CERBUNG 2 ~ Masih Adakah Surga Untukku

#Masih_Adakah_Surga_Untukku
#Laila
#Episode_2(revisi)

Terima kasih admin/moderator yang telah berkenan approve

Ayah terlihat syok mendengar keterangan dokter jika bundo terkena stroke. Dokter menyarankan bundo dibawa ke rumah sakit spesialis stroke di Bukit Tinggi. Di sana peralatan dan dokter-dokternya lebih lengkap untuk penyakit seperti bundo. Ayah dan keempat orang anak perempuannya menyetujui saran dokter. Bagi mereka yang terpenting adalah kesehatan dan kesembuhan bundo.

Uda Rizal dan uda Rudi langsung mengurus admistrasi dan surat rujukan dari dokter. Sementara uni Lili dan ketiga orang adiknya duduk di samping kiri dan kanan ayah. Mereka pun sama seperti ayah, bersedih melihat kondisi bundo. Tama yang sedari tadi hanya berdiri di samping ruang UGD berjalan mendekati ayah.

"Pak, maaf ... sepertinya Tama tidak ikut mengantar Ibu ke Bukit Tinggi." Ayah menatap Tama dengan tatapan perih. 
"Iya, Nak. Tak Apa." suara ayah terdengar parau. Tama jongkok di depan ayah.
"Tama hanya bisa berdoa, semoga ibu secepatnya pulih, ya Pak dan bisa pulang kembali ke rumah dalam keadaan sehat seperti sedia kala."
"Iya, Nak terima kasih. Ayah dan semua keluarga mohon maaf atas semua yang terjadi." ayah menunuduk. Tak dapat ditahannya. Bulir-bulir bening itu membasahi pipinya yang telah mulai keriput. Bahu ayah berguncang menahan isak tangis.

"Tak apa, Pak. Bapak ga usah pikirkan dulu yang lain. Fokus aja dulu pada pengobatan dan kesembuhan, Ibu." Ayah semakin sedih mendengar kata-kata Tama. Ternyata ia tak salah memilih menantu. Sementara uni Lili, dan yang lainnya juga tak dapat menahan tangis.

"Sekalian Tama mau pamit, Pak. Mungkin dalam dua hari ke depan, Tama kembali ke Jakarta."
"Mengapa begitu cepat? Tidak kah Nak Tama bisa menunggu beberapa saat lagi? Siapa tau Laila pulang?" mata ayah menatap Tama penuh harap. Tama mencoba tersenyum.
"Tidak bisa sepertinya, Pak. Sudah terlalu lama Tama meningglkan pekerjaan."

"Baiklah, Nak. Tapi Ayah janji, jika kondisi Bundo sudah membaik, Ayah akan menyelesaikan masalah Laila." ayah menyentuh bahu Tama dengan lembut. Tama mengangguk. Lalu diambilnya tangan ayah, disalami dan diciumnya dengan takzim. Sesaat kemudia laki-laki gagah itu telah meninggalkan ayah mertua dan keemapt kakak iparnya. Ayah menatap kepergian menantunya dengan dada yang terasa perih. Uni Feni dan uni Rini menyusut air mata mereka dengan ujung jilbabnya. Ada yang terasa hilang di hati mereka.

****

Tama duduk di hadapan bapak dan ibunya serta kedua orang kakak perempuannya di ruang tamu. Berita kaburnya Laila telah menyebar ke seluruh pelosok kampung. Bapak dan ibu Tama serta seluruh keluarga merasa sangat malu dan juga merasa terseinggung. Tapi mereka tak dapat berbuat banyak, bukankah Laila gadis pilihan mereka untuk Tama?

"Sebenarnya apa yang terjadi, Nak? Mengapa tiba-tiba Laila kabur?' bapak menatap Tama yang terlihat begitu letih.
"Tama juga ga tau, Pak. Tama juga merasa bingung," Tama mendesah berat. Dadanya terasa begitu sesak. Tatapan bapak, ibu dan kedua kakak perempuannya semakin membuat Tama sakit.
"Lalu apa rencanamu selanjutnya?"
"Saat ini Tama belum bisa berpikir apa-apa, Pak."
"Kamu tak ingin mencarinya?"
"Buat apa, pak? Jika kami memang ditakdirkan untuk bersama, Allah pasti akan mempertemukan kami kembali. Tapi jika memang dia bukan jodoh Tama, sekuat apapun kita berusaha, tetap saja tak akan berhasil."
"Maafkan Bapak dan Ibu." lirih suara bapak. Sementara ibu dan kedua kakak perempuan Tama hanya bisa mengusap mata yang kembali basah.

