Cerbung....
*Aku Bukan Wanita Bodoh*
*Jilid.....8*
Aku melangkah menuju balkon, semilir angin terasa dingin menyentuh kulit. Di seberang jalan terlihat rumah megah itu dengan lampu yang masih menyala, menandakan penghuninya yang belum terlelap. Rumah yang sudah membuat suamiku lupa rumahnya sendiri.
Bayanganku kembali ke ke masa silam. Masa-masa perjuangan Mas Amin menempuh pendidikan sebagai seorang perwira. Saat ekonomi lagi terpuruk, tapi demi mendukungnya menempuh pendidikan, aku rela banting tulang.
Biaya untuk menempuh pendidikan perwira tidaklah murah. Aku rela melepas perhiasan emas pemberian orang tua aku semasa gadis, demi membantu perjuangan suamiku. Untuk sementara kami hidup berjauhan. Mas Amin di tanah Jawa, aku dan anakku Aliya di pelosok Maluku Utara. Aku ikhlas, demi mendukung karir suami.
Membiayai suami yang lagi menempuh pendidikan dan mengurus perawatan mertua yang sakit diabetes bukanlah hal yang mudah. Mengandalkan gaji Mas Amin dan uang remonerasi tidaklah cukup. Aku mulai putar otak. Dapur harus tetap mengepul, Mas Amin harus tenang melanjutkan pendidikan, dan bapak mertua harus tetap menjalankan perawatan sampai sembuh.
Dengan uang seadanya dan sedikit ketrampilan membuat kue, aku membeli bahan-bahan kue. Kue pertama buatanku adalah roti manis dan donat.
Komoditi terbesar di pulau tempat kami bertugas dulu adalah kelapa dan cengkeh. Aku melihat peluang bagus. Kebetulan saat itu lagi musim panen cengkeh. Aku menjual kue dengan cara barter sama cengkeh dan kelapa. Aku rela masuk kebun dan hutan, demi menemui pelanggan. Setelah kue habis, aku pulang membawa cengkeh mentahan yang beratnya lumayan.
Apalagi membawanya dengan menenteng di kepala, sambil berjalan kaki naik turun bukit. Jarak yang di tempuh bisa memakan waktu dua jam perjalanan. Sungguh melelahkan.
Setiap hari pekerjaan itu aku lakonin. Setelah cengkeh kering dan kelapa jadi kopra, semuanya aku jual dan hasilnya di kirim untuk Mas Amin.
Lelah ku terbayar saat mendampingi Mas Amin di lantik sebagai seorang perwira. Bangga dan bahagia menjadi satu. Perjuangan kami tak sia-sia. Aku tak perlu menceritakan ke suamiku itu seberat apa perjuanganku untuk meraih semua itu. Tak perlu, karena bagiku itu bakti seorang istri. Tapi tubuh ringkih dan muka kucel yang tak biasa jadi pertanyaan buat Mas Amin.
"Bunda kelihatan kurus, kurus banget malah, gak kaya biasanya,"
Pertanyaan Mas Amin hanya ku jawab dengan senyum.
"Bun, ini kulitnya juga hitam gini, selama ayah ga ada bunda ngapain aja?"
Tanyanya lagi.
"Bunda jualan kue Yah, di tukerin sama cengkeh dan kelapa, mungkin ini efek dari menjemur cengkeh tiap hari dan mengasap kelapa jadi kopra."
Jawabku santai sambil tersenyum.
"Apa?" Mas Amin terkejut.
"Bunda ngapain ngelakuin itu semua?"
Tanya suamiku seakan tak percaya.
"Sudahlah, demi kita juga. Gaji ayah gak cukup yah, belum biaya pengobatan bapak, tiap bulan harus bunda kirim. Sudahlah sekarang bunda bahagia pengorbanan bunda gak sia-sia."
Mas Amin langsung memeluk, menciumku berkali-kali.
"Bunda makasih ya, selamanya ayah gak akan lupain pengorbanan bunda."
Aku hanya tersenyum waktu itu. Aku berdoa semoga lelahku menjadi berkah. Semua yang ku lakukan tulus ingin mendukung karir suami. Tak pernah ku sangka kalau semuanya berakhir seperti ini.
Tak ada lagi yang perlu di harapkan. Saat jabatannya di copot aku masih berharap Mas Amin bakal berubah dan memilih kami, walau sakit aku akan menerimanya demi anak-anak. Aku akan tinggalkan pekerjaanku dan akan menemaninya walau di pelosok lagi seperti dulu saat masih Bintara. Tapi sepertinya semuanya takkan pernah terjadi. Semuanya sudah berakhir. Kepergian Mas Amin nanti bersama perempuan tak tahu diri itu adalah awal dari kehancurannya, aku pastikan itu. Mas Amin dan Karin sudah membuat hatiku benar-benar jadi batu.
