CINTA DI BATAS CAKRAWALA 22

❤ *CINTA*
*di Batas Cakrawala*
🌅 nomor - 22 
(Kilasan Masalalu)

Haris melangkah cepat meninggalkan mobil yang terparkir di tempat khusus pengunjung, lalu menyusuri koridor rumah sakit yang sudah tidak asing baginya. Rumah sakit milik pemerintah itu adalah tempat Vania—istrinya—bertugas selama tiga tahun sebagai dokter kontrak sebelum akhirnya resign karena masalah itu datang. Ia langsung menuju gedung bagian depan mencari ruangan pasien observasi.

Selepas zuhur, Haris dikagetkan oleh telepon dari pihak rumah sakit yang langsung menghubungi kantor pengacaranya. Menyebutkan nama Hannastasia Wirawan, sebagai seorang wanita hamil yang pingsan dalam penyeberangan kapal fery. Jika biasanya ia tidak akan peduli pada adiknya, tetapi tidak dengan saat itu. Berbagai macam pertanyaan berputar di kepalanya tentang apa yang menimpa Hanna, sehingga membuatnya melakukan perjalanan sendirian seperti orang yang sedang melarikan diri.

"Permisi, Sus. Hannastasia Wirawan itu adik saya. Bagaimana keadaannya?" Haris menghadang seorang perawat yang baru saja keluar dari ruang observasi samping gedung IGD.

"Ibu Hanna masih belum sadar. Bapak bisa bertemu dokter dulu, setelah itu selesaikan administrasinya."

"Hm, saya boleh lihat adik saya dulu?" tanya Haris penasaran.

"Boleh, Pak. Tapi jangan diganggu."

Haris mengangguk, melangkah pelan ke dalam ruangan luas yang di dalamnya terdapat beberapa tempat tidur dan hanya terisi sebagian oleh pasien. Ia melirik satu persatu tempat yang dibatasi tirai biru, sampai langkahnya terhenti di ujung ruangan. Ia menyingkap sedikit tirai yang tertutup, tampak Hanna terbaring dengan wajah pucat dan mata terpejam rapat.

Matanya memperhatikan dengan seksama bagian tubuh adiknya yang tampak, tetapi tidak ada yang mencurigakan selain wajah pucat yang sangat membuatnya penasaran. Haris memperbaiki tirai lalu berbalik melangkah keluar, mencari dokter jaga siang itu.

"Saya Haris Wirawan. Adik saya yang dirawat di ruang observasi atas Nama Hannastasia Wirawan, bagaimana keadaannya?" Tanpa basa basi, Haris langsung menyuarakan rasa penasarannya saat mendapati seorang dokter jaga di IGD.

"Ibu Hanna?" Dokter wanita yang usianya tampak tidak jauh darinya itu melangkah ke arah meja panjang dengan tumpukan map rekam medis pasien, mengambil salah satu yang tertera nama lengkap Hanna. "Ibu Hanna saat ini sedang hamil muda yang masih sangat rentan. Berdasarkan keterangan dari beberapa orang di kapal dan setelah diperiksa, Ibu Hanna pingsan dan mengalami perdarahan ringan karena kelelahan dan stress."

Haris mengernyit, semakin penasaran. "Kelelahan dan stress? Hanya itu sana, Dok? Tidak ada yang lain? Maksud saya, mungkin Hanna mengalami kekerasan?"

Dokter itu mengangguk pelan. "Kami sudah melakukan pemeriksaan untuk mengantisipasi hal tersebut, tetapi memang tidak menemukan adanya kejanggalan seperti yang Anda sebutkan."

Haris menghela napasnya, antara lega dan ... khawatir. Kalau bukan karena kekerasan, lalu mengapa adiknya itu pergi sendirian meninggalkan desa karena stress?

"Ibu Hanna harus dirawat. Bapak bisa urus administrasi dulu agar segera dipindahkan di ruang rawat. Nanti sore ada jadwal visite Dokter Obgyn untuk pemeriksaan lanjutan."

