Cerbung 13 - Masih Adakah Surga Untukku

#Masih_Adakah_Surga_Untukku
#Laila
#Episode_13

Terima kasih admin/moderator yang telah berkenan approve.
Terima kasih pembaca setia Uni Laila dan Uda Tama atas support dan perhatiannya pada cerbung ini. Senantiasa menerima kritik dan saran.

Pagi hari setelah sarapan, mak etek Eri tiba-tiba mengatakan kalau Rani tidak jadi pulang ke Padang. Entah apa yang dikatakan Rani kepada ayahnya sehingga ayahnya masih mengizinkan Rani tetap di Jakarta meski laki-laki itu telah amat tersinggung dengan sikap Tama.

"Tapi tiketnya sudah terlanjur Tama pesan dua, Mak." Tama yang merasa heran atas keputusan mamaknya yang berubah lagi pagi ini, menatap mamaknya sedikit kesal.

"Ya, batalkan saja. Berapalah harga tiket segitu buat orang seperti kamu, Tama." mamaknya bicara begitu santai. Tama menelan ludahnya yang terasa pahit. Sementara Laila hanya menyimak dari dapur pembicaraan Tama dan Mamaknya itu.

"Kamu tenang saja, Rani ga akan tinggal di sini. Dia akan kos sendiri nanti. Yang penting kamu kasih aja dia pekerjaan." 
"Oh, baiklah, Mak." Tama sedikit lega akhirnya Rani mau mengalah.

Rani hanya menunduk diam di hadapan Tama dan ayahnya. Semalam Rani memohon seraya menangis pada ayahnya agar tetap mengizinkan ia bekerja di Jakarta. Tak mengapa ia tak tinggal di rumah Tama. Ia akan mencari kos sendiri nanti. Untuk sementara Rani setuju tinggal di rumah karyawan milik Tama.

Selain impiannya menikah dengan Tama, impian Rani juga tinggal dan hidup di Jakarta. Rani selalu melihat orang-orang kampungnya yang merantau ke Jakarta, pulang kampung dengan gaya yang keren. Rani juga ingin seperti itu.

"Pesawatnya pukul 11.00, Mak. Pukul 08.00 kita berangkat ya, Mak. Sekalian Uda antar kamu Rani. Kamu bisa mulai kerja besok dan bisa tinggal dirumah karyawan mulai hari ini." 
"Ya, da." Rani mengangguk. Tama bangkit dan mencari Laila.

Ternyata Laila sedang duduk di taman belakang. Entah mengapa hatinya merasa tak nyaman mendengar Rani tak jadi pulang ke Padang. Tapi Laila tentu tak bisa berbuat apa-apa. Semua keputusan ada di tangan Tama.

"Laila, siap-siap, ya. Kita antar Mamakke bandara pukul 08.00." Tama telah berdiri di samping Laila yang terlihat asyik melihat bunga-bunga bougenvil yang sedang bermekaran di taman belakang.

"Uda ajalah, Da. Laila ga enak sama Mamak. Mamak kelihatannya masih belum bisa menerima Laila." Laila menolak ajakan Tama dengan lesu.

Tapi tiba-tiba Tama menarik tangan Laila. Meski merasa heran, tapi Laila  berdiri juga dan mengikuti langkah kaki Tama menaiki anak tangga. Sesampainya di kamar, Tam mengambil kantong dari butiq kemarin yang masih belum dibuka Laila. Karena Laila merasa bingung mau di mana meletakkan baju-baju yang lumayan banyak itu.

Ada dua buah gamis stelan dengan khimarnya di dalam kantong tersebut. Tama mengambil salah satunya, gamis  berwarna salam. Laila hanya memperhatikan tingkah Tama dengan diam.

"Pake ini, ya." Tama menyerahkan gamis yang masih berbungkus plastik tebal itu pada Laila. Kening Laila mengernyit. Bukankah tadi ia telah menolak untuk ikut mengantar ke bandara?

