#Laila ganti judul ya #Masih_Adakah_Surga_Untukku
#episode_1
Terima kasih admin dan moderator telah berkenan approve ...
Pesta telah usai. Malampun mulai menjelang. Aku masuk kamar ingin segera menghapus riasan di wajah yang membuatku tidak nyaman. Ingin mengganti baju pengantin yang membuatku merasa sesak dan gerah. Perasaan hati tentu ikut berpengaruh terhadap semua yang melekat di tubuh ini. Terlebih dahulu Laila mengunci pintu kamar sebelum menanggalkan semua yang melekat di tubuhnya. Lalu secepat mungkin ia membersihkan diri di kamar mandi. Baru saja ia selesai memakai pakaian tidur yang panjang, Laila mendengar ketukan di pintu kamar. Laila pun segera menyambar jilbab instannya sebelum membuka pintu.
Laki-laki yang telah resmi menjadi suaminya iang tadi berdiri tepat dihadapannya ketika ia membuka pintu kamar. Laila menggeser tubuhnya memberi jalan pada laki-laki yang masih mengenakan baju pengantinnya itu. Mereka berdua terlihat begitu canggung. Namun tak ada debaran atau rasa merona seperti yang biasa didengar Laila dari teman-temannya yang bercerita tentang malam pertama mereka.
"Aku ganti baju dulu ya ke kamar mandi, kamu kalau mau duluan tidur, tidur aja," ucap laki-laki bernama Tama itu.
"Ya, Bang," jawab Laila seraya menutup pintu kembali. Lalu dilihatnya laki-laki itu mengambil pakaian dari dalam travel bagnya yang berada di sudut kamar. Setelah dilihatnya Tama masuk kamar mandi, laila pun bergegas ke luar kamar. Ia akan melaksanakan sholat isya di ruang sholat saja.
Setelah sholat isya, Laila kembali menuju kamarnya. Rumah terlihat sudah sepi. Pastilah semua sudah beristirahat karena lelah seharian mengurus pestanya. Sampai di kamar, Laila melihat Tama sedang sholat. Laila pun segera naik ke atas tempat tidur, mengambil posisi paling pinggir arah ke tembok.
Tanpa membuka jilbabnya, laila mencoba tidur karena ia merasa tidak perlu menunggu laki-laki itu selesai sholat. Ia menyelimuti seluruh tubuhnya sampai ke leher. Udara malam terasa mulai dingin.
Kampungnya memang terletak di sebuah lereng gunung. Gunung sago namanya. Sehingga udara di kampungnya ini masih terasa begitu dingin. Apalagi nanti jika sebelum subuh, dinginnya membuat tubuh menggigil. Tidak berapa lama, Laila merasakan tempat tidur di sampingnya bergerak. Berarti laki-laki itu telah ikut merebahkan tubuhnya di samping Laila. Laila tadi telah menyediakan selimut satu lagi untuk suaminya itu, agar mereka tak perlu berbagi selimut.
Tidak berapa lama, Laila mendengar dengkuran halus dari laki-laki di sampingnya. Laila kembali telentang. Ditatapnya langit-langit kamar. Pikirannya menari-nari tak tentu arah. Mengapa begini tragis nasibnya. Menikah dengan laki-laki yang tidak dicintainya. Jangankan cinta, bertemu juga baru beberapa kali. Bagaimana ia akan menjalani hari-hari dengan seseorang yang dicintainya sama sekali?
Laila menoleh ke samping. Ditatapnya laki-laki yang telah tertidur lelap di sampingnya. tak ada getaran sedikitpun di hatinya berdekatan dengan laki-laki ini. Tak ada sedikitpun rasa senang apalagi bahagia mengingat ia telah menjadi seorang istri. Yang ada hanya rasa kecewa, sakit, benci dengan semua yang telah ia alami. Tidak pernikahan seperti ini yang Laila harapkan. Laila ingin menikah dengan laki-laki yang mencintainya dan dicintainya. Menjalani ijab kabul dengan suka cita, bersanding di kursi pengantin dengan penuh kebahagiaan, dan melewati malam pertama dengan debaran dan kepuasan.