Haris mengangguk, menerima sebuah surat pengantar yang diserahkan dokter. Ia kembali ke ruangan tempat Hanna yang masih tidak sadarkan diri, menatap ragu adiknya itu beberapa saat hingga suara dering ponsel di saku celana memutus tatapannya.

"Assalamu'alaikum. Mas, jadi jemput aku sama Hafiz?" Suara Vania langsung terdengar ketika Haris menempelkan ponsel di telinga.

"Wa'alaikumsalam. Maaf, Yang, kayaknya aku ngga bisa jemput kalian." Haris melangkah keluar menuju lobby rumah sakit, mendudukkan diri di salah satu kursi tunggu pengunjung.

"Kenapa, Mas?"

"Aku lagi di rumah sakit sekarang—"

"Rumah sakit? Kenapa? Kamu sakit, Mas?"

"Tenang dulu, Vania. Bukan aku yang sakit," Haris menjeda dengan helaan napas berat, "Tapi Hanna yang sedang dirawat."

"Hanna? Kok bisa Hanna ada di rumah sakit, Mas?"

"Aku juga ngga tahu dan aku ngga bisa cerita di telepon. Kamu telepon supir aja dan pulang sama Hafiz ngga usah nyusul ke sini, aku mau urus administrasi biar Hanna bisa dapat perawatan lanjutan."

"Ya, sudah ngga apa-apa. Tapi sampai rumah kamu harus cerita, ya?"

"Hm, iya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam." Haris menyimpan kembali ponselnya, lalu segera mengurus segela keperluan Hanna.

*****

Debur ombak terdengar samar, aroma asin air laut samar tercium olehnya. Perjalanan berliku melewati bukit yang dihiasi pepohonan hijau juga tampak tidak jelas terlihat. Matanya bergerak gelisah dalam kelopak yang masih terpejam rapat seakan enggan untuk terbuka.

Hanna melenguh pelan berusaha mengerjapkan mata yang terasa berat membuat manik cokelatnya menangkap cahaya terang yang menyilaukan. Sunyi, tidak ada deburan ombak yang terdengar, tidak tercium pula aroma asin air laut yang khas serta pemandangan hijau sekelilingnya, tampak berganti dengan warna putih. Matanya mengerjap cepat, memaksa untuk terbuka sempurna.

"Kamu sudah bangun?" Sebuah suara yang tidak asing mengagetkannya. Hanna bergerak gelisah, mencari asal suara. Ia terbelalak kaget menoleh pada Haris yang berdiri tegak di samping tempat tidurnya.

Hanna mencoba untuk bangun, tetapi gerakannya tertahan karena tangan kanan tertusuk jarum infus. Nyeri di perut bagian bawah tiba-tiba terasa membuatnya meringis tertahan dan berbaring perlahan.

"Jangan banyak bergerak dulu, Hanna!" Haris membantu adiknya itu untuk berbaring.

Hanna memejamkan mata, menahan sakit di perut dan pusing yang tiba-tiba menyerang dengan helaan napas perlahan. "Kenapa, aku bisa ada di sini?" lirihnya.

"Seharusnya aku yang tanya. Kamu mau ke mana dengan dua koper besar, menyebrang dari pulau sendirian dalam keadaan hamil?" Haris balik bertanya, sangat penasaran.

Hanna memalingkan wajah, enggan menatap kakaknya itu. Ingatannya kembali memutar tentang apa yang ia alami sebelumnya. Bagaimana ia kabur tadi pagi saat kedua mertuanya pamit pergi ke pasar. Lalu setelah perjalanan darat tiga jam mencapai pelabuhan, ia sungguh kelelahan dan tidak kuat menahan rasa sakit di perutnya saat kapal baru saja meninggalkan pelabuhan.

"Hanna? Apa yang terjadi? Apa Dimas melakukan kekerasan padamu?" Suara penasaran Haris memutus lamunan Hanna yang hanya menjawab dengan gelengan pelan. "Lalu? Apa yang terjadi? Bicaralah?"

