CARTING PART 3

=====================
๐Ÿ‘Œ๐Ÿฏ๐Ÿฅ

CANTING (PART 3) 

"Apa, to, kalian ini," sungut Sekar. Semua tertawa.

"Jadi, sudah sejak kapan Mbak Sekar sama Den Hadi pacaran? Kok tahu-tahu sudah lamaran?" selidik seorang gadis berambut panjang. 

"Iya, gimana ceritanya, Mbak, kok Mbak Sekar bisa dilamar Den Hadi?" Gadis di sebelahnya juga penasaran. 

Sekar terdiam. Sejujurnya, ia sendiri juga tidak tahu alasan Hadi melamarnya. Ia tidak tahu kenapa Hadi memilihnya. Beberapakali Hadi membawa koleganya, atau teman kuliahnya ke rumah. Saat membawakan makanan dan minuman untuk mereka, Sekar bisa melihat dengan jelas bahwa banyak gadis-gadis luar biasa, pintar, sekaligus kaya raya di sekitar Hadi. Tapi entah kenapa Hadi justru memilih anak ingusan sepertinya. 

"Aku... aku juga nggak tahu," jawab Sekar, jujur. 

"Cie... nggak tahu apa nggak tahu?" ledek seseorang. Sekar kembali tersipu.

Dari dalam, Hadi tersenyum mendengarnya. Dipandanginya sosok yang dicintainya itu dari balik celah jendela. Hati Hadi berdesir. 

Awalnya, Hadi tak menyadari bahwa ada cinta bersemayam di hatinya. Namun kian hari,  rasa itu semakin menggelora. Jarak 10 tahun usia keduanya membuat Hadi menyayangi Sekar layaknya adiknya. Apalagi Hadi anak tunggal. Tapi saat Sekar kian beranjak dewasa, rasa sayang Hadi sumbuh subur menjadi cinta. Bukan cinta kakak pada adiknya, tapi cintanya sebagai lelaki dewasa kepada seorang gadis yang ingin dinikahinya. Cinta layaknya cinta Adam dan Hawa. 

Hadi suka perangai Sekar. Kalem, sopan, namun berpendirian. Selain itu, keuletannya menorehkan kesan tersendiri di sudut hati Hadi. Masih terekam dalam ingatannya saat Sekar kecil ikut sibuk membantu pekerjaan simbok. Tangan-tangan mungilnya sigap membawa piring-piring kotor dari meja makan ke wastafel. Meski belia, ia tak pernah tega membiarkan simbok bekerja sendirian. Gemas, sesekali Hadi menggodanya, memainkan piring kotor di tangannya hingga Sekar kecil tak mampu meraihnya. 

"Ih, Den Hadi jelek!"

Begitu gerutunya saat digoda, dan biasanya, Hadi membalasnya dengan mengacak-acak rambut berombaknya. Rambut yang kini selalu ditutupi jilbab oleh pemiliknya. 

Waktu berjalan, Sekarpun semakin menunjukkan kedewasaan. Hingga rasa gemas yang dahulu muncul saat melihat Sekar kecil berusaha membawa piring-piring kotor, berubah menjadi rasa yang menggelora saat melihat Sekar dengan senyum manisnya tengah mengepel ruang tengah. Hadi juga tak bisa lupa rasa hatinya yang terus berdesir manja saat Sekar menyajikan makanan untuknya, atau menyiapkan pakaiannya. Getaran hebat selalu mengguncang dadanya saat ia membayangkan bahwa Sekar membawakan segelas teh hangat untuknya dengan status sebagai istrinya, bukan sebagai rewangnya.

Semakin hari, bayang-bayang Sekar semakin melekat di hati. Benih cinta itu kini bersemi, semakin memenuhi hatinya dengan warna pelangi. Hadi sudah tak tahan lagi. Ia memberanikan diri untuk bicara pada ibunya, Sundari, bahwa ia ingin mengikat Sekar dalam ikatan suci. Gayung bersambut. Sundari menyetujuinya. Buncah bahagia semakin menguasainya saat ayah Sekar juga menyambut dengan suka cita lamarannya. Minggu depan, Hadi dan keluarga akan ke kampung halaman Sekar untuk lamaran resminya. 

Hadi melebarkan celah jendela di hadapannya. Ia ingin melihat pencuri hatinya yang masih sibuk membatik itu lebih lama lagi. 

