CINTA DI BATAS CAKRAWALA 21

❤ *CINTA* 
*di Batas Cakrawala*
🌅 nomor - 21 

"Mengapa kamu memilih pergi di saat bahagia tengah kita rangkai bersama?"

Dimas
.

"Hanya satu kata, yaitu Cinta. Kamu hanya menginginkanku, tetapi tidak mencintaiku."

Hanna

****

Dimas berlari panik keluar rumah setelah tidak menemukan Hanna di kamar. Ia berhenti di teras, mengatur napas seraya mengedarkan pandangan. Matanya menyipit saat melihat istrinya berjalan di pantai sendirian sore itu. Ia menyugar rambutnya, lalu berlari menyusul Hanna.

"Hanna!" panggil Dimas, tetapi wanita itu tidak menghentikan langkah. "Hei ...." Suara Dimas melembut, meraih tangan Hanna yang akhirnya menghentikan langkah.

Dimas tidak tahu mengapa, akhir-akhir ini Hanna berubah. Lebih tepatnya setelah pagi itu dua minggu yang lalu dia menyerahkan testpack yang katanya negatif, wanita itu jadi pendiam. Bukan hanya padanya, tetapi juga pada orang tuanya, Hanna hanya akan bicara ketika ditanya. Bahkan sikap istrinya yang selalu agresif menggodanya sudah tidak lagi terasa dan panggilan 'Abang' pun menghilang. Berkali-kali ditanya, Hanna hanya menjawab tidak apa-apa. Iapun telah minta maaf, tetapi sikap wanita itu tetap sama.

"Mau ke mana?" Dimas mengelus punggung tangan Hanna dalam genggaman.

"Hanya jalan-jalan," jawab Hanna tanpa mau menatapnya.

Dimas mendekat, merangkul bahu Hanna dan mengajaknya melangkah. "Kamu baik-baik saja, kan?"

Hanna hanya diam mengangguk. Dimas memperhatikan raut wajah Hanna yang datar dari samping, ia penasaran dengan apa yang dipikirkan wanitanya itu. 

"Kamu makin pendiam." Akhirnya Dimas mampu mengutarakan pengamatannya dua minggu ini.

"Oh, ya? Aku biasa saja," sahut Hanna datar.

"Aku sayang kamu, istriku," bisik Dimas sambil mengecup pucuk kepala Hanna. Langkah mereka terhenti di tempat biasa mereka menghabiskan waktu saat senja, berenang bersama atau hanya duduk berdua menunggu matahari tenggelam. 

Tangan Dimas berpindah di pinggang Hanna, lalu memeluknya dengan kedua tangan yang bertautan di permukaan perut wanita itu. Desiran halus terasa dalam dada membuat perasaannya campur aduk. Ada rasa sesal karena sempat berpikir untuk tidak siap memiliki anak. Namun sejak hari itu, Dimas bertekad untuk menghilangkan sikap bodoh yang membuatnya jadi lelaki pengecut.

"Kembalilah jadi Hanna-ku yang cerewet dan keras kepala seperti biasa," bisik Dimas seraya mengecup bahu Hanna lalu menumpukan dagunya di sana.

Hening, tidak ada jawaban. Hanya helaan napas keduanya yang saling bersahutan bersama deburan ombak. Suasana sepi di sekitar membuat mereka larut dalam pikiran masing-masing.

"Besok aku jadi ke kota untuk mengajukan proposal program pendidikan kesetaraan paket A, B, dan C di kantor. Kamu mau ikut?" bisik Dimas setelah lama mereka hanya dalam keheningan.

"Pergilah, aku di sini saja dengan Ibu sama Bapak," gumam Hanna, kali ini suaranya terdengar lebih baik bagi Dimas.

"Baiklah." Dimas mengeratkan pelukannya, melirik pandangan Hanna yang lurus ke depan. "Saat aku baru menyelesaikan S-2, Ibu dan Bapak memintaku untuk menetap di kota dan jadi dosen tapi aku menolak. Kamu tahu kenapa?" pancingnya untuk mencairkan suasana yang entah mengapa jadi canggung.

Hanna menggeleng dan menjawab, "Ngga tahu."

