CERBUNG JILID 18

Cerbung....


*Aku Bukan Wanita Bodoh*

*Jilid.....18*


Tegar! Itu satu kata untuk Ibu mertua.

Tak ada air mata. Tak ada tangis, apalagi penyesalan di wajah tua itu. Justru aku yang terus terisak di pangkuannya. Tangan lembut itu tak henti mengusap kepalaku penuh kasih sayang.

"Sejak Amin memutuskan hidup dengan wanita itu, saat itu juga Ibu sudah menganggapnya tiada. Buat Ibu hanya kamu anak Ibu." Lembut dan tegas suara wanita yang sangat menyayangiku bak anak kandung itu.

Aku terus terisak. Sesak rasanya mengingat perlakuan Mas Amin sebagai seorang anak. Aku tahu Ibu sangat hancur, Ibu sangat terluka. Tapi wanita hebat itu tak ingin terlihat lemah di hadapanku.

"Sekarang kamu bebas Neng. Saatnya kamu cari kebahagiaan kamu."
Aku mendongak menatap wajah Ibu.

"Gak Bu, gak ada yang perlu Neng cari lagi, Neng sudah bahagia dengan kebahagiaan Neng sekarang. Tanpa Mas Amin  Neng cukup bahagia bersama anak-anak. Neng akan selalu bersama Ibu. Ayolah Bu, ikut tinggal bersama kami. Neng gak akan tenang ninggalin Ibu sendiri di sini." Ucapku seraya memohon.

Ibu menggeleng. Senyumnya merekah. 

"Ibu akan bahagia dan tenang saat melihat kamu bahagia Neng. Jika ada seseorang yang ingin membahagiakanmu terimalah. Bagi Ibu sekarang, kamu bukan lagi menantu, tapi anak Ibu."

Aku mencoba mencerna perkataan Ibu. Menatap Ibu sekali lagi, wanita itu kembali tersenyum.

"Kamu pantas bahagia." Ibu merangkulku penuh kasih.

"Neng pamit ya Bu. Neng nanti sering ke sini nengok Ibu."

Ibu mengangguk masih dengan senyumnya yang menenangkan. Aku menyalami tangan Ibu dan berpamitan. Serasa ada beban yang lepas saat keluar dari rumah Ibu. Ibu begitu berlapang dada. Hal yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya. Ibu lebih kuat dari yang kupikirkan.

Saat akan melangkah kaki ke luar pagar, dahiku bertaut. Di anak tangga ada sepasang sandal milik lelaki dewasa. Aku mengarahkan pandanganku ke arah ruang tamu, pemandangan yang tadi ku lewatkan, ada secangkir kopi yang masih mengepul.

Dalam hati aku bertanya. Bukan kebiasaan Ibu minum kopi. Mau kembali ke ruang tamu untuk menuntaskan rasa penasaranku, tapi langkahku terhenti oleh bunyi gawai dalam tas. 

Bergegas aku menaiki motor setelah melihat nama yang tertera di layar. Telepon dari salah satu klien. Aku hampir lupa kalau hari ini aku ada janji ketemu klien.

@@@@@

Di sudut pekarangan yang di hiasi kolam kecil dengan air yang mengalir jernih, lelaki berlesung pipi itu menatap kepergian Merry hingga hilang dari pandangan.

Sejak awal ketemu wanita itu, rasa itu begitu menggebu. Hasrat ingin memiliki seiring cinta dan sayang yang perlahan mulai tumbuh, terhalang oleh status kalau wanita yang di cintainya masih milik raga yang lain.

"Bahagiakan anak Ibu Ya Nak," 

Lelaki itu mencari asal suara. Wanita tua itu menatapnya sendu. Penuh harap setengah memohon.

"Tenang Ibu, saya mencintainya tulus, kalau sudah saatnya saya ingin membuatnya bahagia."

Lelaki itu menggenggam erat tangan wanita  tua itu, memberi keyakinan, bahwa dialah lelaki yang pantas untuk membahagiakan seorang Merry.

=======

Langkah kaki di pacu, berusaha menepis debu jalanan demi mencari mainan kesukaan putra tersayang. Bersimbah peluh aku berusaha mencari di setiap toko dan dagangan di pinggir jalan. Robot Tobot, pesanan Radit.

Hari ini Bungsuku berulangtahun yang ke lima. Kesibukan di kantor takkan membuatku lupa pertambahan umur untuk putraku. Sekian lama anak-anakku kehilangan kasih sayang seorang ayah, jangan sampai kasih sayang sebagai seorang Ibu juga terabaikan.

Ini toko yang ke sekian aku masuki. Berharap segera mendapatkan barang yang ku cari. Hari sudah menjelang sore. Radit pasti menunggu di rumah. Kue ulangtahun pun belum sempat aku beli. Dengan agak tergesa aku mencari pesenan Radit di antara deretan robot yang di pajang.

"Ini, barang yang Ibu cari?"

Sepasang tangan terulur di sertai dua benda persegi yang masing-masing sudah berhiaskan pita berwarna biru muda.

Ah, lelaki berlesung pipi itu berdiri gagah
di depanku dengan senyum khasnya.

Sejenak aku terpana. Tapi jarum jam di lenganku tak bisa mengajak kompromi. Segera ku sambar kedua bungkusan itu, melihatnya sekilas, memandang lelaki itu penuh tanya.

"Bapak tahu dari mana Radit suka Tobot?"

Tak menjawab, lelaki itu malah tersenyum.

"Tapi benar ya isinya Tobot? Trus satu lagi isinya apa?"

"Kue ulang tahun tentunya." Jawab lelaki itu santai.

"Hmmm, makasih banyak Pak, nanti saya ganti uangnya ya. Sekarang saya permisi dulu. Radit sudah menunggu."

Tanpa menunggu jawabannya aku bergegas keluar menuju parkiran. Tak ku pikirkan lagi lelaki yang sudah ku tinggalkan terbengong sendirian dalam toko.

@@@@@

Senyum merekah dari bibir wanita tua itu. Sejak tadi hanya berdiri di sudut toko, memperhatikan sepasang manusia di depannya. 

"Makasih Ibu, untuk hari ini. Aku janji Merry akan tersenyum kembali."
Pak Wahyu menundukan mukanya, mencium tangan wanita tua itu dengan taksim. Wanita tua itu mengusap lembut kepala lelaki di depannya.

"Merry bukanlah mantuku, tapi dia anakku. Bahagiakan dia sama saja dengan kamu bahagiakan Ibu. Menyakiti dia sama saja kamu menyakiti Ibu.

Bersambung...

.

0 comments:

Posting Komentar