"Tak ada yang perlu dimaafkan, Pak. Bapak dan Ibu tidak salah. Semua sudah atas kehendak-Nya." Tama merengkuh pundak bapaknya dengan penuh kasih. Laki-laki yang telah banyak berjasa dalam hidupnya.
"Terima kasih, kamu tidak marah pada kami." Tama mencoba tersenyum. 
"Tidak mungkin Tama marah pada Bapak dan Ibu. InsyaAllah ada hikmah di balik semua ini, Pak." Bapak dan Ibu Tama semakin terluka melihat ketegaran anak bungsu mereka. 

Tetap saja mereka merasa bersalah. Mereka lah yang bersikeras membujuk Tama untuk menikah dengan Laila. Mereka tidak ingin Tama mendapatkan jodoh dari tempat yang jauh. Apalagi jika perempuan dari pulau seberang. Mereka sudah tua, mereka ingin anak-anak tetap datang dan pulang setiap tahun, setidaknya setiap lebaran. Jika Tama berjodoh dengan perempuan sekampung, tentu tak erlu risau lagi dengan masalah tersebut. 

"Oh, iya, Pak, Bu, lusa Tama balik ke Jakarta." tiba-tiba Tama menyadarkan ketermanguan bapak dan ibunya. Semua menatap Tama dengan kaget.
"Kenapa secepat itu, Nak?' ucap ibu. Ada kecemasan dalam nada suara ibu.
"Banyak yang harus Tama selesaikan di Jakarta, Bu.Kapan-kapan Bapak dan Ibu kan bisa iku menyusul ke Jakarta," ucap Tama lalu beralih memeluk perempuan berusia 60 tahunan itu dengan penuh cinta. Bapak dan ibu mengangguk mencoba mengerti.

"Kalau Bapak dan Ibu ada waktu, pergilah ke Bukit Tinggi. Lihat kondisi bundo  Laila. Walau bagaimanapun mereka masih besan Bapak dan Ibu," ujar Tama mengejutkan mereka semua. Anak laki-laki mereka telah tumbuh menjadi anak yang baik. Ada rasa haru dan bangga di hati keduanya.
"Ya, Nak. InsyaAllah Bapak dan Ibu akan pergi membezuk." bapak menepuk pundak Tama lembut.
"Tama istirahat dulu ya, Pak, Bu," pamit Tama seraya berdiri.
"Makan lah dulu, Dek," ujar uni Rima mencoba menahan langkah Tama.
"Nantilah, Uni. Tama belum lapar." Uni Rima dan uni Soraya menarik napas berat. Mereka bisa merasakan apa yang dirasakan oleh adek mereka. Tapi apalah yang bisa mereka lakukan. Semua yang terjadi pada Tama benar-benar di luar nalar mereka.

****

Sudah lebih satu minggu bundo dirawat. Belum terlalu banyak kemajuan pada kesehatan bundo. Bundo masih belum bisa bicara. Bibir bundo pun masih terlihat sedikit miring. Syukurnya kaki dan tangan sudah mulai bisa digerakkan, meski masih lemah. Dokter mengatakan dua hari ke depan bundo sudah boleh pulang. Bundo bisa rawat jalan sekali seminggu untuk kontrol dan terapi.

Keempat kaka perempuan Laila selalu bergantian menjaga bundo. Sementara ayah tak pernah beranjak dari sisi bundo. Ayah mengurus bundo dengan telaten dan penuh kasih sayang. Laila masih juga belum bisa dihubungi. Telah puluhan kali keempat orang kakaknya mencoba menelphon dan mengirim sms. Tapi ponsel gadis cantik itu masih juga tak dapat dihubungi. 