Sebulir cairan bening mengalir dari sudut-sudut mata Laila. mengapa begitu sakit rasanya. Ia tak ingin menghabiskan hari-harinya dengan orang yang tidak dicintainya. Laila ingin melewatkan hari-hari dengan tawa, canda, kemanjaan dengan laki-laki yang dicintainya. Bukan dengan laki-laki di sampingnya ini.
Malam makin larut. Tapi mata Laila belum juga terpejam. Terbayang kehidupan kelima saudara perempuannya. Semuanya menikah krena perjodohan. Bundo dan ayah Laila adalah orang-orang yang memegang teguh agama. Sehingga tak ada satupun anak-anaknya yang dibolehkan berpacaran. Semua menikah atas pilihan mereka. Ayah dan Bundonya juga orang yang masih kolot memegang adat. Mereka hanya mau bermenantu orang dari kampung sendiri.
Laila bisa melihat kehidupan kelima kakak perempuannya begitu monoton. Tak ada yang menarik. Meski memang kehidupan kelima kakaknya dekat dengan agama dan secara materi tak ada yang kekurangan. Tapi Laila ingin sesuatu yang berbeda. Laila ingin kehidupan yang lebih berwarna. Dari kecil, Laila memang terlihat berbeda dari kelima kakak perempuannya. Laila adalah gadis yang ceria, pintar, sedikit susah diatur. Ia selalu bisa melakukan negosiasi dengan Ayah dan Bundonya jika memiliki suatu rencana atau keinginan. Sehingga akhirnya bisa meluluhkan hati kedua orang tuanya.
Tapi tidak untuk yang satu ini. Untuk urusan perjodohan, laila tidak bisa meluluhkan hati kedua orang tuanya. Berbagai cara telah dilakukan Laila untuk menolak dan membatalkan perjdohannya dengan laki-laki yang katanya pengusaha tekstil di Tanah Abang, Jakarta.
Laila sebenarnya juga sudah berusaha membuka hatinya untuk laki-laki berusia 30 tahun ini. Tetapi, tak ada sedikitpun rasa di hatinya untuk laki-laki ini. Laila menghapus air mata di kedua pipinya. Pelan ia bangkit. Dilihatnya jam tangan di atas meja riasnya. Pukul 02.30. Laila membuka lemari pakaiannya. Mengambil beberapa gamis , jilbab pasmina instannya, beberapa pakaian dalamnya dan memasukkannya ke dalam sebuah ransel. Laila melakukannya dengan begitu pelan dan hati-hati. Diliriknya Tama yang tak sedikitpun terganggu dengan gerakannya. Pastilah laki-laki ini begitu lelah sehingga tidur dengan begitu nyenyaknya.
Laila mengambil secarik kertas dan pena. Dengan tergesa ia menuliskan sesuatu di kertas tersebut. Lalu meletakkannya di atas meja riasnya. Setelah itu Laila membuka pintu kamar tidurnya dengan hati-hati. Dilewatinya ruang keluarga dan ruang tamu dengan dada berdebar-debar. Lalu dibukanya pintu depan dengan tangan gemetar. Laila ke luar dari rumah dengan mengendap-endap. Sedikit bergegas, Laila melewati halaman rumahnya yang lumayan luas. Dengan berjingkat iapun berhasil keluar dari pagar rumahnya.
Tujuan Laila adalah ke rumah uni Feni. Kakaknya yang nomor tiga. Dibanding keempat kakaknya yang lain, uni feni lah yang paling dekat dengan Laila dan yang paling tidak tegaan orangnya. Jarak rumah uni Feni dengan rumah orang tua mereka hanya 300 meter. Tidak berapa lama, Laila telah sampai di depan rumah uni feni. Dibukanya pintu pagar dengan hati-hati. Masih dengan debaran dada yang tidak menentu, Laila mengetuk jendela kamar uni Feni.
Tidak menunggu lama, Laila mendengar suara pintu kamar dibuka. Laila menunggu di depan pintu sampin rumah uninya agar tak ada yang melihat kedatangannya di rumah kakaknya ini dimalam buta seperti ini.
