya ini bisa memahami pengunduran dirinya.
"Saya juga bisa memberikan kamu pekerjaan yang lebih baik." Afdi masih tidak ingin menyerah. Rasanya begitu berat baginya melepaskan gadis di depannya ini. Kesempatannya untuk mendapatkan hati gadis ini tentu akan semakin sulit.

"Pekerjaan apalah yang bisa didapatkan oleh seorang lulusan SMA seperti saya, Pak." Rianti mencoba tersenyum manis pada Afdi, tetapi Afdi melihat senyuman itu seperti sebuah ejekan. Ya .... bukankah itu kalimat yang pernah ia ucapkan ketika pertama kali Rianti datang ke kantor ini dan terlihat kaget begitu Afdi mengatakan jobnya adalah sebagai cleaning servis.

"Baiklah, kalau memang kamu telah mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Saya ikut senang dan bahagia mendengarnya. Tapi, kita masih bisa bertemu kan?" Afdi menghela napas berat mencoba membenamkan kekecewaannya ke dasar hati yang paling dalam.

"Terima kasih atas pengertiannya, Pak. Kalau begitu saya pamit, Pak." Rianti berdiri dan menangkupkan tangannya ke dada. Afdi ikut berdiri dan menyajajari langkah Rianti menuju luar ruangan.

"Saya pasti akan menemukan tempatmu bekerja." Afdi membukakan pintu ruangan untuk Rianti. Rianti menoleh kaget mendengar ucapan laki-laki di sampingnya ini.
Rianti hanya diam tak menjawab apa-apa. Rianti segera menuju ruangannya untuk mencari Ivo dan Bima. 

Begitu memasuki ruangan OB, terlihat Ivo dan Bima tengah bersiap-siap untuk melakukan pekerjaan berikutnya. Biasanya setelah menyapu dan mengepel seluruh ruangan, mereka akan istirahat sejenak untuk sarapan di ruangan OB. Setelah sarapan, mereka akan kembali melanjutkan pekerjaan.

"Baru datang?" Ivo menatap Rianti heran karena melihat Rianti tidak berganti seragam kerjanya. 
"Ivo, Bima, mulai hari ini gue sudah tidak bekerja di sini lagi." Rianti menatap Ivo dan Bima bergantian. Sungguh begitu berat rasanya mengatakan semua ini pada kedua sahabatnya ini.

"Lo mau pergi?" Suara Ivo terdengar lirih. Sementara Bima hanya menatap Rianti dengan diam. 
"Tapi, kita masih akan selalu bertemu kok." Rianti tersenyum dan mengangguk pada Ivo. 
"Rio pergi, lo juga pergi." Kali ini Ivo tak dapat menyembunyikan getar di suaranya. Rianti menelan ludahnya. Terbayang lagi kebersamaan mereka berempat selama dua setengah bulan ini. Kebersamaan yang indah.

"Maaf, gue nggak bermaksud meninggalkan lo berdua. Gue janji, jika kelak gue telah menyelesaikan misi dari bokap gue ini, gue bakal tarik lo berdua ke tempat gue bekerja. Sehingga kita bisa bersama-sama lagi." Mata Rianti terlihat berbinar membayangkan ia akan membawa kedua sahabatnya ini kelak ke perusahannya. Ivo dan Bima mengangguk, meski dalam hati mereka tidak yakin akan ucapan Rianti. 

"Baiklah, semoga sukses. Jangan pernah lupakan kami." Ivo mendekat dan memeluk Rianti erat. Tak dapat ditahannya bening di kedua sudut matanya. Rianti pun tak dapat menahan kesedihannya. Pipinya pun basah dalam pelukan Ivo. Bima hanya berdiri mematung. Meski kebersamaan mereka belum lama, tetapi ia dan Ivo telah banyak menerima kebaikan Rianti.