"Selama ini kamu tidak pernah peduli padaku, kan? Pergilah, jangan pedulikan aku!" Hanna menatap tajam kakaknya itu.

"Kamu itu adikku. Bahkan pihak rumah sakit langsung menghubungi kantor saat mendapat identitasmu. Bagaimana bisa aku tidak peduli?" Haris mengembuskan napas kasar, "Jangan keras kepala, Hanna! Kamu tahu kalau sedang hamil, kan? Pikirkan bayi dalam kandunganmu!"

Kedua tangan Hanna langsung bergerak meraba perutnya, lalu memeluknya khawatir. "Di-dia bagaimana? Ti-tidak apa-apa, kan?" Ia berbalik menatap Haris cemas.

"Dokter baru saja pergi setelah memeriksa kamu dan untuk saat ini memang baik-baik saja. Tapi besok akan ada pemeriksaan lanjutan dan USG. Lalu, apa kamu tahu berapa usia kandunganmu?" Haris menatap curiga.

Hanna menggeleng pelan tanpa berani menatap kakaknya itu. "Aku baru tahu dua minggu lalu kalau hamil, tapi belum pernah periksa dan tidak tahu berasa usianya."

"Kenapa bisa begitu? Memangnya apa yang terjadi?" cecar Haris lagi.

Hanna hanya diam, menatap kedua tangannya yang saling meremas di atas perut. Ia belum siap untuk cerita, dan tidak tahu bagaimana reaksi Haris jika tahu Dimas masih menyimpan rasa untuk Vania, istrinya.

"Kalau bukan karena kekerasan, lalu apa yang membuatmu pergi? Bicaralah ...." Haris menghela napas gusar karena Hanna yang tetap bungkam. Lelaki itu akhirnya pasrah untuk tidak mencecarnya lagi.

Hanna melirik Haris yang berbalik duduk di sebuah sofa single dalam di ruang VIP tempatnya dirawat dengan segala fasilitas lengkap. Tiba-tiba ia cemas saat kembali teringat tentang Dimas, ia takut suaminya itu tahu keberadaannya saat ini. Hanna tidak ingin kembali padanya, jika lelaki itu tidak menginginkan bayinya.

"Kak ...." Suara Hanna mendadak parau karena tenggorokan terasa sakit.

Haris menoleh, menatap heran dan tampak tidak percaya. "Ada apa? Ingin mengatakan sesuatu?"

"Apa kamu menghubungi Dimas?" tanya Hanna ragu.

Haris mengernyit lalu berkata, "Dimas? Aku, belum menghubunginya sama sekali. Lagipula, aku tidak punya nomor teleponnya."

Hanna menghela napas lega, diusapnya bulir bening yang tiba-tiba menetes di pipi.

"Ada apa Hanna?"

"Jangan pernah hubungi dia, ya? Termasuk kedua orang tuanya, aku mohon, Kak. Aku, aku janji, aku tidak akan menyusahkanmu, Vania, Mami dan juga Papi. Tapi aku mohon, aku tidak mau kembali sama Dimas ...."

Haris semakin keheranan menatap adiknya yang memelas. Dia berdiri lalu mendekat dan bertanya, "Sebenarnya apa yang terjadi padamu?"

Hanya isakan yang lolos dari bibir Hanna membuat Haris sekali lagi menyerah untuk mencecarnya. "Baiklah, kamu tenang saja. Aku tidak akan menghubungi mereka."

"Te-rima kasih," ujar Hanna masih terisak.

"Kamu lapar? Atau haus?" Haris melirik arlojinya, "Mungkin sebentar lagi makan malam akan diantar, mau sesuatu?"

"Aku haus," ujar Hanna canggung. Tanpa kata, Haris mengambil sebotol air mineral yang sengaja dibeli lalu membukanya, menyodorkan pada Hanna yang minum menggunakan sedotan.

Hanna meneguk air mineral tersebut sampai setengah, menyegarkan tenggorokan yang tadinya kering. Lalu dengan sengaja ia memejamkan mata, karena tidak ingin terlibat pembicaraan lagi dengan Haris yang pasti akan terus menanyakan alasannya pergi.