"Baiklah, aku ingin bercerita sedikit padamu." Dimas melepaskan pelukan, lalu mengajak Hanna duduk di atas pasir kelabu yang basah sambil menggenggam erat tangannya. Ia menatap manik cokelat istrinya itu lalu mulai bercerita.

"Bapak dan Ibu cuma lulusan SD, SMP pun tidak sampai selesai. Bapak merantau ke kota ngikut orang, kerjanya macam-macam di sana, kuli bangunan sampai akhirnya jadi supir truk sebelum nikah sama Ibu yang cuma jualan ikan di pasar." Dimas mengalihkan pandangannya, menatap laut biru favoritnya. Sementara Hanna hanya diam mendengarkan.

"Setelah menikah dan aku lahir, lalu kira-kira usiaku satu tahun. Yang aku tahu, Bapak dan Ibu kerja di rumahnya Pak Ahmad, Papanya Vania di kota." Dimas kembali menatap Hanna, tanpa menyadari raut wajah istrinya telah berubah. "Bapak jadi supir pribadinya, sementara Ibu jadi pengasuhnya Vania."

Tiba-tiba Hanna memalingkan wajah membuat Dimas keheranan. "Kenapa?"

Hanna menggeleng cepat tanpa menoleh, lalu menjawab pelan, "Ngga apa-apa. Lanjut saja."

Dimas memainkan jemari Hanna dalam genggaman. "Aku tinggal sama Nenek sampai lulus SMA, lalu lanjut kuliah di kota dengan biaya dari Pak Ahmad. Nenek meninggal saat aku semester akhir, rencana mau pulang ke sini aku batalin dengan terima beasiswa S-2. Tidak semua orang bisa beruntung sepertiku terutama warga desa di sini, walau tumbuh tanpa asuhan orang tua, tapi masih bisa mengenyam pendidikan sebaik mungkin. Karena itu, aku punya cita-cita ingin membangun pelan-pelan desa ini, dan akhirnya bisa mendirikan 'PKBM Al-Insan' berjalan hampir tiga tahun ini."

Tidak ada jawaban dari Hanna yang sejak tadi hanya diam. Dimas memandang heran wanita itu yang tiba-tiba saja menunduk sambil mengusap sudut matanya.

"Kenapa menangis?" Dimas mengangkat wajah Hanna dengan menyentuh dagunya. Mata dengan manik cokelat itu tampak memerah.

"Kamu ...," Hanna tampak terisak seraya mengusap ujung hidung mancungnya, "Kamu beruntung."

Dimas mengernyit heran. "Beruntung? Ya aku beruntung." Tiba-tiba ia tersenyum tanpa tahu sebab Hanna menangis, ia mengusap jejak air mata di pipi tirus Hanna yang kini tampak selalu pucat. "Aku beruntung memilikimu sekarang."

Hanna tidak merespon, dia menunduk menghindari tatapan Dimas yang mencium ujung jarinya.

"Aku sayang kamu, Hanna. Aku ingin terus bersamamu. Selalu duduk di sini menghabiskan waktu senja berdua, atau mungkin bertiga suatu saat nanti. Menua bersama seperti Bapak dan Ibu yang tidak pernah terpisahkan—"

Hanna yang tiba-tiba menangis mengagetkan Dimas. Direngkuhnya Hanna dalam pelukan, yang membuat tangisnya semakin tidak terkendali.

"Sssttt... apa yang mengganggumu? Apa aku salah bicara?" Dimas panik mengusap punggung Hanna yang masih menangis walaupun tidak sekeras awalnya.

"Aku ... mau pu-lang," lirih Hanna tersendat.

"Pulang?" Hanna hanya mengangguk, "Baiklah. Kita pulang, jangan menangis. Ibu pasti akan memarahiku kalau kamu masih nangis." Dimas berdiri tanpa melepas pelukan, membawa Hanna melangkah kembali ke rumah. Ia sama sekali tidak curiga akan sikap Hanna yang jadi sensitif.

*****

Dengkuran halus terdengar mengisi keheningan malam. Hanna merapatkan selimut di tubuhnya polosnya. Matanya memanas menatap lurus pada sosok yang terlelap puas, memeluknya di samping. Bulir bening tidak kuasa ia tahan mengalir dari kedua sudut mata.

