Cerbung...
*Aku Bukan Wanita Bodoh*
*Jilid......7*
"Bunda maafin ayah"
Kalimat itu begitu sendu keluar dari mulut Mas Amin. Andai kalimat itu di ucapkan sepuluh bulan yang lalu mungkin terdengar indah dan menggugah hati ini. Tapi saat ini, saat hati ini di biarkan membeku, saat netra ini terbiasa menyaksikan kemesraan belahan jiwa di depan mata, saat raga ini sudah terbiasa menahan dinginnya malam tanpa dekapan, saat air mata tak lagi menetes, permohonan maaf itu baru terucap dari bibir lelaki bergelar suamiku itu.
"Kemana kamu selama ini Mas,"
Desahku.
"Bunda kasih ayah kesempatan buat memperbaiki semuanya."
"Tak ada yang perlu di perbaiki Mas, semuanya baik-baik saja. Saat kamu memilih perempuan itu aku sudah puas memohon, saat kamu memilih pergi dari rumah aku sudah puas menangis, kamu tinggalkan aku dan anak-anak dengan luka menganga, tanpa peduli perasaan kami Mas, sekarang air mataku sudah kering, lukaku sudah terobati, anak-anak sudah terbiasa tanpa kehadiranmu, jangan datang lagi kalau hanya untuk membuka luka yang sudah tertutup."
Mas Amin menunduk. Untuk pertama kalinya ku lihat lelaki itu menangis. Aku bergeming.
"Sudahlah Mas tak ada yang perlu di sesali. Kamu yang memulai semuanya. Kalau kamu sungguh mencintai Karin pergilah, urus perceraian kita secepatnya, aku ikhlas. Aku bukan tak mau mengurusnya tapi saat ini aku tak ada waktu banyak untuk urusan begitu."
Mas Amin memandangiku, seperti menyadari sesuatu. Netranya lekat menyusuri setiap lekuk tubuhku. Seperti menyelidiki.
"Bunda kerja?" Tanyanya ragu.
Aku mengangguk.
"Di mana Bun, sejak kapan," tanyanya lagi.
"Sejak kamu memilih hidup bersama Karin."
Jawabku datar.
"Bunda....sangat cantik." Ucapnya lebih seperti berbisik.
Dalam hati aku tergelak. Selama ini suamiku seperti tertutup mata hatinya. Yang cantik depan mata tak kelihatan malah milih yang di seberang jalan.
"Ah kamu Mas bukannya aku dari dulu juga sudah cantik, hmmm."
"Iya ayah tahu tapi sekarang beda..."
Ucapannya menggantung.
Tak urung aku jadi menelisik penampilanku hari ini. Setelan jas biru muda dengan blouse putih di padu celana panjang warna hitam, kerudung polos segi empat warna senada dengan bros kecil menggantung manis, yah pekerjaanku yang selalu berinteraksi dengan orang lain memaksa aku untuk tampil sempurna.
Aku tersenyum menangkap binar di mata Mas Amin. Sekian lama menjadi istrinya, aku tahu binar apa itu. Sejak di tinggal Mas Amin, aku menyibukkan diri dengan pekerjaan, mengurus rumah dan anak-anak, dan tak lupa memanjakan diriku dengan perawatan tubuh dan senam aerobik. Sepertinya perubahan di tubuhku ini yang menyebabkan binar itu.
"Sudahlah Mas, kamu bisa nyuruh Karin senam tubuhnya bisa bagus kok, jangan sibuk aja ngurusin bisnisnya, badannya tuh di rawat biar gak kaya buntelan."
Ujarku seraya tersenyum menggoda. Mas Amin terlihat salah tingkah. Aku tak mau buang waktu, pekerjaan menumpuk di kantor, aku harus segera balik sekarang. Bergegas aku masuk mobil. Meninggalkan Mas Amin yang kelihatannya masih terpukau.
"Aku pamit ya Mas, pekerjaanku banyak."
Sambil melempar senyum aku berlalu. Aku tahu masih ada sisa cinta di.matanya walau sedikit. Baguslah Mas biar kamu tahu gimana rasanya di tinggalkan orang yang masih kamu cintai.
===============
Pukul sepuluh malam aku baru tiba di rumah. Pekerjaanku cukup menyita waktu dan energi. Setelah memasukan mobil ke garasi aku segera masuk ke dalam rumah, tapi di depan pintu aku tertegun. Ada dua pasang sandal yang aku tahu bukan milikku apalagi milik anak-anak. Segera aku menuju ruang tengah untuk menuntaskan rasa ingin tahu.