"Sus, tolong jaga adik saya. Suruh makan sekalian, sudah magrib, saya mau salat." Dengan jelas Hanna mendengar suara Haris berbicara pada perawat yang datang walau tanpa melihatnya. Ia tetap memejamkan mata, membiarkan bulir bening mengalir dari sudut matanya mewakili seluruh rasa yang berkecamuk dalam hati.

*****

Dimas mengerang pelan, menyerukan wajahnya di bantal. Sekujur tubuhnya terasa sakit, membuatnya enggan untuk bangun. Hanya tangannya yang bergerak meraba sisi tempat tidur di samping, berharap apa yang terjadi kemarin hanyalah mimpi. Berharap Hanna ada di sampingnya saat ia membuka mata seperti biasa di setiap pagi yang dijalaninya dua bulan ini. Namun, dingin yang terasa di kulit tangannya saat menyentuh sisi kosong di samping membuat Dimas tersadar. Semuanya nyata, Hanna benar-benar meninggalkannya.

Perlahan Dimas memaksa diri untuk bangun, duduk lesu di atas kasur. Mengacak rambutnya, menyempurnakan penampilannya yang kacau. Ia menatap kosong sekeliling kamar, seakan melihat bayangan Hanna di setiap sudutnya.

"Agrh!" Dimas menjambak rambutnya kasar, lalu beranjak keluar kamar. Ternyata pagi telah menyapa bersama matahari yang sudah bersinar terang.

"Dimas?" Bik Minah langsung menghampiri Dimas yang melangkah gontai keluar kamar. "Dimas, kamu sarapan dulu. Ini sudah hampir jam delapan. Dari tadi malam kamu tidak makan dan keluar kamar sama sekali."

Dimas tidak menghiraukan ibunya, ia terus melangkah ke depan rumah, keluar sampai di teras dan memandang ke arah pantai.

"Kenapa kamu pergi?" gumam Dimas lebih kepada dirinya sendiri. Sejak memastikan Hanna benar-benar tidak ada di rumah, Dimas mengurung dirinya di kamar dan keluar sampai pagi menjelang. Ia sibuk menghubungi istrinya itu dengan ponsel yang layarnya retak akibat dibanting, berharap salah satu panggilannya akan terhubung dan Hanna menjawabnya. Namun sampai kantuk menelan kesadarannya, nomor telepon Hanna tetap tidak bisa dihubungi.

"Dimas!" Bik Minah mendekat, menguncang keras bahu anaknya itu.

"Apa Ibu marahin Hanna selama aku ngga ada, makanya dia pergi?" Dimas berbalik, menatap kosong ibunya.

"Kamu bicara apa, Nak? Apa pernah kamu lihat Ibu bersikap buruk sama Hanna? Ibu yang minta kamu menikahinya, kenapa kamu bisa berpikir tentang Ibu seperti itu?"

"Lalu kenapa dia pergi? Apa aku melakukan kesalahan? Aku ... aku mencintainya, Bu ...." Dimas menutup wajah dengan kedua tangan bersamaan dengan tubuh yang meluruh membuatnya berlutut di teras.

"Nak ...."

"Apa Hanna mengatakan sesuatu tentangku, Bu? Apa dia mengadu pada Ibu tentang kesalahanku? Kenapa dia pergi?" Dimas tidak kuasa menahan tangis. Hanna adalah wanita pertamanya, walaupun bukan cinta pertamanya, tetapi wanita itulah yang pertama memberikan cinta tulus setelah ibunya. Kenyamanan dan kebahagiaan benar-benar ia rasa ketika Hanna mencintainya. Lalu kenapa hanya sesaat saja ia merasakannya?

"Dimas, tenangkan dirimu dulu." Bik Minah menunduk, mengusap rambut tebal Dimas. "Bangunlah, jangan seperti ini."

