Cerbung....
*Aku Bukan Wanita Bodoh*
*Jilid.....19*
Aku tersenyum lega menatap amplop di depanku. Ku buka perlahan surat yang sudah di tunggu-tunggu dari kantor pengadilan
"Alhamdulilah.." ucapku perlahan.
Aku resmi berstatus janda kini. Ada perasaan sedih sekaligus lega. Yang terpenting sekarang statusku sudah jelas. Tak lagi di bayang-bayangi sebagai istri Mas Amin.
"Jalan purabaya no 5. Mau di antar?"
Bunyi sms dari Pak Wahyu. Aku menggeleng.
"Maaf Pak, aku bisa sendiri, makasih infonya ya." Ku balas chat dari Pak Wahyu dan segera berkemas.
=======
Aku berdiri ragu di depan rumah bernomor lima itu. Rumah yang terlalu sederhana untuk orang yang pernah hidup mewah. Ingin mengetuk tapi keduluan oleh pemilik rumah membuka pintu.
"Kamu?" Seperti biasa suara wanita itu ketus malah terkesan membentak.
"Karin....," Ucapanku menggantung.
Aku menatap lelaki di sebelahnya. Mataku menyipit. Lelaki yang dulu sangat ku banggakan, tak pernah sekalipun ku biarkan kumisnya tumbuh, dengan telaten ku jaga penampilannya. Aku yang paling cerewet jika ada yang salah dengan penampilannya. Tapi kini di depanku aku seakan melihat makhluk lain. Lelaki bercambang lebat dengan kumis yang tumbuh tak beraturan menutupi sebagian bibir atasnya, di lengkapi tubuh kurus yang hanya berbalut kaus gombrang yang lusuh.
Ada nyeri di dada. Bagaimanapun lelaki ini dulu pernah membuatku menjadi wanita yang paling bahagia. Aku menelan saliva berkali-kali. Akan ada yang luruh dari sudut mata. Cepat-cepat aku merogoh amplop yang ada di dalam tas. Ku sodorkan ke arahnya.
"Ini akte cerai kita Mas, kamu gak usah capek-capek mengurusnya. Semoga pilihanmu kini membuatmu bahagia selamanya.
Aku berlalu tanpa pamit. Meninggalkan dua manusia yang sukses menjadikanku jadi single parent itu.
=======
Perceraian adalah hal yang paling di inginkan Amin. Tapi saat melihat surat resmi dari kantor pengadilan itu, tak urung menyesakan dada.
Perlahan bayangan masa lalu satu persatu muncul. Tawa ceria Merry, tawa riang anak-anaknya, silih berganti mengusik otaknya. Tangis sedih Merry saat melepaskannya bertugas, tangan lembut Merry yang menggenggamnya, memberi kekuatan saat harus berpisah karena melanjutkan pendidikan sebagai calon perwira. Genggaman tangan Merry seolah mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.
"Bunda, apa gak sebaiknya pendiidkan Ayah di tunda dulu ya. Keuangan kita lagi seret. Bapak butuh banyak biaya. Bunda sama Aliya juga butuh makan. Ayah di sana nanti butuh biaya gak sedikit."
Merry menggeleng. Tersenyum memberi kekuatan. Di lepaskannya satu-persatu perhiassn yang menempel di tubuhnya.
"Bunda akan menjualnya buat bekal Ayah. Jangan pikirkan kami di sini. Bunda akan lakukan apa saja agar Ayah bisa menyelesaikan pendidikan dengan tenang. Tiap bulan Bunda pasti kirimin Ayah uang. Bunda gak akan berpangku tangan mengandalkan gaji. Ini kesempatan Yah.."
Wanita berparas manis dan lembut itu menatap penuh keyakinan ke arah suaminya. Wajah itu penuh harapan akan masa depan. Itu yang selalu memberi kekuatan buat suaminya.
Tak terasa ada air di sudut matanya, luruh mengalir membasahi pipinya yang tirus. Tak kuasa menahan tangis, lelaki itu terisak. Bahunya terguncang. Baru terasa kini, betapa berharganya Merry. Wanita tangguh yang mau berbuat apa saja demi mendukung karirnya. Wanita yang sudah bertaruh nyawa demi memberinya buah hati.
Bodoh! Satu kata untuk dirinya. Amin mengutuk dirinya sendiri. Andai masih ada kesempatan, hal yang ingin di lakukannya adalah bersimpuh di kaki Merry dan memohon ampun.
Tanpa di sadari Amin, ada hati yang teriris menyaksikan lelaki yang di cintainya menangisi cintanya yang hilang. Karin hanya bisa mengelus dada saat sadar bahwa cinta sejati takkan bisa terganti.
Bersambung...
.
0 comments:
Posting Komentar