Hanna melepaskan tangan Dimas yang terasa berat memeluk perutnya. Ia berbalik memunggungi lelaki itu seraya mengusap perutnya dengan air mata yang terus membanjiri wajahnya. Lalu memeluk perutnya seakan takut bayinya tersakiti.

"Jangan tinggalkan aku, Hanna ...."

Hanna tersentak saat Dimas kembali memeluknya dari belakang. Embusan napas yang teratur menyapu tengkuknya menandakan lelaki itu masih asyik di alam mimpinya.

"Ma-maaf," lirih Hanna dengan bibir bergetar. Memejamkan mata dengan bulir bening yang terus mengalir tanpa henti, berharap kantuk segera menjemputnya agar pagi segera tiba mengakhiri kesakitan hatinya.

*****

Pagi yang dinanti telah kembali. Walaupun berat menahan mual, Hanna memaksakan seulas senyum seakan semua baik-baik saja pada semua orang di rumah terutama Dimas.

"Aku pergi dulu," bisik Dimas sambil mengecup pipi Hanna, lalu beralih di pucuk kepalanya. Hanna membalas dengan mencium punggung tangan Dimas.

"Nanti di kapal aku telepon. Setelah ini makanlah, aku sayang kamu." Dimas membuka pintu mobil, mendudukkan diri di balik kemudi tanpa mengalihkan tatapan dari Hanna. "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam." Hanna menutup mulutnya saat mobil Dimas mulai meninggalkan halaman rumah. Saat Avanza hitam itu sudah tidak terlihat, ia berbalik masuk ke dalam rumah.

"Dimas sudah pergi?" Bik Minah muncul dari belakang mengagetkan Hanna.

"Iya, Bu. Baru saja."

"Kamu sarapan dulu, nanti masuk angin. Wajahmu pucat terus, Nak." Bik Minah menatap Hanna khawatir.

"Iya," jawab Hanna, lalu melanjutkan langkah ke belakang. Ia keluar dari dapur, membuka cepat pintu kamar mandi. Belum sempat menutup pintu dengan baik, ia tidak kuasa menahan mual yang pagi ini terasa semakin parah padahal belum ada apapun yang masuk di lambungnya.

Sejak bangun subuh tadi, Hanna terus merasa mual. Ia terpaksa bertahan di kamar mandi dengan alasan mandi sekaligus menuntaskan rasa mual yang sangat menyiksa. Dan setelah melihat Dimas pergi, bukannya lega, ia kembali mual.

"Hanna?" Suara Bik Minah terdengar mendekat di luar sana.

Hanna langsung bergerak panik, menyiram kloset dengan gerakan kasar. Lalu membersihkan mulut serta mukanya. Ia keluar, tersenyum dengan wajah semakin pucat.

"Kamu kenapa? Sakit perut?" Bik Minah tampak khawatir, merasa kedua pipi Hanna yang makin tirus.

"Sedikit ngga enak badan. Aku, boleh istirahat sebentar, Bu?" tanya Hanna takut.

"Ya kalau kamu tidak enak badan, lebih baik istirahat tidak usah bantuin Ibu. Tapi kamu makan dulu, Ibu tidak mau kamu sakit, apalagi Dimas lagi tidak ada."

Hanna mengangguk, lalu masuk ke dalam. Ia duduk di ruang makan, mengisi gelas dengan teh yang masih hangat dan menyesapnya hingga tandas. Ia menatap malas lauk ikan pagi itu yang membuatnya tidak berselera makan, entah mengapa. Ia mengambil satu buah pisang Ambon yang ada di meja, lalu membawanya ke kamar.

Pintu kamar dikunci rapat, lalu Hanna membuka lemarinya.  Mengeluarkan semua pakaiannya. Ia menarik koper besarnya di sudut kamar, membukanya di lantai. Mengisi dengan asal pakaiannya, lalu terduduk di lantai dan menangis.

"Maafkan, Mommy. Maaf ... maaf," bisiknya terisak pada perut yang ia usap perlahan.

*****

Dimas menyugar rambutnya yang masih setengah kering karena air wudhu. Ia melangkah keluar balkon kamar tempatnya menginap di kota dengan ponsel di tangan. Kapal yang membawanya bersandar tepat jam satu siang, ia memutuskan untuk makan dan langsung tertidur saat tiba di penginapan. Karena cuaca buruk, ia juga tidak bisa menghubungi Hanna selama di kapal.