Dimas menurut, bangun perlahan. Matanya yang memerah menatap sendu ibunya yang menuntunya kembali masuk dalam rumah.

"Maaf kalau Ibu tidak bisa menjaga Hanna." Bik Minah mendudukkan Dimas di salah satu kursi di ruang makan, lalu menyodorkan segelas teh hangat. "Mungkin saja Hanna pulang ke rumah orang tuanya. Kamu bisa menyusul cari dia di sana."

Teh yang disesapnya terasa tawar, ditambah rasa hangat yang menjalari kerongkongannya yang kering membuatnya meringis. Diletakkannya gelas di meja, Dimas meremas kasar rambutnya frustrasi.

"Ke rumahnya orang tuanya, Bu?" Ingatan Dimas berputar kembali saat pertama kali ia mengantar Hanna ke rumah orang tuanya. Sikap kasar dari papinya pada Hanna, dan sikap dingin kedua orang tua yang telah menjadi mertuanya di hari pernikahan yang membuat Hanna berkata tidak betah sehingga meminta ikut ke penginapan. Lalu, benarkah Hanna meninggalkannya dan memilih kembali ke sana?

"Nak?"

"Lalu masalahnya, kenapa dia pergi, Bu?" tanya Dimas semakin frustrasi dengan pikiran beekecamuk. Ia karena merasa hubungannya dengan Hanna baik-baik saja. Istrinya itu tidak pernah menolaknya, hanya sikapnya saja yang agak berubah dan ia pikir karena hasil negatif testpack waktu itu.

"Kamu tidak akan tahu kalau kamu tidak bertemu dengannya. Kamu harus nyusul dia, tapi jangan sekarang. Kamu butuh istirahat, Ibu tidak mau kamu kembali melakukan perjalanan jauh dalam keadaan seperti ini."

Dimas mengembuskan napas kasar. Ia mengangguk pelan tanpa menjawab, karena pikirannya masih berkelana mencari alasan mengapa Hanna meninggalkannya.

*****

Pagi yang cerah, secerah wajah Hanna ketika bangun dan sudah tidak sepucat kemarin. Saat itu ia sedang duduk di tempat tidur ditemani seorang perawat. Ia begitu lahap menyantap sarapan sehat dari rumah sakit. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya di desa, ia selalu tidak berselera makan ketika pagi karena harus menahan mual.

"Maaf ya, Sus. Saya makan dulu, setelah ini baru ganti baju," ujar Hanna dengan mulut yang tidak berhenti mengunyah.

"Iya, Bu, tidak apa-apa." Perawat tersebut tersenyum sambil menyiapkan baju ganti Hanna yang diambilnya dari salah satu koper besar yang diinstruksikan Haris semalam.

Semalam Hanna berpura-pura tidur ketika Haris kembali setelah salat isya' di masjid. Kakaknya itu memilih pulang dan menitipkannya ke seorang perawat yang jaga malam. Haris juga menitipkan buah-buahan segar yang sudah dihabiskan Hanna sepanjang malam saat ia terjaga.

"Assalamu'alaikum." Hanna menghentikan makannya ketika pintu dibuka dan sebuah suara wanita yang tidak asing baginya. Bibirnya terkatup rapat, lidahnya terasa kelu untuk menjawab salam yang hanya dibalas oleh perawat yang bersamanya. Vania, wanita berkerudung maroon itu tersenyum, melangkah masuk membawa parcel buah-buahan. "Kamu sedang makan, ya?"

Hanna masih mematung, matanya tidak berkedip menatap Vania yang langsung menata buah di nakas tanpa memudarkan senyum di wajah cantiknya. Ia langsung memalingkan wajah ketika mengingat Dimas yang masih mencinta Vania yang cantik. Ia meremas sendok, menahan gemuruh dalam dada karena cemburu.

"Sus, saya sudah selesai. Bisa minta tolong ambilkan minumnya?" pinta Hanna pada perawat yang sudah kembali mendekat.

"Biar saya saja, Sus." Vania bergerak cepat, mengambil gelas air putih yang diberikan pada Hanna.

