👌🐯🔨
CANTING (PART 2)
Sebenarnya, tak ada satupun cacat yang tampak pada diri Hadi Suwito. Sekarpun mengakui hal itu. Bisa dibilang, Hadi adalah sosok lelaki idaman. Siapa yang tidak ingin bersuamikan lelaki seperti Hadi? Kaya, pintar, santun, tampan, apalagi yang kurang? Namun sungguh, bukan itu alasan Sekar tidak mau menikah dengan Hadi.
"Dedalane guna lawan sekti,
Kudu andap asor.
Wani ngalah dhuwur wekasane,
Tumungkula yen dipun dukani,
Bapang den simpangi,
Ana catur mungkur."
Simbok membelai kepala Sekar sambil melantunkan sebuah tembang jawa. Sekar terkesima mendengarnya, meski simbok sering nembang seperti itu.
"Kamu tahu artinya tembang macapat yang Simbok nyanyikan, Nduk?" tanya Simbok. Sekar menggeleng.
"Dedalane guna lawan sekti, inilah jalan agar orang dapat berguna dalam hidupnya. Kudu andap asor, harus rendah hati. Wani ngalah dhuwur wekasane, mengalah itu akan mendatangkan kemuliaan. Tumungkula yen dipun dukani, tundukkanlah wajahmu jika engkau dimarahi. Bapang den simpangi, perbuatan yang merugikan orang lain harus dihindari. Ana catur mungkur, tinggalkanlah sikap suka membicarakan orang lain," jelas Simbok.
Tiba-tiba perempuan tua itu terisak. Sekar bangkit dari pangkuan simbok.
"Simbok kenapa menangis?" tanyanya.
"Simbok malu, Nduk. Simbok ndak bisa melakukan apa-apa buat kamu. Sebenarnya Simbok juga ndak tega. Kamu baru saja lulus SMA tapi sudah harus menikah. Maafkan Simbok ya, Nduk," isak Simbok. Mau tak mau, airmata Sekarpun ikut mengalir. Keduanya kembali berpelukan dalam tangis keharuan.
"Ndak apa-apa, Mbok. Simbok sama sekali ndak salah," ucap Sekar.
"Simbok nembang tadi untuk menguatkan hatimu, Nduk. Simbok ingin kamu tahu, menjadi orang yang berguna itu banyak jalannya, ndak cuma dengan cara harus sekolah tinggi. Jadi orang rendah hati, tidak merugikan orang lain, tidak suka membicarakan orang lain, semua itu sudah menunjukkan kalau kita adalah orang yang berguna. Sama saja to kalau sekolah tinggi tapi kelakuane ora mbejaji?" jelas Simbok lagi.
"Tapi Sekar ingin sekali kuliah, Mbok, Sekar ingin jadi orang yang berguna. Sekar ndak mau cita-cita Sekar jadi hancur karena menikah muda," sungut Sekar.
"Nduk, dengarkan Simbok. Menikah itu tidak seburuk yang kamu bayangkan. Menikah juga ndak akan membuat cita-citamu jadi hancur. Simbok yakin Den Hadi itu orang baik. Dia pasti bisa membimbing kamu menjadi lebih maju," kata Simbok lagi.
"Sekar takut, Mbok. Sekar ndak mau seperti teman-teman Sekar yang cuma berakhir di dapur, sumur dan kasur. Sekar ndak mau, Mbok." Sekar kembali terisak.
Simbok menghela nafas.
"Kamu tahu filsafat jawa tentang arti perempuan?" Tanya Simbok. Sekar kembali menggeleng.
"Dalam budaya jawa, perempuan itu mempunyai tiga sebutan, wadon, wanito, dan estri. Wadon itu berasal dari bahasa kawi wadu yang artinya kawula atau abdi. Maksudnya, perempuan itu memang sudah kodratnya menjadi pelayan suami," jelas Simbok.
"Tapi Sekar ndak mau terus-menerus jadi pelayan sumur, dapur, dan kasur suami, Mbok. Sekar ndak mau!" Sekar mbesengut. Simbok tersenyum melihat putrinya.