"Laila!" uni feni kaget melihat adik bungsunya telah berdiri di hadapannya dnegan sebuah ransel di punggungnya.
"Ada apa, dek" uni Feni menarik tangan Laila untuk masuk.
"Uni, tolong Laila, Ni. Laila ga bisa, Ni." Laila menangis dan tubuhnya luruh di lantai. Uni Feni ikut menangis melihat adiknya. Hal ini pernah dirasakannya 12 tahun yang lalu. Tapi ia wanita yang hanya bisa menerima takdir hidupnya dengan sabar dan iklas.
"Jangan seperti ini, dek" parau suara uni Feni merengkuh bahu Laila. Mereka berpelukan dalam tangisan.
"Laila ga bisa, Uni. Bukan hidup seperti ini yang Laila harapkan. Laila bukan Uni Lili, bukan uni Rini, bukan uni Feni, ataupun uni Maya dan uni Linda," kerongkongan Laila terasa sakit mengucapkan kata-kata itu. Uni Feni hanya bisa memeluk erat adik bungsunya. Ia bisa merasakan rasa sakit adiknya ini. Karena dulu ia juga pernah merasakannya.
"Aku ingin mengejar impianku, Uni. Aku ingin mendapatkan laki-laki yang aku cintai dan mencintaiku. Aku ingin menikah dengan rasa bahagia. Tolong aku sekali ini saja, Uni. Antarkan aku ke pasar, jam empat nanti ada travel yang menuju ke Padang. Akan aku ingat pertolongan uni ini sampai kapanpun," ucapan Laila mencabik hati uni Feni. Beginikah akhirnya? Mengapa adiknya begitu berbeda dengan kelima kakaknya?
"Uni, tidak bisa Laila. Bagaimana nanti Ayah, Bundo, suamimu, dan seluruh sanak saudara jika kamu pergi meninggalkan suamimu," uni Feni terisak. Ia melepaskan pelukannya dan berdiri dengan tubuh bergetar. Tapi Laila tersungkur dan memegang kedua kaki uninya.
"Laila mohon, uni. Ini takdir Laila. Yakinlah uni, apapun yang akan terjadi, semua pasti atas izin-Nya. Begitu juga dengan jalan hidup yang harus Laila jalani," Laila tak melepaskan kedua kaki uninya.
"Jangan begini, Laila. Uni mohon, jangan seperti ini," dada uni Feni terasa begitu sakit. Ia begitu terluka melihat adiknya seperti ini. Adiknya yang biasanya selalu ceria, yang selalu bisa membuat suasana jadi penuh tawa, yang selalu punya ide-ide cemerlang untuk keluarga besar mereka. Laila yang pintar, yang baik hati, yang disukai oleh orang-orang diseklilingnya. Tak ada masyarakat di sekitar mereka yang tidak menyukai Laila. Karena Laila selalu ramah pada siapa saja. Ia selalu siap membantu orang-orang kampung yang membutuhkan bantuannya.
Uni feni tiba-tiba mengambil jilbab instannya dan menyambar kunci motornya dengan tergesa.
"Ayo," ucapnya dengan suara bergetar. Laila mengerjab tak percaya. Dengan cepat, Laila mengikuti uninya ke luar. Feni mendorong motornya ke luar pagar rumahnya dengan pelan. Setelah di laur pagar ia pun menghidupkan mesin motornya. Dengan sigap Laila naik ke boncengan uninya. Motor pun melaju dalam dinginnya malam. Laila memeluk pinggang uninya dengan erat.
Dua puluh menit mereka sampai di pasar. Benar ternyata, ada travel yang akan segera berangkat menuju ke Padang.
"Terima kasih, Uni," Laila memeluk uninya dengan erat.
"Jaga dirimu baik-baik," uni Feni kembali menghapus air matanya dengan ujung jilbabnya.
"Ini, sedikit untuk bekalmu, Dek," uni Feni meletakkan beberapa lembar uang 100rb di tangan Laila. Laila menerimanya dnegan terisak. Lalu Laila pun segera naik ke atas travel yang telah berisi tiga orang penumpang. Feni pun segera menghidupkan motornya dan segera berlalu pulang.