Aku tidak tahu apa yang terjadi denganku. Yang kutahu, kini aksara cintaku, kidung rinduku, semuanya mengalir untukmu. Semuanya berhenti di kamu. Sama sekali tak bercabang pada siapapun selainmu.

"Melamun, Di?" 

Hadi tersentak. Sebuah tepukan kecil mendarat di pundaknya. 

"Kamu sedang memperhatikannya?" 

Sosok yang masih terlihat sangat cantik  di usianya yang tak lagi muda itu berdiri di sebelah Hadi. 

"Sudah sejak lama Ibu tahu kalau kamu mencintainya, Di. Sorot matamu selalu mengatakan itu," sambungnya lagi. 

"Apa Kanjeng Ibu betul-betul ridha? Apa Kanjeng Ibu betul-betul tidak masalah jika mungkin nanti ada satu atau dua mulut yang mempertanyakan status sosial Sekar yang menurut kebanyakan orang berbeda dengan kita?" telisik Hadi. 

Sundari tersenyum.

"Ibu ridha, Le. Menikah itu ibadah. Jadi kenapa Ibu harus tidak  ridha? Kenapa harus memikirkan perkataan orang? Apalagi Sekar itu anak baik-baik.  Kejar bahagiamu. InsyaaAllah, Gusti Pangeran uga paring restu."

Hadi mencium takzim punggung tangan ibunya. Sosok luar biasa yang menjadi panutannya sejak sang ayah pergi meninggalkan dunia. 

Sundari membelai lembut kepala putra semata wayangnya. Pelupuk matanya memanas, dan sejurus kemudian airmata menggenang di sana. Ada keharuan luar biasa. Dibelainya kembali rambut Hadi. Rasanya baru kemarin Sundari menggendong Hadi sambil melantunkan tembang jawa Lela Ledhung sambil menepuk-nepuk pantatnya agar ia tertidur. Tapi kini putranya telah dewasa, bahkan sebentar lagi akan segera mengakhiri masa lajangnya, menjadi pemimpin dalam rumah tangga yang akan ia bina bersama pujaan hatinya. 

Tak lela lela lela ledhung.
Cup menenga aja pijer nangis.
Anakku sing bagus rupane.
Yen nangis ndak ilang baguse. 
Tak gadang bisa urip mulya.
Dadiya priya kang utama.
Ngluhurke asmane wong tuwa.
Dadiya pandekaring bangsa.

[Timang timang anakku sayang.
Diamlah, jangan menangis.
Anakku yang tampan,
Jika terus menangis, ketampananmu akan hilang.
Kudoakan kelak hidupmu mulia.
Mengharumkan nama orang tua.
Dan menjadi pahlawan bagi bangsa.] 

Perlahan, bibir Sundari melantunkan tembang itu lagi sambil jemarinya terus membelai Hadi. Hadi menikmatinya sambil terus memandang pencuri hatinya dari balik celah jendela.

**********

Temaram cahaya bulan membuat suasana romantis kian tercipta. Di sebuah gazebo di pinggir danau di Westlake resto, Sekar tampak menundukkan pandangan. Lagi-lagi ia tak mampu membalas tatapan Hadi. Apalagi mereka hanya berdua saja, jarak mereka hanya terpisah meja.

Hadi sengaja mengajak Sekar ke tempat ini, sebuah restoran dengan suasana yang begitu asri, dengan gazebo-gazebo di tepi danau yang berjejer rapi. 

"Kenapa diam saja?" Hadi membuka percakapan. Sekar masih menundukkan pandangan. Ia meremas jemarinya. 

"Kamu jadi lebih banyak diam sejak aku mengutarakan lamaranku. Apa kamu... tidak setuju?" sambung Hadi lagi. 

Sekar bingung harus menjawab apa. Rasanya begitu aneh saat ia berdua saja bersama majikannya. Sejujurnya, Sekar merasa tak nyaman dengan ini semua. Sekar merasa begitu rendah diri. Meski Hadi telah tegas mengungkapkan cinta, Ia tetap merasa tak pantas berada di sini bersamanya. 

"Kenapa... Den Hadi memilih saya? Bukankah di sekitar Den Hadi banyak perempuan-perempuan yang jauh lebih layak?" 

Sekar akhirnya buka suara, setelah berusaha mengumpulkan serpih demi serpih keberanian untuk menanyakannya. 

"Menurutmu kenapa?" Hadi balik bertanya, dengan manik mata yang tak pernah berhenti menatapnya. Sekar semakin gugup dibuatnya. 

