Cerbung....
*Aku Bukan Wanita Bodoh*
*Jilid......9*
Suasana kantor masih sepi saat aku tiba di lobi. Ku coba menghubungi klien yang katanya ingin bertemu dan melihat rumah yang akan di belinya.
Semoga rejeki lagi hari ini, doaku.
"Assalamualaikum, pak maaf bapak di mana saya sudah menunggu di lobi."
"Walaikumslaam maaf bu saya sudah di lokasi, pas di depan rumah yang mau saya beli, saya harap bisa ketemu di sini aja ya bu."
"Baiklah pak, saya segera ke sana."
==========
Lelaki berbadan tegap, mengenakan pakaian dinas khas TNI-AD, sedang berdiri di depan salah satu rumah yang belum ada penghuninya, sambil mengamati, kelihatannya serius.
Hati-hati aku menghampiri lelaki tersebut. Dari pangkatnya terlihat lelaki itu jauh beberapa tingkat lebih tinggi dari Mas Amin. Aku sedikit deg-degan, mengingat kasus Mas Amin yang masih hangat-hangatnya. Jangan sampai orang ini hanya datang untuk menginterogasi.
"Ah kok aku jadi parno gini ya," kataku dalam hati.
Berjalan pelan berharap apa yang ku pikirkan salah, semoga.
"Asalamualaikum Pak,"
"Walaikumsalam,"
Orang itu menoleh dan melemparkan senyum ramah.
"Maaf apa ini Bapak Wahyu?"
"Iya bu,"
Kembali lelaki bernama Wahyu itu tersenyum ramah dan mengulurkan tangan menyalamiku.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling perumahan berharap ada tempat duduk buat aku dan Pak Wahyu.
"Udah bu tak perlu repot-repot saya gak lama, saya masih banyak urusan, kita selesaikan saja ya."
Sepertinya Pak Wahyu membaca pikiranku.
"Oh silahkan pak, bapak pilih rumah yang mana, mau pembayaran cash atau proses KPR pak?"
Tanyaku sopan.
"Saya bayar cash aja, tapi saya mau yang belum di bangun, saya ingin mendesain sendiri interiornya."
Aku mengangguk tanda paham.
"Baik pak, mau type berapa, di sini tersedia type rumah dari type 40 sampai type 80, "
"Saya mau yang type 80 aja ya bu, saat ini saya kasih tanda jadi dulu 70 persen. Sisanya saya kasih kalau rumahnya sudah selesai, gimana?"
"Bisa pak, sebentar pak saya bikin kwitansi dulu."
Alhamdulilah dalam hati aku bersyukur. Pembeli tidak neko-neko. Tanpa nawar ini itu langsung deal. Aku sudah salah menilai tadi, tadinya ku pikir orang intel yang sengaja ingin mencari tahu soal Mas Amin dan Karin. Bukannya apa-apa, aku sudah malas dan gak mau lagi berhubungan sama dua manusia itu, kalaupun harus di usut lagi silahkan staf intel bekerja sendiri tanpa melibatkan aku.
Setelah urusan dengan Pak Wahyu selesai aku segera balik ke kantor. Masih ada urusan juga dengan klien lain. Hari ini tiga unit rumah terjual cash, alhamdulilah.
Dengan kesibukan seperti ini aku bahagia, setidaknya aku bisa melupakan masalah yang membebani selama ini.
========
Lima bulan berlalu, aku menjalani hari-hari tanpa beban. Belajar melupakan dan mulai menata hati. Waktuku ku habiskan dengan bekerja dan mengurus kedua buah hati. Saatnya kami bahagia tanpa kehadiran seorang suami juga ayah.
Bila dulu masih ada ruang yang tersisa di sudut hati ini untuk Mas Amin, tapi saat ini hati ini tertutup rapat untuknya. Aku tak mau sisa hidupku terbuang sia-sia hanya untuk menangisi seorang suami yang sudah melupakan istri dan anak-anaknya demi wanita lain.