Uda Rizal dan uda Rudi juga telah berusaha mencari ke kota Padang. Ke tempat-tempat saudara dan teman-teman Laila. Hasilnya nihil. Laila seperti lenyap ditelan bumi. Mereka sudah kehabisan akal, bagaimana cara menemukan Laila. Padahal mungkin saja dengan kepulangan Laila, kondisi bundo akan lebih membaik.

Sementara itu, di sebuah rumah kos sederhana di pinggiran kota Padang, Laila berdiri di pinggir jendela kamar kosnya. Ditatapnya pantai Padang yang terlihat tenang di siang hari ini. Angin yang berhembus membuat ombak datang dan pergi membawa suara deburan yang begitu indah di telinga. Laila menyukai pantai. Tak pernah bosan ia menatap hamparan biru yang membentang sampai batas langit di ujung sana itu.

Tapi kali ini tak ada ketenangan di hatinya ketika menatap keindahan alam di hadapannya ini. Ada keresahan di dalam hatinya yang tak dapat ia sembunyikan. Dua hari lagi ia akan berangkat ke Jakarta. Ia menerima email, panggilan untuk ikut tes mengajar BIPA ke luar negeri. Pilihannya ada Mesir, Thailand, Uzbekistan, Prancis, Singapura, dan Austarlia. Laila berharapa ia dapat lolos untuk pengajar yang ke Mesir. Dari dulu ia ingin sekali mengunjungi negeri pemilik piramida dan mummi itu. 

Diraihnya ponsel yang beberapa waktu ini tak pernah diaktifkannya. Tangannya gemetar ketika akan menekan tombol hijau. Dadanya bergemuruh. Tapi ia merasa sudah waktunya untuk menhidupkan ponselnya dan berkirim kabar kepada uni Feni. Ia harus mengatakan kondisinya saat ini baik-baik saja. Laila yakin semua keluarganya pasti sedang mencemaskan dirinya saat ini.

Bunyi khas ponselnya menambah kencang degup di dada Laila. Lampu layar di depannya pun menyala. Lalu tak menunggu lama, puluhan notifikasi memenuhi layar ponselnya. Puluhan panggilan tak terjawab dan puluhan sms. Laila membuka salah satu smssms dari uni Feni.
Deg. Jantungnya serasa berhenti berdetak membaca isi sms tersebut. Bulir-bulir air mata membasahi pipi mulusnya.

"Pulanglah untuk beberapa saat dek, meski ada atau tak ada lagi harapan untuk Bundo."
Laila terisak. Apa yang terjadi dengan bundo? Apakah ini hanya akala-akalan uni feni saja? Apakah ini hanya sekedar gertakan? Tapi kalau sms itu benar, kalau bundo sedang kenapa-kenapa, kalau kondisi bundo sedang tidak baik-baik saja? Apakah ia akan bisa memaafkan dirinya jika sesuatu yang buruk terjadi pada bundonyo? Wanita terbaik yang amat dikasihinya?

Laila membereskan beberapa helai pakaian dan jilbabnya lalu memasukkannya ke dalam ransel. Dengan tergesa, ia menelphon travel ke kampungnya. Aapaun yang terjadi, ia harus pulang. Laila tak mau jadi anak durhaka. Teringat kasih sayang bundo padanya, kesabaran bundo, perjuangan bundo membesarkannya, menyekolahnnya. Laila kembali terisak. Ia merasa telah begitu jahat pada perempuan berhati mulia itu.

****

Senja telah turun. Temaram membuat suasana kampung Laila terlihat sendu dan senyap. Laila melangkahkan kaki memasuki halaman rumahnya. Dadanya bergemuruh kencang membayangkan apa yang akan dihadapinya nanti di dalam rumah. Dengan kaki gemetar, Laila membuka pintu dan melangkahkan kaki memasuki rumah. Ayah, bundo dan keempat kakak Laila sedang berkumpul di ruang keluarga. Sementara riuh suara anak-anak terdengar dari arah pavilium.

Laila terpana, tatapannya terpaku pada sosok bundo yang sedang duduk di kursi roda. Tak dapat ditahannya air mata yang mengalir deras di kedua pipinya. Laila melemparkan tas ranselnya dan berlari memeluk ibunda terkasihnya.
"Bundo, maafkan Laila. Maafkan Laila." jeritt Laila pilu. Bundo diam tak bergeming. Hanya air mata yang menetes di kedua sudut mata wanita yang sudah mulai terlihat tua dimakan usia. Tubuh Laila luruh ke lantai. Ia memegang kedua kaki bundo. Tangan bundo terangkat pelan, lalu menyentuh puncak kepala anak gadisnya yang tertutup jilbab.

Semua mata terpaku melihat adegan di depan mereka. Tak ada yang dapat menahan isak tangis melihat Laila dan bundo. Ayah pun hanya mampu terdiam. dadanya terasa berat. Kemarahan yang terpendam sejak beberapa waktu lalu, entah mengapa menguap begitu saja melihat kondisi anak gadis yang teramat dicintainya itu.

Laila lalu bangkit dan mendekati ayahnya. Tubuh Laila kembali luruh di depan ayahnya.
"Ayah, antarkan Laila ke rumah suami Laila." suara Laila terdengar begitu lirih namun juga terdengar penuh keyakinan. Ayah menyentuh kedua pundak Laila, dan mengangkatnya ke atas. Lalu direngkuhnya tubuh anak gadis yang amat disayanginya itu ke dalam pelukannya. Ayah kembali menangis. Padahal dulu ayah adalah laki-laki yang begitu pantang mengeluarkan air mata. Begitu juga dengan keempat kakak Laila, mereka terisak dalam diam.

*****

Ayah dan Laila berdiri di depan pintu rumah yang terlihat begitu megah. Tak salah orang kampung mengatakan laki-laki muda ini merupakan perantau yang telah sukses. Ayah mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Sementara Laila hanya menunduk, meremas tangannya yang terasa begitu dingin. Debaran di dadanya begitu heboh, membuat ia berkeringat dingin.

Tak lama kemudian pintu besar di depan mereka terbuka. Sosok laki-laki gagah itu berdiri di hadapan mereka. 
"Assalammualaikum, Nak Tama," Bapak mencoba menatap wajah Tama yang terlihat amat terkejut. Bapak menggenggam tangan Laila dengan erat mencoba memberi kekuatan pada anak gadisnya itu.
"Waalaikumsalam, Pak." Sejenak mereka sama-sama terdiam. Terasa begitu canggung.

"Maaf, Nak Tama. Ada yang perlu Ayah bicarakan dengan Nak Tama," ucap ayah menyadarkan ketermanguan Tama.
"Oh iya, Pak. Maaf. Silakan masuk, Pak." Tama membuka daun pintu lebih lebar dan memberi jalan pada ayah dan Laila. Ayah melangkahkan kakinya memasuki rumah Tama tanpa melepaskan genggaman tangannya pada Laila. Sementara tangan ayah satu lagi mendorong travel bag milik anak gadisnya itu.

"Silakan duduk, Pak." Ayahpun mengambil posisi di depan Tama. Laila ikutan duduk di samping ayahnya. Ruang tamu yang besar itu terlihat begitu indah dan mewah. Tapi suasana terasa begitu sepi.

"Maksud kedatangan Ayah ke sini adalah ingin mengantarkan Laila kembali pada Nak Tama." Ayah mencoba menatap wajah menantu di depannya. Tapi ekspresi wajah  Tama terlihat sulit untuk diartikan. Semenatar Laila tak pernah mengangkat wajahnya dari tadi. Ia masih tak melapaskan genggaman tangan ayahnya. Entah mengapa hatinya begitu ketakutan menghadapi semua ini. Tak ada lagi kehebatannya, keberaniannya, kekonyolannya menghadapi berbagai hal-hal sulit seperti yang selama ini ia lakukan.

Tama masih terdiam. Kejutan kali ini tak jauh berbeda dengan kejutan pertama yang dilakukan gadis di hadapannya ini. 
"Tapi, sebelumnya ayah ingin memastikan dulu pada Nak Tama." Ayah berhenti sejenak. Laki-laki tua itu berusaha mengumpulkan oksigen sebanyak-banyaknya dan mengisi paru-paru serta rongga dadanya penuh-penuh, agar sesak itu sedikit berkurang.
"Apa itu, Pak?"
"Apakah Nak Tama belum mentalak Laila?"
Tama tertegun .

bersambung .....

0 comments:

Posting Komentar