Hanna menatap datar apa yang dilakukan Vania. "Kenapa kamu ke sini?"

"Aku ingin melihat keadaanmu—"

"Seharusnya tidak perlu!"

Vania mengernyit heran menatap Hanna yang tidak kunjung menerima uluran tangannya menyerahkan gelas. Dia menoleh pada perawat yang masih berdiri di sana. "Sus, bisa tinggalin kami? Saya saudara iparnya, yang tadi malam itu suami saya."

Perawat tersebut yang memang mengenal Vania karena pernah bekerja di rumah sakit itu mengangguk lalu pamit keluar.

"Hanna," Vania meletakkan kembali gelas di nakas beserta piring makan Hanna, "Apa yang terjadi padamu?"

Hanna menepis kasar tangan Vania yang menyentuh bahunya, menoleh dengan tatapan tajam. "Pernah ada hubungan apa kamu sama Dimas?" Ia tidak bisa bicara pada Haris kemarin, tetapi tidak bisa menahan diri untuk mencecar Vania yang masih memiliki hati Dimas ketika sosoknya ada di hadapannya. Ia ingin tahu, apakah ia yang bodoh di sini sehingga tidak tahu apapun tentang Dimas dan Vania di masalalu.

"Apa?" Vania tampak shock dengan pertanyaan Hanna. "Kamu bicara apa Hanna?"

Hanna tersenyum sinis, bulir bening telah menggenangi pelupuk matanya, lagi-lagi teringat Dimas karena Vania. "Kamu mau tahu aku kenapa bisa ada di sini? Aku pergi meninggalkan suamiku, laki-laki yang aku cintai serta keluarga baru yang aku miliki karena kamu!" bentaknya kasar.

Vania tampak kehabisan kata-kata, berdiri kaku menatap Hanna tidak percaya.

"Semua karena kamu, Dimas mencintai kamu, bukan aku! Bahkan dia tidak mau punya anak dariku karena masih mencintaimu! Apa hubungan kalian di masalalu? Apa kamu meninggalkan Dimas karena memilih Kakakku?!"

Vania langsung menggeleng keras. "Semua salah paham, Hanna. Bukan itu kenyataannya ...," lirihnya sendu.

"Lalu apa?" Suara Hanna melemah karena air mata yang tidak kuasa ditahan.

"Demi Allah, aku tidak pernah punya hubungan apapun dengan Dimas di masalalu, Hanna. Bahkan aku baru bertemu dengannya setelah menikah dengan Mas Haris." Vania juga tidak kuasa menahan tangis. Dia mendekat, menggenggam tangan Hanna yang gemetar.

"Jadi, Dimas tetap mencintaimu walaupun jelas tahu kamu telah bersuami?" gumam Hanna datar, sakitnya semakin terasa mengiris hati mengetahui fakta itu. Ia merasa yakin bahwa meninggalkan Dimas adalah pilihan yang tepat.

"Maafkan aku Hanna, seharusnya aku tidak perlu lari dari masalahku lalu pergi ke desa itu untuk menyusul Bik Minah dan bertemu Dimas. Itu salahku." Vania menangis tergugu, sementara Hanna menatapnya datar walau tangisnya pun tidak terbendung.

"Berjanjilah satu hal," Hanna menarik tangannya dari genggaman Vania, "Jangan pernah menghubungi Dimas dan orang tuanya!"

Vania mengenyit heran seraya mengusap air matanya. "Kenapa begitu? Dimas suamimu, dan kamu sedang hamil—"

"Aku bilang jangan, ya, jangan! Aku benci dia, laki-laki pembohong!" Hanna berteriak kesal.

Vania langsung menggigit bibirnya, kaget dan tampak takut dengan reaksi Hanna yang emosinya tiba-tiba meledak. Wanita itu menghela napas pelan, menenangkan dirinya. Lalu mendekati Hanna yang kembali menangis.

"Ba-baiklah. Aku tidak akan menghubungi Dimas dan orang tuanya," gumam Vania, memberanikan diri mengusap bahu Hanna menenangkan.