"Kalian berdua juga, baik-baik di sini, ya." Rianti menghapus air matanya dengan punggung tangan, lalu tersenyum manis pada Ivo dan Bima. Kedua sahabatnya itu mengangguk dan membalas senyum Rianti dengan tatapan mata yang juga kabur.

Rianti lalu bergegas membuka pintu, melangkah ke luar dengan langkah lebar. Ia tidak ingin menoleh lagi, merasa tidak sanggup meninggalkan kedua sahabatnya itu. Ivo dan Bima pun malas untuk mengantar kepergian Rianti sampai ke tempat parkir. Mereka berdua takut nanti hati mereka tidak kuat meyaksikan kepergian sahabat baik mereka itu.

*****

Untuk kali ini, Rianti mendapatkan job yang cukup enak, yaitu di bagian keuangan. Cocok dengan latar belakang ilmunya yang seorang sarjana ekonomi. Rianti mulai berpakaian dan bergaya sedikit lebih baik dan lebih rapi dari sebelumnya. Celana kulot yang tidak terlalu longgar atau pun terlalu sempit, kemeja polos dan dipadu semi blezer sebagai pelengkapnya. Ia semakin terlihat cantik dan mempesona.

Ia pun sudah bisa membawa mobil ke kantor. Tetapi hari ini, adiknya Siska meminjam mobilnya karena mobil adiknya itu masuk bengkel. Jadilah Rianti diantar pagi-pagi sekali sebelum adiknya itu ke kampus. 

Sore pukul 17.00, Rianti telah ke luar dari kantor. Ia telah memesan taksi onlien untuk pulang ke rumah. Karena Siska katanya masih ada urusan di kampusnya. Rianti ingin menunggu di kursi di samping pos satpam saja. Tetapi baru satu langkah kakinya meninggalkan anak tangga kantor, sebuah sedan berwarna hitam berhenti tepat di depannya. Rianti menggeser langkahnya ke samping. 

"Rianti!" Sesosok laki-laki tampan telah berdiri di samping pintu mobil tersebut. Rianti mendongak. Ia kaget melihat siapa yang berdiri tak jauh dari tempat nya berdiri.
"Pak Afdi?"  
"Sudah mau pulang?" Afdi tersenyum pada Rianti.
"Iya, Pak." Rianti mengangguk. Hatinya masih merasa heran, dari mana laki-laki ini tahu jika Rianti bekerja di sini.

"Ayo, saya antar." Afdi berjalan ke arah Rianti dan membukakan pintu mobil untuk Rianti. 
"Tapi, saya sudah pesan taksi online, Pak." Rianti mencoba protes. 
"Oke, kalau gitu kita tunggu sampai taksi online nya datang ya. Ayo." Afdi memegang pintu belakang mobil yang telah dibukakannya dan mengangguk mempersilakan Rianti. Ternyata Afdi datang dengan supirnya. 

Meski masih merasa bingung dan ragu, akhirnya Rianti masuk juga ke dalam mobil. Afdi menutup pintu mobil dengan senyum mengembang di bibirnya. Laki-laki itu pun masuk dan duduk di belakang, di samping Rianti.

"Kita parkir lagi sebentar ya, Pak." Afdi bicara pada supirnya.
"Baik, Pak." Pak Didi, supir Afdi menjawab seraya mengangguk.

Tidak berapa lama, ponsel Rianti berbunyi, taksi online yang dipesannya telah berada di parkiran kantor. Rianti berniat turun, tetapi Afdi menahannya. 
"Biar aku aja, kamu tunggu di sini bentar, ya." Afdi melihat ke luar jendela dan melihat sebuah mobil yang baru memasuki halaman parkir.

Afdi turun dan mendekat ke mobil yang berhenti tak jauh dari mobil mereka parkir. Kaca mobil dibuka dan Afdi berbicara dengan sang supir. Afdi mengeluarkan dompetnya dan mengambil selembar uang seratus ribu. Diserahkannya uang tersebut kepada supir taksi online yang menjemput Rianti.