"Assalamu'alaikum."

Dimas tersenyum mendengar suara itu, Hanna. Baru tadi pagi meninggalkannya, ia sudah rindu.

"Wa'alaikumsalam. Maaf, ya baru telepon. Tadi di kapal, cuaca buruk ngga dapat signal. Terus sampai sini langsung ketiduran," ujar Dimas dengan senyum yang tidak lepas dari wajahnya.

"Ngga apa-apa."

Dimas menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, mundar-mandir kebingungan hendak berkata apalagi. Tiba-tiba ia mendadak bodoh, layaknya remaja yang sedang kasmaran.

"Hanna ...."

"Ya?"

"Kamu di mana? Sudah salat?"

"Sudah. Dan aku sedang berjalan ke pantai."

"Pantai? Sendiri?" Dimas mendadak panik.

"Iya, sendiri."

"Jangan berenang, ya? Apalagi selama aku ngga ada. Cukup jalan sekitar rumah saja. Aku janji, saat pulang kita akan berenang lagi," kata Dimas posesif.

"Hm ...."

"Baiklah. Kalau begitu tutup dulu, ya? Jangan sampai magrib di pantai, jangan lupa salat dan makan—"

"Aku mencintaimu."

Dimas mematung mendengar kata cinta yang entah kapan terakhir ia dengan dari Hanna. Kali ini dadanya berdesir hebat, membuatnya tidak bisa menahan senyum dan bungkam beberapa saat.

"Terima kasih telah mencintaiku, Hanna. Jaga dirimu dan tunggu aku pulang," ujar Dimas mantap.

"Ya, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam." Dimas tersenyum menatap layar ponselnya. Ia lupa, kapan Hanna mengambil foto dirinya dan menjadikannya background. Ia mengusap layar perlahan, tersenyum bodoh. Seharusnya ia melakukan video call tadi, agar bisa melihat langsung wajah Hanna untuk sedikit mengurangi rasa rindunya.

"Ah, besok saja," ujarnya dengan senyum yang semakin lebar, lalu kembali ke dalam kamar.

*****

Keesokan harinya, Dimas langsung disibukkan dengan urusannya di dinas pendidikan bahkan sampai asar. Walaupun begitu, semuanya selesai sesuai target. Selanjutnya, tim dari dinas akan datang untuk survei, menilai kelayakan sarana dan prasarana yang ada di PKBM-nya sesuai dengan proposal yang ia serahkan.

Selepas magrib, Dimas berjalan sendirian di pusat perbelanjaan terdekat dengan penginapan. Ia tersenyum bodoh menatap orang-orang yang hilir mudik bergandengan tangan. Seharusnya Hanna ikut bersamanya, ia tidak akan kesepian karena bersama kekasih halalnya.

Dimas menghentikan langkah di depan sebuah busana muslim. Sebuah gamis warna merah muda dengan motif bunga kecil yang terpasang di manequin sangat menarik perhatiannya. Ia merasa gamis itu sangat cocok untuk Hanna serta kerudung dengan warna senada.

"Bu, saya beli gamis yang ini," kata Dimas pada seorang wanita paruh baya yang datang menghampirinya. I menunjuk gamis yang menarik perhatiannya itu.

"Satu pasang dengan kerudungnya itu, dua ratus enam puluh ribu."

"Iya, tidak apa-apa. Tapi, kira-kira cukup, kan untuk istri saya yang tingginya segini." Dimas menunjuk dagunya, mengira-ngira tinggi badan Hanna.

"Oh, cukup, Mas. Ini gamisnya panjang."

Dimas tersenyum puas saat melihat gamis tersebut secara seksama. "Iya, saya beli, Bu."

Ia melanjutkan langkah setelah menyelesaikan pembayaran dan mendapatkan barang. Senyum terus tersungging di wajahnya. Sebenarnya, sudah lama Dimas ingin Hanna mengubah penampilannya, jadi lebih tertutup. Namun, ia selalu sulit menemukan kalimat yang pas tanpa menggurui Hanna dan memaksanya agar mau berubah. Ia berharap, apa yang diberikannya ini bisa menyentuh hati Hanna dan mengubahnya pelan-pelan.