"Dengarkan Simbok dulu to, Cah ayu. Menjadi pelayan suami itu adalah tugas yang mulia, sama sekali bukan tugas yang hina. Yang kedua, perempuan juga disebut wanito, yang artinya wani ditoto dan wani noto. Wani ditoto atau berani ditata, maksudnya perempuan itu kelak akan menjadi istri yang harus mau diatur. Mau diatur bukan berarti sebagai babu, tapi diatur sebagai istri yang bertanggung jawab terhadap peran-perannya, yang tidak lupa kewajibannya apapun kesibukannya. Wanito juga artinya wani noto atau berani menata. Maksudnya, kalau kamu nanti menjadi seorang ibu, kamu juga bertanggung jawab menata atau mendidik anak-anakmu, tentu saja ndak sendiri. Tapi bersama sama dengan suamimu. Mendidik anak-anak menjadi anak-anak yang sholeh, pinter, sregep, bukankah itu artinya kamu juga membangun negeri ini dengan melahirkan generasi yang cerdas?" Jelas Simbok panjang lebar. Sekar manthuk-manthuk mendengarkan penjelasan Simbok.
"Lalu yang perempuan itu estri, maksudnya apa, Mbok?" tanya Sekar.
"Estri itu berasal dari bahasa kawi yang artinya panjurung atau pendorong. Maksudnya, sehebat apapun seorang lelaki, dibelakangnya pasti ada peran serta seorang istri yang mendukungnya," kata Simbok.
Airmata Sekar kembali meleleh.
"Sekar akan berusaha menjalaninya, Mbok," ucapnya lirih. Simbok kembali merengkuh Sekar di pelukan hangatnya.
"Seandainya kamu mau melawan kemauan Bapak, kamu tetap ndak akan bisa, Nduk. Kamu tahu Bapakmu itu gimana. Untuk saat ini, kamu memang hanya bisa menerima dan menjalaninya saja. Eling, Nduk. Wani ngalah dhuwur wekasane. Selain itu, apa yang kita anggap baik, belum tentu baik di mata Gusti Allah," ucap Simbok menutup perbincangannya dengan Sekar sore itu.
Di luar, hujan deras mengiringi tangisan Sekar. Ya, Sekar memang tidak bisa melakukan apa-apa selain menjalani apa yang ada di hadapannya.
*********
Sekar kembali meraih cantingnya untuk membuat batik truntum di teras rumah produksi milik keluarga Hadi. Konon, dahulu Sri Susuhunan Pakubuwono III tidak mau lagi memberikan cinta dan kehangatan pada Ratu Beruk. Ratu Berukpun resah. Hatinya sungguh gundah. Ia kemudian menenangkan dirinya di taman Balekambang sembari menuangkan kegelisahannya di atas selembar kain. Dari situlah awal muncul motif batik truntum yang berarti timbul atau terkumpul, semakna dengan mekarnya kembali cinta Pakubuwono III pada Ratu Beruk.
Sekar menghela nafas. Dipandanginya canting di tangannya. Nasehat Simbok kembali terngiang. Benar, banyak cara agar orang dapat berguna dalam hidupnya. Seperti halnya canting yang dipegangnya, dan kain mori putih yang terhampar di depannya. Ia bagaikan canting yang hendak melukis keindahan di atas kain mori putih. Ada banyak cara dan motif untuk melukiskan keindahan di atasnya. Begitu pula kehidupan ini.
Sekar paham itu. Hanya saja, baginya ini terlalu berat.
"Jangan pernah membatik sambil melamunkanku. Nanti batikmu jadi bermotif wajahku."
Sebuah suara mengagetkannya, membuat semua yang ada di sana menyorakinya.
Sekar menoleh. Ada Hadi di belakangnya. Sekar tak berani menatapnya. Bahkan untuk membalas dengan sepatah kata saja ia tak bisa. Lidahnya mendadak kelu karena ia terlalu malu.
Hadi tersenyum melihatnya.
"Kenapa melamun, hmm?" tanya Hadi, sambil mendudukkan dirinya di atas sebuah dingklik. Kini keduanya saling berhadapan, meski Sekar masih tak berani beradu pandang.
"Saya... saya tidak melamun, Den," jawabnya terbata.
Jemarinya mencoba kembali menari di atas kain mori yang berada di hadapannya. Namun, kali ini jemarinya tak selincah biasanya. Keberadaan Hadi di sana membuat jemarinya bergetar. Bukan hanya jemarinya, melainkan juga hatinya.
"Jangan bohong, Sekar. Aku sudah bertahun-tahun mengenalmu. Bukankah itu sudah lebih dari cukup untukku tahu tentangmu? Aku tahu kamu sedang tidak baik-baik saja. Ada apa?"
Hadi memberikan sebuah tatapan lembut pada Sekar. Sekar melihatnya sekilas, lalu kembali tertunduk. Ia kembali kikuk.
