CARTING PARTI I

👌🐯🍥
CANTING (PART 1) 


"Brak!"

Sekar terhenyak. Rupanya amarah Bapak begitu meledak sampai-sampai pintu yang tak bersalahpun ikut menjadi sasaran kemarahan. Sekar hanya bisa menangis tergugu. Bapak benar-benar sosok yang tidak bisa dilawan dan Sekar harus menerima kenyataan pahit; hidupnya selalu ada di bawah kendali Bapak.

"Maafkan Simbok, Nduk. Simbok ndak bisa melakukan apa-apa. Bapakmu memang ndak bisa dilawan." 

Simbokpun tak kuasa menitikkan airmata. Direngkuhnya Sekar di pelukan hangatnya, berharap pelukannya dapat menyalurkan beberapa ampere kekuatan agar putri semata wayangnya kembali tegar.

"Sekar belum mau menikah, Mbok. Sekar masih mau sekolah. Sekar ingin membangun negeri ini dengan menjadi wong pinter, biar ndak selamanya Sekar jadi rewang. Biar ndak selamanya jadi buruh batik," isak Sekar perih.

"Simbok ndak apa-apa kalau kamu belum mau menikah, Nduk. Tapi Bapakmu sudah terlanjur menerima lamaran Den Hadi." Pelan, Simbok membelai kepala Sekar.

Sekar hanya bisa terus tergugu di pelukan Simbok. Ia tak menyangka Bapak tega menghancurkan segala harapan dan cita-citanya. Ia memang hanya gadis desa, tapi ia punya cita-cita dan harapan besar. Ia tak ingin berakhir seperti kebanyakan gadis di desanya yang harus menikah muda. Tapi apa mau dikata, Bapak sudah terlanjur menerima lamaran Den Hadi Suwito, lajang 28 tahun putra tunggal mantan lurah Desa Sardonoharjo.

Nama Hadi Suwito memang sudah tidak asing lagi di telinga Sekar. Sejak berusia 7 tahun, Sekar ikut simbok untuk tinggal di rumah keluarga Hadi sebagai rewang. Dan sejak duduk di kelas 3 SMP, Sekar ikut bekerja menjadi buruh batik di salah satu usaha batik milik keluarga tersebut.

Den Hadi sering memuji kepiawaian Sekar dalam menggerakkan canting berisi cairan malam di atas kain mori dan menjadikannya batik yang luar biasa cantik. Sekar memang terlahir dengan kemampuan membatik yang luar biasa. Batik bermotif truntum buatan Sekar, selalu menjadi incaran para pemesan. Semua tergila-gila dengan batik truntum Sekar, termasuk Hadi Suwito yang diam-diam menaruh hati pada sekar, hari demi hari rasa cintanya semakin mekar.

**********

Entah, ada pesona tersendiri yang menyihir matanya saat ia melihat Sekar yang tengah duduk melukis kain mori di hadapannya. Hati Hadi selalu berdesir karenanya. Bukan, bukan karena Sekar adalah gadis tercantik yang dikenalnya, sebab, banyak gadis-gadis di sekelilingnya yang sungguh rupawan, termasuk dr. Ajeng. Rahajeng Sukmawati nama lengkapnya. Adik kelas Hadi saat masih di SMA sekaligus saat menempuh pendidikan sarjana di Universitas Gadjah Mada. 

Meski sejak SMA saling kenal, keduanya tidak begitu dekat. Mereka baru mulai dekat saat keduanya terpilih menjadi dimas dan diajeng  kabupaten Sleman. Sejak itu, keduanya sering terlibat di pelbagai kegiatan untuk promosi pariwisata kota Sleman bersama-sama hingga keduanya kian dekat. 

Hari demi hari, benih benih cinta di hati Ajeng mulai tersemat. Untuk Hadi, hanya untuk Hadi. Namun tak pernah ada keberanian di hatinya untuk memberitahu Hadi bagaimana perasaannya. Ajeng hanya diam saja, sambil terus menunggu dan berharap bahwa Hadi-lah yang akan lebih dulu menyatakan cinta. Tapi ia salah. Hadi tak pernah menyatakan cinta. Bahkan hingga Ajeng lulus sarjana kedokteran dan Hadi lulus sarjana ekonomi, kata cinta itu tak pernah ada. 

Ajeng tidak menyerah. Ia masih kuat untuk menunggu. Namun hingga ia selesai co-ass, bahkan hingga ia menyelesaikan internshipnya di Lombok, ia tak pernah mendapatkan apa yang ditunggunya itu. Hadi justru menyibukkan diri dengan lanjut sekolah lagi, MBA di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, double degree dengan jurusan MSc International Business di Queen Mary University of London. 

Sekali waktu, Ajeng pernah menyusul Hadi ke London. Memang, bukan semata-mata untuk menemui Hadi, tapi lantaran Ajeng harus mengikuti sebuah konferensi internasional di The London School of Hygiene and Tropical Medicine. Tapi tentu saja Ajeng tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Inilah saatnya ia menjumpai sang kekasih hati. 

London, musim gugur 2011.

"Aku tinggal di daerah Marylebone, Jeng. Deket stasiun Marylebone. Mau mampir? Deket dari sini. Paling cuma 40 menit jalan kaki. Tapi kalau kamu lelah, kita bisa naik bus saja," kata Hadi saat itu, saat menemui Ajeng di tempat konferensinya. 

Ajeng tersipu. Sungguh, lelahpun tak akan dirasakannya, asalkan ia bisa menghabiskan waktu bersama Hadi, sosok yang sejak lama menjadi penghuni hatinya. 

"Jeng? Kok diam saja? Malah mesam mesem," kata Hadi. Ajeng tersipu.