*****

Beberapa kali Dimas mencoba menelepon Hanna, tetapi selalu tidak aktif padahal subuh tadi nomornya masih bisa dihubungi. Ia duduk di balik kemudi, mengantri membeli tiket masuk dalam kapal yang baru tiba sambil terus mencoba menghubungi Hanna dan hasilnya sama tidak aktif.

"Ada apa itu?" tanyanya pada petugas setelah mendapat tiket. Matanya menatap penasaran ke arah mobil ambulance yang mendekat ke arah kapal sebelum kendaraan penumpang keluar.

"Ada wanita hamil pingsan di kapal, sendirian tidak ada suaminya."

Dimas mengernyit, miris mendengar cerita petugas. Wanita hamil tanpa suami? Ia tidak bisa membayangkan bagaimana nasib wanita itu. Ia bersyukur tidak membuat Hanna melewati masa itu, karena ia berjanji akan selalu menjaga wanita itu dan ... mencintainya. 

Ya, dua malam kesendiriannya membuat Dimas menyadari perasaannya yang sebenarnya pada Hanna. Ia mencintai istrinya itu, ia terlalu bodoh sampai harus meragu akan kenyamanan dan bahagia yang terasa saat mereka bersama. Ia tersenyum, membayangkan wajah Hanna dan bagaimana reaksinya saat ia mengatakan cintah padanya.

"Aku mencintaimu, Hanna ...."

*****

Mobilnya berhenti di samping rumah hampir jam lima sore. Dimas keluar dengan semangat menenteng tas plastik berisi hadiah untuk Hanna. Ia berjalan masuk ke arah rumahnya yang sepi dengan pintu tertutup rapat.

"Assalamu'alaikum." Dimas membuka pintu, langsung melangkah ke kamar mencari Hanna. Dan ... kekosongan kamarnya yang rapi menyambutnya. "Hanna?"

Dimas mengernyit, lalu keluar ia berhenti di ruang makan melihat kedua orang tuanya yang duduk dengan wajah sendu. "Assalamu'alaikum, Pak, Bu." Ia menyalami kedua orang tuanya. 

"Wa'alaikumsalam." Pak Budi membalas tanpa suara, sementara Bik Minah terdengar parau.

"Hanna mana? Di pantai?" Dimas mengernyit heran karena orang tuanya diam saja. Ia berbalik cepat, berlari ke depan. Berdiri di teras, memandangi sekeliling pantai. Ia melempar asal tas yang sejak tadi dipegang, lalu berlari ke arah kanan pantai.

"Hanna!" teriaknya panik sambil berlari. "Hanna!" Tidak ada jawaban, hanya debur ombak yang terdengar.

"Cari siapa, Bang?" Seorang rekan dan instruksur di PKBM menghampiri Dimas berteriak di pinggir pantai.

"Istriku, Ded. Kamu lihat, ngga?"

"Istrinya Abang? Tadi pagi, kalau aku ngga salah lihat dari kantor, dia keluar rumah sambil narik koper, Bang."

Dimas menatap tajam lelaki yang berusia satu tahun di bawahnya. "Jangan bercanda kamu!" desisnya lalu berlari kembali ke rumah.

"Pak! Bu!" Dimas menatap panik kedua orang tuanya yang sudah muncul di teras rumah, menatapnya sedih. "Hanna mana? Dia ngga ada di pantai!"

"Hanna pergi, dia tidak hubungi kamu?" Suara Bik Minah bergetar, karena tangis yang tidak kuasa ditahan.

Dimas mengepalkan kedua tangan, napasnya memburu, menatap kedua orang tuanya tidak percaya. "Pergi? Ke mana? Tadi pagi aku masih teleponan sama dia!" Ia langsung berlari masuk dalam rumah, kembali ke kamarnya. 

Lututnya melemas saat melihat tidak ada satu pun baju Hanna yang tertinggal di lemari. Matanya beralih ke meja rias Hanna yang kosong. Dimas mejambak rambutnya kasar, menatap sekeliling kamar frustrasi.

"Tidak ... tidak! Hanna tidak mungkin pergi dariku, dia mencintaiku!" Dimas meyakinkan diri lalu merogoh kasar saku celananya, mengambil ponsel dan langsung menelepon Hanna. "Argh ...!" Ia membanting ponsel di lantai saat nomor Hanna tetap tidak bisa dihubungi.

0 comments:

Posting Komentar