"Dari bandara kita langsung ajak Rani ke kantor, trus kita antar dia ke rumah karyawan. Ga mungkin saya hanya berdua aja dengan dia di mobil. Kamu temani Uda, ya?" suara Tama terdengar lembut. Laila yang tadi udah menolak, tiba-tiba  mengangguk.  Melihat sikap Tama, Laila tak kuasa untuk menolak. Diterimanya gamis itu dan bersiap masuk ke kamar mandi.

"Kamu ganti di sini, aja. Uda nunggu di sebelah." Tama pun beranjak ke ruang sebelah. Laila kembali mengangguk. Entahlah, lidah Laila serasa kelu mau bicara. Sikap Tama yang sedetik hangat dan sedetik dingin, membuat Laila bingung harus menanggapi seperti apa. 

Setelah Tama tak terlihat, Laila pun cepat-cepat mengganti pakaiannya. Gamis baru tanpa dicuci dulu. Sayang juga rasanya mencuci baju mahal ini sebelum memakainya. Dan Laila memang tipe perempuan yang sedikit cuek untuk hal-hal semacam itu. Kecuali pakaian dalam, Laila jarang mencuci pakaian baru sebelum dipakai. 

Gamis berwarna salam itu melekat manis di tubuh semampai Laila. Kulit putihnya terlihat bersinar dalam balutan warna soft itu. Ini untuk pertama kali ia memakai gamis dengan harga semahal ini. Ternyata memang beda rasanya memakai baju mahal seperti ini, Laila tersenyum sendiri. Khimar senada menambah anggun penampilannya. Laila berputar memperhatikan bagian belakang gamisnya.

"Cantik." tiba-tiba Tama telah berada di pintu penghubung kedua ruangan kamar. Laila tersentak kaget dan meluruskan tubuhnya kembali ke arah cermin. Tama tak melepaskan tatapan matanya dari Laila. Gamis dan khimar itu benar-benar pas di tubuh Laila. Perempuan itu terlihat begitu anggun dan mempesona. Tama berdecak kagum dalam hati.

"Ga ada bedak, ga ada lipstik." Laila bergumam. Tama mendekat.
"Maaf. Nanti kita beli sekalian ya setelah mengantar Rani," Tama merasa bersalah pada Laila karena telah memberikan kosmetik Laila juga ke Rani. 

"Tapi tetap cantik kok, malah cantik begini. Natural." Tama berkata dengan tulus. Tak ayal Laila merona. Hari ini mungkin hari baik hatinya laki-laki ini. Jadi Laila harus menikmatinya. Laila tersenyum dalam hati. Senyum di hati Laila terpancar juga ke wajahnya. Tama suka melihat wajah Laila seperti itu. Tak ingin lama-lama terpesona, Tama pun mengajak Laila untuk segera berangkat.

"Ayo, kita berangkat sekarang," ajak Tama. 
"La, Da." Laila mengikuti langkah Tama ke luar dari kamar dan menuruni anak tangga. Rani dan mak etek Eri memandang Tama dan Laila yang melangkah turun. Tak bisa juga Rani menyembunyikan rasa kagumnya melihat Laila. Cantik. rani berdecak dalam hati. Tapi ia pun tak kalah cantik dari Laila, bisik hatinya dengan senyum percaya diri.

"Berangkat sekarang, Mak?"
"Ya, Mamak udah nunggu dari tadi."  Mak etek Eri berdiri diikuti oleh Rani.
"Barang-barangmu udah dibawa sekalian Rani?" tanya Tama pada rani. 
"Udah sebagian, Da. Kapan-kapan kan Rani main ke sini lagi. nanti aja Rani bawa sekalian." Laila mengangkat wajahnya dan menatap Rani tajam. Tapi Rani tak mengacuhkan tatapan Laila.

"Ayo, kita berangkat," ajak Tama. Pak Udin buru-buru datang untuk membawakan koper mak etek Eri dan koper Rani. Mak Eti dan mba Susi pun datang menyalami mak etek Eri dan Rani.