Mobil itu pun berlalu meninggalkan halaman parkir dan Afdi kembali ke mobilnya. 
"Ayo, Pak. Jalan." Afdi memberikan instruksi begitu berada  dalam mobil.
"Baik, Pak." Pak Didi pun segera menjalankan mobil meninggalkan parkiran kantor Rianti.

"Bagaimana, kerasan kerja di sini?" Afdi menoleh pada Rianti yang sedari tadi merasa bingung sendiri dengan apa yang dialaminya.
"Tahu dari mana Bapak kalau saya kerja di sini?" Rianti balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan Afdi.

"Ke ujung dunia pun kamu pergi, saya pasti akan bisa menemukanmu." Afdi berkata dengan senyum di sudut bibirnya.
"Lebay." Rianti berdecik dengan bibir terangkat mencemooh. Afdi tertawa melihat ekspresi Rianti. 

"Pak Didi, nanti kalau ada masjid, kita berhenti aja dulu ya, magrib dulu kita sebelum ,mengantar nona Rianti." Afdi bicara pada supirnya seraya mencondongkan sedikit badannya ke depan.
"Baik, Pak." Pak Didi mengangguk dan tetap fokus dengan kemudinya.

Berada di dekat Afdi, tiba-tiba Rianti kembai ingat dengan Rio. Bagaimanakah kabar laki-laki itu sekarang? Rianti pernah mengirimkan pesan melalaui whatsapp beberapa hari yang lalu, tapi pesannya sampai sekarang hanya centang satu. Rio menghilang begitu saja, seperti lenyap ditelan bumi. Tak ada kabar berita sedikitpun.

"Kamu terlihat berbeda sekarang." Afdi berkata seraya menatap Rianti dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Kita harus menyesuaikan penampilan dengan tempat kita berada, Pak." Rianti memalingkan wajahnya dan menatap ke luar jendela mobil.
"Saya sekarang bukan lagi pimpinanmu, tak usah memanggil saya dengan panggilan Bapak lagi." Afdi ikut memandang ke luar jendela. Entahlah, bertemu dengan gadis ini membuat hatinya deg-degan tak menentu. Padahal ia bukan lagi anak ABG. 

"Susah untuk mengubah sesuatu yang telah menjadi kebiasaan, Pak." Rianti tertawa lirih di ujung ucapannya. Afdi kembali menoleh. Duh, gadis ini terlihat begitu menarik dengan gayanya yang selalu terlihat santai dan apa adanya.

"Saya akan sangat senang jika kamu mau mengubahnya, memanggil Mas, Kakak, Abang, atau Afdi sekalian juga nggak apa-apa." Suara Afdi terdengar penuh harap. Rianti menoleh dan tatapan mata mereka bertemu. Cepat-cepat Rianti memalingkan wajahnya dan kembali menatap jalanan macet di luar sana.

"Di depan ada masjid, Pak. Apa berhenti di masjid itu aja Pak? Sepuluh menit lagi azan magrib." Tiba-tiba Pak Didi memecah kekakuan di antara mereka. 
"Boleh, Pak Didi. Kita magrib di masjid itu aja." Afdi pun kembali meluruskan tubuhnya dan menatap jalanan di depannya. 

Tidak berapa lama mobilpun memasuki halaman parkiran masjid. 
"Kita magrib dulu, ya," ujar Afdi pada Rianti.
"Ya, Pak," jawab Rianti seraya membuka pintu mobil. 
"Kamu bawa mukena, nggak?" tanya Afdi lagi sebelum Rianti turun dari mobil.
"Insyaallah bawa, Pak," jawab Rianti. Rianti memang selalu membawa mukena berbahan parasutnya di dalam tas sandangnya. Afdi senang mendengar jawaban Rianti. Tak banyak rasanya gadis di zaman sekarang ini yang masih membawa mukena di dalam tasnya di saat bepergian.