Mas Amin dan Karin. Dua makhluk itu sudah duduk manis di depan tv. Anak-anak tak terlihat. Hanya Bibik Minah, asisten rumah tanggaku yang lagi duduk menemani tamu tak di undang itu.
"Ada apa."
Tanyaku.langsung dan datar.
"Bunda...."
Mas Amin sepertinya mau mengatakan sesuatu tapi ragu-ragu.
"Jangan pikir aku kalah Merry,"
Tiba-tiba lantang suara Karin, sumpah aku kaget. Ku tatap tajam wajah wanita tak tahu malu itu.
"Kamu pikir selama ini kita perang gitu Karin? Perang memperebutkan apa? Laki laki ini?"
Tanyaku geram sambil menunjuk wajah lelaki di hadapanku.
"Ambil, ambiilll aku sedekahkan untuk kamu, aku tak butuh!"
"Bunda, apa tak ada lagi rasa cinta untuk Ayah Bun, apa Bunda tak berniat mempertahankan ayah?"
"Hah? Kamu pikir kamu itu benda mati apa ya, jadi aku harus berjuang buat mempertahankan kamu. Kamu punya hati punya otak kamu tahu apa yang harus kamu perjuangkan. Bodoh sekali kamu Mas. Selama ini aku dan anak-anak di sini kami tak ke mana-mana, kita cuma di batasi jalan raya, tapi tak sekalipun kamu menengok kami. Harusnya kamu tahu ke mana kamu pulang. Perempuan ini benar benar sudah membuat mu lupa jalan pulang, katakan gimana caranya aku bisa mempertahankan kamu,sementara kamu sendiri tak tahu gimana caranya kamu mempertahankan diri kamu. Bertahun-tahun kamu menjadi anggota TNI, kamu tahu aturan, tapi apa, kamu seolah sengaja membiarkan karir dan jabatanmu jatuh begitu saja hanya demi perempuan ini. Lalu apa, apa yang kami harapkan lagi dari kamu. Sekarang aku tanya sama kamu sekali lagi Mas, kamu pilih keluarga kamu apa perempuan ini."
Aku benar-benar emosi, kutatap lekat wajah Mas Amin menunggu jawabannya.
"Ayah.."
"Jangan bilang kamu mau ninggalin aku Mas."
Karin memotong ucapan Mas Amin.
"Bisakah kamu diam sedikit saja Karin, kasih kesempatan suamiku bicara."
Geram melihat tingkah si Karin. Muak sebenarnya. Ingin sekali menendangnya keluar dari rumahku. Tapi untuk kali ini aku ingin mendengar langsung keputusan Mas Amin.
Tapi dasar Karin wanita tak tahu malu. Seakan tak ingin membiarkan Mas Amin mengeluarkan isi hatinya. Digenggamnya tangan Mas Amin, wajah memelasnya sungguh memuakkan.
"Tolong nikahi aku lagi Mas. Aku akan mendampingi kamu di pelosok. Aku rela Mas yang penting bisa hidup sama kamu."
Benar-benar Karin kali ini bikin emosiku sampe ke ubun-ubun. Apa dia lupa, dia yang menyebabkan Mas Amin di copot dari jabatannya sampai akhirnya di pindahkan ke pelosok. Apalagi melihat Mas Amin yang bak boneka Karin. Tak ada sedikitpun usahanya untuk.mempertahankan rumah tangga kami. Sikapnya yang lemah dan ketakutan saat melihat Karin marah-marah sungguh membuatku muak.
"Mas kamu pilih siapa? Kalau kamu memilih Karin.silahkan keluar dari rumah ini dan jangan pernah berfikir tuk kembali.
Mas Amin beranjak dari duduknya di ikutin Karin.
"Maafkan ayah Bun."
Ucapnya sambil melewati aku yang lagi berdiri tanpa memandangnya.
"Itu keputusanmu Mas. Kamu tahu apa akibatnya nanti. Ku harap kamu gak pernah menyesal."
Aku.membalas ucapannya tanpa menoleh. Dari tempatku berdiri ku dengar pintu pagar di tutup, tanda dua tamu tak di undang itu telah pergi dari rumah ini.
Tak terasa air mataku menetes setelah sekian lama kering. Aku tak tahu apa yang ku tangisi, selamanya ditinggalkan suamiku atau bayangan kejatuhan Mas Amin kelak.
Bersambung...
0 comments:
Posting Komentar