❤ *CINTA*
*di Batas Cakrawala*
🌅 nomor - 10
(Kilasan Masalalu)
Di penghujung subuh yang dingin merayapi kulit, Hanna menggeliat dalam tidurnya. Sesekali mengernyit dalam tanpa membuka mata, meringis dengan tangan memegang perut. Beberapa saat kemudian matanya mengerjap malas, memaksa diri untuk bangun. Jika bukan karena kenyataan yang baru diketahuinya semalam, Hanna pasti tidak akan bangun sepagi ini.
Setelah kesadaran terkumpul sempurna, Hanna menegakkan tubuh duduk di pinggir tempat tidur. Merapikan rambutnya dengan jemari, sesekali menguap lebar. Lalu pandangannya tertumbuk pada testpack berserakan di tempat tidur, masih tersegel utuh belum digunakan. Ia tertegun memikirkan masa depannya. Lalu senyum miris tersungging mengingat betapa beruntungnya Dimas bisa melanjutkan hidupnya, sedangkan ia hanya bisa meratapi nasib.
Rumah sederhana tersebut tampak sepi, hanya samar-samar terdengar bunyi dari arah dapur yang menandakan adanya aktivitas di sana. Hanna keluar kamar, mengusap wajahnya lalu melangkah ke belakang. Di dapur yang beralaskan tanah, tampak Bik Minah sibuk memasak ditemani Vania sambil menggendong Hafiz yang tampak masih malas-malasan. Dua wanita itu tersenyum pada Hanna seakan menyambutnya.
"Selamat Pagi," ujar Vania.
"Pagi," jawab Hanna, tersenyum tipis lalu melanjutkan langkah ke luar.
Sejenak menatap ke arah pantai yang sepi, punggung lebar lelaki itu terlihat menatap lautan lepas. Pasti sedang menunggunya. Sedangkan ritual wajib di pagi hari harus dituntaskan Hanna terlebih agar segera menemui lelaki itu.
Cukup lama Hanna berada di kamar mandi, lalu keluar dengan wajah memerah dan sembab. Air mata yang sejak semalam ditahan, meluap seenaknya karena memikirkan bagaimana reaksi Dimas. Rasa tidak ikhlas terus menggerogoti hati jika lelaki itu akan terbebas darinya. Apakah salah ia berharap, jika lelaki yang pertama kali menyentuhnya itu mau menikahinya walaupun tidak ia hamil?
Hanna menghela napas kuat, menghirup udara dalam-dalam. Kakinya bagaikan terpaku dengan pasir pantai yang lembut. Langkah yang tadinya pasti, menjadi terseok saat semakin mendekat. Dimas berbalik, raut wajah lelaki itu tampak penasaran menatapnya.
"Bagaimana?" tanya Dimas akhirnya, setelah mereka lama terdiam bertatapan dalam keheningan pagi yang diisi suara deburan ombak.
Senyum sinis tersungging di wajah Hanna yang tampak sembab lalu bertanya, "Apa yang akan kamu lakukan?"
"Apa? Katakan dulu hasilnya bagaimana? Kamu sudah test, kan?"
"Sebelum aku mengatakannya, jawab dulu. Apa yang akan kamu lakukan? Kamu akan menikahiku?" kekeuh Hanna.
"Aku, aku akan menikahimu kalau hamil. Kalau tidak ...."
"Kalau tidak?" Hanna menekankan. Walau sudah tahu pasti jawaban Dimas, tapi hati kecilnya berharap lelaki itu berubah pikiran.
Dimas diam sejenak, menghela napas lalu mengembuskannya. "Ya, seperti apa yang aku katakan semalam. Kembalilah ke kota dan lanjutkan hidupmu."
Napasnya memburu mendengar ucapan Dimas. Lagi-lagi harapannya sia-sia. "Brengsek!" umpat Hanna diiringi telapak tangannya yang melayang bebas menyentuh pipi kiri Dimas sekuat tenaga.
Dimas tersentak, wajahnya berpaling ke kanan. Itu pantas untuknya, tetapi tidak sebanding dengan yang dirasakan Hanna.
