CERBUNG MENGEJAR CINTA RIANTI 10

#Mengejar_Cinta_Rianti
#Episode_10

Terima kasih admin/moderator yang telah menyetujui tulisan ini.
Terima kasih pembaca setia Rianti

 Rianti duduk di hadapan Afdi dengan memainkan ponselnya. Beberapa pesan dari Ivo dan Bima membuat Rianti senyum-senyum sendiri. Afdi memesan beberapa menu khas yang disediakan di saung Sunda ini. Pak Didi ikut bergabung dengan mereka, karena Afdi memaksa supir pribadinya itu untuk makan malam bersama mereka. 

 “Kenapa, sih, senyum-senyum sendiri?” Afdi mencondongkan wajahnya ke arah Rianti. Rianti reflek menarik tubuhnya ke belakang. 
 “Kepo deh.” Rianti mencibir pada Afdi. Afdi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. 
 “Kepo ama calon istri nggak apa-apa lah.” Afdi berkata santai dan menatap Rianti dengan tatapan mata menggoda. Pak Didi terbatuk-batuk mendengar ucapan majikannya. Wajah Rianti merona.

 “Calon istri siapa?” Tanya Rianti dengan mata mendelik horor. 
 “Calon istri Afdi Dijaya lah.” Suara Afdi masih terdengar santai. 
 “Siapa juga yang mau.” Rianti juga menjawab dengan santai.
 “Lihat aja nanti.” Afdi berkata dengan percaya diri. Pak Didi hanya senyum-senyum melihat kepedean bosnya itu. Tidak berapa lama pesanan mereka pun datang.
 “Ayo, Pak Didi. Silakan.” Afdi mempersilakan Pak Didi untuk menikmati hidangan. 

 “Ya, Pak. Makasih.” Pak Didi mengambil piring dan mencuci tangan. Rianti melakukan hal yang sama. Setelah Afdi mengambil nasi, Afdi menyerahkan mangkok nasi kepada Rianti. Rianti mengambil nasi secukupnya, lalu meyerahkan mangkok nasi kepada Pak Didi. Mereka pun makan dengan lahap. Goreng ayam dengan sambel terasi memang kesukaan Rianti. Afdi melihat gaya makan Rianti yang berselera tersenyum sendiri. Laki-laki itu suka dengan gadis yang bersikap apa adanya, tidak sibuk menjaga image di hadapan orang lain.  

 Setelah mereka bertiga menghabiskan hidangan di meja, mereka duduk sejenak. Afdi menanyakan kabar anak-anak Pak Didi. Pak Didi mengatakan bercerita tentang ketiga anaknya yang telah masuk sekolah mulai hari ini, setelah liburan panjang. 

Merasa sudah cukup malam, Afdi pun menuju kasir untuk membayar makanan mereka. Kemudian Afdi menyusul Pak Didi dan Rianti yang telah menunggu di parkiran. Begitu melihat Afdi datang, Rianti segera masuk ke dalam mobil. Afdi menyusul, diikuti oleh Pak Didi. Tidak berapa lama, mobilpun bergerak perlahan meninggalkan parkiran saung Sunda yang sedang ramai pengunjung.
****
  Sesampai di rumah Rianti, Afdi bergegas ikut turun. Pada waktu bersamaan, pintu rumah dibuka dan sesosok wanita lima puluhan  berdiri di depan pintu.
“Makasih, ya, Pak Didi,”  ucap Rianti sebelum turun dari mobil. 
“Ya, Non, sama-sama.” Pak Didi mengangguk seraya tersenyum. Dalam hati, lelaki usia empat puluhan  ini berkata, sama-sama baik hati, mereka memang cocok berjodoh.

“Makasih, ya, Mas.” Rianti tersenyum dan mengangguk pada Afdi. 
“Ya, aku juga makasih, kamu sudah mau menemani aku makan, malam ini,” Afdi membalas senyum Rianti. Rianti membuka pintu pagar dan melangkah tergesa tanpa menoleh lagi pada Afdi.
“Dari mana? Kok pulang telat?” Bu Winda menatap Rianti penuh selidik.
"Tadi kan Rianti sudah WA Mama, pasti Mama nggak baca lagi kan? Kebiasaan deh." Rianti menjawab seraya menyalami dan mencium tangan mamanya.

“Maaf, Bu. Saya mau bertemu dengan Ibu Rianti.” Tiba-tiba Afdi telah berada tepat di samping Rianti. Rianti hampir terlonjak karena kaget. Rianti benar-benar tidak menyadari kalau Afdi mengikuti langkahnya dari belakang.
“Saya Mama Rianti.” Bu Winda menunjuk dadanya dengan tatapan bingung pada Afdi. Afdi reflek menoleh pada Rianti. Rianti hanya melengos tak mau membalas tatapan bertanya-tanya laki-laki di sampingnya ini.
“Kamu anaknya Pak Rahmat, kan? Ibu ingat, waktu acara malam itu, kamu dan adikmu bicara di depan, kan?” wajah Bu Winda seketika terlihat ceria.

“Iya, Bu. Saya Afdi.” Afdi mengulurkan tangannya pada Bu Winda. Bu Winda menyambutnya dengan antusias.
“Ayo, masuk dulu. Kita ngobrol di dalam, ya.” Bu Winda melebarkan daun pintu dan menggeser tubuhnya ke samping. Rianti menatap mamanya dengan pandangan kurang senang. Tetapi mamanya terlihat tak acuh.
“Makasih, Bu.” Afdi langsung melangkah masuk dengan perasaan suka cita.

“Silakan duduk.” Bu Winda berkata dengan ramah. Afdi mengangguk dan segera duduk di sofa ruang tamu yang berwarna putih gading itu.
“Rianti, sana buatkan minuman. Mbok Uun sudah istirahat di kamarnya.” Sang mama memerintahkan anaknya dengan dengan nada yang tak kan bisa dibantah. Rianti berlalu ke belakang, dalam hati Rianti berkata, tidak di kantor dulu, tidak di rumah sendiri, tugasnya selalu membuatkan minum untuk laki-laki yang satu ini. 

“Sudah lama kenal Rianti?” Bu Winda menatap Afdi ramah.
“Sudah hampir tiga bulan, Bu. Sejak Rianti kerja di kantor saya.” 
“Oh, jadi Rianti kerja di kantornya, nak Afdi?”
“Iya, Bu.” Afdi mengangguk.
“Wah, sudah lama juga ya kenalnya. Kenapa Rianti nggak pernah cerita, ya?” Bu Winda merasa heran dengan anak gadisnya ini, ada laki-laki tampan, cool seperti Afdi ini, kenapa Rianti tidak pernah cerita ya.

“Memang apa yang mau diceritakan, Ma?” Rianti telah berada di ruang tamu dan mendengar ucapan sang mama. Rianti meletakkan cangkir teh di depan Afdi dan di depan mamanya.
“Ya cerita apa kek, cerita kalau kamu punya abos yang namanya Afdi.” Sang mama tersenyum jahil pada anaknya.
“Nggak penting juga kali, Ma.” Rianti bersungut pada mamanya. 

“Hush, ngomong yang sopan. Nanti omongan itu bisa berbalik pada diri sendiri.” Bu Winda mendelik pada anaknya. Afdi hanya tersenyum melihat interaksi Rianti dengan mamanya itu. Ternyata gadis ini berbohong padanya dan pada semua orang di kantor. Katanya dia hanya anak seorang pembantu. Untuk apa ya gadis ini berbohong? Afdi merasa heran sendiri.

Bu Winda bertanya tentang Bu Aini, mamanya Afdi. Sebenarnya Bu Winda dan Bu Aini bukan teman yang terlalu dekat, hanya karena suami mereka teman lama, jadi mereka sekedar kenal lah. Sehingga anak-anak mereka juga tidak saling kenal. Baru pada acara Rio kemarin, Pak Arif mengajak istri dan anak-anaknya untuk ikut serta.

Setelah beberapa saat Afdi dan Mama Rianti ngobrol tentang beberapa hal, Afdi pun segera pamit. Bu Winda dan Rianti mengantar sampai depan pintu.
“Pulang ya, Bu. Maaf tadi telah mengajak Rianti makan tanpa pamit dulu sama Ibu.” Afdi pamit pada Bu Winda.
“Iya, hati-hati di jalan.” Bu Winda tersenyum pada Afdi.
“Aku pulang dulu ya, Rianti. Makasih untuk hari ini.” Afdi menatap Rianti lekat.

