CERBUNG 3 ~ Masih Adakah surga Untukku

#Masih_Adakah_Surga_Untukku
#Laila
#Episode_3

Terima kasih admin/moderator yang telah berkenan approve

Ayah menatap tama dengan mata penuh harap. Tama kembali melirik perempuan di depannya. Tapi perempuan berjilbab maroon itu masih tetap menunduk. 
"Belum, Pak. Tama belum mentalak Laila."
"Alhamdulillah, terima kasih, Nak. Untuk itu hari ini Ayah kembalikan Laila kepadamu, Nak," suara ayah terdengar bergetar. Tama tertegun. Apa memang seperti ini takdir yang ditetapkan Allah untuknya? Tapi tatapan laki-laki tua di depannya ini penuh luka. Tama merasa tak sanggup menambah kepedihannya.  Ah, apa mungkin ia laki-laki yang lemah? Dada Tama bergejolak. 

"Baiklah, Nak Tama, Ayah tidak bisa lama. Kondisi Bundo masih belum terlalu baik. Ayah langsung pulang sekarang," ucapan ayah menyadarkan ketermanguan Tama. Terlihat Laila mengeratkan genggaman tangannya pada tangan ayahnya. Entah mengapa ia merasa takut ditinggal oleh ayahnya di sini, di rumah lelaki yang telah menjadi suaminya ini.

Ayah mengusap punggung tangan Laila dengan lembut. 
"Baik-baik di sini, Nak. Inilah hidupmu sekarang. Turuti apa kata suamimu. Berbaktilah padanya, karena sekarang dialah imammu." Ayah melepaskan genggaman tangan Laila. Lalu segera bangkit. 

"Kenapa begitu buru-buru, Pak? Istirahatlah semalam atau dua malam di sini." Tama akhirnya bersuara.
"Tidak, Nak. Tujuan Ayah ke sini hanya mengembalikan Laila padamu. Maafkanlah kesalahan yang telah diperbuatnya. Beri dia kesempatan untuk memperbaiki diri." Bapak mendekati Tama dan mengulurkan tangan pada menantunya itu. Tama menyambut uluran tangan mertuanya dengan tergesa. Lalu menciumnya dengan takzim. Sementara Laila mulai terisak. 

"Tama antar ke bandara ya, Pak," Tama menawarkan diri untuk mengantar ayah mertuanya. 
"Tidak usah, Nak. Ayah ditunggu oleh sopir uda Andi di depan," tolak ayah seraya beranjak menuju pintu.
"Ayah ...." Laila tiba-tiba sudah memeluk ayahnyadari samping. Wajah cantiknya telah basah oleh air mata. Ayah mengusap puncak kepala anak gadisnya dengan lembut. 
"Sudah, jangan nangis lagi. Kalau kangen Ayah dan Bundo, kamu kan bisa telphon Ayah dan Bundo kapan saja," ayah mencoba tersenyum. Meski mata tuanya pun mulai terlihat kabur karena menahan aliran bening di kedua matanya.

Ayah pun melepaskan pelukan erat Laila. Laila merasa begitu berat melepas kepergian ayahnya.
"Ayah pamit, Nak Tama."
"Ya, Pak. Hati-hati di jalan. Salam untuk ibu di kampung."
"Bisakah mulai hari ini Nak Tama memanggil Ayah pada Bapak?" Tama kembali tertegun mendengar ucapan mertuanya ini.
"Ya, Pa... eh Yah," Tama menjadi terbata. Ayah tersenyum hangat.
"Terima kasih, Nak," ucap ayah tulus. Lalu ayahpun segera bergegas ke luar dan menuju mobil yang telah menunggunya di luar pagar.

Tama pun berbalik dan melewati Laila begitu saja. Ia naik ke lantai dua menuju kamarnya. Mengambil tas dan laptopnya, lalu kembali bergegas turun. Dilihatnya Laila masih berdri seperti posisi tadi. Entah mengapa kecewa, sakit hati, dan amarah yang ditahannya sejak dua minggu lalu kembali mencuat memenuhi rongga dadanya. Ia bukanlah malaikat yang tak punya rasa sakit hati. Ia manusia biasa yang juga bisa marah dan benci. Tapi melihat perempuan di depannya ini masih berurai air mata, Tama pun mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Dicobanya menahan semua ucapan dan perkataan yang ingin dimuntahkannya di depan perempuan  ini.

"Aku kantor dulu. Ada Mak Eti nanti di rumah. Ia sedang belanja  ke pasar." wajah Tama terlihat tanpa ekspresi. Laila hanya mengangguk tanpa berani menatap laki-laki di depannya itu. Tama pun melewati Laila begitu saja. laila menggeser tubuhnya memberi jalan pada Tama.
"Kunci pintu baik-baik," pesan Tama sebelum hilang dibalik pintu. Laila pun menutup daun pintu dan menguncinya dari dalam.

Tak lama kemudian terdengar bunyi mesin mobil yang meninggalkan halaman rumah.  Laila mendudukkan pantatnya di kursi tamu. Ia merasa bingung harus bagaimana. Tama tak menawarkannya beristirahat di salah satu kamar. Padahal tubuhnya terasa begitu lelah.  Akhirnya Laila menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa dan mencoba memejamkan matanya.

