CERBUNG JILID 20

Cerbung....


*Aku Bukan Wanita Bodoh*

*Jilid......20*



"Mas, aku mau ngomong."

Karin mencoba berbicara hati-hati saat melihat Amin sudah agak tenang.

Amin tak menjawab, hanya menatapnya sekilas.

"Kemarin Pak RT ke sini nanyain kartu keluarga sama Buku Nikah."

"Aku gak mau nikahIn kamu." Jawab Amin ketus.

Karin terperangah. Tak pernah menyangka jawaban Amin seperti itu.

"Terus sampai kapan kita hidup seperti ini Mas. Aku capek. Malu kalau sampai ketahuan kita hanya kumpul kebo." Karin mulai terisak.

Amin terdiam. Dalam hati membenarkan ucapan Karin, tapi jauh di lubuk hatinya rasanya sangat berat. Berbeda dengan dulu saat masih bersama Merry. Hasrat menikahi Karin begitu menggebu. Berbagai cara di.lakukan agar Merry membencinya dan segera meninggalaknnya. Tapi hal yang di.pikirkan di luar prediksinya. Merry cukup pintar untuk tak meninggalkannya saat masih berstatus sebagai anggota TNI. 

Sekarang saat dia tak punya apa-apa lagi baru kesadaran akan kebodohonnya itu datang. Keluarga kecilnya sudah di sia-siakan.

"Jangan bicara soal pernikahan sekarang," ucap Amin gusar.

"Lalu? Hubungan kita begini terus sampai kapan? Mana janji kamu dulu Mas? Aku sudah berkorban banyak buat kamu." Karin berang.

"Heh kamu pikir aku jadi seperti ini karena siapa? Merry susah payah berjuang demi karir aku, tapi kamu menghancurkan semuanya dan membuatku jadi gembel!" Amin naik pitam. Dadanya naik turun menahan emosi.

"Sekarang kamu nyalahin aku, dulu kamu diam aja, kamu selalu nurut apa mauku, tapi kini kamu berubah Mas, kamu bukan orang yang ku kenal dulu." Karin makin terisak.

"Iya, itu dulu saat aku begitu bodoh dan mau menuruti semua keinginanmu. Huh!"
Amin mendengus kesal.

"Terus? Sekarang kamu nyesal gitu Mas? Kamu mau balik sama Merry? Sana!" 

Sesenggukan Karin masuk ke kamar dan membanting pintu. Meninggalkan Amin yang terpaku sendiri.

Andai saja semua itu mungkin, saat itu juga Amin sudah bergegas menemui Merry. Tapi saat ini untuk menatap Merrypun dia tak sanggup. Amin mengusap wajahnya kasar. Sesal kemudian memang tiada gunanya. Saat ini yang harus pikirkan adalah hidupnya dan Karin ke depan.

Pecah rasanya kepala memikirkan wanita itu. Entah kenapa ada kebencian di hatinya untuk Karin. Tapi untuk meninggalkan wanita itu bukanlah hal yang mudah. Hidupnya bergantung pada Karin. Mengingat hal itu Amin segera mencari dompetnya. Biasanya Karin selalu memberinya uang yang langsung di selipin ke dalam dompetnya.

Amin tertegun. Dompetnya kosong melompong. Hanya berisi uang dua ribuan lima lembar, itupun sudah lecek.

"Ada apa dengan Karin. Sejak awal ketemu setelah di penjara sifatnya jadi aneh. Sudah beberapa hari makan cuma sama tempe atau mie instan.

"Mungkin karena sifatku yang berubah padanya, sehingga diapun jadi pelit begitu. Baiklah aku harus bisa mengambil hatinya Karin. Lagian kalau tak memegang uang, gimana aku harus menemui anak-anakku." Pikir Amin.

"Yank, buka pintunya dong. Maafin aku ya."

Tak butuh waktu lama, Karin sudah membukakan pintu. Amin segera meraih tubuh gempal milik Karin. Rasa itu telah hilang. Tak ada hasrat lagi yang menggebu seperti sebelumnya. Tapi Amin masih bisa berpura-pura dalam ketidaksukaannya. 

Mau atau tidak, suka tak suka, hanya Karin wanita yang mendampinginya  saat ini. Capek juga setiap hari harus berantem.

"Kamu urus saja pernikahannya, aku ikut aja gimana kamu."

Karin mengangguk senang. Di peluknya Amin, di ciumnya penuh hasrat. Tapi Amin bergeming. Dengan pelan pelukan Karin di lepasin.

"Maaf Yank, aku mandi dulu, gerah,"

Karin hanya mampu menelan saliva, menahan kecewa atas sikap Amin yang tak biasanya.

=========

Sah...? Sah! Suara itu terdengar di salah satu ruangan yang ada di Kantor Urusan Agama.

Di depan penghulu dan para saksi Amin dan Karin melangsungkan Ijab Kabul. Tanpa kehadiran satupun anggota keluarga, apalagi pasta meriah.

Jangankan pesta, bisa memiliki Buku Nikah yang sah saja sudah membuatnya bersyukur. Hidupnya yang serba pas-pasan sekarang membuatnya tak berpikir lagi untuk hal yang hanya menghambur-hamburkan uang.

Kedua pengantin baru itu pulang ke rumah sederhana mereka menggunakan angkutan kota. Amin tak bisa lagi menyembunyikan rasa herannya.

" Yank, mobil kamu pada ke mana? Sejak aku datang kamu bilang mobil kamu di titip di rumah teman, masa buat hari bahagia kita ini gak bisa di ambil sih?"

Karin tertunduk. Ada genangan air di sudut matanya.

"Ayo ikut aku,"

Amin hanya menurut saja mengikuti Karin, hingga mobil yang mereka tumpangi berhenti persis di sebuah lahan kosong, tepatnya tanah kosong bekas rumah yang kebakaran. 

Amin mengedarkan pandangannya ke sekeliling, tempat yang sangat amat di kenalnya. Di seberangnya terdapat rumah dua lantai minimalis, rumah yang sangat akrab di memorinya. Rumahnya dulu bersama Merry. Pandangannya kembali berputar ke arah rumah di depannya, itu rumah Karin, tepatnya.bekas rumah Karin. 

Amin menatap reruntuhan rumah itu tak percaya. Di sela-sela reruntuhan itu terdapat beberapa rangka mobil mewah, salah satunya adalah mobil miliknya, hadiah dari Karin. Mobil yang dulu membuatnya meninggalkan Merry dan kedua anaknya, mobil yang tanpa di sadarinya menjadi penyebab awal kehancuran dirinya juga keluarganya.

Bersambung...

.

1 komentar: