#Masih_Adakah_Surga_Untukku
#Laila
#Episode_12
Terima kasih admin/moderator yang telah berkenan approve
Maaf pembaca setia, janjinya ga tepat waktu ..
Tama masuk ke dalam mobil tanpa bicara apa-apa. Laila dan Rani pun menyusul. Mereka bertiga diam dengan pikirannya masing-masing. Mobil ke luar dari parkiran Senayan City, memasuki jalanan Jakarta yang selalu padat.
"Romantis banget ya, manggil kakak." tiba-tiba Tama bicara tanpa menoleh pada Laila. Suara laki-laki itu terdengar amat sinis. Laila tercekat mendengar ucapan Tama.
"Uda kan ga mau dipanggil dengan panggilan yang lebih romantis lagi. BIlangnya, 'Saya lelaki Minang, panggil saya dengan Uda'," Laila meniru ucapan Tama ketika pertama kali Laila datang ke Jakarta. Hati Tama yang tadi membara tak ayal tersipu mendengar ucapan Laila. Padahal sebenarnya ia masih ingin marah. Sebenarnya ia masih merasa sakit hati. Tapi ia tak akan menunjukkannya di depan Rani. Tama tak akan memberi celah pada gadis di belakangnya ini.
"Jadi manggil Abang itu karena pengen romantis?"
"Ya, biar beda aja sih ama yang lain. Kan semua orang udah manggil Uda."
"Kalau gitu, panggil sayang aja," ucap Tama santai.
Haaa? Laila hampir tersedak meski tak lagi makan. Manggil sayang? Gimana rasanya tuh ya. Ih, Laila tanpa sadar menggeleng-gelengkan kepalanya.
Rani yang berada di belakang merasa heran melihat Tama. Kenapa laki-laki itu terlihat biasa-biasa saja setelah kejadian tadi? Apa itu artinya Tama tak memiliki perasaan apa-apa pada Laila sehingga Tama tak merasa sakit hati pada Laila melihat tatapan mata laki-laki bernama Fadil tadi? Berbagai pertanyaan muncul di benak Rani.
Sementara Laila masih merasa galau dengan perkataan Fadil tadi. Laila sendiri tak yakin akan seperti apa perjalanan pernikahannya dengan Tama.
Tama pun akhirnya memilih diam. Mereka bertiga melewati perjalanan dalam hening.
Sebelum sholat magrib, mereka pun sampai di rumah. Setelah memarkirkan mobil, Tama memanggil mak Eti untuk membantu membawa barang-barang Laila ke lantai dua. Tapi, Laila telah membawa sendiri sebagian kantong belanjanya. Mak Eti membawa kantong yang masih tersisa di bagasi mobil.
Tama, Laila dan Mak Eti langsung menuju ke kamar Tama. Sementara Rani masuk ke kamar tamu. Rani sudah tak sabar ingin mencoba baju-baju yang tadi diambilnya di toko Tama.
Sesampai di kamar Tama, Laila dan mak Eti meletakkan kantong-kantong belanjaan di sudut kamar. Mak Eti sedikit heran melihat belanjaan segiitu banyaknya.
"Mak, ini daster buat Mak Eti. Semoga Mak Eti suka, ya." Laila menyerahkan sebuah kantong berwarna putih pada mak Eti.
"Wah, Mak Eti dapat juga, Nak Laila?" mata mak Eti berbinar.
"Hehe, iyalah, Mak. Gamungkin Laila lupa sama Mak Eti." Laila menyentuh pundak mak Eti dengan lembut.
"Makasih, ya nak Laila. Mak Eti pamit turun dulu, ya. Mau magrib." Mak Eti pun bergegas ke luar dari kamar dan membawa kantong pemberian Laila tadi.
"Uda mau mandi duluan?" Laila melihat Tama asyik dengan ponselnya.
"Kamu aja duluan." mata Tama tak beralih dari ponselnya. Laila pun mencari kantong baju tidur yang tadi dipilihnya di toko teman Tama. Laila memilih setelan baju tidur berwarna maroon. Setelah itu, Laila pun bergegas ke kamar mandi.
Tama bangkit dan menuju ruang sebelah. Rasanya ia ingin membaringkan tubuhnya dan beristirahat sejenak. Hati dan pikirannya entah mengapa rasanya tak nyaman. Kata-kata teman Laila tadi kembali terngiang-ngiang di telinga Tama.
Beberapa waktu ini, sejak Laila datang ke rumahnya diantar sang ayah, tama mencoba berdamai dengan dirinya sendiri. Tama mencoba menerima kehadiran Laila. Meski terkadang sikapnya tak bisa baik dan ramah pada Laila. Tapi setiap saat, Tama selalu mencoba untuk membuka hatinya agar bisa memaafkan Laila. Memaafkan apa yang telah diperbuat laila padanya.