Mereka berjalan beriringan menuju masjid. Dikuti oleh Pak Didi di belakang. Sampai di teras masjid, mereka pun berpisah untuk mengambil wudu. Pada waktu bersamaan azan magrib pun berkumandang. Masjid pun mulai ramai oleh kaum musliman dan muslimin yang akan menunaikan salat magrib.

*****

Selesai salat magrib, Afdi telah menunggu Rianti di dekat mobil. Begitu melihat Rianti ke luar dari masjid, Afdi segera membukakan pintu mobil untuk Rianti. 
"Makasih, Mas." Rianti tersenyum manis pada Afdi. Afdi terpaku. Mas? Ya, ampun dadanya terasa bergetar. Merdu sekali terdengar ucapan Rianti di telinga Afdi.
 
Afdi hanya sanggup mengangguk dengan senyum di sudut bibirnya. Setelah menutupkan pintu Rianti, Afdi pun bergegas memutari mobil dan masuk dari pintu satunya lagi. Senyum masih tak ungkai dari bibir laki-laki tampan itu. Pak Didi sampai senyum sendiri melihat kelakuan majikannya.

Setelah Afdi duduk, Pak Didi pun segera menjalankan mobil meninggalkan halaman masjid. Jalanan Jakarta masih seperti biasa, padat merayap. Beberapa saat kemudian, Afdi menepuk bahu Pak Didi. 
"Di depan ada goreng ayam khas Sunda, Pak. Kita berhenti makan malam bentar ya, Pak," ujar Afdi pada Pak Didi.
"Baik, Pak." Pak Didi mengangguk paham.

"Tapi, Mas, saya sudah harus pulang," Rianti menatap Afdi dengan tatapan protes.
"Bentar aja, nanti biar Mas yang bicara sama Papa dan Mamamu." Afdi menjawab santai. Akhirnya Rianti mengambil ponselnya dan mengirim pesan melalui whatsappnya kepada mamanya, mengatakan kalau ia pulang agak telat.

Pada saat bersamaan, ponsel Afdi bergetar. Afdi mengambil ponselnya dari dalam kantong kemejanya dan menekan tombol hijau. 
"Tumben adekku ini telepon." Afdi berkata seraya tersenyum pada layar di depannya. Di layar terlihat wajah tampan Rio tengah tertawa lebar mendengar suara abangnya itu.
"Lo masih di jalan?" Rio memperhatikan latar di belakang Afdi.
"Iya, tebak gue ama siapa." Afdi menggeser layar ponselnya ke samping. Wajah cantik Rianti pun terlihat di layar. Rio terdiam dan menelan ludahnya yang mendadak terasa pahit. 

Rianti yang baru menyadari ada Rio di depannya, mendadak merasa salah tingkah. 
"Hai, apa kabar?" Rianti menyapa Rio dan mencoba tersenyum manis. 
"Hai, gue baik. Lo gimana?" Rio membalas senyum Rianti meski amat dipaksakan.  Ada yang terasa perih di hati Rio melihat kenyataan abangnya telah berhasil mendapatkan hati Rianti. Memang Rio yang telah mengiklaskan Rianti untuk Afdi, Rio yang memilih untuk mengalah. Tetapi mengapa rasanya begitu sakit?

"Sudah, ngobrolnya kapan-kapan saja. Lo ada apa tadi nelepon gue." Tiba-tiba Afdi telah menggeser kembali layar ponsel ke hadapannya.
"Nggak ada, kengen aja tadi. Oke lo lanjut aja dulu, nanti gue telepon lagi." Lalu terdengar bunyi tiit, sambungan video call ternyata telah dimatikan oleh Rio. Afdi menarik napas panjang. Diliriknya Rianti yang terlihat memanndang ke luar jendela. Sebenarnya bagaimana perasaan gadis ini pada adiknya Rio?

bersambung ....

0 comments:

Posting Komentar