Den Hadi, bisakah sejenak berhenti menatapku? Aku takut aku tak kuasa menghalau pesonamu.

"Saya... saya tidak tahu, Den." Lagi lagi, Sekar meremas jemarinya. 

"Apa kamu ragu dengan lamaranku? Perangaimu menunjukkan itu. Jika ada yang ingin kamu ungkapkan, ungkapka segera. Beritahu aku apa yang kamu rasa," ucapnya. Sekar menghela napas.

"Saya... saya hanya merasa tidak pantas. Saya hanya rewang. Sedangkan Den Hadi majikan. Saya hanya gadis kampungan, sedangkan Den Hadi dari keluarga terpandang dan berpendidikan. Lagipula, apa Den Hadi tidak malu nanti punya istri anak ingusan seperti saya yang hanya lulus SMA? Saya... saya merasa tidak pantas, Den. Bagaimana nanti pandangan orang-orang?" kata Sekar. Kemudian terisak. Kedua telapak tangannya menutupi wajahnya. 

Berkat nasehat simbok, Sekar kini lebih bisa menerima kenyataan jika ia digariskan menikah di usia sangat muda. Tapi soal perbedaan status sosial yang begitu mencolok antara Hadi dan dirinya, itu sungguh mengganggu pikirannya. Tidak mungkin hal itu tidak menjadi masalah, kan?

Hadi diam saja, sengaja memberikan Sekar ruang untuk menumpahkan apa yang dirasakannya. Setelah Sekar berhenti dari isak tangisnya, Hadi menyodorkan segelas minuman.

"Sekar, dengar ini. Gegaraning wong akrami. Dudu bandha dudu rupa. Amung ati pawitane," kata Hadi. Sekar meletakkan gelas yang baru saja ia minum separuh isinya. 

"Apa maksudnya?" tanyanya.

"Itu potongan lirik tembang Asmaradhana, ciptaan Raden Ngabehi Yasadipura. Tembang ini adalah tembang yang melukiskan cinta atau asmara, yang menyala-nyala seperti api atau dahana. Karenanya tembang ini disebut Asmaradhana. Pernah dengar?" tanyanya lagi. 

"Simbok sering melantunkannya, tapi saya tidak tahu apa maksudnya," jawab Sekar. Kedua tangannya ia letakkan di atas meja. 

"Gegaraning wong akrami, bekal orang membangun rumah tangga itu. Dudu bandha dudu rupa, bukanlah harta atau rupa. Amung ati pawitane, hati-lah bekal sesungguhnya," urai Hadi. 

Sekar terkesima mendengarnya. Selama ini, simboklah yang sering melantunkan tembang Jawa dan menjelaskan apa maksudnya. Sebab ternyata, ada makna mendalam di tiap baris demi baris liriknya. Kini ia baru saja mendengarnya dari Hadi. Ia tak menyangka sosok kekar di depannya piawai juga soal budayanya, meski ia telah seringkali melalang buana ke belahan dunia lainnya. 

"Sekar, aku tidak peduli tentang harta, rupa, atau status sosialmu. Yang kulihat darimu adalah hatimu. Itu alasanku memilihmu." Hadi menatap Sekar lekat-lekat. 

"Kumohon. Jangan lagi risau soal itu dan ijinkan aku menjadi penjaga hatimu," sambungnya lagi.

Sekar kembali menghela napas. Jemarinya kembali bersembunyi di bawah meja. Ia kembali meremas-remasnya. Ia hampir saja bersuara, tapi Hadi sudah lebih dulu mendahuluinya, mengajaknya keluar dari Gazebo dan berdiri di tepi danau. 

Sekar terkesiap, tiba-tiba saja Hadi berlutut di hadapannya. Beberapa penghuni gazebo lainnya langsung mendongakkan kepala, ingin melihat apa yang dilakukan keduanya. 

"Menikahlah denganku, Sekar," katanya, sembari mengeluarkan sebuah kotak berlambang hati dengan sebuah cincin di dalamnya.

**********

Laraning lara
Ora kaya wong kang nandhang wuyung
Mangan ra doyan
Ra jenak dolan 
Nรจng omah bingung

[Sakitnya sakit,
tak sebanding dengan sakitnya orang yang sedang jatuh cinta.
Tak enak rasanya untuk makan,
Tak nyaman rasanya untuk jalan-jalan,
Ketika di rumah, dilanda kebingungan]

(Bersambung)

**********

0 comments:

Posting Komentar