Tapi ucapan Fadil, teman Laila tadi, benar-benar mengusik pikiran Tama.
"Uda, Laila udah selesai. Uda mau mandi sekarang?" Laila tiba-tiba telah berada di pintu penghubung kamar Tama dan ruangan teater.
Tama mendudukkan tubuhnya di sofa. Lalu bangkit dan melewati Laila dengan diam. Laila merasa heran, kok sikap laki-laki ini berubah dingin lagi ya? Apalagi yang salah? Laila bertanya-tanya dalam hati. Apa karena Fadil tadi? Tapi rasanya tidak mungkin. Hati Laila menjadi tak karuan.
"Ini handuknya, Da." Laila mengulurkan handuk yang masih dilipat pada Tama sebelum laki-laki itu masuk ke kamar mandi. Tama menerimanya tanpa melihat pada Laila.
Uh, Laila merasa bingung. Laki-laki ini ternyata susah juga ditebak. Laila membuka lemari dan mengambilkan sarung serta baju koko untuk Tama. Mengambilkan pakaian dalamnya juga. Lalu diletakkannya semua itu di atas kasur. Setelah itu Laila memakai mukenanya dan turun ke bawah. Tak berapa lama azan magrib pun berkumandang.
Tak berapa lama, Tama ke luar dari kamar mandi. Mata Tama tertuju ke atas kasur, dilihatnya sarung, baju koko dan pakaian dalamnya telah tersedia di sana. Tiba-tiba Tama tersenyum. Ada yang menghangat di hatinya. Seperti inikah rasanya punya istri? Disediakan pakaiannya, makannya, ditemani juga tidurnya. Ups ... Tama menepuk jidatnya. Lagi-lagi pikirannya menjadi sedikit kurang waras.
Tama pun memakai pakaian yang telah disediakan Laila. Lalu ia pun segera turun. Di ruang sholat, Laila, Rani, Mak Eti telah menunggu kedatangannya. Mak Eri pun terlihat telah mengambil tempat di bagian depan. Di posisi imam.
Setelah sholat magrib, Laila melanjutkan dengan sholat sunnah, setelah itu Laila mengambil mushaf yang ada di ruang sholat itu. Laila memang sudah terbiasa mengaji setelah sholat magrib. Sejak masih di bangkus SD, orang tuanya telah mengajarkannya untuk rutin membaca AlQuran setelah sholat magrib. Lalu suara merdu Laila pun mengalun lembut.
Tama, mak etek Eri, dan Rani beranjak ke ruang keluarga. Tama menghidupkan televisi dan memilih canel sport seperti biasanya. Sementara mak Eti dan Anita telah menyiapkan makan malam. Laila menyelesaikan dua halaman bacaan AlQurannya, lalu setelah melipat mukena, Laila pun bergabung dengan mak Eti dan Anita. Setelan baju tidur celana panjang dengan lengan juga panjang dipadu dengan jilbab instan warna hitam, Laila terlihat cantik alami.
Mereka telah selesai menghidangkan makan malam. Laila memanggil Tama, mak Etek Eri dan Rani untuk makan bersama. Ketiga orang yang asyik menonton televisi di ruang keluarga itu pun bangkit dan menuju meja makan. Laila bingung, mau ikut makan atau tidak. Ia masih bisa menangkap wajah dingin Tama. Laila merasa tak enak hati. Laila ingin naik ke kamar saja, tapi tiba-tiba Tama meraih tangannya.
"Mau ke mana?"
"Laila mau ke kamar, Da,"
"Makanlah dulu." suara Tama tiba-tiba terdengar lunak. Uh, Laila mendesah dalam hati. Laila benar-benar tak mengerti dengan sikap laki-laki ini.
Tapi Laila tetap menurut. Tatapan mata mak etek Eri dan Rani membuat Laila mau tak mau harus duduk di samping Tama. Meski hatinya pun sedang tidak nyaman. Sikap tama yang sedetik baik dan sedetik kemudian dingin, membuat Laila merasa serba salah.
Laila duduk di samping Tama. Mak etek Eri terlihat mengambil nasi, allu kemudian Rani. Setelah itu Laila mengambil piring Tama dan menyendokkan nasi ke piring tersebut. Laila meletakkannya kembali di depan Tama.
"Makasih," ucap Tama tulus. Laila mengangguk.
"Mau pake apa, Da?" tanya Laila.
"Goreng belut aja." Laila lalu mengambilkan goreng belut cabe hijau untuk Tama. Setelah itu ia baru menyendok nasi untuk dirinya sendiri.
Laila benar-benar tak berselera. Padahal biasanya goreng belut membuat nafsu makanya bertambah. Laila hanya mengambil nasi sedikit dan sayur bayam sedikit. Ia makan tanpa lauk. Tama menoleh pada Laila. Tama heran melihat gaya makan Laila. Apa perempuan ini sedang diet? Tanya hati Tama. Tapi tubuhnya telah sangat pas. Kenapa masih harus menjaga makan lagi.
"Makannya kok seperti itu, Laila?"
"Masih kenyang, Da."
"Tambah dikit lagi, ya?" Tama tiba-tiba menyendokkan nasi ke piring Laila.
"Da, nanti ga habis." Laila protes.
"Nanti kamu kurus kalau makan dikit kayak gitu."
"Ya, ga pa pa lah kurus, Da. Asal sehat."
"Bundo pikir nanti anaknya ga dikasih makan." ucap Tama seraya kembali menambahkan lauk ke piring Laila.
Mak etek Eri dan Rani melihat perlakuan Tama pada Laila dengan wajah tak suka.
"Tama, bisa carikan tiket besok buat Mamak?" tiba-tiba mak etek Eri mengalihkan perhatian Tama dari Laila.
"Mak Etek sudah mau pulang?"
"Ya, banyak yang harus Mamak urus di kampung. Tak bisa juga lama-lama di sini. Maksud Mamak ke sini kan memang hanya mengantarkan Rani."
"Oh, iya Mak. Nanti Tama carikan ya, Mak."
"Pekerjaan untuk Rani sudah kamu pastikan?" Mak Etek Eri menatap Tama dalam-dalam. Tama merasa resah.
"Ya, Mak. Tapi, seperti yang sudah Tama sampaikan pada Rani tadi siang, Mak, kalau Rani memang mau bekerja di Jakarta, Rani harus tinggal di rumah karyawan yang dekat dengan kantor, Mak." Tama mencoba bicara dengan jelas dan tegas.
Mak etek Eri terlihat terperangah dengan kata-kata Tama.
"Kamu mengusir Rani?" suara mak etek Eri terdengar penuh emosi. Lalu laki-laki setengah baya itu segera mencuci tangannya dan bergegas bangkit dari kursi meja makan. Laila bergidik. Laila tak ingin suasana menjadi panas.
"Bukan begitu, Mak." suara Tama masih terdengar lunak.
"Tak baik juga lah Mak, Rani tinggal di sini. Dalam agama kami ini tak memiliki hubungan darah yang bisa membuat kami halal jika berdekatan." Tama mencoba memberi pengertian.
"Ah, sok paham agama kau sekarang. Bilang saja kalau istrimu keberatan Rani tinggal di sini."
"Mak, Laila tak ikut campur dalam masalah ini. Ini semua adalah keputusan Tama." Laila menunduk mendengar ia dipersalahkan. Laila mencuci tangannya dan bergegas membereskan meja. Sementara Rani juga terlihat telah menyelesaikan makannya.
"Si Anita saja, ntah anak siapa itu, kau izinkan tinggal di sini. Memang tak berpatut-patut kau jadi kemenakan." mak etek Eri lalu menuju sofa ruang keluarga dan menghempaskan tubuhnya di sana. Wajahnya terlihat merah menahan amarah. Tama yang juga telah selesai makan menyusul mamaknya.
"Anita itu di sini dengan Ibunya, Mak. Ada yang menjaga dan menemaninya. Sehingga tak akan timbul fitnah insyaAllah di antara kami."
"Sudahlah, tak perlu kau jelaskan panjang lebar. Besok Rani akan ikut pulang denganku. Tak perlu kami mengemis apapun padamu." Lalu mak etek Eri bangkit dan berniat masuk ke kamarnya.
"Rani, kamu bereskan barang-barangmu. Besok kita pulang ke Padang."
"Ya, yah." suara Rani terdengar lirih. Rani pun masuk ke kamarnya. Gadis cantik itu tak dapat lagi menahan air matanya. Apakah ia harus kalah? Padahal ia belum berjuang apa-apa. Tapi apa Rani bisa menolak perintah ayahnya? Ayahnya laki-laki keras. JIka ia telah tersinggung, pantang baginya untuk menarik ucapannya.
Mata Laila pun memerah menahan air mata yang ingin tumpah. Mak Eti yang melihat kondisi Laila yang kurang baik, mengelus punggung Laila lembut.
"Tak usah dipikirkan. Naiklah ke atas. Istirahatlah." suara mak Eti terdengar begitu lembut. Laila mengangguk.
"Ya, Mak. Makasih, ya." Laila pun beranjak meninggalkan mak Eti dan menuju ke lantai dua.
Begitu membuka pintu kamar, terlihat Tama sedang duduk bersandar di kepala tempat tidur. Laila masuk dengan ragu. Tapi akhirnya Laila pun masuk dan menuju ke ruang sebelah. Laila duduk dan menyandarkan punggungnya ke sofa tidur itu. Laila memejamkan matanya. Rasanya tubuh dan hatinya begitu lelah.
Laila merasa menjadi biang masalah antara Tama dengan mamaknya. Andai ia tak ada, tentu Tama akan menerima Rani menjadi istrinya. Toh Tama juga tidak mencintai dirinya.
"Laila." tiba-tiba Tama telah berdiri di samping televisi di depan Laila.
"Ya, Da?"
"Istirahatlah di kamar, biar Uda yang di sini."
"Ya, Da." Laila bangkit dan berjalan menuju kamar sebelah.
Tapi sebelum sampai di pintu kamar, Laila berhenti dan berbalik.
"Da, biarlah Rani tetap tinggal di sini. Apa kata orang kampung nanti jika tahu Uda tak mau menampungnya di sini."
Tama menatap Laila tajam. Perempuan ini benar-benar tak memiliki perasaan padanya. Begitu entengnya dia menyuruh Rani untuk tetap tinggal di rumah ini. Mungkin memang Laila tak memilki perasaan padanya, tapi setidaknya, apakah perempuan di depannya ini tak ingin menjaga statusnya sebagai seorang istri?
"Tak usah pikirkan pandangan orang kampung." Tama berucap pendek dan duduk seraya menjangkau remot TV.
"Tapi, Da. Laila benar-benar tak enak jika dianggap sebagai orang yang melarang-larang Uda untuk menerima saudara di rumah ini." Laila memilin jilbabnya dengan resah. Tama merasa kesal mendengar perempuan ini tak juga paham-paham.
"Laila tak ingin dianggap sebagai penghalang antara Uda dan Rani," ucap Laila lirih. Tapi hati Laila mendadak terasa perih ketika mengatakan semua itu. Tama kembali mendongak memandang Laila. Dilihatnya pipi Laila basah oleh air mata.
"Ada ataupun tidak ada kamu, aku pun tak akan pernah menerima Rani. Aku dari kecil sudah terlanjur menganggap Rani sebagai adik sendiri. Perasaanku pada Rani hanya sebatas saudara, meski kami tak memiki hubungan darah."
Hati Laila sedikit lega mendengar ucapan Tama.
"Istirahatlah," ucap Tama lembut. Sebenarnya Tama tak tega juga melihat air mata Laila. Tapi ia tak akan bertindak jauh juga sebelum mengetahui hati dan persaan Laila padanya. Biarlah waktu yang akan menjawab semua itu.
"Da, makasih."
"Untuk?"
"Untuk hari ini dan untuk baju-baju yang sudah Uda berikan." Laila tersenyum dengan mata yang masih basah. Tama terpana. Perempuan di depannya ini benar-benar mempesona. Ck, ada yang bergejolak di hati Tama.
"Ya, semoga kamu suka. Sudah menjadi kewajiban saya untuk memenuhi semua kebutuhanmu." Tama buru-buru mengalihkan pandangannya dari wajah cantik Laila yang terlihat begitu seksi dengan mata dan pipi basah seperti itu. Mata Laila mengerjap. Kata-kata Tama terdengar begitu indah.
Laila lalu berbalik. Kali ini ia benar-benar ingin membaringakn tubuh.
"Laila." suara tama kembali menghentikan langkah Laila. Aduh ini kapan selesainya, bisik hati Laila. Laila berbalik lagi dan menatap Tama.
"Ya, Da?"
"Bisakah kalau di kamar kamu tak usah memakai jilbab?" Entah mengapa Tama merasa ada bilik hatinya yang tersinggung melihat Laila selalu mejaga auratnya di hadapan Tama, suaminya sendiri. Meski memang mereka belum pernah bersikap dan berbuat layaknya suami istri. Tapi tidakkah ia telah halal untuk melihat perhiasan wanita di hadapannya ini?
"Ya, Da." Laila mengangguk dan berjalan tergesa menuju kamar Tama. Kali ini Laila bernafas lega, ia bisa segera membaringkan tubuhnya di kasur. Laila pun membuka jilbab, lalu segera membaringkan tubuhnya di kasur.
Hari yang penuh warna, bisik hati Laila.
bersambung.....
Maaf ya, tayang tidak sesuai janji. Tidak jadi menemani malam minggu mak-mak semua. Ada sesuatu di luar kuasa tadi yang harus author selesaikan sebelum melanjutkan kisah Laila
0 comments:
Posting Komentar