"Terima kasih telah menghancurkan hidupku! Aku sangat bersyukur karena tidak mengandung anak dari laki-laki pengecut sepertimu! Dan aku tidak perlu alat sialan ini untuk memastikan keadaanku!" Hanna melemparkan testpack yang masih tersegel utuh di wajah Dimas, lalu berbalik dan berlari pergi dari sana.
Hidupnya hancur, seluruh hatinya juga turut hancur hanya karena mengharapkan laki-laki tidak bertanggungjawab yang telah merusak dirinya dalam satu malam.
"Hanna!" Dimas turut berlari mengejar. Langkahnya yang lebar dan kekuatan yang lebih membuat lelali itu dengan mudah menyamai langkah Hanna yang hampir tiba di rumah dan menarik tangannya. "Jelaskan apa maksudmu?"
"Sial!" Hanna hampir berteriak frustrasi. "Apa kamu laki-laki bodoh? Sudah berapa banyak wanita yang kamu tiduri lalu dicampakkan, sehingga tidak tahu bagaimana seseorang itu hamil apa tidak?"
"Kamu yang pertama!" tegas Dimas.
Hanna bungkam karena tidak percaya jika malam itu adalah yang pertama untuk mereka.
Dimas mengacak rambutnya, lalu kembali menahan tangan Hanna. "Jangan bohong padaku. Katakan yang sebenarnya—"
"Kamu tidak tuli, kan? Aku bilang aku tidak hamil! Aku bukan wanita di luar sana yang bisa berpura-pura agar dinikahi! Aku tidak sudi!" Hanna memberontak ingin melepaskan diri tapi sulit,
"Hanna!" cekalan tangan Dimas cukup kuat.
"Dimas!"
Hanna tersentak mendengar suara Bik Minah begitupun dengan Dimas. Mereka kompak menoleh, mendapati wanita paruh baya itu berdiri tidak jauh dengan tatapan mata yang menuntut, entah sejak kapan berada di sana. Dan sialnya bukan hanya Bik Minah, karena tepat di teras rumah, tampak Haris berdiri tegas dengan rahang mengeras seperti menahan emosi. Entah apa yang dipikirkan kakaknya itu, tetapi Hanna merasa, masa depannya akan ditentukan sebentar lagi.
*****
Suasana ruang tamu sempit itu tampak tegang setelah Haris menyeret Hanna dari pantai diikuti Bik Minah dan Dimas di saat hari masih pagi. Di sana juga ada Pak Budi yang tampak berjaga walaupun pasti tidak tahu apa yang telah terjadi. Dan Vania, terlihat jelas dari raut wajahnya yang khawatir, duduk memeluk bayinya di samping sang suami yang siap menyemburkan kekesalannya.
"Sekarang jelaskan, apa maksud ucapanmu tadi!" seru Haris, tatapannya beradu tajam dengan bola mata Hanna yang berwarna sama dengannya.
"Biar aku jelaskan—"
Haris mengangkat tangannya, menghentikan ucapan Dimas. "Aku bicara dengan adikku! Maka diamlah!"
Suasana kembali hening, bahkan semakin mencekam. Haris mengembuskan napas jengah karena Hanna tidak kunjung bersuara.
"Hanna!" Suara Haris rendah tetapi tajam, hal itu membuat Hanna menatapnya jengah.
"Tidak usah sok peduli padaku, ini masalahku," sahut Hanna malas.
"Hanna!" Haris mengeram marah, tangannya mengepal kuat. "Kamu itu adikku. Dan di sini kamu di bawah pengawasanku. Suka atau tidak itulah kenyataannya!"
Hanna mendengus kasar tanpa menjawab.
"Aku masih bisa mendengarnya dengan jelas kamu bilang padanya kalau tidak hamil! Apa maksudmu?" kata Haris pada Hanna, tapi matanya melirik Dimas tajam.
"Malam saat resepsi pernikahanmu, aku diputuskan Aryan. Lalu aku mabuk dan entah bagaimana, akhirnya tidur dengannya!" seru Hanna, lebih tepatnya pada Dimas.