===============
Hari masih pagi ketika aku harus segera berangkat ke kantor. Hari ini ada klien yang ingin bertemu.
Ku jalankan mobil dengan tenang ketika ada yang menghadang dari depan, Karin.
"Waduh kamu kerja sekarang ya Merry? Kenapa, apa gaji Mas Amin dan uang pemberian aku masih kurang? duh Merry ternyata kamu istri yang boros ya,"
Cerocos Karin seolah meledekku.
"Minggir Karin, aku buru-buru nih,"
Aku mencoba tetap tenang walau hati bergemuruh.
"Makanya jadi orang jangan kere, lihat aku nih, hartaku banyak sampai suamimu aja tega ninggalin kamu kan? Oh ya hari ini juga aku dan suamimu itu akan pergi ke pelosok, aku akan menemaninya di sana sebagai nyonya Amin.
Kesabaranku habis, tapi aku tak mau ribut di pinggir jalan.
Mobil ku parkir agak menepi. Aku melangkah turun dari mobil dan berjalan melewatinya yang berdiri di tepi pagar rumahnya.
Tentu saja Karin terkejut melihatku nyelonong masuk ke dalam rumahnya.
"Eh kamu, mau apa masuk rumahku segala, mau bujuk Mas Amin biar pulang sama kamu gitu?"
Aku tak menjawab, hanya berdiri melipat tangan di dada, menatapnya tajam.
Terdengar langkah kaki dari tangga. Mas Amin turun membawa koper besar. Sepertinya benar ucapan Karin barusan,mereka sudah siap ke pelosok.
Mas Amin yang melihatku berada dalam rumahnya melihatku penuh tanya.
"Aku cuma mau mastiin kalian tak lupa dengan perjanjian yang sudah kalian tanda tangani setelah nanti di pelosok."
Ucapku sambil menatap Karin dan Mas Amin bergantian.
"Sudah pasti aku tak lupa, mana rekening kamu, aku akan mentransfer setiap bulan."
Ucap Karin pongah.
"Tidak Karin, aku gak mau kamu transfer, aku minta pembayaran untuk satu tahun ke depan."
Karin terkejut. Dalam hati aku tergelak. Suruh siapa Karin kamu selalu mengganggu kehidupan ku. Tadinya tak terpikir sedikitpun untuk meminta seperti itu, tapi kelakuan Karin barusan di jalan membuatku ingin membuatnya menyesal.
"Mana Karin? Katanya kamu banyak harta, orang kaya, masa cuma seratus delapan puluh juta kamu gak bisa kasih sekarang,"
"Kamu bohong Merry, kamu janji gak akan melaporkan Mas Amin, buktinya apa, Mas Amin di copot dari jabatannya. Sekarang kamu minta lagi uangnya, setelah ini kamu pasti melaporkan Mas Amin."
"Aku gak pernah melanggar janji. Namanya bangkai pasti suatu saat tercium juga."
Karin cemberut. Tanpa membalas ucapanku Karin berlalu ke kamarnya. Tak lama wanita itu kembali lagi sambil menenteng kantong kresek berlogo salah satu swalayan.
"Ini ambil. Sebenarnya ini buat bekal aku dan Mas Amin di pelosok nanti. Tapi gak apa-apa buat kamu aja dulu. Aku bisa ambil lagi nanti, aku lebihin jadi dua ratus juta...."
"Ooooh dengan senang hati, aku terima ya, permisi."
Aku memotong ucapan Karin, mengambil kantong berisi uang tersebut, aku menghampiri Mas Amin.
"Tak ada sedikitpun niat untuk melaporkan kamu juga Karin, tapi jika suatu saat ketahuan lagi hubungan kalian, kamu tak perlu repot-repot menyangka kalau itu aku yang melakukannya. Kamu pasti tahu sendiri cepat atau lambat hal yang kamu takutkan pasti terjadi. Dan saat itu terjadi, aku dan anak-anak sudah jauh pergi dari hidup kamu. Jangan pernah berharap pintu maaf lagi dari aku juga anak-anak."
Aku berlalu di diiringi tatapan menyebalkan dari dua manusia tak tahu malu itu.
Dasar bodoh, yang di pikirannya cuma nafsu. Yakin banget selamanya akan aman. Karin kamu tunggu aja gak akan sampe setahun kamu pasti menangis darah.
Dan kamu Mas, pergilah Mas, nikmati harimu bersama Karin di pelosok sana. Tunggu saja kehancuranmu di depan mata.
Bersambung...
.
0 comments:
Posting Komentar