"Memangnya boleh aku mampir ke tempatmu, Mas?" tanyanya, basa-basi. 

"Ya boleh, to. Mau nginep juga boleh. Kebetulan aku sewa 1 rumah bersama beberapa teman dari Indonesia. Kamu nanti bisa tidur di kamar Mbak Ratri. Dia mahasiswa PhD di kampusku," tawarnya.

Ajeng mengerutkan keningnya. Angin sore itu membuat beberapa helai rambut mengenai wajahnya.

Hadi tinggal serumah bersama seorang perempuan?

"Jeng? Ealah... malah melamun," kata Hadi. "Kamu masih jetlag?" tanyanya. Ajeng menggeleng. 

"Berarti serumah itu isinya campur laki-laki perempuan, Mas?" tanyanya, sedikit ragu. 

Hadi tertawa kecil. Gigi putihnya terlihat begitu rapi. 

"Iya. Tapi jangan berpikir aneh-aneh. Cari rumah di sini soalnya susah, Jeng. Waktu aku mau kesini, aku bingung cari tempat tinggal. Untungnya Mbak Ratri nawarin. Katanya ada 1 kamar kosong di rumah yang ditempatinya. Yo wis, langsung aku sikat saja," urai Hadi panjang lebar. 

"Berapa orang yang tinggal di rumahmu?" Ajeng penasaran. 

"Ada 5 orang. Aku, Mbak Ratri dan suaminya, Mas Ganjar, dan dua orang lagi, Eldo dan Ferdi. Semua mahasiswa Queen Mary. Jadi Mbak Ratri ini satu-satunya perempuan di rumahku. Aman. Nggak terjadi apa-apa. Wong ada suaminya. Bisa digorok suaminya kalau ada yang berani godain Mbak Ratri," kelakar Hadi, sambil membetulkan letak ransel hitamnya. Rahajeng tersenyum penuh arti mendengarnya.

"Kalau aku tidur di kamar Mbak Ratri, terus suaminya gimana?" tanyanya, membuat Hadi tertawa.

"Jeng, Jeng. Ya tidur di kamarku, lah. Atau bisa juga di kamar Eldo atau Ferdi. Kan nggak mungkin kamu yang tidur sama aku," selorohnya. 

Ajeng tersenyum mendengarnya. Ada geletar-geletar aneh yang tiba-tiba merasuki hatinya. Benar, ia sungguh berharap kelak Hadi jadi teman sekamarnya, dalam ikatan halal tentunya.

"Yo wis, yuk, ke rumahku. Mau jalan apa naik bus?" tanya Hadi sambil menarik koper milik Ajeng. Ajeng memang langsung ke tempat konferensi setibanya ia di London.

"Jalan saja!" sahutnya cepat.  

Ajeng tersenyum lagi. Sebetulnya ia lelah setelah lebih dari 13 jam berada di udara. Tapi berjalan kaki berarti ia bisa menghabiskan waktu lebih lama bersama Hadi, sambil menikmati pemandangan sore kota ini. 

Semilir angin menambah kesejukan yang mengaliri hati Ajeng. Ia sungguh bahagia. Berkali-kali manik matanya memandang Hadi yang begitu bersemangat menceritakan hari-harinya. Ajeng tidak begitu mendengarnya. Ia lebih fokus memperhatikan gerak gerik Hadi. Gerak tangannya, ekspresi wajahnya, semuanya. 

"Owalah, pantas saja dari semalam Hadi gelisah. Ternyata ada dokter cantik yang rela datang jauh-jauh dari Jogja untuk menemuinya," goda Mbak Ratri sembari menyiapkan teh hangat.

Ajeng menyunggingkan sedikit senyum mendengarnya. Debar-debar itu kembali menggelora. 

Benarkah Hadi gelisah karena tak sabar ingin bertemu dengannya?

"Bojomu kuwi lho, Mas. Ngawur," kata Hadi pada Mas Ganjar, suami Mbak Ratri. Semua tertawa mendengarnya.

"Iya juga nggak apa-apa, Di." Mas Ganjar justru ikut menggoda. 

"Jangan gitu, lah. Kasihan Ajeng. Dia kan dokter. Hebat, populer. Kasihan kalau sama aku yang cuma bakul batik," canda Hadi. Semua kembali tertawa mendengarnya.

"Sudah lama kenal Hadi, Jeng?" tanya Mbak Ratri saat keduanya bersiap untuk tidur. Ajeng merapatkan selimutnya. Hawa dingin begitu menusuk tulang meski pemanas ruangan sudah dinyalakan.

"Sudah, Mbak. Dari jaman SMA. Tapi baru dekat saat kuliah di UGM dulu," jawabnya, sedikit tersipu.

"Jadi kapan?" Mbak Ratri mengerlingkan mata. 

"Kapan... kapan apanya, Mbak?" Ajeng semakin tersipu malu. 

"Kapan undangannya?" tanya Mbak Ratri lagi. Ajeng pura-pura tak mengerti.

"Undangan apa, Mbak?" tanyanya, sambil sekuat tenaga mencoba menyembunyikan getaran hebat di hatinya.

"Ah, kamu pura-pura, Jeng. Tapi serius, kamu dan Hadi itu serasi sekali," kata Mbak Ratri, tepat sebelum ia mematikan lampu kamarnya.

Ajeng mendesah. Ia mendadak gelisah. Andai saja Mbak Ratri tahu bahwa ia masih terus menunggu Hadi menyatakan cinta. Sesuatu yang sampai detik ini tidak pernah didengarnya, tak peduli sedekat apapun mereka.

Ajeng memejamkan mata. Bukan karena ia mengantuk, tapi karena bulir-bulir hangat tetiba mengalir begitu saja.

(bersambung)
**********

0 comments:

Posting Komentar