Hanna hanya menunduk, mengusap air mata tanpa dan tangisnya perlahan berhenti.

"Kamu mau ganti baju, kan? Biar aku bantu, ya? Kata Mas Haris, kemarin Dokter Obgyn yang menanganimu menyarankanmu untuk bedrest dulu. Tidak boleh banyak gerak." Vania berusaha membujuk.

Sekali lagi, Hanna mengusap air matanya. Lalu tangannya beralih mengusap perutnya seraya mengangkat wajah, menatap Vania ragu.

"Aku bantu, ya?"

Hanna kembali tidak menjawab, ia hanya menunduk dan hal itu diartikan Vania sebagai persetujuan.

*****

Haris menutup kembali pintu yang tadinya sedikit dibuka. Ia sengaja mengizinkan Vania membesuk Hanna pagi-pagi setelah sarapan, dan ia menemani bayinya di rumah sebelum dititip sementara pada maminya. Haris ingin memberitahukan tentang keadaan Hanna pada orang tuanya, tetapi urung karena ia sendiri belum tahu apa yang sebenarnya terjadi pada adiknya itu.

Ia beranjak duduk salah satu kursi ruang tunggu, mengacak kasar rambutnya memikirkan semua ucapan Hanna yang ia dengar tadi. Tiba-tiba Haris merasa seperti orang jahat, ia merasa telah menjerumuskan adiknya sendiri pada lelaki yang salah.

"Mas?" Haris mengusap wajahnya, menatap kaget Vania yang sudah keluar. Entah berapa lama ia duduk melamun. "Kamu dari kapan di sini?"

"Sudah lama, Hanna sudah selesai?"

"Sudah. " Vania menggamit lengan Haris, menyandarkan kepalanya di bahu kokoh sang suami. "Kamu dengar pembicaraanku sama Hanna?"

"Iya, aku dengar semuanya," ujar Haris lemah.

"Semua salahku, Mas. Seharusnya aku ngga nyusul Bik Minah waktu itu. Seharusnya aku pergi ke rumah Ibu atau Kak Faiz aja agar pertemuanku sama Dimas ngga pernah terjadi—"

"Itu bukan salahmu, sayang." Haris menggenggam tangan Vania menenangkan. "Tapi ini salahku. Aku yang tidak bisa mengontrol emosi waktu tahu apa yang terjadi di antara Hanna dan Dimas. Aku langsung mengambil keputusan sendiri, ingin mereka menikah tanpa memikirkan perasaan Hanna karena berharap Dimas bisa melupakanmu," ujar Haris dengan helaan napas berat.

"Apa kita kasih tahu Mami sama Papi tentang Hanna, Mas?" tanya Vania setelah lama keduanya terdiam.

"Jangan dulu. Hubungan Hanna sama Mami dan Papi ngga baik. Aku takutnya malah nanti pengaruh sama kandungannya Hanna kalau dia stress."

Vania mengangkat wajahnya, penasaran menatap Haris. "Sebenarnya apa yang terjadi, Mas? Aku rasa, Mami, Papi dan kamu seakan menjauhi Hanna?"

Haris menggeleng tidak yakin. "Aku juga bingung. Dari kecil memang aku ngga dekat sama Hanna. Dan orang tuaku juga bersikap tidak acuh bahkan menitipkan Hanna sama nenek, jadi aku juga ikut-ikutan bersikap seperti itu sampai sekarang."

Vania menatap curiga, tatapan yang membuat Haris paham. "Kamu jangan berpikiran macam-macam. Hanna itu adik kandungku, anak kandung kedua orang tuaku."

"Lalu apa alasannya Mami dan Papi bersikap cuek sama Hanna kalau bukan itu alasannya? Kita juga orang tua sekarang, Mas. Mana tega kita bersikap seperti itu sama Hafiz?"

"Entalah. Bagiku itu ngga penting untuk saat ini karena yang penting itu Hanna sama calon bayinya."