“Ya.” Rianti menjawab singkat.
 Rianti langsung meninggalkan mamanya menuju kamarnya. Ia ingin segera mandi, salat isya, dan beristirahat. Tetapi mamanya ikut masuk ke kamar Rianti.
“Kayaknya Afdi itu laki-laki yang baik, ya, Rianti?” sang mama duduk di pinggir tempat tidur. Rianti menoleh merasa heran dengan ucapan mamanya. Apa pula lah maksud mamanya ini memuji-muji Afdi.
“Baru juga kenal, Ma. Masa Mama sudah bisa menilai kalau Afdi laki-laki yang baik.” Rianti menatap mamanya dengan senyum di ujung bibirnya.

“Hati seorang Ibu tidak bisa dibohongi. Mama suka sama dia.” Bu Winda memandang langit-langit kamar dengan tatapan mata menerawang.
“Mama suka sama Afdi? Istigfar, Ma. Ingat masih ada Papa.” Rianti hampir berteriak karena kaget.
“Hush, anak durhaka. Suka buat jadi menantu maksudnya.” Bu Winda mendelik marah pada Rianti. Rianti terbahak.
“Hahaha, kirain.” Rianti memegang perutnya saking gelinya.
“Sudah sana mandi. Salat dan istirahat.” Bu Winda bangkit dan ke luar kamar. Tinggallah Rianti yang senyum-senyum sendiri.

Bu Winda langsung menuju ruang kerja suaminya. Pak Arif terlihat sedang masih tekun di depan laptopnya.
“Pa, tahu nggak siapa tadi yang datang?” Bu Winda langsung duduk di samping suaminya.

“Siapa?” Pak Arif mengalihkan tatapannya dari layar laptop dan menatap wajah sumringah istrinya.
“Anaknya Pak Rahmat, teman Papa itu lho, Pa.” Bu Winda menatap suaminya dengan senyum-senyum.
“Afdi? Rio?” Pak Arif kembali bertanya.
“Afdi, Pa. Katanya dulu Rianti kan kerja di perusahaan dia, Pa.”

“Oh, iya.” Pak Arif kembali menatap layar laptopnya.
“Sepertinya dia cocok deh, Pa sama Rianti.” 
“Hm…”
“Mama lihat anaknya baik, Pa. Santun. Rendah hati.” Mata Bu Winda berbinar-binar.
“Iya, anak-anak Pak Rahmat memang baik-baik, Ma. Mama sudah pengin punya menantu?” Pak Arif menatap istrinya dengan mata menggoda.

“Ya, iyalah, Pa. Biar punya cucu kita. Biar rumah ini ramai, Pa.” Bu Winda menatap suaminya dengan penuh harap.
“Coba deh, Pa, ngobrol-ngobrol sama Pak Rahmat, siapa tahu Rianti bisa berjodoh dengan anaknya.” Bu Winda menyenggol tangan suaminya dengan mesra.
“Iya, nanti  Papa mampir ke kantor Pak Rahmat. Tapi apa Rianti mau dijodoh-jodohkan begitu?” Pak Arif menatap istrinya dengan sangsi.

“Kalau itu biar Mama yang atur, Pa. Papa tenang saja.” Bu Winda mengacungkan jempolnya dengan penuh semangat. 
“Oke, Pa. Makasih, ya. Mama mau istirahat dulu. Papa jangan terlalu malam tidurnya.” Bu winda mencium pipi suaminya sekilas, lalu bangkit dan segera menuju kamar tidurnya.
“Ya, nanti Papa nyusul.” Pak Arif mengangguk. 

 **** 
Rianti sedang menyelesaikan laporan keuangan perusahaan bulan lalu. Tiba-tiba ponsel Rianti berbunyi. Terdengar suara tangisan adiknya Siska di ujung telepon. 
“Kak, Papa, Kak.” Siska terisak. 
“Papa kenapa, Dek?” Rianti hampir berteriak.

