#Masih_Adakah_Surga_Untukku
#Laila
#Episode_5
Terima kasih admin/moderator telah berkenan approve
Laila baru saja selesai sholat isya di ruang sholat. Ia mengambil mushaf Alquran yang telah tersedia di ruang sholat. Tapi belum sempat Laila membaca ayat-ayat yang terdapat di dalam mushaf tersebut, terdengar suara ketukan di pintu depan. Mak Eti ke luar dari kamarnya dan menghampiri Laila. Mak Eti menyentuh bahu Laila dengan lembut.
"Itu Nak Tama pulang. Bukain pintu ya. Lalu temani suamimu makan," mak Eti tersenyum lembut. Laila tak mungkin membantah wanita yang seusia dengan bundonya tersebut.
"Baik, Mak." Laila pun bergegas ke pintu depan tanpa membuka mukenanya. Mak Eti pun segera berlalu ke kamarnya. Biasanya mak Eti lah yang selalu membukakan pintu untuk Tama dan menyediakan makan malamnya. Tapi sekarang telah ada Laila, istrinya. Mak Eti merasa tugas dan kewajiban Laila lah sekarang untuk mengurus segala keprluan dan kebutuhan Tama.
"Assalammualaikum." Tama sedikit terkejut melihat siapa yang membukakan pintu untuknya.
"Waalaikumsalam." Laila melebarkan daun pintu. Tama pun masuk tanpa menoleh pada Laila.
"Mau makan sekarang, Bang?" Laila menutup dan mengunci pintu, lalu mengikuti langkah tama ke ruang keluarga.
"Saya bisa sendiri," ujar Tama menuju ruang makan. Laila tercekat. Tapi Laila tetap mengikuti langkah Tama sampai ke meja makan. Tama menarik kursi dan segera duduk. Laila membukakan piring yang masih tertutup di depan Tama. Lalu dibukakannya juga semua lauk yang tersedia di meja makan.
Laila berniat menyendokkan nasi ke piring Tama, tapi Tama telah mengambil nasinya sendiri. Laila pun menarik tangannya kembali. Laila merasa bingun mau ikut duduk atau bagaimana. Tama masih tak mengacuhkannya.
"Saya ke ruang sholat dulu, ya Bang," akhirnya Laila pamit.
Tapi suara Tama menghentikan langkahnya.
"Saya asli Minang, tolong panggil saya dengan Uda," suara Tama terdengar datar sedatar ekspresi wajahnya. Laila meneguk ludahnya yang lagi-lagi terasa pahit.
"Ya, Uda." Laila mengangguk dan mencoba tersenyum. Lalu ia pun bergegas kembali ke ruang sholat.
Dalam hati Laila merasa heran, apa ga bosan laki-laki itu dipanggil dengan sebutan uda. Seluruh orang di kampungnya dan seluruh orang yang mengenalnya memanggilnya dengan sebutan uda. Laila aja bosan memanggil semua laki-laki yang usianya di atasnya dengan panggilan uda. Rasanya lebih manis jika dipanggil abang, apalagi kalau bisa memanggil dengan mas. Duh romantisnya. Laila tersenyum sendiri.
Tapi baiklah. memanggilnya dengan sebutan uda juga tidak apa-apa. Setidaknya laki-laki itu telah mau berbicara padanya.
Tak lama kemudian terdengarlah suara lembut Laila melantunkan ayat-ayat Alquran. Meski suaranya begitu lirih, tapi ternyata Tama bisa juga mendengar alunan merdu suara Laila. Ada yang terasa sejuk di dadanya mendengar bacaan Alquran di dalam rumahnya malam ini.
*****
Pukul 03.00, Laila bangun dan melipat selimutnya. Ia mengikat rambutnnya lalu bergegas ke kamar mandi. Laila membasuh wajahnya dengan air wudhu. Lalu ia beranjak ke ruang sholat. Entah mengapa, Laila merasa senang sujud dan menadahkan tangan di ruang yang juga bernuansa hijau tersebut. Ada ketenangan dan kedamaian di hatinya berlama-lama bicara dengan Tuhannya di sana.
Laila menunaikan delapan rakaatnya dengan salam di setiap dua rakaatnya. Lalu ia pun kembali menadahkan tangan. Ia memohon ampun atas salah dan dosanya. Mohon kesembuhan untuk bundonya. Dan terakhir Laila memohon jalan dan kemudahan pada Allah atas jalan hidupnya di rumah ini. Jika memang ia ditakdirkan untuk menjadi istri dari laki-laki yang bernama Tama itu, Laila memohon agar Allah membukakan hatinya dan hati Tama untuk bisa saling menerima satu salam lain.