"Apa!" Haris berdiri seketika. Kedua tangan mengepal menahan amarah yang siap diledakan.
Semua yang ada di ruangan shock dengan pengakuan Hanna, tetapi lebih kaget dengan reaksi Haris. Mereka tidak pernah tahu, bahwa kakak beradik itu tidak sama seperti kakak beradik pada umumnya. Seperti ada tembok yang membatasi hubungan mereka sejak kecil yang tidak pernah akrab dan peduli satu sama lain.
"Katakan sekali lagi, dasar jalang! Apa ini yang kamu pelajari di luar negeri sana? Mabuk lalu tidur dengan laki-laki sembarangan?!" hardik Haris, tangannya yang mengepal sudah melayang.
"Mas!"
"Cukup, hentikan!" Dimas memegang kuat tangan Haris. "Jangan memukulnya, dia tidak salah. Ini salahku, dia tidak sadar malam itu, tapi aku yang masih sadar."
"Kam—" Tanpa melanjutkan ucapannya, Haris menepis kasar tangan Dimas. Tangannya yang bebas langsung menerjang Dimas dengan segenap kekuatannya dan langsung tersungkur di lantai. "Brengsek! Apa kamu sengaja melakukan itu pada adikku?!"
"Ya Allah, Mas! Stop!" teriak Vania panik menyebabkan bayi dalam gendongannya menangis.
Karena teriakan Vania dan tangisan bayinya, kekuatan Haris melemah ketika kembali memukuli Dimas yang sama sekali tidak melawan. Sehingga dengan mudah Pak Budi melerainya.
Bik Minah tampak kehabisan kata-kata membantu anaknya untuk berdiri. Wanita paruh baya itu terlihat meneteskan air mata mengusap wajah sang anak. Tampak sudut bibirnya pecah serta pipi yang membiru.
"Maafkan Dimas, Pak Haris. Hal ini bisakah diselesaikan baik-baik?" lirih Bik Minah.
Haris mendengus kasar. "Selesaikan urusan kalian secepatnya," katanya pada Dimas dan Hanna yang terdiam. "Dan aku tunggu di kota. Pertanggungjawabkan perbuatanmu pada adikku. Jika tidak, aku akan memastikan tempatmu di penjara!" lanjutnya pada Dimas.
Semua kaget mendengar ucapan serius Haris, karena jelas bukan ancaman belaka.
"Kita pulang. Pagi ini juga!" kata Haris pada Vania. Mengambil bayinya yang dari gendongan sang istri, lalu melenggang begitu saja masuk ke dalam kamar yang ia tempati.
*****
"Mas? Hanna bagaimana?" Vania masuk ke dalam kamar, khawatir melihat Haris tampak asal memasukkan pakaian mereka ke dalam koper.
"Kita pulang sekarang!"
Vania mendekati Haris, menghentikan gerakan tangan lelakinya itu. "Iya, tapi Hanna bagaimana?"
"Apanya yang bagaimana? Dia tidak menganggapku sebagai kakaknya. Lalu apa yang harus aku lakukan?"
"Apa selama ini kamu pernah menganggapnya sebagai adik?" Pertanyaan Vania bagaikan bumerang, membuat Haris menghela napas pelan lalu duduk sambil memeluk bayinya yang mulai tenang.
"Kita pulang. Biarkan mereka menyusul dan temui Papi, aku tidak ingin bertahan di sini dan hilang kendali karena melihat mereka."
"Lalu apa menurutmu yang terbaik? Meminta Dimas bertanggungjawab seperti apa? Menikahkan mereka? Apa menurutmu itu baik?"
Haris berdiri seketika. "Ya, bagiku itu lebih baik!"
"Mas!"
"Agar dia bisa segera melupakanmu!"
"Kamu mengorbankan perasaan dan masa depan adikmu, Mas?"
"Kenapa? Toh, mereka sudah tidur bersama. Itu lebih baik dari pada membiarkan Dimas bebas memikirkanmu lalu Hanna menghancurkan hidupnya dengan melakukan kesalahan yang sama dengan laki-laki lain!" Haris berdiri, mengacak perlengkapan bayinya. "Biar aku yang mandikan Hafiz, kamu kemasi semua pakaian kita!"
"Ngga! Mana bisa kamu yang emosi seperti ini mengurus bayi?" Vania memaksa mengambil Hafiz, "Perlakukan orang lain selayaknya kamu ingin diperlakukan, Mas," lanjutnya lalu keluar kamar meninggalkan Haris yang tertegun.
*****
Bik Minah masih berdiri di teras. Wajahnya yang sembab menatap sendu ke arah mobil sedan yang menjauh pergi meninggalkan rumahnya. Haris yang masih dirundung amarah, membawa pergi Vania dan Hafiz begitu saja. Bahkan pasangan itu belum sempat sarapan dan hanya sempat memandikan bayi mereka yang baru berusia empat bulan.
"Sabar, Bu," bisik Pak Budi. Bik Minah mengangguk, lalu melangkah gontai masuk kembali ke dalam. Menatap nanar anaknya yang babak belur.
"Maaf, Bu," lirih Dimas. Lelaki itu langsung berlutut di hadapan sang ibu. "Maafkan aku, Bu."
Bik Minah menjauhi Dimas, mendudukan dirinya di salah satu kursi seraya menghela napas pelan. "Semua terjadi karena kamu minum malam itu?"
Dimas bergeming, karena tanpa menjawab pun, apa yang telah terjadi sudah mewakilinya.
"Nikahi Nak Hanna. Kamu harus menikahinya!"
"Tapi, Bu ...."
Bik Minah menggeleng, tangisnya kembali pecah. "Ibu tidak mau hubungan baik dengan Vania dan Pak Haris hancur karena kamu yang menghancurkan Nak Hanna! Kalau kamu sayang sama Ibu, maka nikahi dia. Jangan bikin dosa lagi!"
Dimas tidak kuat melihat sang ibu menangis. Ia mendekat, kembali berlutut di depan ibunya. "Walaupun menikah tanpa cinta, Bu?"
Bik Minah bergeming, mengalihkan pandangan pada Hanna yang muncul dari dalam sambil menyeret kopernya yang berukuran sedang.
"Dimas tidak perlu menikahiku karena aku tidak hamil. Lagi pula ini bukan hanya salahnya, ini juga salahku. Jadi biarkan aku yang bicara pada orang tuaku agar tidak memperbesar masalah ini lalu aku pergi. Karena seharusnya aku tidak kembali dan membuat masalah."
Bik Minah dan suaminya menatap Hanna tidak percaya. Begitupun Dimas.
*****
Setelah pembicaraan menegangkan itu, Hanna menyendiri di kamar. Tangannya tiada henti mengusap air mata yang mengalir setelah sekuat tenaga ia tahan sejak tadi. Ucapan Dimas, lalu hinaan Haris yang tidak lain adalah kakaknya sendiri sangat menyakitinya melebihi apapun perlakuan keluarga padanya.
Selama hidupnya, selalu muncul pertanyaan di benaknya. Bagaimana rasanya punya kakak? Apakah seorang kakak memang jahat dan tidak pernah menyayangi adiknya dan melindunginya? Karena semua hal baik dari seorang kakak ia dapatkan dari Malik. Dan hari itu, berkat ucapan Haris, Hanna menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri. Kakaknya yang manja dan egois sejak kecil, hanya kakak sebatas status baginya. Hanya itu, tidak lebih.
Terdengar deru mobil di luar rumah, sudah pasti Haris dan Vania telah pergi meninggalkan desa tersebut lalu kembali ke kota di luar rencana mereka. Hanna mengusap air mata sekali lagi, lalu beranjak dari ranjang menuju sudut kamar. Membuka kopernya, mengambil beberapa potong pakaian yang di gantung di belakang pintu, memasukan asal.
Jemarinya merapikan rambut yang berantakan, kemudian membuka pintu. Lalu suara parau Bik Minah terdengar dari ruang tamu menyambutnya.