Rasa asing dan bingung kembali menghinggapi perasaannya. Apa yang akan dihadapinya ke depannya? Jelas sikap laki-laki itu tadi tak memperdulikannya. Tak menawarkan kamar untuk istirahat, tak menawarkan minum, tak menawarkan makan.Tapi bukankah semua memang karena kesalahannya sendiri?  Kesalahan yang bagi laki-laki itu pastilah teramat fatal. Ah, jika tidak karena bundo, tak akan dijilatnya ludah yang telah ia keluarkan.

Tak sadar, akhirnya Laila tertidur sambil duduk bersandar pada sofa. Tiba-tiba didengarnya suara ketukan di pintu. Laila terbangun dan bergegas menuju pintu. Sebenarnya ia ragu untuk membukanya. Tapi siapa tahu itu Mak Eti yang pulang dari pasar.  Laila memutar anak kunci  dan manarik handelnya, pintu terbuka sebagian. Sesosok wanita paruh baya dengan jilbab instan warna hitam berdiri di depan pintu. Di belakang perempuan itu berdiri seorang laki-laki yang rambutnya sudah memutih sebagian, di tangannya ada dua kantong belanjaan. 

"Assalammualaikum," ucap mereka bersamaan.
"Waalaikumsalam," jawab Laila seraya membuka daun pintu lebih lebar.
"Mak Eti, ya?" tanya Laila dengan ramah. Wanita itu mengangguk dengan wajah bingung.
"Saya Laila, Mak." Laila mencoba meraih tangan wanita di depannya. Mak Eti meletakkan belanjaannya di lantai dan menyambut uluran tangan Laila. 
"Oh, Laila." Mak Eti dan laki-laki di belakangnya memperhatikan wajah Laila, lalu mereka sama-sama tersenyum ramah pada Laila. 

"Ayo, kita masuk." ajak Mak Eti seraya membawa barang belanjaannya.
"Sini biar Laila aja yang bawa, Mak." Laila mencoba menjangkau belanjaan dari tangan Mak Eti. 
"Tidak usah, Mak udah biasa begini. Lagian Nak Laila kan  baru datang, pasti masih capek," tolak Mak Eti halus. Laila akhirnya hanya mengikuti  langkah mak Eti menuju dapur. 

Melewati ruang keluarga yang luas, dengan karper-karpet bulu yang lebar dan tebal, mereka sampai di ruang makan yang langsung bergabung dengan dapur. Dapurnya juga luas dan cantik. Laila berdecak kagum. Kok ada orang masih lajang sudah punya rumah begini luas dan bagusnya, batin Laila dalam hati. Dari dapur, Laila bisa melihat halaman belakang yang luas. Ada taman dan sebuah ayunan tertata rapi di sana. 

"Laila, duduklah dulu. Mak buatkan teh ya, biar badannya segar," tawar mak Eti. 
"Biar Laila bantu masak, Mak Eti," Laila langsung mengambil kantong belanja yang dibawa oleh laki-laki yang bernama  Pak Udin. 
"Laila, nanti ada yang datang bantu Mak memasak. Mba Susi. Hari ini dia agak telat datangnya, karena mau ke sekolah anaknya dulu. Mau bayar SPP katanya." Laila tak mengacuhkan ucapan Mak Eti. Ia tetap membantu mengeluarkan bahan-bahan memasak dari dalam kantong belanjaan.

"Pak Udin, mau dibikinin kopi apa teh?" tanya Mak Eti pada pak Udin yang telah duduk di kursi meja makan.
"Kopi saja, Mak." jawab pak Udin.

"Kok belanjanya begini banyak ya, Mak?" tanya Laila heran, padahal sepertinya tak banyak orang di rumah ini. 
"Iya, Nak. Nak Tama memang selalu menyuruh Mak Eti dan Mba Susi masak agak banyak, biar Mba Susi pulang nanti ke rumahnya bisa bawa lauk dan sayur dari sini. Mba Susi datang pagi, pulang sore. Kerjaannya cuci dan setrika serta bersih-bersih rumah. Pak Udin juga kan tinggal dengan anak istrinya, nanti pulang juga bawa lauk dan sayur dari sini," Mak Eti menerangkan panjang lebar.

Wow, Laila ternganga. Ada ya laki-laki muda yang baik seperti itu. Yang punya kepedulian sampai kepada hal-hal sepele seperti itu, membagi masakannya dengan pembantu dan supirnya. Tak dapat dipungkiri, ada sedikit rasa simpati di hati Laila mendengar cerita mak Eti tentang laki-laki bernama Tama itu.

"Mak, Laila mau dhuha dulu ya, Mak." pamit Laila. 
"Oh, iya, Nak. Kamu mau duha di ruang sholat apa mau di kamar aja?" tanya mak Eti.
"Di ruang sholat aja ya, Mak."
"Ya udah, itu yang di samping ruang keluarga, ya. Mukenanya sudah lengkap di sana."
"Ya, Mak." Laila pun bergegas menuju ruang sholat yang tadi sudah dilihatnya sekilas.

Sambul berjalan, Laila tersenyum sendiri. Masa mak Eti bilang mau di kamar. Memang kamarnya di mana? Travel bagnya aja masih tergelatak di ruang tamu. Uh, Laila merasa bingung. Bagaimanakah nanti dan seterusnya ia akan menghadapi laki-laki yang telah berstatus sebagai suaminya itu? Laki-laki yang ditinggalkannya pada malam pertama mereka? Akankah laki-laki itu mau memaafkannya dan bersikap baik padanya? Ah, Laila mengusap wajahnya kasar.  Mudah-mudahan dengan wudhu dan sholat duha, kebingungan dan kegalauannya  bisa sedikit berkurang.

bersambung .....

0 comments:

Posting Komentar