I love you...please say you love me to..
Nada notifikasi dari gawaiku menandakan ada panggilan masuk. Nomor tak di kenal. Biasanya kalau nomor baru yang menelpon itu adalah calon pembeli rumah. Segera ku jawab .
"Hallo, Assalamualaikum ."
"Merry ini aku Karin."
Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya kesal.
"Iya ada apa."
Jawabku datar.
"Merry aku kan sudah memenuhi permintaan kamu, bisakah kamu memenuhi satu aja permintaanku,"
"Apa."
"Tolong gugat cerai Mas Amin, aku gak kuat hidup tanpa status begini, aku dah bela-belain ikut Mas Amin ke pelosok tapi di sini aku gak bisa tenang. Kapan saja aku bisa di tanyain soal surat-surat sebagai istri seorang anggota, aku tak punya, tolong deh Mer kamu ngajuin gugatan cerai, aku juga ingin menjadi istri sah."
Aku menutup mulut menahan tawa. Andai saja aku di rumah dan bukan di kantor, tawaku pasti sudah meledak. Benar-benar wanita di seberang telepon itu sudah tak punya urat malu.
"Eh Karin, harusnya kamu itu pelajari dulu resiko bila selingkuh dengan tentara ataupun polisi. Selamanya kamu yang rugi karena gak akan dapat apa-apa."
"Aku kan cuma minta kamu gugat cerai Mas Amin, kamu bertahan juga buat apa toh dia gak cinta lagi sama kamu"
Ucapnya lagi tanpa beban.
"Karin, kamu pikir aku bodoh ya, aku gugat cerai dan setelah itu kalian bisa menikah gitu? Kalau aku gugat cerai sekarang enak di kalian dong ya, gak segampang itu Karin. Aku gak sebodoh itu. Aku pasti gugat cerai Mas Amin tapi nanti, setelah lelaki yang kau rebut dari istri dan anak-anaknya itu di copot seragam dinasnya. Tenang aja Karin kamu pasti jadi istri sahnya Mas Amin nanti setelah kalian sama-sama jadi blangsak."
Aku tak tahu ucapanku barusan adalah doa atau kutukan. Yang jelas Karin kembali mengorek Luka yang sudah lama tertutup. Ada debar aneh saat ucapanku barusan di akhiri dengan iringan petir yang menggelegar.
=========
Hari libur selalu ku manfaatkan dengan menghabiskan waktu bersama anak-anak. Hari ini si bungsu Radit meminta berenang ke sangkan park. Jaraknya cukup jauh dari rumah, tapi aku tak bisa menolak. Ini saatnya memanjakan anak.
Semua perlengkapan dan bekal sudah masuk mobil. Aku mengajak bibik ikut serta. Mobil segera ku nyalakan. Aku akan segera keluar pagar ketika terdengar suara gaduh dari jalan raya. Tak urung membuatku penasaran juga. Aku meminta Aliya mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Belum sempat Aliya turun suara riuh terdengar dari depan rumah Karin di sertai teriakan warga.
"Kebakaran...kebakaran..." Di susul suara berdentum keras seperti benda berat yang jatuh.
Aku langsung turun dari mobil. Setengah berlari aku menuju jalan raya. Kobaran api di depan rumahku, rumah megah itu rumah Karin.
Rumah megah dan mewah berlantai tiga itu runtuh menyisakan puing-puing yang berserakan. Dua buah mobil mewah yang tadinya terparkir di garasi tinggal kerangka.
Aku terpana dengan pemandangan di depanku, seakan terhipnotis aku tak tahu apa yang harus kulakukan.
Bunyi sirene menyadarkan aku.
" Astagfirullah.. Astagfirullah..Astagfirullah.."
Aku hanya mampu beristigfar melihat kobaran api yang merembet ke bangunan di sebelah rumah Karin, toko bangunan dan toko meubel milik Karin.
Bersambung...
.
0 comments:
Posting Komentar