"Ibu tidak mau hubungan baik dengan Vania dan Pak Haris hancur karena kamu yang menghancurkan Nak Hanna! Kalau kamu sayang sama Ibu, maka nikahi dia. Jangan bikin dosa lagi!"
"Walaupun tanpa cinta, Bu?
Menarik kopernya keluar, Hanna berjalan mantap menuju ruang tamu. Menatap semua yang ada di sana, menguatkan hatinya lalu berkata, "Dimas tidak perlu menikahiku karena aku tidak hamil. Lagi pula ini bukan hanya salahnya, ini juga salahku. Jadi biarkan aku yang bicara pada orang tuaku agar tidak memperbesar masalah ini lalu aku pergi. Karena seharusnya aku tidak kembali dan membuat masalah."
Bik Minah dan Pak Budi, serta Dimas menunjukkan ekspresi yang sama kaget menatapnya.
"Nak ...." Bik Minah menyingkirkan tangan Dimas yang memegang kakinya. Berdiri, lalu mendekati Hanna. "Jangan, Nak Hanna. Biarkan Dimas tanggungjawab."
Hanna bergeming, melirik Dimas yang menatapnya dengan pandangan tidak terbaca.
"Tidak, Bik. Biarkan aku yang pergi. Seharusnya aku tidak pernah kembali agar tidak ada masalah antara keluarga Bibik dan Kakakku serta Vania yang terjalin baik. Maaf, akulah biang masalahnya." Hanna menarik kopernya, tetapi tangannya di tahan Bik Minah.
"Ibu mohon ...." Bik Minah menarik tangannya, mengatupkan di depan wajah dengan mata berkaca-kaca. Lalu bulir bening meluruh membasahi pipinya yang mengeriput.
Ingin rasanya Hanna memeluk wanita paruh baya itu, wanita baik yang layak menjadi seorang ibu impian baginya. Hanya saja egonya menolak, menginginkan Dimas sendiri yang memintanya. Ya, walaupun tentu saja tanpa cinta.
Terpaksa Hanna melepaskan tangan Bik Minah, terus berjalan ke arah pintu. Dan lagi-lagi tangannya ditahan, langkahnya terhenti. Hanna berbalik kesal, tetapi bukan lagi Bik Minah yang menahannya, melainkan Dimas.
"Menikahlah denganku," ujar Dimas datar.
Hanna tersenyum sinis, menatap lelaki yang baru saja memintanya untuk menjadi istri. Lamaran yang sungguh konyol bukan? Ia berusaha melepaskan tangan dari cekalan Dimas, tetapi tidak berhasil.
"Menikahlah denganku, Hanna," ulang Dimas lebih mantap.
"Tanpa cinta?" Hanna mengulang pertanyaan yang dilontarkan Dimas untuk ibunya tadi.
"Apapun itu, untuk menyelesaikan masalah ini!"
Hanna menatap Bik Minah yang tidak kunjung menghentikan tangis. Beralih pada Pak Budi yang menatap penuh sesal. Seketika sesuatu muncul di otaknya. Entah bagaimana reaksi kedua orang tuanya nanti terhadap apa yang terjadi padanya, tetapi menikah dengan Dimas adalah cara membebaskannya menggantikan harapannya pada Aryan. Walaupun dengan cara yang salah pada awalnya.
Hanna melepaskan tangannya seraya berkata, "Ya, baiklah. Aku mau. Dan aku mau pernikahan yang sah, secara agama maupun hukum negara! Jadi besok kita ke kota temui orang tuaku!" putusnya lalu melangkah kembali ke kamarnya.
Hanna sadar, Dimas tidak mencintainya. Lelaki itu terpaksa menikahinya pasti karena ibunya, tetapi ia tidak peduli, biarlah ia jalani takdir hidupnya sendiri yang selalu penuh misteri. Biarlah tanpa cinta karena bagi Hanna, cintanya hanya untuk Malik.
Tanpa ia sadari, ada Allah yang Maha Kuasa, Pemilik hati setiap umatnya. Mampu membolak balikan hati dari yang mencinta menjadi benci, begitupun sebaliknya. Dan siap mengujinya di masa depan.
0 comments:
Posting Komentar