Air matanya tak henti mengalir. Ia tak tahu, apakah yang telah dilakukannya ini salah atau benar. Tapi sungguh ia tidak tega melihat luka di mata adiknya itu. Laila gadis yang baik. Ia pantas bahagia.
****
Rumah besar bundo Laila heboh setelah sholat subuh. Tama menyerahkan surat yang ditinggalkan Laila kepada wanita berusia 60 tahun itu. Bundo luruh ke lantai setelah membaca surat singkat dari Laila untuk suaminya. Tak ada kata yang keluar dari mulut wanita yang terkenal sabar luar biasa itu. Tapi, tiba-tiba tubuh wanita yang telah melahirkan enam orang anak perempuan itu menegang. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi tak ada kata yang bisa keluar dari mulutnya.
"Bundo!" uni Lili yang tidur di rumah besar karena ia memang tinggal di luar pulau, merengkuh tubuh wanita terkasihnya itu.
"Bundo, isttighfar, Bundo," uni Lili menciumi wajah bundonyo dengan pipi yang telah basah oleh air mata. Tangan bundo menunjuk-nunjuk ke pintu depan. Tapi masih saja tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Wanita itu merasakan kedua belah kakinya kaku tak bisa digerakkan.
Ayah berteriak memanggil seisi rumah. Tama yang tadi telah masuk kamar untuk membereskan barang-barangnya,segera
ke luar mendengar suara teriakan ayah mertuanya. Tak bisa ia gambarkan bagaimana perasaannya saat ini. Ditinggalkan oleh wanita yang telah resmi menjadi istrinya itu di malam pertama mereka. Rasa marah, sakit, dan kecewa mencabik-cabik harga dirinya sebagai seorang laki-laki. Tama tahu, belum ada cinta di hati Laila untuknya, begitu juga sebaliknya, belum juga ada cinta di hatinya untuk perempuan cantik itu. Tapi pantaskah Laila melakukan hal ini padanya?
Kalau ia memang itdak menginginkan pernikahan ini, kalau memang ia menolak pernikahan ini, kenapa ia tak melakukannya dari awal? Mengapa ia tak mengatakannya sebelum ijab kabul? Mengapa baru sekarang? Apa salah dirinya yang membuat perempuan itu melakukan hal sekejam ini padanya. Di mana akan disurukkannya rasa malu ini. Bagaimana ia akan menjawab pertanyaan sanak saudaranya, teman-temannya, pegawai-pegawainya di Jakarta sana.
"Tolong, Nak Tama. Tolong bawa Bundo ke rumah sakit,' suara memohon ayah mertuanya menyadarkan Tama dari lamuannnya.
"Iya, Pak. Ayo kita bawa ibu ke mobil," Tama bergegas membantu wanita yang telah resmi menjadi mertuanya itu ke mobil. Tama memang telah mengantongi kunci mobilnya dari tadi begitu mendapatkan surat dari Laila. Tama tadi telah berniat untuk segera pergi juga meninggalkan rumah besar mertuanya ini. Tapi tentu ia tidak akan bisa membiarkan wanita yang telah melahirkan istrinya itu tak tertolong. Walau bagaimanapun perasannya saat ini, Tama harus melupakannya untuk sejenak.
Setelah membaringkan bundo Laila di kursi tengah dengan kepalanya dipangku uni Lili dan uni Rini, Tama pun segera menjalankan mobilnya ke luar halaman rumah. Ayah Laila telah duduk di samping Tama dengan mata basah. Ia begitu khawatir dengan kondisi istrinya saat ini. Untuk sejenak laki-laki tua yang masih terlihat gagah itu melupakan masalah anak bungsunya Laila. Uda Rudi suami uni Lili dan uda Akmal suami uni Rini ikut serta ke rumah sakit. Mereka berdua menyusul dengan mobil sendiri dan singgah dulu ke rumah uni Feni untuk memberitahukan kondisi bundo.