"Laila ikut ngantar ya, Mak." pamit Laila
"Iya, pergilah." mak Eti tersenyum penuh kasih pada Laila. Entah mengapa, mak Eti begitu menyayangi Laila. Mungkin karena sikap Laila yang juga baik, santun, tak bersikap seperti majikan pada pembantunya.

Lalu setelah berpamitan, mereka pun segera masuk ke mobil. Laila mempersilakan mak etek Eri untuk duduk di depan. Dan laila duduk di belakang  dengan rani. Mobil pun ke luar dari halaman rumah, melewati jalan perumahan dan memasuki jalan Jakarta yang seperti biasa, ramai dan padat.

Mereka tak banyak bicara di sepanjang perjalanan. Pertanyaan dan ucapan Tama hanya dijawab satu dua oleh mamaknya itu. Hati sang mamak jelas masih kesal pada Tama. Ternyata zaman telah banyak berubah. Kalau dahulu di masyarakat Minangkabau, ucapan dan perintah mamak adalah mutlak tak bisa dibantah. Tapi sekarang, kemenakan ternyata telah berkuasa atas dirinya sendiri.

Laila dan Rani yang berada di belakang juga tak berniat untuk berkomunikasi. Rani terlihat asyik dengan ponselnya. Sesekali terlihat gadis itu selfi dengan senyum manis yang menggoda di depan kamera. Laila geleng-geleng sendiri melihat tingkah Rani. 

Hampir satu setengah jam mereka di jalan, akhirnya mereka sampai di bandara Soekarno Hatta. Setelah memarkirkan mobil, mereka pun bergegas ke luar dan menuju pintu keberangkatan domestik. Mereka mengantarkan mak etek eri sampai di batas pengantar. Tama menyalami mamaknya seraya memohon maaf jika ada kata-katanya yang telah menyinggung perasaan mamaknya. Laki-laki separuh baya itu hanya berdehem tak jelas. 

Tak lupa Tama mengangsurkan amplop lumayan tebal sebagai bekal untuk mamaknya pulang kampung. Mamaknya menerima pemberian Tama tanpa bisa menyembunyikan binar di matanya. 

Sebenarnya Tama masih memiliki dua orang saudara laki-laki lagi di Jakarta. Tapi entah mengapa, setiap saudara yang datang, selalu hanya ke rumah Tama. Orang tua Tama pun jika datang ke Jakarta pasti akan menghabiskan banyak waktu di rumah Tama.

Rani memeluk ayahnya dengan mata basah. hatinya sedih harus berpisah dengan ayahnya, apalagi maksud kedatangan mereka ke Jakarta tak membuahkan hasil. Tama seperti tak kan pernah tersentuh.

"Baik-baiklah di sini. Jaga diri baik-baik," pesan ayahnya pada Rani.
"Ya, Ayah." Rani mengangguk dan melepaskan pelukan ayahnya.

Setelah mak etek Eri masuk ke dalam untuk cek in, Tama, Laila dan Rani pun menuju parkiran. Mereka masuk ke dalam mobil tanpa bicara apa-apa. Tapi begitu telah duduk di belakang kemudi, Tama menoleh ke arah Laila.

"Kamu udah lapar? Mau cari makan dulu?"
"Belum, Da. Baru juga pukul segini." Laila menunjukkan jam di pergelangan tangannya pada Tama. Tama tersenyum dan mulai menjalankan mobilnya ke luar dari parkiran.

"Nanti kalau lapar, kasih tahu, ya. Tadi kamu sarapannya dikit." Tama menyentuh puncak kepala Laila dan mengusapnya lembut. Laila terdiam menahan nafas. Laila sadar, pasti Tama berakting lagi di depan Rani. Ternyata ia dijadikan tameng agar laki-laki itu tak diganggu Rani. Uh, Laila merutuk dalam hati. Tapi tiba-tiba Laila sadar kembali, dosa tahu mengatai suami meski dalam hati. Laila pun beristighfar berulang kali.