“Papa masuk rumah sakit, Kak.” Suara Siska kembali hilang dalam isak tangisnya. Rianti terpaku. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Perasaannya sudah tidak enak. Pasti terjadi sesuatu pada papanya. Rianti memasukkan ponselnya ke dalam tas sandangnya, menyambar kunci kontak mobil, lalu setengah berlari meninggalkan meja kerjanya.

“Rianti, ada apa?” Dinda teman sebelah mejanya berteriak melihat langkah terburu-buru Rianti.
“Aku ke rumah sakit, Din. Papa masuk rumah sakit.” Rianti menjawab dengan air mata yang mulai membasahi pipinya. 
“Bisa nyetir sendiri? Atau aku antar, ya?” Dinda mengejar Rianti dan menjajari langkah Rianti menuju parkiran.
“Insyaallah bisa, Din. Makasih, ya. Tolong izinkan sama Pak Iwan, ya.” Rianti membuka pintu mobilnya dan masuk dengan tergesa.

“Ya, Rianti. Hati-hati, ya.” Dinda melambaikan tangannya pada Rianti. Rianti membuka pesan whatsappnya, melihat alamat rumah sakit yang dikirimkan oleh adiknya Siska. Rianti mencoba menenangkan diri agar bisa sampai di rumah sakit dengan selamat. Meski tak sabar ingin segera sampai di rumah sakit, tetapi Rianti tetap berusaha untuk mengendarai mobilnya dengan hati-hati. Dia masih bisa berpikir jernih. Jangan sampai dia celaka dalam kondisi papanya yang belum jelas seperti ini.

Hampir satu setengah jam, Rianti baru sampai di rumah sakit yang di kasih tahu Siska. Rianti memarkir mobilnya dengan tergesa. Setengah berlari Rianti menuju ruang UGD dimana papanya masih diobservasi. Rianti melihat mama, Siska, dan Amelia sedang berdiri di balik pintu kaca ruang UGD.

“Mama!” Rianti berlari memanggil mamanya. Bu Rianti yang pipinya telah basah oleh air mata berbalik dan melihat anak sulungnya yang berlari ke arahnya. Tangis Bu Winda kembali mengeras begitu melihat Rianti. Rianti berdiri tepat di depan mamanya. Lalu dengan isak tangis yang tak dapat ditahannya, Rianti memeluk wanita terkasihnya itu.
“Papa kenapa, Ma?” Rianti bertanya di antara isak tangisnya.
“Mama juga nggak tahu, Nak. Tiba-tiba tadi orang kantor telepon dan mengatakan Papa mendadak sakit dan dibawa ke rumah sakit ini.” Bu Winda menjawab dengan tangis yang masih terdengar pilu.

“Ayo, Ma. Mama duduk dulu, ya. Insyaallah Papa nggak apa-apa. Kita berdoa aja buat Papa.” Rianti menuntun mamanya ke bangku panjang di depan ruang UGD. Bu Winda hanya menurut. Tubuhnya serasa tak bertenaga. Perempuan ini begitu takut membayangkan jika hal-hal buruk teradi pada suaminya. Anaknya masih belum ada yang mandiri. 
“Bagaiman, Pak Arif?” Tiba-tiba Pak Rahmat dan Afdi telah berada di hadapan Bu Winda dan Rianti. Bu Winda hanya menjawab dengan gelengan kepala. Ia sudah tak sanggup bicara apa-apa.

“Masih belum tahu, Om. Dokter masih memeriksa Papa.” Rianti yang sudah bisa sedikit menenangkan diri menjawab pertanyaan Pak Rahmat sebisanya. Afdi mendekati bangku Rianti dan berjongkok di samping gadis itu.
“Sabar, ya. Kita sama-sama berdoa, semoga Pak Arif baik-baik saja.” Afdi menatap Rianti dengan lembut. Rianti mencoba tersenyum.

“Ya, Mas. Makasih, ya.” Rianti memeluk pundak mamanya dan menyandarkan kepala mamanya ke bahunya. Mama Rianti terlihat begitu lemah. Siska dan Amelia mendekat dan ikut duduk di samping mama dan kakaknya. Setelah itu mereka semua hanya diam larut dengan doa di hati masing-masing. 
Bersambung …

  
Uni Milza Chaniago
 Adek Selpiana
Sahabatku Echy Gyanca
Silakan menikmati. hehe

0 comments:

Posting Komentar