Entah mengapa, hatinya mendadak terasa pilu setelah mengaturkan segala doa dan harapannya kepada pemilik hati dan kalbunya, yakni Allah swt.Air matanya mengalir membasahi pipi. Lirih suara tangisnya menambah syahdu suasana malam.
Tama yang turun ke bawah karena tiba-tiba merasa haus dan ingin minum, tertegun di samping ruang keluarga. Mata dan telinganya menangkap keberadaan seseorang di ruang sholat. Dan Tama tahu itu adalah Laila. Hati Tama ikutan terenyuh mendengar suara tangisan lirih Laila. Tapi Tama tak bisa berbuat apa-apa. Dengan langkah pelan, Tama menuju kulkas. Lalu mengambil gelas dan menuangkan air dingin ke dalam gelas. Biasanya mak Eti selalu meletakkan air putih di kamarnya. Tumben malam ini mak Eti lupa.
Tama kembali naik ke lantai dua dan menuju kamarnya. Ternyata perempuan yang telah dinikahinya itu sholeha juga. Impian Tama dari dulu memang mendapatkan istri yang sholeha, yang rajin beribadah, agar kelak bisa mendidik anak-anaknya dengan baik. Sebab Tama sadar, ia pribadi belum cukup ilmu agama dan belum rutin melaksakan ibadah-ibadah sunnah seperti sholat tahajud, sholat dhuha, atau puasa senin kamis. Karena itulah, Tama berharap mendapatkan wanita yang agamanya lebih baik dari dirinya, agar anak-anaknya kelak mendapatkan pendidikan yang baik. Bukan kah madrasah pertama itu adalah di rumah?
****
Setelah sholat subuh, Laila pun menbantu mak Eti di dapur. Anita juga ikut membantu membersihkan rumah. Menyapu dan mengelap meja-meja, lemari dan kursi-kursi yang ada di ruang tamu dan ruang keluarga serta ruang makan.
Pagi ini mak Eti membuat soto padang. Tama kata mak Eti sangat suka sarapan dengan soto padang. Bau harum kuahnya memenuhi ruangan dapur. Sepertinya enak,Laila tak sabar ingin mencicipinya.
"Nak Laila, antarkan teh ini ke kamar, Nak Tama, ya." pinta Mak Eti seraya menyerahkan cangkir yang telah berisi teh panas. Kening Laila berkerut.
"Laila, Mak?" tanya Laila.
"Tugas seorang istri melayani suaminya." mak Eti menyerahkan cangkir teh itu pada Laila. Laila lagi-lagi tak bisa menolaknya. Dengan dada bergemuruh, Laila menaiki anak tangga satu persatu.
Laila hanya takut tanggapan Tama yang tak baik dengan kehadirannya membawakan teh ke kamarnya. Ada dua kamar di atas yang pintunya bersebelahan. Laila ragu, yang mana kamar Tama. Dicobanya mengetuk pintu yang di sebelah kanan tangga. Tak lama terdengar suara laki-laki itu.
"Masuk aja, Mak." tangan Laila bergetar ketika membuka handel pintu. Dan ketika pintu terbuka, Tama terlihat kaget, Ia pikir tadi mak Eti lah yang datang mengantarkan teh seperti biasanya.
"Ini, Uda. Tehnya." Laila berdiri di depan pintu. Ia ragu untuk masuk.
"Taruh aja di meja kerja saya," ujar Tama yang sedang mengancingkan kemejanya. Laila hanya mengangguk dan meletakkan cangkir teh itu di atas meja di samping laptop Tama. Lalu tanpa berkata apa-apa Laila pun segera ke luar dari kamar. Tama melirik perempuan yang memakai jilbab instan warna biru muda itu. Heran, ternyata di rumah dia juga memakai jilbab, pikir Tama seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sesampainya di luar kamar, Laila mengusap dadanya. Ia menarik nafas dalam-dalam mengurangi rasa sesak yang dirasakannya ketika memasuki kamar suaminya itu. Kamar yang begitu besar dengan dominan warna abu-abu dipadu warna orange. Sekilas Laila sempat memperhatikan isi kamar laki-laki itu.
Laila menuruni anak tangga dengan tergesa. Sesampai di dapur, ia pun menata sarapan di atas meja makan. Ia ingin masuk ke kamarnya, namun mak Eti menahan langkah Laila.
"Temani dulu suamimu sarapan," ujar mak Eti. Laila merasa bingung. Laki-laki itu tak mengharapkan kehadirannya, Laila bisa merasakan sikap dan tatapan matanya.
bersambung ....
0 comments:
Posting Komentar