Uni Feni seketika pucat mendengar berita yang disampaikan kedua kakak iparnya itu. Berdua dengan suaminya, uni Feni ikut ke rumah sakit. Keempat anaknya ditipkannya kepada kedua mertuanya yang beberapa malam ini menginap di rumah mereka karena menghadiri pesta Laila.
Air mata Feni kembali mengalir. Berarti apa yang telah dilakukannya dini hari tadi adalah kesalahan besar. Ia mencoba menghubungi ponsel Laila, tapi seperti dugaannya, ponsel adiknya itu sudah tidak aktif lagi. Feni menutup mulutnya menahan isak tangis. Ia merasa sangat berdosa kepada bundonyo. Uda Rizal memeluk pundak istrinya, merengkuh tubuh wanita yang sedang berduka itu ke dalam pelukannya.
"Sudah, jangan menagis terus. Lebih baik umi doakan bundo ya, semoga bundo baik-baik saja," suara uda Rizal terdengar lembut. Feni mengucapkan istighfar dalam hati. Lalu ia mulai merapalkan doa untuk bundo tercintanya. Semoga bundo masih dilindungi oleh Allah swt. Feni tidak ingin Laila menjadi anak durhaka jika sesuatu yang buruk terjadi pada bundo mereka. Membayangkan semua itu, wanita cantik ini kembali terisak. Uda Rizal kembali mengeratkan pelukannya. Diciumnya kening istrinya dengan penuh kasih.
Mereka juga dulu dijodohkan. Awal pernikahan terasa begitu berat. Tak ada sedikitpun rasa di antara mereka. Tapi Feni, wanita yang cantik dan baik. Tak ada alasan bagi Rizal untuk tidak belajar menyukai dan mencintai wanita di sampingnya ini. Sejalan berlalunya waktu, melewatkan hari-hari bersama, tidur dan makan berdua, akhirnya getaran dan rasa cinta itu mulai tumbuh sedikit demi sedikit. Begitu indah proses mencinta mereka dalam ikatan yang halal. Dan saat ini, tak ada celah lagi di dada masing-masing yang tak berisi cinta dan kasih buat salah satu di antara mereka. Hidup mereka penuh tawa dan bahagia. Meski tentu juga ada ujian dan air mata.
****
Tak butuh waktu lama mereka semua sampai di rumah sakit umum di kabupaten. Semuanya bergegas membantu menurunkan bundo. Petugas rumah sakit pun cepat tanggap. Bed pasien telah menanti Bundo di depan ruang UGD. Lalu dua orang perawat dan seorang sekuriti mendorong bed bundo masuk keruang UGD. Sesampai di ruang UGD, dokter yang berjaga segera menangani bundo. Mata bundo masih terbuka, tapi tangan dan kaki bundo masih tak bisa digerakkan. Suara pun tak bisa keluar dari mulut bundo.
Uni Lili, uni Rini, uni Feni dan uni Linda yang juga telah datang menyusul dengan suaminya bertangisand di ruang tunngu UGD. Mereka memang diminta untuk menunggu bundo di luar, agar dokter dan perawat bisa lebih leluasa memeriksa bundo.
Feni melirik Tama yang berdiri di samping meja resepsionis. Ekspresi wajahnya sulit diartikan. Lalu ketika Tama mengedarkan pandangannya ke arah ia dan saudara-saudaranya duduk, Feni menundukkan kepalanya. Ada rasa bersalah di hati Feni karena telah membantu Laila kabur. Bagaimanakah perasaan laki-laki tampan itu? Mengapa Laila merasa tak teratrik sedikitpun pada laki-laki ini? Padahal secara fisik, laki-laki ini memilki syarat untuk digilai kaum wanita. Apalagi Feni dengar, adik iparnya ini juga seorang pengusaha yang sukses di Jakarta. Harusnya Laila belajar membuka hatinya untuk laki-laki yang telah resmi menjadi suaminya ini. Sepertinya terlalu cepat Laila menyerah.
Ah, akan kemanakan adik bungsunya itu sebenarnya?
Bersambung ....
Selalu menerima krik dan saran ....
0 comments:
Posting Komentar