Simbok berasal dari dusun Mangli, sebuah dusun kecil di lereng gunung Sumbing di daerah Kaliangkrik, Magelang. Sekar adalah anak satu-satunya simbok. Sebetulnya, Sekar bukanlah anak satu-satunya. 3 kakak Sekar sudah tiada. Mereka meninggal saat usia mereka masih belia. Anak pertama simbok meninggal saat dilahirkan, lantaran simbok tidak segera mendapat pertolongan. Anak kedua bernasib sama, meninggal di usia belia. Malam itu hujan turun dengan derasnya. Anak kedua simbok tiba-tiba kejang setelah seharian panas tinggi. Akses jalan yang susah membuat simbok terlambat membawanya ke rumah sakit. Ia meninggal di pelukan simbok, dalam perjalanan menuju rumah sakit di kota. Sedang anak ketiga, meninggal karena penyakit malaria. Sebelas tahun setelahnya, Sekar hadir di dunia. Memberikan warna baru pada hari-hari simbok yang dipenuhi kesedihan setelah 3 anaknya meninggal dunia.
Saat Sekar berumur 7 tahun, bapak memutuskan untuk merantau ke Kalimantan demi perekonomian keluarga. Sedang simbok memutuskan untuk kembali merantau ke Yogyakarta, bekerja sebagai rewang di rumah seorang juragan batik. Sri Sundari namanya. Sebelum Sekar lahir, Simbok pernah beberapa tahun bekerja di sana. Menjadi rewang untuk membantu Sundari merawat Hadi, putra semata wayangnya.
Sundari sangatlah baik. Ia iba saat simbok bercerita bahwa simbok harus menitipkan putri kecilnya di rumah saudara karena simbok harus bekerja di rumahnya, hingga Sundari meminta simbok untuk membawa Sekar turut serta.
"Bawa saja, Mbok. Kasihan kalau dia harus jauh dari Simbok. Apalagi suami Simbok kan di Kalimantan," tawarnya.
"Tapi Den..." Simbok ragu dengan tawaran Sundari.
"Tidak apa-apa, Mbok. Lagipula, 7 tahun itu sudah waktunya SD kan? Sekar bisa sekolah di SD Negeri dekat sini. Nanti berangkatnya bisa bareng Hadi," tawarnya lagi.
"Iya, Mbok. Bawa saja anak Simbok kemari. Itung-itung, jadi adik saya wong saya nggak punya adik."
Hadi yang saat itu sudah berusia 17 tahun, muncul dengan seragam OSIS yang masih melekat di badannya. Ia lalu duduk di sebelah ibunda tercinta setelah sebelumnya mengecup punggung tangannya. Simbok menatapnya dengan senyuman tersungging di wajahnya. Waktu berlalu begitu cepat. Hadi masih berusia 7 tahun saat simbok pertama kali datang. Kini anak itu sudah perjaka. Tampan dan begitu santun pembawaannya.
Sejak saat itu, Sekar dan simbok tinggal di sana, berdua menempati sebuah kamar berukuran sedang di dekat dapur rumah megah milik Sundari. Mereka pulang ke kampung mereka hanya saat lebaran dan saat ayah Sekar pulang dari perantauan.
Detik demi detik yang berlalu membuat Sekar dan Hadi saling mengenal. Saat Sekar masih SD, Hadi sering membantunya mengerjakan PR matematika. Sekar juga sering berangkat membonceng sepeda motor Hadi saat menuju sekolahnya. Namun saat Sekar beranjak dewasa, tercipta jarak di antara keduanya. Selain karena rasa malu mulai tumbuh di hatinya, Sekar sadar siapa dirinya. Ia hanyalah anak seorang rewang, sedang Hadi adalah seorang majikan. Tak pantas rasanya jika terlalu dekat meski hanya bersahabat. Jarak itu semakin jelas terlihat saat Hadi memasuki dunia kuliahnya, apalagi saat Hadi merantau selama setahun ke London untuk double degree S2 nya. Namun siapa sangka, ternyata Hadi selama ini menaruh hati padanya.
"Nah, kan, kamu diam saja. Kamu pasti memikirkan sesuatu," kata Hadi, membuat Sekar kembali tertunduk malu.
"Kamu memikirkan soal lamaranku?"
Sekar tersentak, hingga canting di tangannya hampir terjatuh. Benar, lamaran Hadi memang sangat mengganggu pikirannya.
"Ti... tidak, Den. Saya... saya hanya kurang enak badan saja," jawab Sekar, berbohong.
"Yo wis. Kalau begitu. Kalau ada yang mau kamu bicarakan, jangan sungkan untuk menemuiku. Aku ada di dalam," kata Hadi. Sekar mengangguk perlahan.
"Cie... Mbak Sekar," ledek pekerja lainnya, segera setelah Hadi berlalu dari sana, membuat hati Sekar semakin tak menentu karenanya.
Bersambung.
0 comments:
Posting Komentar