"Kamu kenapa, sih? Wajah kamu jadi lucu, sedetik senyum, sedetik merungut kesal." Tama kembali menoleh pada Laila.
"Haa?"  Laila merasa heran. Kenapa laki-laki di samping ini bisa mengetahui ekspresi wajahnya ya, padahal dia lagi fokus mengemudi.

"Ga, ga kenapa-napa." 
"Masih mikirin kosmetiknya yang tertinggal di kampung? Nanti kita ke mall deh, kamu beli kosmetik apapun yang kamu mau." 
"Ga kok, kan kata Uda, Laila udah cantik meskipun tanpa kosmetik sekalipun." Laila menoleh dan menghadiahi Tama senyum  manisnya. Aduh kalau tidak sedang di jalan, ingin juga rasanya menyentuh bibir indah itu, bisik hati Tama. Tapi, apa iya dia berani? Sekarang giliran Tama yang geleng-geleng kepala.

"Kenapa, Da? Jadi Laila ga cantik gitu?" Laila menatap Tama dengan bola mata membesar melihat Tama menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Eh, ga. Bukan gitu. Kamu cantik. Kan udah dibilang dari tadi pagi." Tama tergagap.

"Da, masih jauh, ya? Rani lapar, tadi kan Rani ga sarapan." tiba-tiba Rani yang sebal  melihat adegan dan pembicaran ga penting dua orang di depannya ini, memutuskan aksi lempar kata Laila dan tama. Laila dan Tama bertatapan. Tiba-tiba mereka tersenyum. Mereka baru sadar ada Rani di belakang mereka.

"Oke, kalau gitu kita cari makan dulu ya. Kamu pengen makan apa Laila?" Tama tiba-tiba bertanya pada Laila. Laila kaget. Yang lapar kan si Rani, kenapa dia yang ditanya.

"Yang lapar dan pengen makan kan Rani, Da. Kenapa Laila yang ditanya?" Rani langsung protes mendengar pertanyaan Tama pada Laila. Rasanya ia udah benar-benar keki pada Tama dan Laila ini.

"Lho, yang istri Uda kan Laila, ya wajar dong Uda minta pendapat sama istri Uda." kata-kata Tama terdengar santai, tapi Rani merasa diejek. Uh, Rani mendengus kesal. Tak ingatkah laki-laki ini, betapa akrabnya mereka dulu ketika Rani masih duduk di bangku sekolah dasar, dan Tama duduk di bangku SMP. Lalu ketika Rani telah bernajak menjadi gadis remaja yang duduk di bangku SMP dan Tama telah menjadi mahasiwa. Mereka begitu dekat. Tama begitu menyayanginya.

"Ya, udah, Rani pengen makan apa?" Laila bertanya dan menoleh pada Rani dan tersenyum ramah. Sungguh Laila tak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga.

"Ga usah, ga jadi lapar," jawab Rani jutek. Laila tersenyum mendengar ucapan Rani. 
"Cari restoran yang banyak pilihan  menu aja, Da." Laila memberi saran pada Tama.

"Oke." tama mengangguk paham. Tak berapa lama, mobil Tama pun memasuki sebuah restoran mewah. Tama memarkirkan mobilnya dan mengajak Laila dan Rani turun. Wajah Rani masih terlihat ditekuk. Laila dan Tama kembali berpandangan. Lalu sama-sama tersenyum.

Pengunjung masih belum terlalu ramai, mereka mencari tempat duduk yang mengarah ke taman belakang. Pelayan pun datang membawakan menu.

"Kamu mau makan apa?" tanya Tama pada Laila.
"Laila kentang goreng sama jus jeruk aja, Da." pesan Laila.
"Sekalian makan siang." Tama pun menyerahkan daftar menu pada Laila. Sementara yang satunya lagi sudah dipegang Rani.

"Tambah ayam krispy aja satu, Da. Ga usah pake nasi." Laila menambah pesanannya.
"Selera kamu sederhana banget,  ya." ucap Tama lalu memilih menu untuk dirinya sendiri.