"Lalu apa yang akan kamu lakukan?"

Haris mengembuskan napas pelan, menatap Vania serius. "Membawanya tinggal di rumah kita."

"Hanna tinggal di rumah kita sendirian, sementara kita tinggal sama Mami dan Papi?!"

"Iya, tapi Hanna ngga sendiri. Ada Ibu Asih yang beres rumah dan masak, lalu aku akan sewa perawat buat temenin dia," jelas Haris perlahan. 

Vania tampak ragu, tetapi akhirnya mengangguk. "Aku ngga yakin, Mas. Tapi tidak ada salahnya dengan membiarkan dia sendiri dulu dan tetap dalam pengawasan kita agar dia tenang. Karena bisa saja hal itu yang diinginkan Hanna saat pergi meninggalkan Dimas."

Haris mengangguk yakin. "Baiklah sekarang kamu pulang, jangan lama-lama tinggalin Hafiz. Biar aku yang temani Hanna ketemu dokter untuk pemeriksaan selanjutnya."

"Ya sudah. Aku pulang, ya? Kalau ada apa-apa kabarin aku." Vania mencium punggung tangan suaminya itu. "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam." Haris memilih untuk tetap duduk di sana dari pada masuk ke dalam ruangan, membiarkan perawat jaga pagi yang kini masuk menemui Hanna.

*****

Dari balik kemudi mobilnya, Dimas menatap lekat rumah mewah bergaya mediterania yang berdiri kokoh dikeliling tembok tinggi yang memagari di seberang tempat mobilnya terparkir. Sudah lebih dari setengah jam ia di sana, tanpa ada niat untuk mengarahkan mobilnya memasuki halaman rumah tersebut.

Sudah satu minggu kepergian Hanna tanpa kabar dan tidak bisa dihubungi, Dimas baru bisa mencari. Satu minggu ia lewati dengan berbaring di kamar karena keadaannya mendadak drop di hari kedua tanpa Hanna. Bahkan tiga hari ia demam lalu sekarang, memaksa menyetir sendiri dan bersyukur bisa sampai di kota dengan selamat.

"Apa kamu ada di dalam sana?" gumam Dimas ragu. Pandangannya teralihkan saat sebuah mobil sedan melintas, lalu masuk halaman rumah kedua orang tua Hanna yang di jaga satpam di gerbangnya. Ia tahu betul mobil siapa itu, dan sepasang suami istri yang keluar dari mobil tersebut membenarkan pikirannya.

Dimas menatap datar pasangan itu, tidak ada apapun yang terasa di hatinya melihat mereka bergandengan tangan lali masuk ke dalam rumah. Hal itu meyakinkan dirinya, bahwa seluruh hatinya telah diisi Hanna yang kini malah meninggalkannya tanpa sebab.

"Maaf, Mas. Dari tadi saya perhatikan mobilnya terpakir di sini terus dan lihat ke arah rumah. Ada apa, ya?" Satpam yang berjaga di rumah orang tua Hanna mengagetkan Dimas yang melamun.

"Maaf, Pak," ujar Dimas ragu, menatap satpam yang tentu tidak mengenal dirinya. "Apa Hanna ada di dalam?"

"Mbak Hanna?" Satpam berusia diawal empat puluhan itu tampak bingung menatap Dimas. "Mbak Hanna sudah tidak tinggal di sini, Mas. Mbak Hanna sudah ikut suaminya setelah menikah dan tidak pernah ke sini lagi," terang satpam itu dengan polosnya.

Dimas menghela napas lesu. Sakit yang bersumber dari hati, membuat sekujur tubuhnya terasa nyeri. Ingin rasanya ia masuk ke dalam sana, memastikan sendiri keberadaan istrinya itu. Namun ia tidak siap menghadapi kenyataan kalau memang Hanna tidak pernah kembali ke rumah orang tuanya. Lalu ia harus mencari ke mana?

Bersambung ....

Cari aja ke ujung dunia, Bang. Mungkin ...

0 comments:

Posting Komentar