Tama memilih beberapa menu yang tak ditemukannya di restoran Padang. Sesekali ia juga ingin ganti selera masakan.

"Aku samain dengan Uda, ya." tiba-tiba Rani angkat bicara. Tama dan Laila mendongak menatap Rani. 
"Ya, Mba, kalau gitu porsinya masing-masing ditambahin aja, masing-masing satu lagi ya." pesan Tama pada pelayan.
"Baik, Pak. Ditunggu, ya Pak." pelayan itu pun membawa daftar menu dan segera berlalu.

Ponsel Tama tiba-tiba berbunyi. Tama mengangkat tangannya memberi kode permisi pada laila untuk mengangkat telphon dan menuju taman belakang. Tama terlihat cukup serius dan lumayan lama menerima telphon. Laila dan Rani hanya diam tanpa terlibat pembicaraan apa-apa.

Tak berapa lama pelayan datang mengantarkan minuman mereka. Tama pun kembali datang setelah menutup telphonnya dan kembali bergabung dengan Laila dan Rani. Mereka pun masing-masing menyeruput jus di depan mereka. Sepuluh menit kemudian, dua orang pelayan pun datang mengantarkan pesanan makanan mereka. 

Meja menjadi penuh oleh pesanan Tama. 
"Banyak amat, Da." Laia menatap tama heran.
"Buat kamu juga sekalian," jawab Tama santai. 
"Nanti ga habis, Da." Laila merasa sayang aja kalau ada makanan yang terbuang mubazir.

"Tenang aja, kita habiskan pelan-pelan." Tama menatap Laila dengan senyum manisnya. Laila tertegun. Akhir-akhir ini hatinya selalu merekah jika menerima sikap manis Tama. 

Lalu mereka pun mulai makan tanpa banyak bicara. Tama kembali bersikap sedikit over menurut Laila. Laki-laki itu selalu saja menambahkan berbagai makanan ke piring Laila dan menyuruh Laila untuk mencicipinya. Tuhan, boleh kah aku tersanjung? Laila berbisik dalam hati. 

Sementara Rani hanya menatap adegan di hadapannya dengan wajah yang makin cemberut. Tama memang ingin membuat Rani menyadari bahwa tak akan ada peluang bagi Rani untuk mendapatkan Tama. Tapi meskipun niat Tama awalnya cuma sebatas memanas-manaskan Rani, tak bisa Tama pungkiri, ada yang terasa lain di dadanya setiap kali memperlakukan Laila dengan mesra dan romantis. Malah Tama merasa telah menjadi kebutuhannya sekarang menggoda dan memperatikan Laila.

****

Setelah makan siang, mereka pun mencari mesjid untuk menunggu waktu sholat zuhur. Rasanya Tama sudah tak sabar ingin mengantarkan Rani ke kantor milik bersama Tama dan kedua orang kakaknya itu. Tama tadi telah bicara dengan abangnya agar bisa menerima Rani di kantor mereka. 

Tama sudah tak sabar ingin berduaan dengan Laila. Hari ini, Tama ingin menghabiskan waktu berdua dengan Laila. Tama ingin mengajak Laila ke monas dan mesjid Istiqlal seperti keinginan istrinya itu. Dan tentu, yang terpenting, pergi ke mall dulu untuk membeli kosmetik istrinya itu. Entah mengapa Tama ingin menyenangkan hati Laila. Hati Tama begitu senang jika menyaksikan sinar bahagia di wajah istrinya itu. 

Tama telah menghubungi beberapa orang pegawai kepercayaan di tokonya, mengatakan bahwa hari ini ia tidak ke toko lagi. Tama mengatakan pada karyawannya dengan bangga bahwa hari ini ia akan jalan berdua dengan istrinya keliling Jakarta. 

Tuhan, beri aku kemudahan untuk bisa memaafkan kesalahan yang pernah diperbuat Laila dengan tulus dan sepenuh hati, Tama memohon pada Allah di akhir sujudnya. Bukankah Tuhan yang membolak-balikkan hati manusia? 

bersambung ....

1 komentar: